Anda di halaman 1dari 6

Pertempuran Surabaya

Artikel ini berisi uraian tentang pertempuran tahun 1945. Untuk pertempuran tahun 1677,
lihat Pertempuran Surabaya (1677).

Pertempuran Surabaya

Bagian dari Revolusi Nasional Indonesia

Tentara India Britania menembaki penembak rundukIndonesia di balik tank Indonesia dalam pertempuran di

Surabaya, November 1945.

Tanggal 27 Oktober – 20 November 1945


(3 minggu dan 3 hari)
Lokasi Surabaya, Indonesia
Hasil Britania menang secara
militer/taktis.
Indonesia menang secara strategis,
politik, dan psikologis.
Britania perlahan berhenti membantu
Belanda mendirikan kembali koloninya di
Indonesia dan menjadi netral.
Britania kemudian mendukung
perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Perubahan Militer Britania berhasil menduduki Surabaya;
wilayah Seluruh pasukan ditarik dari Surabaya pada
November 1946.

Pihak terlibat

 Indonesia  Britania Raya

 PETA (sisa-sisa)
  India Britania

Tokoh dan pemimpin


 A.W.S. Mallaby †
 Sutomo
 Robert Mansergh
 Moestopo

 HR Muhammad

 Soengkono

Kekuatan

20.000 tentara 30.000 (terbanyak)

infanteri (rata-rata mantan dengan bantuan tank, pesawat, dan kapal perang

perwira dan prajurit PETA)


100.000 personel

milisi (rata-rata

anggota Pemuda Rakyat)

Korban

6.000–16.000 tewas; lebih 600---2.000 tewas; lebih dari 2.000 luka-luka

dari 20.000 luka-luka

Pertempuran Surabaya merupakan pertempuran tentara dan milisi pro-


kemerdekaan Indonesia dan tentara Britania Raya dan India Britania. Puncaknya terjadi pada
tanggal 10 November 1945. Pertempuran ini adalah perang pertama pasukan Indonesia dengan
pasukan asing setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dan satu pertempuran terbesar dan
terberat dalam sejarah Revolusi Nasional Indonesia yang menjadi simbol nasional atas
perlawanan Indonesia terhadap kolonialisme.[2] Usai pertempuran ini, dukungan rakyat Indonesia
dan dunia internasional terhadap perjuangan kemerdekaan Indonesia semakin kuat. 10
November diperingati setiap tahun sebagai Hari Pahlawan di Indonesia.
Ketika pasukan Sekutu mendarat pada akhir Oktober 1945, Surabaya digambarkan sebagai
"benteng bersatu yang kuat [di bawah Pemuda]".[4] Pertempuran pecah pada 30 Oktober setelah
komandan pasukan Britania, Brigadir A. W. S. Mallaby tewas dalam baku tembak.[4] Britania
melakukan serangan balasan punitif pada 10 November dengan bantuan pesawat tempur.
Pasukan kolonial merebut sebagian besar kota dalam tiga hari, pasukan Republik yang minim
senjata melawan selama tiga minggu, dan ribuan orang meninggal dunia ketika penduduk kota
mengungsi ke pedesaan.
Meskipun kalah dan kehilangan anggota dan persenjataan, pertempuran yang dilancarkan
pasukan Republik membangkitkan semangat bangsa Indonesia untuk memperjuangkan
kemerdekaannya dan menarik perhatian internasional. Belanda tidak lagi memandang Republik
sebagai kumpulan pengacau tanpa dukungan rakyat. Pertempuran ini juga meyakinkan Britania
untuk mengambil sikap netral dalam revolusi nasional Indonesia; beberapa tahun kemudian,
Britania mendukung perjuangan Indonesia di Perserikatan Bangsa-Bangsa.[2]

