Anda di halaman 1dari 10

Manajemen Budidaya Udang Vaname di dalam Tambak Dengan Teknologi Super Intensif

Teknologi budidaya udang Vaname super intensif menjadi orientasi sistem budidaya
masa depan dengan konsep Low volume high density, yaitu dikembangkan dengan tidak
memerlukan lahan yang luas sehingga mudah dikontrol, namun memiliki produktivitas yang
tinggi (Ulya Syofroul Lailiyah et al, 2018).

Manajemen Pakan

Pakan merupakan faktor yang sangat penting dalam budidaya udang Vanname karena
menyerap 60-70% dari total biaya operasional. Pemberian pakan yang sesuai kebutuhan akan
memacu pertumbuhan dan perkembangan udang Vaname secara optimal sehingga
produktivitasnya bisa ditingkatkan. Pemberian pakan buatan berbentuk pelet dapat mulai
dilakukan sejak benur ditebar hingga udang siap panen. Ukuran dan jumlah pakan yang
diberikan harus dilakukan secara cermat dan tepat sehingga udang tidak mengalami kekurangan
pakan (underfeeding) atau kelebihan pakan (overfeeding). Jumlah pakan harus disesuaikan
dengan total biomassa udang, namun ketika harga kebutuhan pakan naik karena dampak
melemahnya nilai tukar rupiah maka biaya produksi yang ditimbulkan juga akan meningkat.
Pada awal bulan pertama, pemberian pakan dilakukan dengan menggunakan metode blind
feeding. Metode blind feeding merupakan metode menentukan dosis pakan udang dengan
memperkirakan dosis yang diperlukan tanpa melakukan sampling berat udang. Jumlah pakan
awal yang diberikan setiap 100.000 ekor benur yaitu sebanyak tiga kilogram. Pada umur 1-10
hari, penambahan pakan perharinya sebanyak 200 gram, 11-20 hari sebanyak 400 gram, dan 21-
30 hari sebanyak 600 gram.

Budidaya udang Vaname super-intensif dengan padat penebaran tinggi sepenuhnya


mengandalkan masukan pakan berupa pelet yang mencapai kisaran 60-70% dari biaya
operasional. Padat penebaran tinggi yang diaplikasikan dalam sistem budidaya super intensif
memberikan konsekuensi pada beban limbah sebagai hasil samping kegiatan budidaya yang
dapat mempengaruhi kelayakan habitat udang serta lingkungan hidup perikanan. Pakan yang
diberikan sebagian besar akan dimanfaatkan oleh udang melalui proses pencernaan akan
diperoleh energi dan nutrisi yang tersimpan dalam jaringan udang sebagai biomassa. Sisanya
akan terbuang sebagai hasil ekskresi baik dalam bentuk terlarut maupun feses yang terbuang ke
dalam badan air dan mengalami proses pelarutan, sedimentasi, mineralisasi, dan dispersi. Sisa
pakan akan menghasilkan limbah sedimen yang komposisinya terdiri atas bahan organik dan
anorganik. Bahan organik terdiri atas protein, karbohidrat dan lemak sedangkan an organik
terdiri atas partikel lumpur. Sejalan dengan pertumbuhan udang maka presentase pemberian
pakan akan semakin bertambah dan sisa pakan juga akan bertambah. Apabila hal ini terus
berlangsung maka limbah sedimen yang mengendap didasar akan mengalami proses penguraian
(dekomposisi) menghasilkan nitrat, nitrit, amonia, karbondioksida dan hidrogen sulfida.
Kandungan ini apabila diatas ambang batas akan mempengaruhi kualitas air dan membahayakan
sintasan udang.

