Anda di halaman 1dari 16

SATUAN LINGUAL PENGUNGKAP KEARIFAN LOKAL

DALAM UPAYA PELESTARIAN LINGKUNGAN


PADA MASYARAKAT TUTUR KABUPATEN MAGELANG
Alief Nur Setiasari* dan Hari Bakti Mardikantoro**
Sastra Indonesia Fakultas Bahasa dan Seni
Universitas Negeri Semarang Indonesia

arliph53@yahoo.co.id
Abstrak
Penelitian ini bertujuan mengetahui bentuk satuan lingual, fungsi satuan
lingual, dan makna budaya satuan lingual pengungkap kearifan lokal dalam
melestarikan lingkungan di masyarakat Magelang. Pendekatan penelitian
digunakan pendekatan teoretis etnolinguistik dan pendekatan metodologis
deskriptif kualitatif. Pengambilan data penelitian ini menggunakan metode simak.
Analisis data digunakan metode padan translasional dan metode agih. Hasil
penelitian memperoleh data berupa kata, kalimat, dan wacana di dalam
masyarakat tutur Kabupaten Magelang. Bentuk satuan lingual tersebut juga
memiliki fungsi praktis dan fungsi kultural. Makna budaya yang ditemukan dalam
satuan lingual tersebut mencerminkan kearifan lokal dan kebudayaan yang
dimiliki oleh masyarakat tutur di Kabupaten Magelang.
Kata kunci: kearifan lokal;pelestarian lingkungan; satuan ligual
Abstrac
The aim of this research is to know about the shape of lingual units,
lingual units function, and the cultural meaning of lingual units as well to reveal
local wisdom in Magelang society. This research use the ethnolinguistic approach
and descriptive qualitative methodological approach. Collecting data refer to the
method used in this study. Data analysis used translational padan method and agih
method. The result of the study obtained data in the form of words, sentences, and
discourse in Magelang district speech community. The lingual unit forms also
have a practical function and cultural function. Cultural meanings found in the
lingual units reflects local wisdom dan culture by the people in Magelang society.
Key words: lingual units; local wisdom; surroundings preservation
*Mahasiswa Sastra Indonesia
**Dosen Bahasa dan Sastra Indonesia

1
PENDAHULUAN

Masyarakat Indonesia adalah masyarakat majemuk dengan ciri yang


menonjol dari kemajemukan masyarakat yaitu penekanan pada pentingnya
kesukubangsaan yang terwujud dalam bentuk komunitas suku bangsa. Saat ini
terdapat lebih dari 300 etnik yang ada di Indonesia. Setiap etnik memiliki
karakteristik yang berbeda-beda baik dari segi bahasa, identitas kultural, maupun
adat istiadatnya.

Suku Jawa merupakan etnik terbesar di Indonesia. Setiap suku mempunyai


bahasa sebagai identitas, begitu pula dengan suku Jawa pengguna bahasa Jawa.
Bahasa Jawa merupakan bahasa ibu pada masyarakat Jawa. Dalam masyarakat
Jawa, nilai kearifan lokal salah satunya tercermin dalam bahasa yang digunakan
untuk menyampaikan pikiran dan perasaannya. Penyampaian pikiran dan perasaan
itu terkadang secara tidak langsung, penuh dengan simbol, kode-kode, perantara,
penuh hati-hati, dan penuh penghormatan kepada mitra bicara, dengan maksud
agar tidak menyinggung perasaannya. Hal ini juga terjadi karena latar belakang
masyarakat dan budaya Jawa yang masih tradisional dan menggunakan tata
krama dengan adanya undha-usuk bahasa. Undha-usuk bahasa tersebut merupakan
bukti linguistik bahwa masyarakat Jawa memiliki stratifikasi sosial yang
kompleks.
Bahasa menjadi saranapengungkap kearifan lokal dalam upaya pelestarian
lingkungan. Bahasa berfungsi sebagai alat mengungkapkan ide, gagasan, dan
komunikasi antar personal atau kelompok.
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: 1) bagaimana bentuk satuan
lingual pengungkap kearifan lokal dalam melestarikan lingkungan pada
masyarakat tutur di Kabupaten Magelang, 2) bagaimana fungsi satuan lingual
pengungkap kearifan lokal dalam melestarikan lingkungan pada masyarakat tutur
di Kabupaten Magelang, dan 3) bagaimana makna budaya yang tercermin di
dalam satuan lingual pengungkap kearifan lokal dalam melestarikan lingkungan
pada masyarakat tutur di Kabupaten Magelang. Tujuan dari penelitian ini yaitu: 1)