Kronologi penyebab peristiwa

Kedatangan Tentara Jepang ke Indonesia


Tanggal 1 Maret 1942, tentara Jepang mendarat di Pulau Jawa, dan tujuh hari kemudian
tanggal 8 Maret 1942, pemerintah kolonial Belanda menyerah tanpa syarat kepada Jepang
berdasarkan Perjanjian Kalijati. Setelah penyerahan tanpa syarat tersebut, Pulau Jawa secara
resmi diduduki oleh Jepang.
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia[sunting | sunting sumber]
Tiga tahun kemudian, Jepang menyerah tanpa syarat kepada sekutu setelah dijatuhkannya bom
atom (oleh Amerika Serikat) di Hiroshima dan Nagasaki. Peristiwa itu terjadi pada
bulan Agustus 1945. Dalam kekosongan kekuasaan asing tersebut,Soekarnokemudian
memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945.
Kedatangan Tentara Inggris & Belanda[sunting | sunting sumber]
Setelah kekalahan pihak Jepang, rakyat dan pejuang Indonesia berupaya melucuti senjata para
tentara Jepang. Maka timbullah pertempuran-pertempuran yang memakan korban di banyak
daerah. Ketika gerakan untuk melucuti pasukan Jepang sedang berkobar, tanggal 15
September 1945, tentara Inggris mendarat di Jakarta, kemudian mendarat di Surabaya pada
tanggal 25 Oktober 1945. Tentara Inggris datang ke Indonesia tergabung dalam AFNEI (Allied
Forces Netherlands East Indies) atas keputusan dan atas nama Blok Sekutu, dengan tugas
untuk melucuti tentara Jepang, membebaskan para tawanan perang yang ditahan Jepang, serta
memulangkan tentara Jepang ke negerinya. Namun selain itu tentara Inggris yang datang juga
membawa misi mengembalikan Indonesia kepada administrasi pemerintahan Belanda sebagai
negeri jajahan Hindia Belanda. NICA (Netherlands Indies Civil Administration) ikut membonceng
bersama rombongan tentara Inggris untuk tujuan tersebut. Hal ini memicu gejolak rakyat
Indonesia dan memunculkan pergerakan perlawanan rakyat Indonesia di mana-mana melawan
tentara AFNEI dan pemerintahan NICA.
Insiden di Hotel Yamato, Tunjungan, Surabaya[sunting | sunting sumber]
Artikel utama: Insiden Hotel Yamato

Hotel Oranye di Surabaya tahun 1911.

Setelah munculnya maklumat pemerintah Indonesia tanggal 31 Agustus 1945 yang menetapkan


bahwa mulai 1 September 1945 bendera nasional Sang Saka Merah Putih dikibarkan terus di
seluruh wilayah Indonesia, gerakan pengibaran bendera tersebut makin meluas ke segenap
pelosok kota Surabaya. Klimaks gerakan pengibaran bendera di Surabaya terjadi pada insiden
perobekan bendera di Yamato Hoteru / Hotel Yamato (bernama Oranje Hotel atau Hotel
Oranye pada zaman kolonial, sekarang bernama Hotel Majapahit) di Jl. Tunjungan no. 65
Surabaya.
Sekelompok orang Belanda di bawah pimpinan Mr. W.V.Ch. Ploegman pada malam hari
tanggal 18 September 1945, tepatnya pukul 21.00, mengibarkan bendera Belanda (Merah-Putih-
Biru), tanpa persetujuan Pemerintah RI Daerah Surabaya, di tiang pada tingkat teratas Hotel
Yamato, sisi sebelah utara. Keesokan harinya para pemuda Surabaya melihatnya dan menjadi
marah karena mereka menganggap Belanda telah menghina kedaulatan Indonesia, hendak
mengembalikan kekuasan kembali di Indonesia, dan melecehkan gerakan pengibaran bendera
Merah Putih yang sedang berlangsung di Surabaya.
Pengibaran bendera Indonesia setelah bendera belanda berhasil disobek warna birunya di hotel Yamato

