Anda di halaman 1dari 35

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Teori

1. Sikap

a. Pengertian sikap

Sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang

terhadap suatu stimulus atau objek (Notoatmodjo, 2007, p. 142).

LaPierre (1934) dalam Azwar (2010, p. 5), mendefinisikan sikap sikap

sebagai suatu pola perilaku, tendensi atau kesiapan antisipatif,

predisposisi untuk menyesuaikan diri dalam situasi sosial, atau secara

sederhana, sikap adalah respon terhadap stimuli sosial yang telah

terkondisikan. Sedangkan Secord & Backman (1964) mendefinisikan

sikap sebagai keteraturan dalam hal perasaan (afeksi), pemikiran

(kognisi) dan predisposisi tindakan (konasi) seseorang terhadap suatu

aspek di lingkungan sekitarnya.

b. Aspek-aspek sikap

terdapat dua aspek pokok dalam hubungan antara sikap dengan perilaku,

yaitu:

1) Aspek keyakinan terhadap perilaku

Keyakinan terhadap perilaku merupakan keyakinan individu bahwa

menampilkan atau tidak menampilkan perilaku tertentu akan

10
11

menghasilkan akibat-akibat atau hasil-hasil tertentu. Aspek ini

merupakan aspek pengetahuan individu tentang objek sikap.

Pengetahuan individu tentang objek sikap dengan kenyataan.

Semakin positif keyakinan individu akan akibat dari suatu objek

sikap, maka akan semakin positif pula sikap individu terhadap objek

sikap tersebut, demikian pula sebaliknya.

2) Aspek evaluasi akan perilaku

Evaluasi akan akibat perilaku merupakan penilaian yang diberikan

oleh individu terhadap tiap akibat atau hasil yang dapat diperoleh

apabila menampilkan perilaku tertentu. Evaluasi atau penilaian ini

dapat bersifat menguntungkan dapat juga merugikan, barharga atau

tidak berharga, menyenangkan atau tidak menyenangkan. Semakin

positif evaluasi individu akan akibat dari suatu objek sikap, maka

akan semakin positif pula sikap terhadap objek tersebut, demikian

pula sebaliknya (Fishbein and Ajzen , 1975 dalam Azwar 2010, p.

28).

c. Teori-teori sikap

Terdapat beberapa pandangan/teori tentang konsistensi sikap, yang pada

umumnya berasumsi bahwa orang mencari konsistensi diantara kognisi,

yaitu:

a) Teori Keseimbangan dari Heider

Menurut Freitz Heider asumsi dasar teori ini menekankan pada

adanya hubungan keseimbangan atau ketidakseimbangan antara


12

unsure-unsur individu (I), orang lain(O) dan objek sikap (Ob).

Keadaan seimbang terjadi jika hubungan antara (I), (O), dan (Ob)

berjalan harmonis, sedangkan jika hubungan ketiganya tidak

harmonis menyebabkan bahwa persepsi orang terhadap bentuk

hubungan antara unsure (I), (O), dan (Ob) memegang peranan

penting dalam menentukan keseimbangan yang terjadi. Dengan

demikian menurut teori ini perubahan sikap dapat dilakukan dengan

menciptakan kesamaan persepsi antara (I) dan (O) terhadap (Ob)

sikap (Azwar, 2010, p. 40-43).

b) Teori Konsistensi Afektif-Kognitif dari Rosenberg

Menurut Rosenberg (1960) dalam Fishbein and Ajzen (1965), teori

ini berasumsi bahwa komponen afeksi senantiasa berhubungan

dengan komponen kognisi dan hubungan tersebut dalam keadaan

konsisten. Orang berusaha membuat kognisinya konsisten dengan

afeksinya. Dengan kata lain, keyakinan seseorang, pendirian

seseorang dan pengeetahuan seseorang tentang suatu fakta sebagian

ditentukan oleh pilihan afeksinya. Konsekuensinya bila terjadi

perubahan dalam komponen afeksi akan menimbulkan perubahan

pada komponen kognisi. Untuk itu dalam mengubah sikap, maka

komponen afeksi diubah lebih dahulu kemudian akan mengubah

komponen kognisi serta diakhiri dengan perubahan sikap (Azwar,

2010, p. 51-52).
13

c) Teori Dimensi Kognitif dari Festinger

Menurut Leon Festinger (1957), asumsi dasar dari teori ini adalah

sikap berubah demi mempertahankan konsistensinya dengan

perilaku nyata. Seringkali manusia dihadapkan pada adanya konflik

antara berbagai kognisi, sikap, bahkan antara sikap dengan perilaku.

Keadaan ini disebut disonasi. Usaha mengurangi disonasi dapat

dilakukan dengan mengubah salah satu atau kedua unsure kognisi,

bahkan dapat juga dilakukan dengan menambah kognisi baru. Cara

spesifikyang dilakukan, menurut Azwar (2000), adalah dengan

mengubah perilaku, mengubah unsur kognisi dari lingkungan dan

menambah unsur kognisi yang baru (Azwar, 2010, p. 45).

d) Teori Kesesuaian Osgood dan Tannenbaum

Pokok prinsip kesesuaian (congruity principle) yang dirumuskan

oleh Osgood dan Tanennbaum (1955), dalam Secord and Backman

(1964) mengatakan baha unsure-unsur kognitif mempunyai valensi

positif atau valensi negatif dalam berbagai intensitas atau

mempunyai valensi nol. Unsur-unsur yang relevan satu sama lain

dapat mempunyai hubungan positif ataupun negatif. Kesesuaian

akan terjadi apabila kesemua hubungan bervalensi nol atau bila dua

diantaranya bervalensi negatif dengan intensitas yang sama (Azwar,

2010, p. 43).
14

e) Teori Fungsional Katz

Teori fungsional yang dikemukakan oleh Katz mengatakan bahwa

untuk memahami bagaimana sikap menerima dan menolak

perubahan haruslah berangkat dari dasar motivasional sikap itu

sendiri. Apa yang dimaksud oleh Katz sebagai dasar motivasional

merupakan fungsi sikap bagi individu yang bersangkutan (Azwar,

2010, p. 53).