2
mendeskripsikan bentuk satuan lingual pengungkap kearifan lokal dalam
melestarikan lingkungan pada masyarakat tutur di Kabupaten Magelang, 2)
mendeskripsikan fungsi satuanlingual pengungkap kearifan lokal dalam
melestarikan lingkungan pada masyarakat tutur Kabupaten Magelang, 3)
mendeskripsikan makna fungsi budaya yang tercermin dalam satuan lingual
pengungkap kearifan lokal dalam melestarikan lingkungan pada masyarakt tutur
Kabupaten Magelang.

Beberapa penelitian yang telah dilakukan sebelumnya berkaitan dengan


penelitian satuan lingual sebagai pengungkap kearifan lokal di antaranya:

Widodo (2012) dalam penelitian yang berjudul “Petangan Tradition In


Javanese Personal Naming Practice: An Ethnolinguistic Study” mendeskripsikan
petangan, suatu bentuk tradisi yang termasuk warisan budaya Jawa. Petangan
(studi perhitungan) memainkan peran penting dalam budaya Jawa. Tradisi
petangan pertama kali muncul berabad-abad yang lalu, pada waktu itu telah
dikembangkan dan dicatat dalam kedua tradisi tertulis maupun lisan. Ruang
lingkup penelitian ini berfokus pada studi tentang tradisi petangan dalam
kaitannya dengan praktik penamaan pribadi.
Mardikantoro (2013) dalam penelitian berjudul “Bahasa
Jawasebagai Pengungkap Kearifan Lokal Masyarakat Samin di Kabupaten Blora”
mengungkapkan bahwa bahasa tidak dapat dilepaskan dengan budaya masyarakat
penuturnya. Bahasa Jawa yang digunakan oleh masyarakat Samin bisa
menjelaskan fenomena hubungan antara bahasa dan budaya masyarakat
penuturnya. Kearifan lokal yang diungkapkan dalam penelitian ini menyangkut
hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat Samin.
Etnolinguistik berasal dari kata “etnologi” dan “linguistik, yang lahir
karena adanya penggabungan antara pendekatan yang biasa dilakukan oleh para
ahli etnologi dengan pendekatan linguistik. Etnolinguistik merupakan bidang studi
terbentuknya kebudayaan dan keterkaitannya dengsn bahasa, serta bagaimana
kebudayaan yang terbentuk tersebut terus-menerus mengalami perubahan, baik

3
secara disadari maupun tidak oleh para pendukung kebudayaan itu sendiri,
sebagaimana tercermin dari bahasa yang mereka gunakan (Ahimsa1997).
Sataun lingual yang dianalisis penelitian ini berupa kata, frasa, klausa,
kalimat, dan wacana. Satuan-satuan lingual tersebut termasuk ke dalam
pengungkap kearifan lokal ada masyarakat tutur di Kabupaten Magelang. Satuan-
satuan lingual tersebut memiliki makna tersendiri dan berpengaruh dalam
kehidupan masyarakat tutur di Kabupaten Magelang.
Kearifan lokal merupakan kecerdasan manusia yang dimiliki oleh
kelompok etnik tertentu yang diperoleh melalui pengalaman masyarakat. Artinya,
kearifan lokal adalah hasil dari masyarakat tertentu melalui pengalaman mereka
dan belum tentu dialami oleh masyarakat lain. Nilai-nilai tersebut akan melekat
sangat kuat pada masyarakat tertentu dan nilai itu sudah melalui perjalanan waktu
yang panjang, sepanjang keberadaan masyarakat tersebut.

METODE
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
teoretis dan pendekatan metodologis. Pendekatan teoretis penelitian ini adalah
pendekatan etnolinguistik, yaitu pendekatan berkaitan dengan teori atau ilmu yang
menyelidiki hubungan antara bahasa dan masyarakat pedesaan atau masyarakat
yang belum mempunyai tulisan, atau menyelidiki hubungan bahasa dan sikap
bahasawan terhadap bahasa.
Pendekatan metodologis yang digunakan dalam penelitian ini adalah
pedekatan deskriptif kualitatif. Pendekatan deskriptif dapat diartikan sebagai
prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan atau
melukiskan keadaan subjek atau objek penelitian pada saat sekarang berdasarkan
fakta-fakta yang tampak atau yang sebagaimana adanya.
Data dalam penelitian ini berupa kata, frasa, kalimat, dan wacana yang
diucapkan penutur dalam melestarikan lingkungan. Sumber data dalam penelitian
ini adalah wacana yang digunakan untuk mengungkap kearifan lokal dalam
melestarikan lingkungan pada masyarakat tutur di Kabupaten Magelang. Data