Tak lama setelah mengumpulnya massa di Hotel Yamato, Residen Soedirman, pejuang


dan diplomat yang saat itu menjabat sebagai Wakil Residen (Fuku Syuco Gunseikan) yang
masih diakui pemerintah Dai Nippon Surabaya Syu, sekaligus sebagai Residen Daerah
Surabaya Pemerintah RI, datang melewati kerumunan massa lalu masuk ke Hotel Yamato
dikawal Sidik dan Hariyono. Sebagai perwakilan RI dia berunding dengan Mr. Ploegman dan
kawan-kawannya dan meminta agar bendera Belanda segera diturunkan dari gedung Hotel
Yamato. Dalam perundingan ini Ploegman menolak untuk menurunkan bendera Belanda.
Perundingan berlangsung memanas, Ploegman mengeluarkan pistol, dan terjadilah perkelahian
dalam ruang perundingan. Ploegman tewas dicekik oleh Sidik, yang kemudian juga tewas oleh
tentara Belanda yang berjaga-jaga dan mendengar letusan pistol Ploegman, sementara
Soedirman dan Hariyono melarikan diri ke luar Hotel Yamato. Sebagian pemuda berebut naik ke
atas hotel untuk menurunkan bendera Belanda. Hariyono yang semula bersama Soedirman
kembali ke dalam hotel dan terlibat dalam pemanjatan tiang bendera dan bersama Koesno
Wibowo berhasil menurunkan bendera Belanda, merobek bagian birunya, dan mengereknya ke
puncak tiang bendera kembali sebagai bendera Merah Putih.
Setelah insiden di Hotel Yamato tersebut, pada tanggal 27 Oktober 1945 meletuslah
pertempuran pertama antara Indonesia melawan tentara Inggris . Serangan-serangan kecil
tersebut di kemudian hari berubah menjadi serangan umum yang banyak memakan korban jiwa
di kedua belah pihak Indonesia dan Inggris, sebelum akhirnya Jenderal D.C. Hawthorn meminta
bantuan Presiden Sukarno untuk meredakan situasi.
Kematian Brigadir Jenderal Mallaby
Setelah gencatan senjata antara pihak Indonesia dan pihak tentara Inggris ditandatangani pada
tanggal 29 Oktober 1945, keadaan berangsur-angsur mereda. Walaupun begitu tetap saja terjadi
bentrokan-bentrokan bersenjata antara rakyat dan tentara Inggris di Surabaya. Bentrokan-
bentrokan bersenjata di Surabaya tersebut memuncak dengan terbunuhnya Brigadir
Jenderal Mallaby, (pimpinan tentara Inggris untuk Jawa Timur), pada 30 Oktober 1945 sekitar
pukul 20.30. Mobil Buick yang ditumpangi Brigadir Jenderal Mallaby berpapasan dengan
sekelompok milisi Indonesia ketika akan melewati Jembatan Merah. Kesalahpahaman
menyebabkan terjadinya tembak menembak yang berakhir dengan tewasnya Brigadir Jenderal
Mallaby oleh tembakan pistol seorang pemuda Indonesia yang sampai sekarang tak diketahui
identitasnya, dan terbakarnya mobil tersebut terkena ledakan granat yang
menyebabkan jenazah Mallaby sulit dikenali. Kematian Mallaby ini menyebabkan pihak Inggris
marah kepada pihak Indonesia dan berakibat pada keputusan pengganti Mallaby, Mayor
Jenderal Eric Carden Robert Mansergh untuk mengeluarkan ultimatum 10 November 1945 untuk
meminta pihak Indonesia menyerahkan persenjataan dan menghentikan perlawanan pada
tentara AFNEI dan administrasi NICA.
Perdebatan tentang pihak penyebab baku tembak

Mobil Buick Brigadir Jenderal Mallaby yang meledak di dekat Gedung Internatio dan Jembatan


Merah Surabaya

Tom Driberg, seorang Anggota Parlemen Inggris dari Partai Buruh Inggris (Labour Party).