Proses pemberian pakan dibedakan menjadi dua macam yaitu pakan alami berupa
fitoplankton, sedangkan pemberian pakan yang kedua yaitu pelet. Pemberian dilakukan dua kali
sehari. Para pembudidaya biasanya menambahkan tetes tebu ke dalam pakan industri tersebut.
Setelah pakan ditebar ke tambak, satu jam sebelumnya dicampur dengan Vitamin C, Ω-3, dan
protein dengan perbandingan 2:1. Pemberian protein bertujuan untuk meningkatkan metabolisme
udang. Pakan ini dibiarkan beberapa saat supaya pakan menjadi kering dan mengembang,
menggunakan pemberian pakan 2-5% dari berat udang yang ditebar. Pemberian pakan diberikan
4 kali sehari yaitu pada pukul 06.00 WIB, 11.00 WIB, 17.00 WIB, dan Pukul 20.00 WIB. Untuk
tambak di Sidoarjo dilakukan pemberian pakan sebanyak 3 kali sehari yaitu pada pukul 06.00
WIB, 12.00 WIB dan 18.00 WIB. Pada pemberian terakhir diberikan pakan lebih banyak
dikarenakan udang vaname sering aktif di malam hari (Ulumiah. M et al, 2020).

Manajemen Kualitas Air

Beberapa variabel kualitas air baik fisika, kimia maupun biologi air yang optimal bagi
pertumbuhan udang selama proses budidaya berlangsung. Variabel kualitas air tersebut adalah :

1. Suhu
Suhu merupakan faktor fisika air yang sulit dikontrol karena dipengaruhi oleh lokasi dan
cuaca. Daerah dengan intensitas hujan yang tinggi akan menyebabkan suhu air turun.
Suhu optimal yang diperlukan oleh udang Vaname yaitu berkisar antara 28-32 °C. Pada
kisaran suhu tersebut proses metabolisme dapat berjalan dengan baik sehingga
kelangsungan hidup dan pertumbuhan udang diharapkan dapat optimal (Ghufron. M et
al, 2017). Suhu air yang rendah mempengaruhi daya tahan atau imunitas udang. Upaya
untuk mengurangi efek negatif penurunan suhu air adalah dengan mengoptimalkan kincir
air dan melakukan pergantian air jika memungkinkan.
2. Kecerahan
Kecerahan optimal air tambak yaitu sekitar 20-40 cm. Oleh sebab itu, apabila kecerahan
air tambak di bawah 20 cm, maka upaya yang dapat dilakukan yaitu dengan melakukan
pengenceran terhadap air tambak hingga didapatkan kecerahan yang optimal untuk
menunjang kehidupan udang budidaya. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi nilai
kecerahan yaitu keadaan cuaca, padatan tersuspensi, waktu pengukuran, dan ketelitian
orang yang melakukan pengukuran.
3. Salinitas
Salinitas air sangat erat hubungannya dengan proses osmoregulasi yang terdapat pada
organisme perairan. Untuk mendapatkan pertumbuhan yang optimal, udang vaname
membutuhkan salinitas 15-25 ppt. Oleh sebab itu, salinitas air tambak perlu dinaikkan
agar tidak berada di bawah kisaran optimal selama proses budidaya. Upaya yang dapat
dilakukan yaitu dengan menambah air bersalinitas tertentu yang sudah disterilisasi.
4. Oksigen terlarut
Oksigen terlarut atau dissolved oxygen (DO) yang rendah (< 4 mg/l) dalam air
menyebabkan gangguan pada udang, mulai dari penurunan nafsu makan, timbulnya
penyakit sampai terjadi kematian. Penyebab DO rendah dalam tambak udang antara lain
kematian Plankton yaitu plankton mengalami kematian mendadak secara massal (die off).
Pada kondisi ini konsentrasi oksigen terlarut akan mengalami penurunan yang drastis
(depletion), dan berakibat fatal bagi udang jika terjadi pada waktu malam. Kondisi ini
dapat terjadi apabila terjadi blooming plankton yang ditandai dengan rendahnya
kecerahan air ((<30 cm).
5. Derajat keasaman
Derajat keasaman (pH) mempengaruhi toksisitas amonia dan hidrogen sulfida. pH air
tambak yang ideal untuk pembesaran udang Vaname yaitu 7,5-8,5. Pada umumnya, pH
air tambak pada sore hari lebih tinggi daripada pagi hari. Hal ini disebabkan pada sore
hari telah terjadi penyerapan karbondioksida (CO2) oleh fitoplankton melalui proses
fotosintesis. Sedangkan pada pagi hari kadar CO 2 hasil respirasi udang Vaname dan
organisme lain dalam perairan cukup tinggi. Keberadaan karbondioksida merupakan
faktor utama yang mempengaruhi nilai pH air.
6. BOD
Biological oxygen demand (BOD) merupakan total oksigen yang digunakan oleh
mikroorganisme untuk menguraikan bahan organik. Tingginya nilai BOD
mengindikasikan banyaknya limbah organik di kolam. Tindakan yang bisa dilakukan
untuk menurunkan BOD antara lain ganti air dan penyiponan dasar kolam.
7. Alkalinitas
Alkalinitas merupakan gambaran dari kapasitas air yang dapat menetralkan asam atau
kuantitas anion air untuk menetralkan kation hidrogen serta sebagai kapasitas penyangga
terhadap perubahan pH perairan. Nilai alkalinitas air tambak yaitu berkisar 137,31-160
ppm. Nilai alkalinitas yang optimal untuk pemeliharaan udang vaname yaitu 100-150
ppm. Oleh sebab itu, pada tambak ini dilakukan pengenceran agar nilai alkalinitas tidak
di atas 150 ppm. Alkalinitas dibutuhkan oleh bakteri nitrifikasi maupun fitoplankton
untuk pertumbuhannya. Alkalinitas juga berperan dalam molting udang. Tindakan yang
bisa dilakukan untuk meningkatkan alkalinitas adalah pengapuran dengan CaCO3,
CaMg(CO3)2, dan Ca(OH)2. Dalam air senyawa tersebut akan bereaksi dengan
karbondioksida menghasilkan bikarbonat (HCO3-) sebagai ion utama pembetuk
alkalinitas.
8. Amonia
Amonia merupakan hasil samping metabolisme protein yang dikeluarkan oleh ikan
melalui insang dan hasil dekomposisi sisa pakan, feses, plankton yang mati dan lain-
lainnya yang dilakukan oleh bakteri proteolitik. Tindakan yang dapat dilakukan ntuk
mengontrol keberadaan amonia antara lain : ganti air jika memungkinkan, aplikasi bakteri
nitrifikasi, penambahan sumber karbon (misalnya molase) untuk merangsang
pertumbuhan bakteri heterotrof, menurunkan pH air untuk menurunkan proporsi amonia
bebas, serta aerasi untuk meminimalisir dampak negatif terhadap udang.