f) Teori Tiga Proses Perubahan Kelman

Kelman (1958) dalam brigham (1991), mengemukakan teorinya

mengenai organisasi sikap dengan menekankan konsepsi mengenai

berbagai cara atau proses yang sangat berguna dalam memahami

fungsi pengaruh social terhadap perubahan sikap. Lebih jauh, teori

Kelman sangat relevan dengan permasalahan pengubahan sikap

manusia. Secara khusus Kelman menyebutkan adanya tiga proses

sosial yang berperan dalam proses perubahan sikap, yaitu

ketersediaan (compliance), identifikasi (identification) dan

internalisasi ( internalization).

g) Teori Nilai-Ekspektansi

Teori nilai-ekspentasi (expectancy-value theory) mengenai sikap

dikemukakan oleh banyak ahli psikologi. Edward Chace Tolman

(1932) dalam Hergenhahn (1982) mengemukakan konsepnya

mengenai perilaku bertujuan (purposive) dimana manusia belajar

akan suatu harapan atau ekspentasi yaitu rasa percaya bahwa suatu
15

respons perrilaku akan membawa pada suatu peristiwa atau hal

tertentu. Peristiwa atau nilai ini memiliki nilai positif apabila sesuai

dengan harapan (dalam istilah Tolman disebut konfirmasi) dan akan

memiliki nilai negatif apabila tidak sesuai dengan harapan atau tidak

terjadi konfirmasi. Konfirmasi akan memperkuat rasa percaya

manusia bahwa suatu respon memang akan membawa kepada hal

tertentu itu (kognisi). Jadi manusia belajar utuk megulang perilaku

yang memiliki nilai positif (Azwar, 2010, p. 58).

d. Komponen Sikap

Allport (1954) menjelaskan bahwa sikap itu mempunyai 3 komponen

pokok, yaitu:

1) Kepercayaan (keyakinan), ide dan konsep terhadap suatu objek.

2) Kehidupan emosional atau evaluasi terhadap suatu objek.

3) Kecenderungan untuk bertindak (tend to behave).

Ketiga komponen ini secara barsama-sama membentuk sikap yang utuh

(total attitude). Dalam penentuan sikap yang utuh ini, pengetahuan,

pikiran, keyakinan, dan emosi memegang peranan penting (Notoatmodjo,

2007, p. 144).

e. Tingkatan sikap

1) Menerima (receiving)

Menerima diartikan bahwa orang (subjek) mau dan memperhatikan

stimulus yang diberikan (objek).


16

2) Merespon (responding)

Memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan dan

menyelesaikan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap.

Karena dengan suatu usaha untuk menjawab pertanyaan atau

mengerjakan tugas yang diberikan, terlepas dari pekerjaan itu benar

atau salah adalah orang menerima ide tersebut.

3) Menghargai (valuing)

Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan suatu

masalah adalah indikasi sikap tingkat ketiga.

4) Bertanggungjawab (responsible)

Bertanggungjawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan

segala resiko merupakan sikap yang paling tinggi.

Pengukuran sikap dapat dilakukan secara langsung atau tidak

langsung. Secara langsung dapat ditanyakan bagaimana pendapat atau

pernyataan responden terhadap suatu objek. Secara langsung dapat

dilakukan dengan pernyataan-pernyataan hipotesis, kemudian

ditanyakan pendapat responden (Notoatmodjo, 2007, p. 144).

2. Pengetahuan

a. Pengertian Pengetahuan

Pengetahuan merupakan hasil tahu dan ini terjadi setelah orang

melakukan pengindraan terhadap suatu objek tertentu. Pengindraan

terjadi melalui pancaindra manusia yakni indra penglihatan,


17

pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan

melalui mata dan telinga (Notoatmodjo, 2007, p. 139).

b. Tingkat Pengetahuan

Pengetahuan yang tercakup dalam domain kognitif mempunyai 6

tingkatan, yaitu:

1) Tahu (know)

Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari

sebelumnya. Termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah

mengingat kembali (recall) sesuatu yang spesifik dari seluruh bahan

yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. Oleh sebab itu

tahu ini merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah.

2) Memahami (Comprehension)

Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan

secara benar tentang objek yang diketahui dan dapat

menginterpretasikan materi tersebut secara benar.

3) Aplikasi (aplication)

Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi

yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi real atau sebenarnya.

4) Analisis (analysis)

Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau

suatu objek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih di dalam

satu struktur organisasi dan masih ada kaitannya satu sama lain.
18

5) Sintesis (synthesis)

Sintesis menunjukkan kepada suatu kemampuan untuk meletakkan

atau menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk

keseluruhan yang baru.

6) Evaluasi (evaluation)

Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan

justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian-

penilaian itu didasarkan pada suatu kriteria yang ditentukan sendiri

atau menggunakan krtiteria yang telah ada (Notoatmodjo, 2007, p.