4
diambil dibeberapa kecamatan di Kabupaten Magelang yaitu Kecamatan
Kaliangkrik, Kecamatan Pakis, Kecamatan Windusari, dan Kecamatan Tegalrejo.
Pengambilan data penelitian ini menggunakan metode simak. Metode
simak merupakan cara pengumpulan data dengan menyimak penggunaan bahasa
(Sudaryanto 1993). Metode simak yang dimaksud dengan penelitian ini adalah
menyimak tuturan yang diucapkan informan dalam melestarikan lingkungan.
Selain itu peneliti juga menggunakan teknik lanjutan yaitu teknik simak libat
cakap (SLB). Peneliti terlibat langsung dalam dialog. Di samping memperhatikan
penggunaan bahasa mitra tuturnya juga ikut serta dalam pembicaraan mitra
tuturnya itu.
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan teknik
rekam, artinya peneliti merekam semua tuturan yang diucapkan oleh informan
berkaitan dengan satuan lingual pengungkap kearifan lokal dalam melestarikan
lingkungan pada masyarakat tutur di Kabupaten Magelang. Selain merekam
dilakukan pula teknik catat yaitu mencatat semua tuturan yang diucapkan
informan pada kartu data dan dilanjuktkan dengan klasifikasi.
Metode yang digunakan dalam analisis data menggunakan metode agih
dan metode padan. Dasar penentu dalam kerja metode agih adalah teknik
pemilihan data berdasarkan kategori atau kriteria tertentu dari segi
kegramatikalan sesuai dengan ciri-ciri alami yang dimiliki oleh data penelitian.
Metode padan alat penentunya berada di luar, terlepas, dan tidak menjadi bagian
dari bahasa (langue) yang bersangkutan.
Pemaparan hasil analisis data ini merupakan langkah selanjutnya setelah
selesai analisis data. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
informal dan formal. Penyajian hasil analisis data secara informal adalah
penyajian hasil analisis data dengan menggunakan kata-kata biasa.
Dengan metode informal penjelasan tentang bentuk dan makna satuan
lingual pengungkap kearifan lokal dalam melestarikan lingkungan pada
masyarakat tutur di Kabupaten Magelang menjadi lebih rinci. Sedangkan
penyajian hasil analisis data secara formal adalah penyajian hasil analisis data
dengan menggunakan kaidah.

5
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASA

Bentuk Satuan Lingual Pengungkap Kearfian Lokal dalam Melestarikan


Lingkungan pada Masyarakat Tutur di Kabupaten Magelang
Satuan lingual yang digunakanolehmasyarakat di
KabupatenMagelangdalammengungkapkearifanlokalberkaitandenganpelestarianli
ngkunganberupa kata, kalimat, danwacana.Ungkapan-ungkapantersebut
biasanyaberupalarangandanwejangandari orang tuauntukgenerasimuda.Berikut ini
bentuk satuan lingual yang mengungkap kearifan lokal sebagai upaya untuk
melestarikan lingkungan pada masyarakat tutur di Kabupaten Magelang
Kata
(1) Matun
[matUn] ‘mencabut rumput liar yang tumbuh dipersawahan’.
Kata ‘matun’ memiliki arti yakni sebuah pekerjaan mencabuti rumput liar tanpa
menggunakan alat yang dilakukan di tanah persawahan. Kegiatan itu bertujuan
untuk membersihan tanah persawahan dari rumput liar dan juga supaya tidak
mengganggu pertumbuhan padi. Oleh karena itu, padi yang ditanam oleh para
petani dapat tumbuh dengan baik dan menghasilkan beras dengan kualitas bagus.
Hal itu menjadi salahsatu bentuk upaya untuk melestarikan lingkungan dalam hal
bercocok tanam khususnya tanaman padi.
(2) Ndhangir
[ndaer] ‘mencabut rumput kering atau liar di tanah pekarangan’.
Kata ‘ndangir’ memiliki arti yakni kegiatan mencabut rumput tanpa menggunakan
alat di tanah kering. Kegiatan ini dilakukan di pekarangan rumah atau kebun.
‘Ndangir’ dilakukan untuk menjaga kelestarian tumbuhan utama yang ada di
perkebunan itu sehingga tanaman pokok akan tumbuh dengan subur tanpa
terganggu oleh rumput-rumput liar yang mengganggu. Jika tumbuhan dapat
berkembangbiak dengan baik maka akan berdampak terhadap alam sekitar.
Tumbuhan yang berkembang dengan baik akan menyerap banyak banyak air
hujan dan menyimpannya di akar. Hal itu dapat mencegah kekeringan dimusim
kemarau dan membantu menjaga keseimbangan alam.