3. Manajemen Pengendalian Hama Dan Penyakit


Udang vaname merupakan udang yang tergolong tahan penyakit, oleh karena itu
banyak pembudidaya di Indonesia memilih udang ini untuk dibudidayakan. Sejak akhir
tahun 2008, udang vaname sering terkena serangan hama dan penyakit yang
menyebabkan jatuhnya jumlah produksi udang secara nasional sehingga terjadi
penurunan hasil devisa negara. Oleh karena itu, harus ada upaya dalam penanganan
serangan hama dan penyakit. Manajemen pengendalian hama dan penyakit udang
vaname meliputi pembuangan lumpur, pengeringan, pengapuran, biosecurity, sterilisasi
peralatan, pengisian air, pemberantasan hama dan penyakit, dan monotoring hama dan
penyakit. Definisi hama tentunya berbeda dengan definisi penyakit. Di antara kegagalan
budidaya udang windu ialah disebabkan oleh masuknya hama kedalam tambak. Hama
sendiri merupakan organisme pengganggu yang dapat mempercepat berkurangnya jumlah
udang yang dipelihara dalam waktu singkat. Hama dibedakn menjadi macam-macam
diantaranya:

1. Hama Predator, yaitu golongan pemangsa yang dapat memakan langsung udang
dalam jumlah yang banyak sehingga merugikan bahkan menimbulkan gagal panen.
Contohnya adalah ikan Kakap.
2. Hama Kompetito, yaitu golongan penyaing. Hama ini adalah hewan-hewan yang
hidupnya menyaingi hidup udang windu baik dalam hal makanan, tempat hidup
ataupun O2 ( Oksigen ). Contohnya udang kecil, siput (trisipan).
3. Hama Perusak, yaitu golongan penganggu. Hama ini tidak memangsa dan tidak
menyaingi udang tetapi merusak lingkungan hidup bagi udang yang dipelihara,
misalnya merusak dasar tambak, pematang, saluran dan pintu air sehingga
mengakibatkan kebocoran-kebocoran pada tambak. Contohnya adalah kepiting.