140-142).

c. Cara memperoleh pengetahuan

Dari berbagai macam cara yang telah digunakan untuk memperoleh

kebenaran pengetahuan sepanjang sejarah, dapat dikelompokkan mejadi

dua yaitu:

1) Cara memperoleh kebenaran non ilmiah

Cara-cara penemuan pengetahuan pada periode ini antara lain

meliputi:

a) Cara coba salah (Trial and Error)

Cara coba-coba ini dilakukan dengan menggunakan beberapa

kemungkinan dalam memecahkan masalah, dan apabila

kemungkinan tersebut tidak berhasil, dicoba kemungkinan yang

lain. Apabila kemungkinan kedua ini gagal pula, maka dicoba lagi

dengan kemungkinan ketiga dan apabila kemungkinan ketiga


19

gagal dicoba kemungkinan keempat dan seterusnya, sampai

masalah tersebut dapat terpecahkan.

b) Secara kebetulan

Penemuan kebenaran secara kebetulan terjadi karena tidak

sengaja oleh orang yang bersangkutan.

c) Kekuasaan atau otoritas

Kebiasaan ini biasanya diwariskan turun-temurun dari generasi ke

generasi ke generasi berikutnya. Kebiasaan seperti ini bukan

hanya terjadi pada masyarakat tradisional saja, melainkan juga

terjadi pada masyarakat modern. Sumber pengetahuan tersebut

dapat berupa pemimpin-pemimpin masyarakat baik formal

maupun informal, para pemuka agama, pemegang pemerintahan

dan sebagainya.

d) Berdasarkan pengalaman pribadi

Pengalaman adalah guru yang baik, demikian bunyi pepatah.

Pepatah ini mengandung maksud bahwa pengalaman itu

merupakan sumber pengetahuan atau merupakan cara untuk

memperoleh kebenaran pengetahuan.

e) Akal sehat (Common Sense)

Akal sehat atau common sense kadang-kadang dapat menemukan

teori atau kebenaran. Misal dengan menghukum anak sampai

sekarang berkembang menjadi teori atau kebenaran, bahwa

hukuman merupakan metode bagi pendidikan anak. Pemberian


20

hadiah dan hukuman masih dianut oleh banyak orang untuk

mendisiplinkan anak dalam konteks pendidikan.

f) Kebenaran malalui wahyu

Ajaran dan dogma agama adalah suatu kebenaran yang

diwahyukan dari Tuhan melalui para Nabi. Kebenaran ini harus

diterima oleh pengikut-pengikutnya, terlepas dari apakah

kebenaran tersebut rasional atau tidak. Sebab kebenaran ini

diterima oleh para Nabi adalah sebagai wahyu dan bukan karena

hasil usaha penalaran atau penyelidikan.

g) Kebenaran secara intuitif

Kebenaran secara intuitif diperoleh manusia secara cepat sekali

melalui proses diluar kesadaran dan tanpa melalui proses

penalaran atau berpikir.

h) Melalui jalan pikiran

Sejalan dengan perkembangan kebudayaan umat manusia, cara

berpikir manusiapun ikut berkembang. Dari sini manusia telah

mampu menggunakan penalarannya dalam memperoleh

pengetahuannya. Dengan kata lain, dalam memperoleh kebenaran

pengetahuan manusia telah menggunakan jalan pikirannya, baik

melalui induksi maupun deduksi.

i) Induksi

Induksi adalah proses penarikan kesimpulan yang dimulai dari

pernyataan-pernyataan khusus ke pernyataan yang bersifat umum.


21

Hal ini berarti dalam berpikir induksi pembuatan kesimpulan

tersebut berdasarkan pengalaman empiris yang ditangkap oleh

indra. Kemudian disimpulkan ke dalam suatu konsep yang

memungkinkan seseorang untuk memahami suatu gejala.

j) Deduksi

Deduksi adalah pembuatan kesimpulan dari pernyataan-

pernyataan umum ke khusus. Ariestoteles (384-322 SM)

mengembangkan cara berpikir deduksi ini kedalam suatu cara

yang disebut “silogisme”. Silogisme ini merupakan suatu bentuk

deduksi yang memungkinkan seseorang untuk dapat mencapai

kesimpulan yang lebih baik.

2) Cara ilmiah dalam memperoleh pengetahuan

Cara baru atau modern dalam memperolah pengetahuan pada dewasa

ini lebih sistematis, logis, dan ilmiah. Cara ini disebut metode

penelitian ilmiah atau lebih popular disebut metodologi penelitian

(research methodology). Pencatatan ini mencakup tiga hal pokok,

yaitu:

a) Segala sesuatu yang positif, yakni gejala tertentu yang muncul

pada saat dilakukan pengamatan.

b) Segala sesuatu yang negatif, yakni gejala tertentu yang tidak

muncul pada saat dilakukan pengamatan.


22

c) Gejala-gejala yang muncul secara bervariasi, yaitu gejala-gejala

yang berubah-ubah pada kondisi tertentu (Notoatmodjo,2010, p.

10-18).

d. Pengukuran pengetahuan

Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket

yang menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur dari subjek

penelitian atau responden (Notoatmodjo, 2007, p. 144).

3. Kehamilan

a. Pengertian kehamilan

Proses kehamilan merupakan mata rantai yang saling

berkesinambungan dan terdiri dari ovulasi pelepasan ovum, terjadi

migrasi spermatozoa dan ovum, terjadi konsepsi dan pertumbuhan zigot,

terjadi nidasi (implementasi) pada uterus, pembentukan plasenta dan

tumbuh kembang hasil konsepsi sampai aterm (Manuaba, 1998, p. 95).

Lamanya hamil normal adalah 280 hari (40 minggu atau 9 bulan 7 hari)

di hitung dari hari pertama haid terakhir (Sarwono, 2006, p. 89).

Jadi dapat disimpulkan kehamilan adalah pertemuan dan

persenyawaan antara sel telur (ovum) dan sel mani (spermatozoa).