6
Data (1) dan (2) merupakan satuan lingual dalam tuturan bahasa Jawa yang
berbentuk kata. Kedua tuturan tersebut memiliki arti yang hampir sama apabila
dilihat secara umum yaitu membersihkan rumput atau tanaman liar. Akan tetapi
jika diteliti teliti lebih spesifik kedua tuturan itu berbeda dalam pengunannya di
masyarakat tutur Kabupaten Magelang. Kata matun dalam data (1) merupakan
satuan lingual yang dituturkan oleh masyarakat tutur di Kabupaten Magelang
ketika melakukan kegiatan mencabuti rumput atau tanaman liar di area
persawahan yang menjadi hama bagi tanaman padi. Hal itu berbeda dengan
penggunaan kata ndagir dalam data (2) yang hanya digunakan masyarakat tutur
dalam aktivitas mencabuti rumput atau tanaman liar bukan di area persawahan.
Kegiatan ndangir dilakukan di tanah yang kering dan rumput yang dicabuti
dalam kegiatan ngadir hanyalah rumput yang tidak berguna.
Kalimat
Berikut ini beberapa kalimat yang mengandung unsur pelestarian
lingkungan dalam masyarakat tutur Kabupaten Magelang.
(3) Aja adus ning kali yen wayah bedhug, mengko ndak ono ulo.
[j adus neng kali yn wayʌh bdUg, mko ndʌ?n ul]
‘jangan mandi di sungai pada saat waktu adzan Dzuhur karena nanti ada
ular”.
Kalimat tersebut memiliki makna bahwa tidak boleh mandi di sungai terutama
pada waktu tengah hari atau mejelang azan zuhur karena akan didatangi oleh
seekor ular. Larangan tersebut memberikan dampak yang baik bagi keberadaan
populasi ular di alam liar. Oleh karena itu nasihat pada data (3) menjadi salah satu
bentuk menjaga keseimbangan alam dan upaya untuk tetap melestarikan
lingkungan.
(4) Aja dolanan neng cedhak uwit gedhe kuwi, mergo akeh sek ngenggoni.
[j dolanan ne cdʌ? uwet gde kuwi, mrg akeh se? gni]
‘Jangan bermain di dekat pohon besar karena banyak penunggunya.’
Kalimat tersebut memiliki arti bahwa ketika bermain hendaknya tidak di bawah
atau di dekat pohon besar karena di pohon itu banyak penghuninya. Kepercayaan
tentang makhluk gaib yang menghuni pohon besar menjadi satu cara untuk

7
melestarikan lingkungan di masyarakat Magelang. Masyarakat tidak akan
menebang pohon sembarangan. Pohon dengan ukuran besar otomatis memiliki
akar yang kuat dan daun yang lebat. Dua kelebihan itu menjadikan pohon dengan
ukuran besar bisa menyerap air lebih banyak dan menjadi tanah dari longsor.
Wacana
Pengungkap kearifan lokal dalam upaya untuk melestarikan lingkungan di
masyarakat tutur Kabupaten Magelang ada yang berbentuk wacana. Wacana
tersebut digunakan masyarakat sebagi salah satu bentuk saran penyampaian
sebuah budaya untuk tetap melestarikan lingkungan. Berikut ini wacana-wacana
yang menjadi saran penyapaian informasi untuk melestarikan lingkungan.
(5) Yeng ngethok uwit gedhe kui kudu disranani. Amarga biasane akeh
penunggune lan kramat. Mula kudu disranani supaya ora dadi
perkarakangga uwong sek ngethok utawa uwong ning sekitare.
[yn t? wet gde kui kudu disrananI. Amargbiasan akh
pnugune lan kramat. mul kudu disranani supy ora dadi prkr
kag uw s? t? utw ne skitar]
‘Jika menebang pohon besar itu harus disranani. Karena banyak
penguninya dan keramat. Oleh sebab itu disranani agar tidak
menimbulkan malapetaka bagi orang yang memotong atau orang disekitar
tempat itu.’
Penggalan wacana tersebut memiliki arti sebelum melakukan kegiatan
menebang pohon besar hendaknya dilakukan beberapa ritual terlebih dahulu untuk
menjaga keselamatan si penebang atau warga sekitar pohon itu tumbuh. Hal itu
dilakukan karena masyarakat sekitar masih mempercayai kepercayan dinamisme,
bahwa sebuah pohon besar pasti ada yang mendiami. Wacana tersebut menjadi
salah satu bentuk upaya pencegahan penebangan pohon secara liar dan tanpa
tanggung jawab. Dengan adanya wacana tersebut penebangan pohon terutama
pohon tadah hujan dapat dikontrol.
(6) Saben setahun sepisan dianaake acara desa yaiku nyadran. Arupa berseh
kuburan ndeso lan bareng-bareng mangan sego weton seko warga.