Sedangkan untuk penyakit, pada dasarnya penyakit udang vaname timbul dan mewabah
dapat dijelaskan dari hubungan keterkaitan antara inang, patogen, dan lingkungan. Penyakit pada
udang vaname dapat disebabkan oleh beberapa jenis yaitu disebabkan oleh patogen penyebab
penyakit, diantaranya virus, bakteri, protozoa, dan lain-lain. Penyakit timbul akibat tidak
seimbangnya antara inang, pathogen dan lngkungan tempat kultivan budidaya tersebut hidup.
Penurunan kualitas lingkungan akibat penumpukan bahan organik, dan sebagai dampak dari
kegiatan intensifikasi tambak menyebabkan udang stress dan akhirnya rentan terhadap penyakit.
Jenis penyakit yang menyerang udang dapat dikelompokkan menjadi penyakit viral, bacterial,
kelompok fouling disease dan penyakit karena factor nutrisi. Definisi anatara pengendalian dan
juga pencegahan juga berbeda. Pencegahan dilakukan dengan tujuan untuk menghindarkan hama
dan penyakit timbul pada tambak sehingga mengganggu pertumbuhan dan perkembangan udang.
Sementara pengendalian merupakan upaya untuk menghilangkan gangguan hama dan penyakit
yang sudah timbul pada tambak dan menginfeksi udang yang berpotensi mengancam
keberlanjutan usaha budidaya.

Timbulnya hama dan penyakit dapat diperparah akibat kegiatan produksi udang vaname
di tambak secara super intensif dan kontinyu maka kontrol atas proses mikrobiologis dan
eutrofikasi (penyuburan) lingkungan sering terabaikan. Akibat proses mikrobiologis dan
eutrofikasi (penyuburan) tersebut dapat mengurangi produktifitas udang yang dihasilkan.
Kondisi ini diperparah lagi dengan meledaknya tingkat infeksi penyakit yang menyebabkan
kematian massal pada udang yang dipelihara. Kematian masal merupakan masalah utama yang
harus di cegah dan diatasi, untuk mencegah dan mengatasi keadaan tersebut dapat dilakukan
dengan menerapkan prinsip-prinsip dasar budidaya yaitu persiapan wadah yang bebas dari hama
dan penyakit. Pengendalian hama harus dilakukan sejak awal sampai akhir kegiatan budidaya,
mulai dari tahap persiapan wadah sampai pemanenan. Pengendalian dilakukan dengan cara
mencegah dan memeriksa udang secara berkala. Beberapa cara yang dapat dilakukan yaitu
melakukan persiapan pemeliharaan dengan baik; pemberantasan manual dengan melakukan
patroli keliling; penyaringan air yang masuk (filter); penggunaan tandon pengendapan dan
tandon perlakuan sebelum digunakan; pemasangan penghalau burung dengan tali senar yang
melintang di atas permukaan air tambak atau dengan suara kincir angin atau alat lain yang dapat
menimbulkan bunyi; pemasangan pagar keliling areal tambak untuk untuk membatasi pergerakan
manusia dan pengaruh hewan lain dari luar lingkungan budidaya; serta penggunaan obat-obatan
organik, misalnya saponin 15 mg/liter untuk membunuh hama ikan dalam tambak.. Untuk
mencegah hama dan penyakit pada tambak udang dilakukan secara mekanis. Kegiatan
pencegahan tersebut umumnya disebut dengan tindakan preventif. Tindakan pencegahan ini
diantaranya menyiapkan kondisi tambak yang sempurna dengan perlakuan :

