Anda di halaman 1dari 6

Nama : Imam Baihaqqy

Kelas : XI MIPA 1
No. Abs : 16
SEHABIS ULANGAN
“Payah!”
Magita menggerutu. Buku, kotak pensil dan penggaris panjang dijejalkannya semua ke
dalam tas tanpa melihat lagi. Bobi Gendut menyeruduk, Magita terbentur ke pintu kelas, dan
omelnya menjadi semakin keras.
Hari itu anak-anak kelas 6B SD Tunas Bangsa pulang lebih siang dari biasanya. Penyebabnya
adalah ulangan matematika yang diadakan secara mendadak. Heran, Pak Bustomi, guru
matematika setengah baya yang baik hati itu, entah kenapa begitu bersemangat hari ini. Mukanya
yang berseri-seri tampak begitu merah sewaktu masuk kelas, dan rambutnya yang putih-perak
kelihatan lebih putih dari biasanya. Magita berpendapat, Pak Bus saat itu mirip Sang Saka Merah
Putih yang baru dicuci.

Di depan kelas Pak Bus mengacungkan penggaris kayunya yang berat. Lalu dengan
suaranya yang ramah berkata lantang : “Anak-anakku saying, mari kta adakan sebuah ulangan hari
ini!”

Keruan saja seisi kelas diliputi keriuhan. Tidak biasanya Pak Bus memberikan ulangan
mendadak! Beberapa anak berusaha mengingat-ingat isi pelajaran minggu lalu, sementara lain
khusyuk berdoa sambal berkeringat dingin. Tetapi yang paling runtuh hatinya adalah anak-anak
duduk di deretan bangku paling belakang. Minggu lalu Pak Bus menerangkan tentang luas dan
keliling lingkaran . bayangkan … luas dan keliling lingkaran! Topik yang cukup sulit, kan? Dan
mereka tak menyimak sedikit pun.

“Aduh … rasanya taka da satu pun yang kuingat dari pelajaran minggu lalu,” keluh Bobi.

Tapi tangannya masih sempat menyembunyikan sisa biscuit kacang yang belum termakan ke
dalam kotak bekal.

Magita mencibir. “Aku setuju, Bob. Kepalamu benar-benar kosong. Satu-satunya yang berisi
darimu hanyalah perut!”
Aduh, anak satu ini judes sekali! Yang lain terkikik-kikik mendengar kata-katanya. Tapi
Magita memang anak perempuan paling sangar kok di kelas itu. Apa ya, artinya … kadang-kadang
dia bahkan lebih mengerikan dari anak laki-laki yang paling bandel sekalipun. Lebih baik tutup
mulut daripada melawan Magita, karena dia selalu bias membalas sepuluh kali jahat. Jadi, Bobi
Gendut hanya mengangkat bahu dan berbisik pada Ahmad bahwa menurutnya Magita sendiri
tampak dungu saat itu. Bobi ada benarnya juga. Kalua diperhatikan benar-benar, Magita sama
khwatirnya dengan anak-anak yang lain. Tadi malam ia tidur terlalu larut, dan akibatnya siang hari
ini kepalanya berdenyut-denyut di sebelah kiri.

Keributan baru berakhir ketika Budi, sang ketua kelas, membagikan kertas ulangan. Selama
satu setengah jam berikutnya, yang terdengar hanya suara keresek kertas dan pensil. Oya, sesekali
juga diselingi bunyi sedotan hidung Syafrudin yang sedang pilek berat. Dia duduk sendirian dengan
tampang merana, karena teman sebangkunya sudah dari tadi mengungsi ketempat lain. Kasihan
juga dia.

Pak Bus menepukkan tangannya, tanda waktu sudah habis. Debu kapur di meja guru
beterbangan.

“Tinggalkan pekerjaan kalian di bangku masing-masing, dan kalian boleh pulang!”

Ia mengatakan ‘boleh’, padahal maksudnya memang ‘mengusir’ anak-anak itu pulang. Jadi
semua bangkit dari bangkunya masing-masing dan bergegas keluar. Wajah-wajah mereka rata-rata
kusut, kecuali beberapa orang. Ahmad, misalnya, atau Savitri, yang memang pandai dan menyukai
matematika.