8
[sabn stahun spisan dianaak acara dsa yaiku ñadran. Arupo
brsh kuburan nds lan bar-bar maan sg wtn sk warg].
‘Setiap tahun sekali diadakan acara desa yaitu nyadran.Berupaberseh
kuburan desa dan bersama-sama makan nasi yang dibawaolehwarga.’
Wacana tersebut memiliki arti bahwa masyarakat Kabupaten Magelang memiliki
tradisi berupa acara berseh kubura ndeso. Acara itu dilaksanakan dengan cara
bergontong royong dengan penduduk desa dan bertujuan untuk menjaga
kebersihan serta kelestarian tumbuhan di sekitar area pemakaman. Kegiatan
membersihkan area pemakaman berkontribusi untuk menjaga lingkungan agar
tetap lestari. Upaya gotong royong membersihkan area pemakaman memberikan
dampak yaitu terpeliharanya populasi tumbuhan yang hidup di area pemakaman.

Fungsi Satuan Lingual Pengungkap Kearifan Lokal dalam Upaya


Pelestarian Lingkungan pada Masyarakat Tutur Kabupaten Magelang
Jika diklasifikasikan berdasarkan tujuannya maka bahasa memiliki
beberapa fungsi. Beberapa fungsi bahasa ditemukan di dalam tuturan pengungkap
kearifan lokal masyarakat tutur Kabupaten Magelang dalam upaya melestarikan
lingkungan, berikut ini.
Fungsi Praktis
Berdasarkan hasil penelitian di masyarakat tutur Kabupaten Magelang,
ditemukan beberapa tuturan yang dikategorikan sebagai fungsi praktis
berdasarkan fungsi bahasanya. Berikut ini satuan lingual pengungkap kearifan
lokal yang termasuk ke dalam fungsi praktis dari segi fungsi bahasa.
(7) Matun
[matUn]‘mencabut rumput liar yang tumbuh dipersawahan’.
Matun dikategorikan ke dalam fungsi praktis karena satuan lingual tersebut
digunakan di dalam aktivitas sehari-hari. Tuturan tersebut akan dijumpai ketika
masyarakat melakukan aktivitas mencabuti rumput liar di tanah persawahan. Hal
itu dikarenakan satuan lingual matun digunakan untuk menamai kreativitas
tersebut.
(8) Ndangir