1. Pengolahan tanah yang baik, Hal ini dapat dilakukan dengan cara membalik, memperluas
permukaan, mengaduk hingga mencapai kondisi yang diinginkan. Manfaat dilakukannya
proses ini yaitu untuk memperbesar reaksi penguapan dengan udara, mempercepat
pengeringan dan menguapkan gas-gas beracun.
2. Pengeringan yang memenuhi syarat, tujuan dilakukannnya pengerigan ini yaitu untuk
mempercepat penguapan gas hasil fermentasi atau eduksi, memadatkan Lumpur sehingga
mudah diolah, memberantas hama dan kuman pathogen, dan mempercepat laju
dekomposisi bahan organic.
3. Pengapuran dengan dosis yang sesuai dengan sifat tanah, pengapuran dilakukan apabila
tanah yang digunakan memiliki kisaran pH rendah. Ada beberapa jenis kapur yang dapat
digunakan di antaranya Ca CO3 (Cal Cite ), CaMg ( CO3 )2 ( Dolomit ) dan Ca (OH)2 /
Kalsium Hidroksida. Pengapuran ini memiliki tujuan yaitu untuk Memperbaiki derajat
keasaman tanah, Mengganti unsur Ca yang berkurang,Meningkatkan efektivitas kerja
bakteri dalam ? menguraikan bahan organik menjadi mineral.
4. Mempertinggi peranan dan fungsi saluran pintu air dan alat penyaring ( filter ), hal ini
bertujuan ntuk menyaring air dengan kasa kelambu di setiap pintu air, memberikan
bahan krustasida ( dyvon 1 ppm/Saprovon 0,8-1 ppm ) yang memiliki daya reaksi yang
kuat, cepat dan netral serta bahan desinfektan ( kalsium hypochloride 15 – 30
ppm/chlorine ) pada wilayah yang tingkat wabah penyakitnya cukup tinggi serta pada
petak biofilter ( treatment ) dan melakukan proses penetralan yaitu dengan menurunkan
kadar klorin dari 2 ppm menjadi < 0,5 ppm agar tidak tercium bau khas obat sebelum air
masuk dalam wadah budidaya, Menumbuhkan fitoplankton sebagai penyerap racun dan
suplai vitamin C dan vitamin B. Fitoplankton yang digunakan Chlorella sp, Skeletonema
dan Tetraselnis, dan terakhir melakukan disiplin kaidah, aturan-aturan dan prinsip utama
yang berwawasan lingkungan.
Serangan penyakit virus yang paling berbahaya dan banyak menimbulkan
kerugian bagi petambak udang di Indonesia adalah serangan virus (WSSV, TSV, YHV,
IMNV, dan IHHNV). Beberapa jenis virus yang termasuk dalam hama dan penyakit ikan
karantina menurut Kep.Men No.26/MEN/2013 yang telah mewabah pada budidaya
udang di Wilayah Sulawesi Selatan adalah: White spot syndrome virus (WSSV),
Monodon Baculovirus, dan Yellowhead Virus (YHV) (Liliauriani 2020) . Pengendalian
hama dan penyakit merupakan hal yang sangat penting dalam kegiatan budidaya udang
Vaname, keberhasilan budidaya sangat ditentukan oleh seberapa jauh keberhasilan dalam
pengendalian hama dan penyakit. Kerugian yang sangat besar dapat terjadi akibat ketidak
tepatan dalam mengantisipasi wabah penyakit tersebut, seperti yang telah dijelaskan
sebelumnya bahwa definisi antara hama dan penyakit itu berbeda, sehingga dalam
pengendaliannya memerlukan tindakan yang berbeda pula. Pertama ada pengendalian
Hama, hama ini dapat menimbulkan kerugian yang beragam, dari yang ringan sampai
yang berat, dari yang hanya menimbulkan kerugian berupa persaingan pakan alami,
pakan buatan sampai perannya sebagai karier penyakit. Oleh sebab itu perlu dilakukan
pemberantasan hama baik secara mekanis ataupun secara kimia (menggunakan obat
kimia berupa krustasida / pestisida ). Pestisida yang digunakan untuk mengatasi hama
dan penyakit tentunya memiliki kriteria, diantaranya :
a. Tidak bersifat persisten namun degradable (Pemberantasan secara perlahan-lahan)
b. Memiliki kisaran pemberantasan yang spesifik
c. Tidak meninggalkan residu yang membahayakan.
d. Tidak bersifat fitotoksis, yang dapat membunuh alga.
Berikut contoh pestisida organic dan dosis pemakaiannya:

