Tugas Filsafat Hukum Islam
Tugas Filsafat Hukum Islam
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Hukum Islam mengacu pada pandangan hukum yang mengatakan bahwa
hukum Islam itu diciptakan karena ia mempunyai maksud dan tujuan. Tujuan dari
adanya hukum Islam adalah terciptanya kedamaian di dunia dan kebahagian di
akhirat. Jadi hukum Islam bukan bertujuan meraih kebahagaiaan yang fana’ dan
pendek di dunia semata, tetapi juga mengarahkan kepada kebahagiaan yang kekal di
akhirat kelak. Inilah yang membedakannya dengan hukum manusia yang
menghendaki kedamaian di dunia saja.
Dengan adanya Filsafat Hukum Islam, dapat dibuktikan bahwa hukum Islam mampu
memberikan jawaban terhadap tantangan zaman dan merupakan hukum terbaik
sepanjang zaman bagi semesta alam. Syariat Islam sebagai sumber hukum Islam
merupakan sebuah kaidah tatanan kehidupan bagi umat muslim pada khususnya dan
umat manusia pada umumnya yang diberikan oleh Allah SWT. Karena kedudukannya
sebagai kaidah langsung dari Allah tersebut, dalam pelaksanaannya, manusia baik
disadari maupun memerlukan penafsiran akan kaidah-kaidah tersebut. Hal ini tidak
lain karena syariat Islam sebagai “hukum Tuhan” akan sulit dicerna oleh manusia
yang kemampuannya terbatas, sehingga untuk dapat mengaplikasikannya maka
diperlukan penafsiran-penafsiran yang tepat dan sesuai.
Ijtihad merupakan kunci untuk menyelesaikan problem yang dihadapi oleh umat
Islam sekarang dan yang akan datang, hal inilah yang membuat Islam dinamis, sesuai
dengan tempat dan zaman. Ijtihad muncul disebabkan karena adanya masalah-
masalah yang kontemporer dimana nash-nash atau dalil tidak membicarakannya
secara khusus.
BAB II
PEMBAHASAN
Pergumulan antara bangsa satu dengan bangsa lain di dunia hampir tak bisa dihindari
sama sekali. Implikasi dari semua ini adalah, tidak adanya kemurnian budaya satu
pun di dunia ini. Dan biasanya negara besarlah yang memiliki pengaruh dan bersifat
hegemonik. Hanya, Islam memiliki originalitas dan otentisitas ajaran. Oleh sebab itu
ketika Islam bersinggungan dengan budaya Yunani, Persi, Cina atau yang lainnya,
maka tidak otomatis Islam di Yunanikan, di Persikan, di Cinakan dst.
Islam datang pada permulaan abad ke-7 M, kemudian berkembang sampai ke seluruh
Timur Tengah, Afrika Utara dan Spanyol pada akhir abad tersebut. Pada wilayah ini
peradaban yang sudah ada tetap dikembangkan dan disemangati oleh karakteristik
ajaran Islam (baca: islamisasi). Karena sesuai dengan watak ajaran Islam itu sendiri,
yaitu memberikan kesempatan kepada pemeluknya untuk menyerap ide-ide dari
banyak sumber (Khuz al-hikmata walau fi ayyi wi’ain kana, Uthlub al-‘ilma walau
bis-Shin). Kontak dengan wilayah baru itu menyebabkan umat Islam menyerap ilmu
pengetahuan yang berasal dari Yunani dan juga Cina. Mereka mentransfer ilmu-ilmu
tersebut dalam paradigma baru dan kemudian berkembang sehingga menjadi bagian
dari peradaban Islam. Setelah diintegrasikan ke dalam struktur dasar yang berasal dari
wahyu Tuhan. Warisan Yunani itu sendiri untuk sebagian besar merupakan campuran
pandangan-pandangan kuno di sekitar laut Tengah yang disistemasikan dan di susun
dalam bentuk dialektika oleh orang-orang Yunani. Dari Aleksandria warisan itu
dibawa ke Antioch, kemudian ke Nisibis dan Edessa oleh orang Kristen Monofisit
dan Nestorian hingga sampai Persia (melalui penterjemahan).
Baghdad adalah sebuah kota yang merupakan pusat studi ilmu pengetahuan
yang populer saat itu. Di kota ini berdiri lembaga ilmu pengetahuan yang
bernama Bait al-Hikmah. Pusat studi yang pada mulanya lahir di Yunani berpindah
ke Iskandariyah dan selanjutnya ke Antioch dan berakhir ke kota Haran pada zaman
khalifah al-Must’dhid (892-902). Pusat studi tersebut berpindah dari Haran ke
Baghdad. Di antara guru besar filsafat yang mengajar di Baghdad saat itu antara lain:
Quwairi, guru Abu Basyar Matta dan Yuhanna Ibn Hilan, guru al-Farabi. Dari sinilah
kemudian bermunculan para filosuf Muslim dari al-Kindi hingga al-Ghazali dst.
Sebenarnya kaum muslimin pada masa permulaan Islam tidak bermaksud untuk
menukilkan filsafat secara langsung, dengan asumsi yang demikian itu belum
dianggap penting, bahkan mereka tidak bermaksud menukilkan ilmu asing. Bilamana
ada ilmu-ilmu asing yang telah merembes ke Arab (Islam), hal itu karena adanya
hubungan bangsa Arab dengan bangsa-bangsa sekitarnya. Hubungan itu telah terjadi
pada masa Jahiliyah walau hanya dalam batas tertentu.