23

b. Tanda dan gejala kehamilan

1) Tanda-tanda presumtif

a) Amenorea (tidak dapat haid)

Wanita harus mengetahui tanggal haid pertama haid terakhir

(HT) supaya dapat ditaksir umur kehamilan dan taksiran tanggal

persalinan (TTP).

b) Mual dan muntah (nausea and vomiting)

Biasanya terjadi pada bulan-bulan pertama kehamilan hingga

akhir triwulan pertama. Karena sering terjadi pada pagi hari,

disebut morning sickness (sakit pagi). Bila mual dan muntah

terlalu sering disebut hiperemesis.

c) Mengidam (ingin makanan khusus)

Ibu hamil sering meminta makanan atau minuman tertentu

terutama pada bulan-bulan triwulan pertama.

d) Tidak tahan suatu bau-bauan

e) Pingsan

Bila berada pada tempat-tempat ramai yang sesak dan padat bisa

pingsan.

f)Tidak ada selera makan (anoreksia)

Hanya berlangsung pada triwulan pertama kehamilan, kemudian

nafsu makan timbul kembali.

g) Lelah (fatigue)
24

h) Payudara membesar, tegang, dan sedikit nyeri, disebabkan

pengaruh estrogen dan progesteron yang merangsang duktus

dan alveoli payudara. Kelenjar Montgomery terlihat lebih

membesar.

i) Miksi sering, karena kandung kemih tertekan oleh rahim yang

membesar. Gejala ini akan hilang pada triwulan kedua

kehamilan. Pada akhir kehamilan, gejala ini kembali, karena

kandung kemih ditekan oleh kepala janin.

j) Konstipasi/obstipasi karena tonus otot-otot usus menurun oleh

pengaruh hormon steroid.

k) Pigmentasi kulit oleh pengaruh hormon kortikosteroid plasenta,

dijumpai di muka (chloasma gravidarum), areola payudara,

leher dan dinding perut (linea nigra=grisea).

l) Epulis : hipertofi dari papil gusi.

m) Pemekaran vena-vena (varices) dapat terjadi pada kaki, betis,

dan vulva biasanya dijumpai pada triwulan akhir.

2) Tanda-tanda kemungkinan hamil

a) Perut membesar

b) Uterus membesar : terjadi perubahan dalam bentuk, besar, dan

konsistensi dari rahim.

c) Tanda hegar : perubahan pada isthmus uteri (rahim) yang

menyebabkan isthmus menjadi lebih panjang dan lunak.


25

d) Tanda Chadwick : vulva dan vagina tampak merah dan kebiru-

biruan.

e) Tanda Piscaseck : pertumbuhan rahim yang sangat cepat di

daerah implantasi plasenta sehingga rahim bentuknya tidak

sama.

f)Kontraksi-kontraksi kecil uterus bila dirangsang= Braxton Hicks

g) Teraba Ballotement

h) Reaksi kehamilan positif

3) Tanda pasti (tanda positif)

a) Gerakan janin yang dapat dilihat, dirasa, atau diraba, juga bagian-

bagian janin.

b) Denyut jantung janin :

(1) Didengar dengan stetoskop-monoral Laennec

(2) Dicatat dan didengar dengan alat Doppler

(3) Dicatat dengan feto-elektro kardiogram

(4) Dilihat pada ultrasonografi

c) Terlihat tulang-tulang janin dalam foto-rontgen (Mochtar, 1998,

p. 43-45).

c. Perubahan fisiologik wanita hamil

1) Uterus

Uterus akan membesar pada bulan-bulan pertama dibawah pengaruh

estrogen dan progesteron yang kadarnya meningkat (Saifudin, 2009,

p. 175). Otot polos rahim mengalami hyperplasia dan hipertropi,


26

disamping itu serabut-serabut kolagen yang menjadi higroskopik

akibat meningkatnya kadar estrogen sehingga uterus menjadi lebih

besar, lunak, dan dapat mengikuti pertumbuhan janin

(Manuaba,1998, p. 106).

2) Seviks

Serviks uteri pada kehamilan juga mengalami perubahan karena

hormon estrogen. Jika korpus uteri mengandung lebih banyak

jaringan otot, maka serviks lebih banyak mengandung jaringan ikat,

hanya 10% jaringan otot. Jaringan ikat pada serviks ini banyak

mengandung estrogen. Akibat kadar estrogen meningkat dan dengan

adanya hiper vaskularisasi maka konsistensi serviks menjadi lebih

lunak (Saifudin, 2009, p. 177).

3) Vagina dan vulva

Karena pengaruh estrogen terjadi perubahan pada vagina. Akibat

hipervaskularisasi, vagina dan vulva terlihat lebih merah atau

kebiruan. Warna livid pada vagina dan portio serviks disebut tanda

chadwick (Mochtar, 1998, p. 36).

4) Ovarium (indung telur)

Dengan terjadinya kehamilan, indung telur yang mengandung korpus

luteum gravidarum akan meneruskan fungsinya sampai terbentuknya

plasenta yang sempurna pada umur 16 minggu. Kejadian ini tidak

dapat lepas dari kemampuan vili korialis yang mengeluarkan hormon


27

korionik gonadotropin yang mirip dengan hormon luteotropik

hipofisis anterior (Manuaba, 1998, p. 108).

5) Kulit

Pada daerah kulit terjadi hiperpigmentasi yaitu pada muka yang

disebut cloasma gravida, putting susu dan areola payudara, perut

disebut linea nigra striae dan juga pada vulva (Mochtar, 1998, p.

38). Estrogen dan progesteron diketahui mempunyai peran dalam

melanogenesis dan diduga bisa menjadi faktor pendorongnya

(Saifudin, 2009, p. 179).

6) Dinding perut (abdominal wall)

Pembesaran rahim menimbulkan peregangan dan menyebabkan

robeknya serabut elastis dibawah kulit, sehingga timbul strie

gravidarum. Bila terjadi peregangan yang hebat, misalnya pada

hidramnion dan kehamilan ganda, dapat diastasis rekti bahkan

hernia. Kulit perut pada linea alba bertambah pigmentasinya dan

disebut linea nigra (Mochtar, 1998, p. 36).