Bahan asal Dosis mengandung Dosis per hektare


Serbuk tembakau Nikotin 200 – 400 kg
Biji teh Saponin 150 – 200 kg
Teh komersial Saponin 15 – 20 kg
Akar tuba Rotenon 20 kg
Untuk pestisida anorganik contohnya seperti Bresten, diunakan untuk membasmi
trisipan.
Aplikasi Brestan dilakukan pada kondisi dasar tambak macak-macak (5 cm) dan dengan
cara disebar merata, kemudian dibiarkan 15 – 21 hari supaya trisipan terbunuh, sekaligus
air di dasar tambak menjadi netral, kemudian dilakukan pencucian (pembuangan) air
tersebut. Apabila masih terdapat ikan liar, perlu dilakukan aplikasi saponin dan kaporit
yang berfungsi untuk mensterilkan air media awal. Selain itu dapat digunakan jga bahan
kimia lainnya, berikut beberapa jenis bahan kimia, obat-obatan dengan substitusinya :

Jenis Spesifikasi Sasaran Dosis


Kaporit Desinfektan Udang liar 3 0 – 35 g/m3
Dyvon Krustasida Udang liar 0,5 – 1 g/m3
Krustasida
Nuvax Kerier 0,5 – 1 g/m3
Piscisida
Saponin Ikan liar 6 – 10 g/m3
Kedua untuk pengendalian penyakit, pengendalian penyakit baru dapat dilaksanakan
secara sempurna apabila patogen dapat dikenali dengan baik, termasuk didalamnya cara
penularan, perwabahan dan karakter patogenitasnya. Dengan pemahaman yang benar akan sifat-
sifat patogen maka diharapkan wabah penyakit dapat di antisipasi dengan baik. Penyakit pada
udang terutama menyerang pada saat umur udang di tambak mencapai 1 – 2 bulan. Antisipasi
kondisi seperti ini adalah dengan melakukan pemantauan secara rutin kesehatan udang di tambak,
sehingga gejala sedapat mungkin diketahui sedini mungkin.
DAFTAR PUSTAKA

Lilisuriani. 2020. SERANGAN PENYAKIT VIRUS PADA UDANG DI TAMBAK TANPA MEMPERLIHATKAN
GEJALA KLINIS. JURNAL ILMU PERIKANAN. 9 (1): 25-32

Ghufron. M. Mirni Lamid. Putri Desi Wulan Sari dan Hari Suprapto. 2017. TEKNIK
PEMBESARAN UDANG VANAME (Litopenaeus vannamei) PADA TAMBAK
PENDAMPINGAN PT CENTRAL PROTEINA PRIMA Tbk DI DESA
RANDUTATAH, KECAMATAN PAITON, PROBOLINGGO, JAWA TIMUR. Journal
of Aquaculture and Fish Health., 7(2) : 70-77.

Ulumiah. M. , Mirni Lamid. Koesnoto Soepranianondo. M. Anam Al-arif. Moch. Amin


Alamsjah dan Soeharsono. 2020. Manajemen Pakan dan Analisis Usaha Budidaya Udang
Vaname (Litopanaeus vannamei) Pada Lokasi yang Berbeda di Kabupaten Bangkalan
dan Kabupaten Sidoarjo. Journal of Aquaculture and Fish Health., 9(2) : 95-103.

Ulya S. Lailiyah. Sinung Rahardjo. Maria G.E. Kristiany dan Mugi Mulyono. 2020.
PRODUKTIVITAS BUDIDAYA UDANG VANAME (Litopenaeus vannamei)
TAMBAK SUPERINTENSIF DI PT. DEWI LAUT AQUACULTURE KABUPATEN
GARUT PROVINSI JAWA BARAT. Jurnal Kelautan dan Perikanan Terapan., 1(1) : 1-
11.

Anda mungkin juga menyukai