9
[ndaer] ‘mencabut rumput kering atau liar di tanah pekarangan’.
Ndangir merupakan satuan lingal dalam Bahasa Jawa yang digunakan untuk
menyebut aktivitas mencabuti rumput kering di area tanah kering dan bukan area
persawahan. Tuturan terseut digunakan masyarakat tutur di Kabupaten Magelang
ketika melaksanakan aktivitas tersebut. Oleh karena itu, ndagir dikategorikan ke
dalam fungsi praktis berdasarkan fungsi bahasa karena satuan lingual tersebut di
gunakan di dalam aktivatas keseharian masyarakat tutur itu.
Fungsi Kultural
Satuan lingual di dalam masyarakat tutur memiliki fungsi kultural karena
satuan lingual tersebut digunakan untuk mengembangkan serta melestarikan
kebudayaan yang ada di dalam kehidupan masyarakat tutur. Berikut ini beberapa
data di dalam masyarakat tutur Kabupaten Magelang pengungkap kearifan lokal
yang memilik fungsi kultural.
(9) Aja adus ning kali yen wayah bedhug, mengko ndak ono ulo.
[j adUs neng kali yn wayʌh bdUg, mko ndʌ?n ul]
‘Jangan mandi di sungai pada saat waktu adzan Dzuhur karena nanti ada
ular’.
Satuan lingual berupa kalimat dalam Bahasa Jawa yang dituturkan oleh
masyarakat tutur Magelang memiliki fungsi kultural. Tuturan tersebut memiliki
fungsi kultural karena digunakan sebagai saran untuk menyampaikan pitutur
yang diturunkan dari generasi ke generasi. Kalimat dalam data (9) memberikan
nasihat bahwa tidak baik mandi di sungai menjelang masuk waktu azan zuhur
karena banyak ular yang keluar dari sarangnya. Hal itu dipercayai oleh para
sesepuh dan diturunkan kepada generasi berikutnya melalui tuturan.
(10) Aja mateni luloh, sesuk neng akhirat bakal njaluk ganti sikil sewu.
[j matni lulh,sesU? ne akirat bakal njaluk ganti sikel sewu]
‘Jangan membunuh kaki seribu, nanti di akhirat akan diminta
pertanggungjawaban berupa kaki berjumlah seribu’.
Data (10) merupakan satuan lingual berupa kalimat yang memiliki fungsi kultural
dari segi fungsi bahasa. Tuturan dalam Bahasa Jawa tersebut digunakan oleh
masyarakat tutur Kabupaten Magelang untuk memberikan nasihat melestarikan

10
kepercayaan di masyarakat. Masyarakat tutur Kabupaten Maagelang percaya
bahwa jika membunuh hewan kaki seribu maka di akhirat nanti akan diminta ganti
berupa kaki yang berjumlah seribu.
(11) Yeng ngethok uwit gedhe kui kudu disranani. Amarga biasane akeh
penunggune lan kramat. Mula kudu disranani supaya ora dadi perkarakangga
uwong sek ngethok utawa uwong ning sekitare.
[yn t? wet gde kui kudu disrananI. Amargbiasan akh
pnugune lan kramat. mul kudu disranani supy ora dadi
prkr kag uw s? t? utw ne skitar]
‘Jika menebang pohon besar itu harus disranani. Karena banyak
penghuninya dan keramat. Oleh sebab itu disranani agar tidak
menimbulkan malapetaka bagi orang yang memotong atau orang
disekitar tempat itu.’
Data (11) merupakan wacana kearifan lokal yang terdapat di dalam masyarakat
tutur Kabupaten Magelang sebagai upaya untuk melestarikan lingkungan. Wacana
tersebut memiliki fungsi kultural karena nilai-nilai kebudayaan yang terkadung di
dalam wacana tersebut yang berusaha dijaga dan dilestarikan oleh masyarakat
tutur Kabupaten Magelang. Nilai budaya yang terdapat di dalam wacana tersebut
adalah kepercayaan masyarakat tutur Kabupaten Magelang mengenai dinamisme.
Masyarakat tutur Magelang masih mempercayai ada yang mendiami sebuah
pohon besar dan berumur tua.

Makna Kultural Satuan Lingual Pengungkap Kearifan Lokal dalam


Melestarikan Lingkungan Mayarakat Tutur Kabupaten Magelang
Kebudayaan dalam masyarakat dapat membentuk suatu tatanan perilaku
masyarakat tersebut. Hal itu dapat ditemukan di masyarakat tutur Kabupaten
Magelang dalam penggunaan satuan-satuan lingual yang berhubungan dengan
kearifan lokal sebagai cara untuk tetap melestarikan lingkungan. Berikut ini
makna kultural yang berbentuk kata, kalimat, dan wacana.
Kata