7) Tulang dan gigi

Persendian panggul akan terasa lebih longgar, karena ligamen-

ligamen melunak (softening). Juga tejadi sedikit pelebaran pada

ruang persendian. Apabila pemberian makanan tidak dapat

memenuhi kebutuhan kalsium janin, kalsium maternal pada tulang-

tulang panjang akan berkurang untuk memenuhi kebutuhan ini. Bila


28

konsumsi kalsium cukup, gigi tidak akan kekurangan kalsium

(Mochtar, 1998, p. 38).

8) Payudara (mammae)

Selama kehamilan, payudara bertambah besar, tegang dan berat.

Dapat teraba noduli-noduli, akibat hipertrofi kelenjar alveoli,

bayangan vena-vena lebih membiru. Hiperpigmentasi pada putting

susu dan areola payudara. Kalau diperas keluar air susu jolong

(kolostrum) berwarna kuning (Mochtar, 1998, p. 40).

9) Sirkulasi darah

Peredaran darah ibu dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti

meningkatnya kebutuhan sirkulasi darah sehingga dapat memenuhi

kebutuhan perkembangan dan pertumbuhan janin dalam rahim,

terjadi hubungan langsung antara arteri dan vena pada sirkulasi retro-

plasenter dan pengaruh hormon estrogen dan progesteron meningkat

(Manuaba, 1998, p. 108-109).

10) Sistem pencernaan

Karena pengaruh estrogen pengeluaran asam lambung meningkat

yang dapat menyebabkan pengeluaran air liur berlebihan

(hipersalivasi), daerah lambung terasa panas, terjadi mual dan

sakit/pusing kepala terutama pagi hari, yang disebut morning

sickness, muntah yang terjadi disebut emesis gravidarum, muntah

berlebihan sehingga mengganggu kehidupan sehari-hari disebut

hiperemesis gravidarum dan progesteron menimbulkan gerak usus


29

makin berkurang dan dapat menyebabkan obstipasi (Manuaba, 1998,

p. 109).

11) Sistem pernapasan

Wanita hamil kadang-kadang mengeluh sesak dan pendek napas. Hal

ini disebabkan oleh usus yang tertekan kearah diafragma akibat

pembesaran rahim. Kapasitas vital paru meningkat sedikit selama

hamil. Seorang wanita hamil selau bernapas lebih dalam. Yang lebih

menonjol adalah pernapasan dada (thoracic breathing) (Mochtar,

1998, p. 38).

4. HIV/AIDS

a. Pengertian HIV/AIDS

HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah virus golongan

RNA yang spesifik menyerang sistem kekebalan tubuh/imunitas manusia

dan menyebabkan AIDS. HIV positif adalah orang yang telah terinfeksi

virus HIV dan tubuh telah membentuk antibodi (zat anti) terhadap virus

tersebut (Modul PMTCT DepKes RI, 2008, p. 30).

AIDS (Aqcuired Immunodeficiency Syndrome/Sindroma

Defisiensi Imun Akut/SIDA) adalah kumpulan gejala klinis akibat

penurunan sistem imun yang timbul akibat infeksi HIV. AIDS sering

bermanifestasi dengan munculnya berbagai penyakit infeksi oportunistik,

keganasan, gangguan metabolisme dan lainnya (Modul PMTCT

DepkKes RI, 2008, p. 30).


30

b. Perjalanan Penyakit

Secara klinik gambaran yang terlihat terbagi dalam 4 tahap urutan yaitu:

1) Tahap infeksi primer (primary infection) yaitu beberapa minggu dari

saat infeksi ditandai dengan gejala umum seperti sakit pada

tenggorokan, nyeri otot, sendi, rasa lemah. Terdapat satu masa

transisi virus antigenemia yaitu antigen virus tidak dapat dideteksi di

dalam serum darah pengidap sebelum terbentuknya zat anti terhadap

virus HIV. Sesaat setelah terjadinya infeksi HIV pertama kali virus

akan bereplikasi dalam kelenjar limfe regional, terjadi peningkatan

jumlah virus secara cepat di dalam plasma. Fase ini disertai dengan

penyebaran HIV ke organ limfoid, saluran cerna dan organ genetalia.

Setelah mencapai puncak viremia, jumlah virus akan mmenurun

bersamaan dengan berkembangnya respon imunitas seluler

berhubungan dengan kondisi penyakit pada 60-90% pasien. Penyakit

muncul dalam kurun waktu 3 bulan setelah infeksi, dengan gejala

klinis menyerupai glandular fever like illness dengan ruam, demam,

nyeri kepala, malaise dan limfadenopati luas. Fase ini akan mereda

secara spontan dalam 14 hari.

2) Tahap infeksi dini/infeksi HIV asimtomatis yaitu tahap masa laten

virus dan lamanya berlangsung beberapa tahun sampai 5-10 tahun.

Biasanya Asimtomatik/beberapa dengan pembesaran kelenjar limfe.

Komplikasi dermatologis biasa terjadi seperti dermatitis seboroik

terutama pada garis rambut/lipatan nasolabial dan munculnya atau


31

memburuknya seseorang dengan penyakit psoriasis. Pada stadium ini

bisa muncul kondisi yang berhubungan dengan aktivasi imunitas

seperti purpura trombositopenia idiopatik, polimiositis, sindroma

Gullain-Barre dan Bell’s palsy.

3) Tahap infeksi menengah yaitu tahap reaktivasi virus HIV dengan

munculnya kembali antigen HIV dan turunnya jumlah limfosit T4.

Ada juga yang menyebut sebagai fase AIDS Related Complex yaitu

sutau keadaan yang ditandai dengan tanda-tanda konstitusional yang

menetap sekurang-kurangnya 3 bulan dan hasil laboratorium

minimal satu macam tanpa gejala infeksi oportunistik. Tanda-tanda

tersebut meliputi: peningkatan suhu badan 380C berlangsung terus-

menerus, penurunan berat badan sekitar 10% atau lebih, kelelahan

sampai hilangnya aktivitas dan keluarnya keringat pada malam hari.