“Nomor tiga berapa jawabannya, Mad?” Magita menyusul Ahmad yang sudah berjalan di
depan bersama Savitri. Pekarangan sekolah sudah sepi. Biasanya mereka selalu berpapasan
dengan anak-anak kelas 6A dan kelas 5. Karena ulangan ini anak kelas 6B pulang setengah jam
lebih lambat.

“Nomor tiga? Sebentar ya ...,” Ahmad mengingat sejenak.

“Oya … dua puluh dua. Betul kan, Vit?”

“He-em.”
Itu berarti ‘ya’. Savitri memang pendiam. Setelah menjawab pun (atau menggumam,
tepatnya) mulutnya kembali terkunci. Magita mengangkat bahu.

“Ada lingkaran dengan garis tengah 7 sentimeter. Menurut kamu Pak Bustomi minggu lalu,
keliling lingkaran itu adalah 22/7 kali garis tengahnya. Jawabnmu, Gita?”

Magita Cuma nyengir. Seingatnya tadi dia menjawab ‘dua puluh’. Kalua kata Ahmad dan
Savitri jawabannya du puluh dua …yang mestinya memang dua puluh dua! Sudahlah, hiburnya pad
diri sendiri, moga-moga jawaban empat soal lainnya benar.

“He …tunggu! Tunggu !”

Ahmad, Magita, dan Savitri berhenti berjalan. Tamapak Bobi berlari-lari kea rah mereka.
Mukanya merah padam, napasnya ngos-ngosan dan perutnya yang gendut bergoyang-goyang …
bum, bum, bum …bunyi langkahnya bergedebak-gedebuk.

“Pelan-pelan sedikit, Bung,” Magita tertawa geli.

“Bisa runtuh gedung-gedung di sekitar sini.”

Ahmad terbahak, sedangkan Savitri berpendapat mulut Magita memang tidak bias bilang
manis. Tetapi korbannya sendiri kelihatan tidak peduli. Maklumlah, setiap hari menjadi sasaran
Magita, lama-lama Bobi jadi biasa juga. Hihihi …Tapi ternyata ada alasan lainnya.

“Kuantar kau pulang ya, Gita?” Suaranya mencurigakan sekali. Tidak biasanya, hmmm …
gimana ya, terdengar agak terlalu sopan, begitu.

Magita menolak. “Gak usah, aku mau jalan kaki saja.”

Oya, kamu tentu belum tahu, ya? Magita memang seoarang karateka. Karateka betulan,
lho! Badannya bongsor sekali untuk seorang anka kelas enam SD, kakinya panjang-panjang dan
kuat. Ahmad yang cukup akrab dengan Magita selalu berpendapat, jika sudah dewasa pasti Magita
akan menjadi wanita yang disegani, teguh dan dapat diandalkan. Tapi kerena sekarang ia masih
anak-anak, jadinya Cuma menyebalkan saja.

Bobi cemberut. Kebiasan jeleknya keluar lagi begitu keinginannya tidak dituruti. Dia mulai
merengek! Ih …memalukan, ya! Bahkan Savitri yang paling pemalu pun menganggap kelakuan
Bobi saat itu konyol sekali.
“Alaaa …Magita, ayolah …kuantar kau pulang. Pakai mobil Papa …tuh, tuh, diantar Mang
Juned sopir Papa …ayo dong, Magita …”

Magita menepiskan tangan bobi yang menarik narik jaketnya.

“Ih, apa-apaan sih! Kau ini benar-benar bayi, rupanya! Sana, kalua mau merengek-rengek,
pergilah ke taman kanak-kanak tempat adiknya Savitri.”

“Kalau kau tidak tutup mulut juga, nanti kuseret dan kuletakkan kau di rumah merpati,”
Ancam Magita.

Bobi langsung diam menutup mulut ternganga. Apa? Menyeretnya ke rumah merpati?
Mana mungkiiiiin! Rumah merpati adalah sebutan anak-anak untuk rumah-rumahan untuk burung
yang terdapat di pekarangan sekolah mereka. Bentuknya sederhana saja, seperti kotak kayu
bersekat-sekat yang ada atapnya, mirip sebuah rumah. Rumah-rumahan itu dipancangkan di atas
sebuah tiang besi yang cukup tinggi. Kadang-kadang anak-anak bias melihat burung-burung kecil
berkumpul di situ. Tidak hanya merpati. Tapi sekarang rumah-rumahan itu lebih sering kosong.