11
Makna kultural yang ada di dalam sebuah satuan lingual berhubungan
dengan kebudayan yang berkembang di masyarakat tutur, seperti yang terjadi di
dalam satuan lingual masyarakat tutur Kabupaten Magelang sebagai pengungkap
kearifan lokal.
(11) Matun
[matUn]‘mencabut rumput liar yang tumbuh dipersawahan’
Satuan lingual ‘matun’ memiliki arti yakni sebuah pekerjaan mencabuti rumput
kering tanpa menggunakan alat dan kegiatan itu dilakukan di tanah persawahan.
Masyarakat tutur Kabupaten Magelang mengenal istilah ‘matun’ karena kegiatan
‘matun’ sangat di kenal dikalangan masyarakat tersebut. Kegitan tersebut
dilakasanakan oleh masyarakat ketika musim tanam padi tiba. Masyarakat
membersihkan rumput-rumput yang menjadi hama pengganggu bagi tanaman
padi. Hal itu dilakukan dengan tujuan untuk menjaga dan memelihara agar
tanaman padi dapat tumbuh dengan subur dan baik, karena jika rumput
pengganggu dibiarkan tumbuh liar maka tanaman padi tidak dapat mendapatkan
makanan yang cukup. Kegiatanmatunsudah menjadi sebuah tradisi ketika musim
tanam padi tiba. Kegiatan matun sudah menjadi salah satu tradisi ketika musim
tanam padi tiba di kalangan masyarakat Kabupaten Magelang. Oleh sebab itu
kegiatan matun sudah menjadi bagian dari kebudayaan warga Magelang. Kegiatan
matun bagi warga Magelang memiliki nilai budaya karena kegiatan tersebut
mempererat rasa persaudaraan di kalangan wargakarena kegiatan itu lazimnya
dilakukan oleh sekelompok orang.
(12) Ndangir
[ndaer]‘mencabut rumput kering atau liar di tanah pekarangan’.
Kata ‘ndangir’ memiliki arti yakni kegiatan mencabut rumput dengan tidak
menggunakan alat di tanah bukan area persawahan. Tujuan dari aktivitas
‘ndangir’ adalah untuk tetap menjaga kelangsungan hidup dari tanaman pokok.
Kalimat
. Satuan lingual kalimat yang menggambarkan sebuah budaya dan
digunakan sebagai pengungkap kearifan lokal terdapat di dalam masyarakat tutur
Kabupaten Magelang, berikut ini:

12
(13) Aja adus ning kali yen wayah bedhug, mengko ndak ono ulo.
[j adus neng kali yn wayʌh bdug, mko ndʌ?n ul]
‘jangan mandi di sungai pada saat waktu adzan Dzuhur karena nanti
ada ular’.

Tuturan berupa kalimat dalam Bahasa Jawa tersebut memiliki makna kultural
sesuai dengan pemahaman dan kepercayaan masyarakat Magelang. Masyarakat
tutur Kabupaten Magelang mempercayai bahwa pamali atau tidak boleh mandi di
sungai ketika matahari tepat di tas kepala, sekitar pukul 12.00 WIB. Hal itu
menjadi larangan karena masyarakat tutur Kabupaten Magelang mempercayai
bahwa pada tengah hari banyak ular liar yang keluar dari sarangnya. Kepercayaan
yang berkembang di masyarakat jika dikaitkan dengan upaya pelestarian
lingkungan sangatlah berhubungan. Hubungan upaya pelestarian lingkungan
dengan larangan untuk mandi di sungai pada siang hari menjadi salah satu upaya
untuk tetap menjaga ekosistem ular di alam liar. Masyarakat pada saat mandi
bertemu ular liar maka akan ada kemungkinan untuk membunuh ular tersebut, jika
semakin sedikit jumlah ular yang ada di alam liar hal itu akan merugikan para
petani dan siklus rantai makanan. Hal itu karena keberadaan ular di alam dapat
membantu petani untuk membasmi hama tikus di area persawahan mereka.
(14) Aja mateni luloh, sesuk neng akhirat bakal njaluk ganti sikil sewu.
[j matni lulh,sesu? ne akirat bakal njalu? ganti sikel sewu]
‘Jangan membunuh kaki seribu, nanti di akhirat akan diminta
pertanggungjawaban berupa kaki berjumlah seribu’.
Wacana berbentuk kalimat dalam data (15) memilik makna kultural karena
wacana tersebut mengandung nilai budaya. Nilai budaya yang ada di dalam wacan
tersebut terdapat pada sikap masyarakat Kabupaten Magelang yang mempercayai
bahwa jika membunuh hewan kaki seribu maka kelak di akhirat nanti hewan itu
akan meminta ganti rugi berupa kaki yang berjumlah seribu buah. Oleh sebab itu,
jika memilihat hewan kaki seribu masyarakat Kabupaten Magelang sebisa
mungkin akan membiarkan dan tidak akan mengganggu hewan tersebut, terutama
bagi mereka yang mengetahui dan mempercayai kepercayaan itu. Ungkapan