Komplikasi dermatologis, oral dan konstitusional lebih sering terjadi

pada fase ini.

4) Tahap sakit HIV berat (severe HIV atau full blown AIDS) yaitu

ditandai oleh infeksi oportunistik dan neoplasma dengan angka

kematian yang tinggi dan persisten terhadap terapi (Nursalam, 2009,

p. 45).

c. Gejala HIV/AIDS

Menurut DepKes RI (1997) gejala klinis dari AIDS dibagi menjadi dua,

antara lain:
32

1) Gejala utama/mayor :

a) Demam berkepanjangan lebih dari tiga bulan.

b) Diare kronis lebih dari satu bulan berulang maupun terus-

menerus.

c) Penurunan berat badan lebih dari 10% dalam tiga bulan.

d) TBC.

2) Gejala minor :

a) Batuk kronis selam lebih dari satu bulan.

b) Infeksi pada mulut dan tenggorokan disebabkan jamur Candida

Albicans.

c) Pembengkakan kelenjar getah bening yang menetap di seluruh

tubuh.

d) Munculnya Herpes zoster berulang dan bercak-bercak gatal

diseluruh tubuh (Nursalam, 2009, p. 47).

d. Stadium HIV/AIDS

1) Stadium pertama : HIV

Infeksi dimulai dengan masuknya HIV dan diikuti terjadinya

perubahan serologi ketika antibodi terhadap virus tersebut berubah

dari negatif menjadi positif. Rentang waktu sejak HIV masuk ke

dalam tubuh sampai tes antibodi terhadap HIV menjadi positif

disebut window period. Lama window period antara satu sampai tiga

bulan, bahkan ada yang dapat berlangsung sampai enam bulan.


33

2) Stadium kedua : Asimptomatik (tanpa gejala)

Asimtomatik berarti bahwa di dalam organ tubuh terdapat HIV tetapi

tubuh tidak menunjukkan gejala-gejala. Keadaan ini dapat

berlangsung rerata selama 5-10 tahun. Cairan tubuh pasien

HIV/AIDS yang tampak sehat ini sudah dapat menularkan HIV

kepada orang lain.

3) Stadium ketiga : pembesaran kelenjar limfe secara menetap dan

merata (Persistent Generalized Lymphadenopathy), tidak hanya

muncul pada satu tempat saja dan berlangsung lebih satu bulan.

4) Stadium keempat : AIDS

Keadaan ini disertai adanya bermacam-macam penyakit, antara lain

penyakit konstitusional, penyakit syaraf dan penyakit infeksi

sekunder (Nuralam, 2009, p. 47).

e. Penularan HIV

1. Virus HIV dapat menular melalui enam cara, antara lain :

b) Hubungan seksual dengan pengidap HIV/AIDS

Menurut PELKESI (1995) hubungan seksual secara vagina,

anal, dan oral dengan penderita HIV tanpa perlindungan bisa

menularkan HIV. Selama hubungan seksual berlangsung, air

mani, cairan vagina dan darah dapat mengenai selaput lender

vagina, penis, dubur, atau mulut sehingga HIV yang terdapat

dalam cairan tersebut masuk ke aliran darah. Menurut Syaiful

(2000), selama berhubungan juga bisa terjadi lesi mikro pada


34

dinding vagina, dubur dan mulut yang bisa menjadi jalan HIV

untuk masuk ke aliran darah pasangan seksual.

c) Ibu pada bayinya

Penularan HIV dari ibu bisa terjadi pada saat kehamilan (in

utero). Berdasarkan laporan CDC Amerika, prevalensi

penularan HIV dari ibu ke bayi adalah 0,01% sampai 0,7%.

Manurut PELKESI (1995) bila ibu baru terinfeksi HIV dan

belum ada gejala AIDS, kemungkinan bayi terinfeksi sebanyak

20% sampai 35%, sedangkan kalau gejala AIDS sudah jelas

pada ibu kemungkinan mencapai 50%. Menurut Lily V (2004),

penularan juga terjadi selama proses persalinan melalui transfusi

fetomaternal atau kontak antara kulit atau membran mukosa

bayi dengan darah atau sekresi maternal saat melahirkan.

Menurut HIS dan STB (2000), semakin lama proses melahirkan,

semakin besar resiko penularan. Oleh karena itu, lama

persalinan bisa dipersingkat dengan operasi sectio caesaria.

Menurut Lily V (2004), transmisi lain terjadi selama periode

post partum melalui ASI. Resiko bayi tertular melalui ASI dari

ibu yang positif sekitar 10%.

d) Darah dan produk darah yang tercemar HIV/AIDS

Sangat cepat menularkan HIV karena virus langsung masuk ke

pembuluh darah dan menyebar ke seluruh tubuh.


35

e) Pemakaian alat kesehatan yang tidak steril

Menurut PELKESI (1995), alat pemeriksaan kandungan seperti

speculum, tenakulum dan alat-alat lain yang menyentuh darah,

cairan vagina atau air mani yang terinfeksi HIV dan langsung

digunakan untuk orang lain yang tidak terinfeksi bisa

menularkan HIV.

f)Alat-alat untuk menoreh kulit

Alat tajam dan runcing seperti jarum, pisau, silet, menyunat

seseorang, membuat tato, memotong rambut dan sebagainya

bisa menularkan HIV sebab alat tersebut mungkin dipakai tanpa

disterilkan terlebih dahulu.

g) Menggunakan jarum suntik secara bergantian

Jarum suntik yang digunakan di fasilitas kesehatan, maupun

yang digunakan oleh para pengguna narkoba (Injecting Drug

User—IDU) sangat berpotensi menularkan HIV. Selain jarum

suntik, pada para pemakai IDU secara bersama-sama juga

,menggunakan tempat penyampur, pengaduk dan gelas

pengoplos obat, sehingga berpotensi tinggi untuk menularkan

HIV (Nursalam, 2009, p. 51-52).