Magita mau menyeret Bobi ke rumah merpati? Yang benar saja …! Tapi menurut perasaan
Bobi, apa pun mungkin-mungkin saja dilakukan Magita. Anak itu tidak dapat ditebak sih,
kelakuannya! Akhirnya Bobi memutuskan berhenti merengek-rengek.

“Kenapa sih, Bob, ngotot sekali mau menghantarkan Magita pulang?” Tanya Ahmad,
berusaha menengahi pertengkaran itu.

Bobi menggumamkan sesuatu tidak jelas.

Magita kasihan juga melihat tampang Bobi. Suaranya melembut. “Kalau kau memang mau
ke rumahku, ayo, jalan kaki saja sama-sama, kebetulan ban sepedaku kempes tadi pagi, dan belum
sempat dipompa lagi. Jadi aku pergi berjalan kaki ke sekolah.

“Naik mobilku memangnya kenapa?” rajuk Bobi

“Wah, nggak usah deh, terima kasih. Jalan kaki lebih sehat. Hitung-hitung olahraga !”
Magita memang betul.

“Magita betul. Kalua kau memang mau ke rumahnya, ikut saja berjalan bersamanya,”
timpal Ahmad lagi.
Bobi langsuh mengeluh. Bah, berjalan dua kilometer di siang hari begini! Dua meter saja
nafasnya sudah sampai ke leher!

“Ngomong-ngomong, ada perlu apa sih kau ke rumahku?”

Bobi tidak menjawab. Hanya mukanya saja jadi merah-padam.

Tiba-tiba Savitri yang sedari tadi diam terkikik-kikik.

“Ini kenapa lagi, tertawa sendiri!”

Savitri berusaha menghentikan tawanya. Masih dengan perasaan geli ia berkata. “Ku lagi
kepengin kue busanya Pak Hidayat , ya Bob?”

Bobi melotot, Magita melotot, dan Ahmad langsung terbahak-bahak. Pantas! Baru deh,
jelas sekarang. Pak Hidayat itu ayah Magita. Pak Hidayat memang memiliki toko kue yang terkenal
paling lezat di kota Bandung.

Bobi adalah langganan cilik yang paling setia! Hihi …percaya tidak? Anak ini memang rakus
sekali, dan uang sakunya selalu banyak. Kabarnya ayah Bobi yang tinggal di Jakarta adalh seorang
‘presiden direktur’. Entah apa itu artinya, tapi menurut anak-anak pasti sesuatu yang ‘bukan main’.

Nah, setiap kali pulang les piano, atau dari sekolah, diam-diam Bobi pasti minta diantarkan
Mang Juned ke took kue Pak Hidayat. Di situ diborongnya kue sebanyak-banyaknya : kue busa, kue
coklat, kue kacang, permen sirsak, coklat susu dan macam-macam yang membuat badannya
semakin kuat saja. Satu-satunya yang dibenci dari took itu adalah namanya: Toko Kue ‘Magita’.
Bah, nama musuh bebuyutannya! Tapi rasanya sih hal itu masih bias dimaafkan, mengingat kue
busanya yang enak sekali.

Magita melotot. “Kalau kau memang cuma mau membeli kue, kenapa harus antar-antar aku
segala, hah?

“Bobi nggak boleh makan kue dan gula-gula terlalu banyak, ya Bob,” kata Savitri.

“Aku pernah dengar ibumu berkata pada ibuku bahwa kau terlalu …eh, maksudku, kau
harus mengurangi kebiasaan jajanmu.” Savitri terlalu sopan untuk mengatakan bahwa Bobi
kegendutan.
“Dan akibatnya kau tidak diberi uang saku minggu ini.”

“Dan kalua kau main ke rumah Magita, Ibu Hidayat pasti akan menghidangkan kue coklat,
kue busa, lapis legit, …, macam-macamlah! Sehingga kau bias menikmatinya sperti biasa. Bobi,
Bobi …” Ahmad geleng-geleng kepala.

Bobi cemberut. Sial betul! Magita galak, dan Savitri begitu cerdas sehingga bisa menebak
alasan kenapa ia ingin mengantar Magita pulang. Huhh! Terbukti ‘kan, cewek itu memang mahluk
paling menyebalkan di dunia, gerutu Bobi dalam hati.

Anda mungkin juga menyukai