13
Bahasa Jawa tersebut jika dihubungkan dengan upaya untuk melestarikan
lingkungan sangatlah berkaitan. Keterkaitan larangan membunuh kaki seribu
karena kepercayaan mereka akan meminta ganti rugi kaki berjumlah seribu
merupakan salah satu upaya untuk tetap melestarikan populasi hewan tersebut.
Dengan adanya larangan tersebut masyarakat akan percaya dan tidak akan
membunuh hewan kaki seribu sehingga keberadaannya di alam dapat tetap lestari.
Wacana
Berikut ini makna kultural dari satuan lingual bentuk wacana yang terdapat
di dalam masyarkat Kabupaten Magelang.
(15) Yeng ngethok uwit gedhe kui kudu disranani. Amarga biasane akeh
penunggune lan kramat. Mula kudu disranani supaya ora dadi
perkarakangga uwong sek ngethok utawa uwong ning sekitare.
[yn t? wet gde kui kudu disrananI. Amargbiasan akh
pnugune lan kramat. mul kudu disranani supy ora dadi
prkr kag uw s? t? utw ne skitar]
‘Jika menebang pohon besar itu harus disranani. Karena banyak
penguninya dan keramat. Oleh sebab itu disranani agar tidak
menimbulkan malapetaka bagi orang yang memotong atau orang
disekitar tempat itu.’
Masyarakat Kabupaten Magelang masih mempercayai adanya makhluk-makhluk
gaib yang mendiami pohon besar. Oleh sebab itu, masyarakat tidak memandang
remeh pada pohon besar terlebih lagi jika pohon itu sudah berumur puluhan
bahkan ratusan tahun. Jika masyarakat Magelang ingin menebang pohon yang
sedah berumur tua maka perlu dilakukan serangkaian kegiatan sebelum pohon itu
ditebang. Hal itu dilakukan supaya makhluk yang dipercaya mendiami pohon
tersebut tidak marah dan juga tidak menggangun masyarakat sekitar. Di sisi lain,
jika dimaknai secara kultural dan dihubungkan dengan salah satu upaya
pelestarian lingkungan terdapat hubungan yang bermanfaat bagi keseimbangan
alam. Hal itu memiliki dampak positif bagi kelangsungan pohon penadah air
hujan, karena pohon yang besar memiliki akar yang kuat untuk menyerap dan
menyimpan air hujan.

14
PENUTUP
Berdasarkan hasil penelitian dan pemaparan di atas, maka dapat diambil
simpulan sebagai berikut: 1) bentuk satuan lingual yang terdapat di dalam
kearifan lokal untuk melestarikan lingkungan pada masyarakat tutur Kabupaten
Magelang berupa kata, kalimat, dan wacana. Ketiga bentuk satuan lingual tersebut
ditemukan di dalam masyarakat tutur Kabupaten Magelang dan menyampaikan
pesan mengenai pelestarian lingkungan; 2) fungsi satuan lingual pengungkap
kearifan lokal di dalam masyarakat Kabupaten Magelang meliputi fungsi praktis
dan fungsi kultural. Satuan lingual berfungsi praktis karena digunakan pada
percakapan sehari-hari tetapi mengandung pesan untuk melestarikan lingkungan.
Satuan lingual berfungsi kultural karena mengandung pesan dan makna untuk
melestarikan lingkungan akan tetapi tidak umum digunakan ketika bercakapan
sehari-hari; dan 3) makna budaya ditemukan di dalam satuan lingual pengungkap
kearifan lokal dalam upaya pelestarian lingkungan pada masyarakat tutur
Kabupaten Magelang. Satuan lingual yang ditemukan memiliki makna budaya
karena kearifan lokal merupakan salah satu bentuk kebudayaan dan satuan lingual
tersebut menggambarkan kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat tutur
Kabupaten Magelang.

DAFTAR PUSTAKA

Ahimsa.1997. “Etnolinguistik: Beberapa Bentuk Kajian”. Makalah Temu Ilmiah


Bahasa dan Sastra. Yogyakarta: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Balai
Penelitian Bahasa.

Chaer, Abdul. 2009. Sintaksis Bahasa Indonesia (Pendekatan Proses). Jakarta:


Rineka Cipta

Mardikantoro, Hari Bakti. 2013. “Bahasa Jawa sebagai Pengungkap Kearifan


Lokal Masyarakat Samin di Kabupaten Blora”. Jurnal Komunitas.5(2).

Ramlan. 1996. Sintaksis. Yogyakarta: Karyono.

15
Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa, Pengantar
Penelitian Wahana Kebudayaan Secara Linguistis. Yogyakarta: Duta
Wacana University Press.

Widodo,Sahid Teguh.2012. “Petangan Tradition In Javanese Personal Naming


Practice: An Ethnolinguistic Study”.Journal of Language Studies.12(4).

16

Anda mungkin juga menyukai