2. HIV tidak ditularkan melalui cara-cara sebagai berikut :

a) Bersenggolan

b) Berjabat tangan

c) Bersentuhan (pakaian bekas dengan penderita)


36

d) Hidup serumah dengan ODHA

e) Berciuman biasa

f)Makanan/minuman

g) Berenang bersama

h) Gigitan nyamuk

i) Sabun mandi

j) Toilet (Modul PMTCT DepKes RI, 2008, p. 31)

f. Pencegahan HIV/AIDS (Dinkes Kota Semarang, 2006)

1) Melakukan hubungan seksual hanya dengan satu pasangan yang

setia.

2) Menggunakan kondom ketika melakukan hubungan seksual dengan

benar dan konsisten

3) Setiap darah transfusi di cek terhadap HIV.

4) Menghindari injeksi, pemeriksaan dalam, prosedur pembedahan

yang tidak steril dari petugas kesehatan yang tidak

bertanggungjawab.

5) Testing dan konseling ibu hamil.

6) Pemberian obat antiretroviral bagi ibu hamil yang mengidap HIV.

g. Pemeriksaan

Dua tekhnik yang digunakan dalam pemeriksaan adalah enzyme-

linked immunosorbent assay (ELISA) dan Western Blot assay. ELISA

digunakan sebagai uji saring awal karena lebih murah dibandingkan

pemeriksaan Western blot dan lebih mudah digunakan untuk menskrining


37

sejumlah besar sampel (Kaplan, 1997, p. 560). Tes ELISA sangat sensitif

tapi tidak selalu spesifik, karena penyakit lain juga bisa menunjukkan

hasil positif. Beberapa penyakit yang bisa menyebabkan false positif,

antara lain penyakit autoimun, infeksi virus, atau keganasan hematologi.

Kehamilan juga bisa menunjukkan false positif. Tes lain yang biasanya

digunakan untuk mengonfirmasi hasil ELISA antara lain: Western Blot

(WB), Indirect Immunofluoresence Assay (IFA) ataupun Radio-Immuno-

Precipitation-Assay (RIPA).

Western Blot mungkin juga tidak dapat menyimpulkan seseorang

menderita HIV atau tidak, karena tes ini harus diulang-ulang. Adapula tes

PCR (Polymerase Chain Reaction) yang digunakan untuk DNA dan

RNA virus HIV yang sangat sensitif dan spesifik untuk infeksi HIV. Tes

ini sering digunakan bila hasil tes yang lain tidak jelas. Begitu pasien

didiagnosis HIV maka tingkat kerusakan kekebalan tubuh dapat diukur

dengan limfosit CD4 untuk mengetahui kuantitas imunologi pasien dan

juga stadium klinis HIV. WHO juga mengembangkan kriteria stadium

klinis berdasarkan total limfosit (Nursalam, 2009, p. 56-57).

h. Pengobatan/penatalaksanaan HIV/AIDS

HIV menyebabkan terjadinya penurunan kekebalan tubuh

sehingga pasien rentan terhadap serangan infeksi oportunistik.

Antiretroviral (ARV) bisa diberikan pada pasien untuk menghentikan

aktifitas virus, memulihkan sistem imun dan mengurangi terjadinya

infeksi oportunistik, memperbaiki kualitas hidup dan menurunkan


38

kecacatan. ARV tidak menyembuhkan pasien HIV, namun bisa

memperbaiki kualitas hidup dan memperpanjang usia harapan hidup

penderita HIV/AIDS.

1) Tujuan pemberian ARV

a. Menghentikan replikasi HIV.

b. Memulihkan sistem imun dan mengurangi terjadinya infeksi

oportunistik.

c. Memperbaiki kualitas hidup.

d. Menurunkan morbiditas dan mortalitas karena infeksi HIV

(Nursalam, 2009, p. 98).

2) Jenis obat ARV

a) Nucleoside reverse transcriptase inhibitor (NRTI).

Obat ini sebagai analog nukleosida yang menghambat proses

perubahan RNA virus menjadi DNA (proses ini dilakukan oleh

virus HIV agar bisa bereplikasi).

b) Nucleotide reverse transcriptase inhibitor (NtRTI). Yang

termasuk dalam golongan ini adalah Tenofovir (TDF).

c) Non-nucleoside reverse transcriptase inhibitor (NNRTI).

Golongan ini juga bekerja dengan menghambat proses

perubahan RNA menjadi DNA dengan cara mengikat reverse

transcriptase sehingga tidak berfungsi.


39

d) Protease inhibitor (PI) menghalangi kerja enzim protease yang

berfungsi memotong DNA yang dibentuk oleh virus dengan

ukuran yang benar untuk memproduksi virus baru.

e) Fusion inhibitor. Yang termasuk golongan ini adalah

Enfuvirtide (T-20) (Nursalam, 2009, p. 99-100).

3) Efek samping pemberian ARV

a) NRTI pada umumnya pada obat jenis ini memiliki efek samping

berupa terjadinya toksisitas mitokondrial dan asisosis

laktat/toksisitas hepar.

b) NNRTI untuk obat jenis ini efek sampingnya adalah adanya

ruam kulit dan hepatitis (Nursalam, 2009, p. 110).

5. VCT (Voluntary Counseling and Test)

a. Pengertian VCT

VCT adalah suatu pembinaan dua arah atau dialog yang berlangsung tak

terputus antara konselor dan kliennya dengan tujuan untuk mencegah

penularan HIV, memberikan dukungan moral, informasi, serta dukungan

lainnya kepada ODHA, keluarga dan lingkungannya.

b. Tujuan VCT

1) Upaya pencegahan HIV/AIDS.