Sehubungan dengan perpindahan ilmu asing ke Arab pada permulaan Islam, ada suatu
cerita yang menarik. Konon pada zaman Rasulullah sudah ada dokter yaitu, Al-Haris
Ibn Kildah as Saqafi. Ia dikenal sebagai dokter Arab. Diriwayatkan dari Sa’ad Ibn
Abi Waqas, bahwa ia pernah sakit dan Rasulullah datang menjenguknya, lalu
Rasulullah berkata (kepada Sa’ad): “Datanglah kamu kepada Haris Ibn Kildah, ia
adalah seorang yang mempraktikkan ilmu kedokteran”. Sebenarnya saat itu
pengetahuan Al-Haris di bidang kedokteran masih sedikit, ia belum menguasai
pokok-pokok ilmu kedokteran dan cabang-cabangnya secara ilmiah, karena hal itu
memerlukan pengetahuan bahasa Suryani. Perpindahan ilmu kedokteran dari Yunani
ke Jundishapur, serta penerjemahan buku-buku kedokteran ke bahasa Suryani adalah
setelah dibangunnya Iskandariyah, kota yang menjadi pusat peradaban Yunani.
Dan dalam qisha itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang
yang berakal, supaya kamu bertaqwa. (Qs. Al-Baqarah/2:179)
Ayat diatas menunjukan bahwa mempergunakan akal pikiran untuk menagkap makan
yang terkandung dalam syari’ah sesuai dengan petunjuk al-Quran termasuk yang
dianjurkan. Pemikiran yang mendalam tentang syari’ah atau hukum Islam melahirkan
filsafat hukum Islam.
Izin Rasulullah kepada Mua’adz untuk berijtihad di atas merupakan awal
lahirnya filsafat hukum islam. Pada masa Rasulullah segala persoalan diselesaikan
dengan wahyu. Pemikiran filsafat atau ijtihad yang salah segera dobutuhkan dengan
datangnya wahyu. Akan tetapi letika Rasulullah wafat dan wahyu pun telah usai,
maka akan dengan pemikiran falsafinya bereran, baik dalam perkara yang ada
nashnya maupun tidak ada nashnya.
Pemaslahan yang timbul setelah Raulullah wafat ialah mengenai siapa yang
memegang tampuk kepemimpinan bagi umat Islam. Terhadap permasalahan yang
tidak ada nashnya ini dibutuhkan pemikiran mendalam tentang kriteria apa yang
diambil untuk menentukan penggantian Muhammad. Apkah kriterianya berupa jasa,
yaitu jasa kaum Anshar yang telah menerima Muhammad beserta rombongannya dan
menyelamatkan agama dari tekanan kaum kafir di Makkah,
ataukah pengorbanan, yaitu pengorbanan kaum Muhajirin yang telah mengikuti
Muhammad berhijrah dengan meninggalkan keluarga dan harta kekayaan demi
menyelamatkan agama Islam. Pemikiran yang mendalam tentang kriteria pemimpin
tersebut merupakan pemikiran falsafi.
Sedangkan pemikiran falsafi terhadap hukum Islam yang ada nashnya
bermula pada masa khulafaurrasyidin, terutama Umar ibn Khattab. Penghapusan
hukum potong tangan bagi pencuri, zakat bagi muallaf, dan lain-lainnya yang
dilakukan oleh Umar berdasarkan kesesuaian zaman dan demi menegakkan keadilan
yang menjadi asas hukum Islam, merupakan contoh penerapan hukum berdasarkan
akal manusia.
3.1. Kesimpulan
Filsafat Hukum Islam adalah kajian tentang hakikat hukum islam, sumber asal
muasal hukum Islam dan prinsip penerapannya, serta manfaat hukum islam bagi
kehidupan masyarakatnya yang melaksanakannya. Dengan demikian, yang dimaksud
dengan Filsafat Huku Islam adalah setiap kaidah, asas atau mabda’, aturan-aturan
pengendalian masyarakat pemeluk agama Islam. Kaidah-kaidah itu dapat berupa ayat
Al-Qur’an, hadis pendapat sahabat dan tabi’in, ijma’ ulama, fatwa lembaga
keagamaan. Pertumbuhan dan perkembangan filsafat hukum Islam terus meningkat
dari zaman kezaman yang mana pada zaman Rasulullah filsafatpun sudah mulai
tumbuh dan terus berkembang mengikuti perkembangan agama Islam.
3.2. Saran
Dalam membuat makalah ini banyak sekali kekurangan yang terdapat di
dalamnya. Semaksimal mungkin kami berusaha untuk menyepurnakanya untuk
dipelajari bersama terutama untuk kami sebagi penyusun, kami menyarankan kepada
pembaca sekiranya ada yang harus disempurnakan lagi untuk bisa disempurnakan.
DAFTAR PUSTAKA
Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, Jakarta : Logos Wacana Ilmu,
Cetakan II, 1999
Muhammad Syukri Albani Nasution, Filsafat Hukum Islam, Jakarta: Rajawali
Pres, 2013, Edisi.1, Cetakan. 1.