2) Upaya mengurangi kegelisahan, meningkatkan persepsi/pengetahuan

mereka tentang faktor-faktor resiko penyebab seseorang terinfeksi

HIV.
40

3) Upaya pembangunan perubahan perilaku sehingga secara dini

mengarahkan mereka menuju program pelayanan dan dukungan

termasuk akses terapi antiretroviral, serta membantu mengurangi

stigma dalam masyarakat.

c. Tahap-tahap VCT

a. Sebelum deteksi HIV (Pra-konseling)

Pra-konseling juga disebut konseling pencegahan AIDS. Hal yang

perlu ditanyakan oleh konselor adalah ada tidaknya sumber

dukungan moral dalam hidup klien yang dapat membantu ketika

menunggu hasil tes sampai hasil diagnosis keluar.

Tujuan konseling pra-tes antara lain:

a) Klien memahami benar kegunaan tes HIV/AIDS.

b) Klien dapat menilai resiko dan mengerti persoalan dirinya.

c) Klien dapat menurunkan rasa kecemasan.

d) Klien dapat membuat rencana penyesuaian diri dalam

kehidupannya.

e) Klien memilih dan memahami apakah akan melakukan tes darah

HIV/AIDS atau tidak.

Prinsip konseling pra-tes HIV yaitu:

a) Motif dari klien HIV/AIDS.

Klien yang secara sukarela dan yang secara paksa berbeda

dalam menghadapi segala kemungkinan, baik pra-tes atau pasca-

tes.
41

b) Interpretasi hasil pemeriksaan.

Menjelaskan tentang uji saring atau skrining dan tes konfirmasi,

asimptomatik atau gejala nyata, tidak dapat disembuhkan (HIV)

tetapi dapat diobati (infeksi sekunder).

c) Estimasi hasil.

Mulai dari pengkajian resiko bukan hasil yang diharapkan dan

masa jendela.

d) Rencana ketika hasil diperoleh.

Apa saja yang harus dilakukan klien ketika telah mengetahui

hasil pemeriksaan baik positif maupun negatif.

e) Pembuatan keputusan

Klien dapat memutuskan untuk mau atau tidak mau diambil

darahnya guna dilakukan pemeriksaan HIV.

b. Deteksi HIV (sesuai keinginan dan setelah klien menandatangani

lembar persetujuan-informed consent)

Tes HIV adalah tes darah yang digunakan untuk memastikan apakah

seseorang sudah positif HIV atau belum. Caranya adalah dengan

mendeteksi ada tidaknya antibodi HIV dalam sampel darahnya. Hal

ini perlu dilakukan agar seseorang mengetahui secara pasti status

kesehatan dirinya terutama status yang menyangkut resiko dari

perilakunya selama ini. Tes HIV ini harus bersifat sukarela, rahasia

dan tidak boleh diwakilkan kepada orang lain.


42

c. Pasca-konseling

Pasca-konseling merupakan kegiatan yang harus diberikan setelah

tes diketahui, baik hasilnya positif ataupun negatif. Konseling pasca-

tes sangat penting untuk membantu mereka yang hasilnya positif

agar dapat mengetahui cara menghindarkan penularan HIV kepada

orang lain. Bagi mereka yang hasil tesnya negatif, maka konseling

pasca-tes bermanfaat untuk membantu tentang berbagai cara

mencegah infeksi HIV di masa mendatang.

Tujuan konseling pasca-tes dengan hasil negatif:

a) Memahami arti periode jendela.

b) Membuat keputusan akan tes ulang atau tidak, kapan waktu

yang tepat untuk mengulang.

c) Mengembangkan pedoman praktis bagi dirinya untuk

mengurangi resiko melalui perilakunya.

Jika hasil tes nya positif:

a) Memahami dan menerima hasil tes secara tepat.

b) Menurunkan masalah psikologis dan emosi karena hasil tes.

c) Menyesuaikan kondisi dirinya dengan infeksi dan menyusun

pemecahan masalah serta dapat menikmati hidup.

d) Mengembangkan pedoman praktis bagi dirinya untuk

mengurangi resiko melalui perilakunya (Nursalam, 2009, p. 76-

78).
43

B. Kerangka Teori

Dari uraian tinjauan pustaka diatas, maka disusun kerangka teori sebagai

berikut:

Pengetahuan ibu hamil Sikap terhadap


tentang HIV/AIDS dan konseling dan
konseling dan tes tes HIV/AIDS
HIV/AIDS secara sukarela

Perilaku

a. Keyakinan ibu hamil Niat untuk untuk

bahwa dia atau mengikuti mengikuti

kelompok tertentu konseling dan konseling

berpikir apakah dia tes HIV/AIDS dan tes

sebaiknya melakukan secara sukarela HIV/AIDS

konseling dan tes secara

HIV/AIDS secara sukarela

sukarela atau tidak


b. Motivasi untuk
mengikuti konseling dan
Norma subjektif
tes HIV/AIDS secara
sukarela

Gambar 2.1. Model teori tindakan beralasan dari Ajzen dan Fishbein (1980)

Sumber : Azwar, S. 2010, p. 12.


44

C. Kerangka konsep

Dari uraian tinjauan pustaka diatas, maka disusun kerangka konsep sebagai

berikut:

Variabel Independent Variabel Dependent

Pengetahuan ibu Sikap terhadap konseling


hamil tentang dan tes HIV/AIDS
HIV/AIDS dan VCT secara sukarela

Gambar 2.2. Kerangka konsep

D. Hipotesis

Berdasarkan rumusan tujuan penelitian, maka hipotesis penelitian ini

adalah:

1. Ada hubungan antara pengetahuan ibu hamil tentang HIV/AIDS dan VCT

dengan sikap terhadap konseling dan tes HIV/AIDS secara sukarela di

Puskesmas Karangdoro Semarang.

Anda mungkin juga menyukai