Pada 20 Februari 1946, dalam perdebatan di Parlemen Inggris (House of Commons) meragukan
bahwa baku tembak ini dimulai oleh pasukan pihak Indonesia. Dia menyampaikan bahwa
peristiwa baku tembak ini disinyalir kuat timbul karena kesalahpahaman 20 anggota pasukan
India pimpinan Mallaby yang memulai baku tembak tersebut tidak mengetahui bahwa gencatan
senjata sedang berlaku karena mereka terputus dari kontak dan telekomunikasi. Berikut kutipan
dari Tom Driberg:
"... Sekitar 20 orang (serdadu) India (milik Inggris), di sebuah bangunan di sisi lain alun-alun,
telah terputus dari komunikasi lewat telepon dan tidak tahu tentang gencatan senjata. Mereka
menembak secara sporadis pada massa (Indonesia). Brigadir Mallaby keluar dari diskusi
(gencatan senjata), berjalan lurus ke arah kerumunan, dengan keberanian besar, dan berteriak
kepada serdadu India untuk menghentikan tembakan. Mereka patuh kepadanya. Mungkin
setengah jam kemudian, massa di alun-alun menjadi bergolak lagi. Brigadir Mallaby, pada titik
tertentu dalam diskusi, memerintahkan serdadu India untuk menembak lagi. Mereka melepaskan
tembakan dengan dua senapan Bren dan massa bubar dan lari untuk berlindung; kemudian
pecah pertempuran lagi dengan sungguh gencar. Jelas bahwa ketika Brigadir Mallaby memberi
perintah untuk membuka tembakan lagi, perundingan gencatan senjata sebenarnya telah pecah,
setidaknya secara lokal. Dua puluh menit sampai setengah jam setelah itu, ia (Mallaby)
sayangnya tewas dalam mobilnya-meskipun (kita) tidak benar-benar yakin apakah ia dibunuh
oleh orang Indonesia yang mendekati mobilnya; yang meledak bersamaan dengan serangan
terhadap dirinya (Mallaby).
Saya pikir ini tidak dapat dituduh sebagai pembunuhan licik... karena informasi saya dapat
secepatnya dari saksi mata, yaitu seorang perwira Inggris yang benar-benar ada di tempat
kejadian pada saat itu, yang niat jujurnya saya tak punya alasan untuk pertanyakan ..."[5]
Semboyan Merdeka Atau Mati
Ultimatum-ultimatum yang disebarkan melalui pamflet udara oleh tentara Inggris membuat rakyat
Surabaya sangat marah. Nyaris seluruh sudut kota Surabaya dipenuhi pemuda dan kelompok
bersenjata. Dalam ingatan Suhario alias Hario Kecik (Wakil Komandan Tentara Polisi Keamanan
Rakyat), di sekitarnya berkumpul ratusan pemuda, semuanya membawa senjata dan pistol
otomatis. Hario Kecik mengatakan bahwa mereka yang disebut tidak lengkap, membawa
granat[6]. Pertemuan pemuda dan kelompok bersenjata di Surabaya memutuskan mengangkat
Sungkono sebagai Komandan Pertahanan Kota Surabaya dan mengangkat Surachman sebagai
Komandan Pertempuran. Dari sini, muncul semboyan "Merdeka atau Mati" dan Sumpah Pejuang
Surabaya sebagai berikut[7].
Tetap Merdeka!
Kedaulatan Negara dan Bangsa Indonesia yang diproklamirkan pada 17 Agustus 1945 akan
kami pertahankan dengan sungguh-sungguh, penuh tanggungjawab bersama, bersatu, ikhlas
berkorban dengan tekad: Merdeka atau Mati! Sekali Merdeka tetap Merdeka!

— Surabaya, 9 November 1945, jam 18:46


10 November 1945
Setelah terbunuhnya Brigadir Jenderal Mallaby, penggantinya, Mayor Jenderal Robert Mansergh
mengeluarkan ultimatum yang menyebutkan bahwa semua pimpinan dan orang Indonesia yang
bersenjata harus melapor dan meletakkan senjatanya di tempat yang ditentukan dan
menyerahkan diri dengan mengangkat tangan di atas. Batas ultimatum adalah jam 6.00 pagi
pada tanggal 10 November 1945.
Ultimatum tersebut kemudian dianggap sebagai penghinaan bagi para pejuang dan rakyat yang
telah membentuk banyak badan-badan perjuangan / milisi. Ultimatum tersebut ditolak oleh pihak
Indonesia dengan alasan bahwa Republik Indonesia waktu itu sudah berdiri, dan TKR (Tentara
Keamanan Rakyat) juga telah dibentuk sebagai pasukan negara. Selain itu, banyak organisasi
perjuangan bersenjata yang telah dibentuk masyarakat, termasuk di kalangan pemuda,
mahasiswa dan pelajar yang menentang masuknya kembali pemerintahan Belanda yang
memboncengi kehadiran tentara Inggris di Indonesia.

Bung Tomo di Surabaya, salah satu pemimpin revolusioner Indonesia yang paling dihormati. Foto terkenal
ini bagi banyak orang yang terlibat dalam Revolusi Nasional Indonesia mewakili jiwa perjuangan revolusi
utama Indonesia saat itu.[8]

Pada 10 November pagi, tentara Inggris mulai melancarkan serangan. Pasukan sekutu
mendapatkan perlawanan dari pasukan dan milisi Indonesia.
Selain Bung Tomo terdapat pula tokoh-tokoh berpengaruh lain dalam menggerakkan rakyat
Surabaya pada masa itu, beberapa datang dari latar belakang agama seperti KH. Hasyim
Asy'ari, KH. Wahab Hasbullah serta kyai-kyai pesantren lainnya juga mengerahkan santri-santri
mereka dan masyarakat sipil sebagai milisi perlawanan (pada waktu itu masyarakat tidak begitu
patuh kepada pemerintahan tetapi mereka lebih patuh dan taat kepada para kyai/ulama)
sehingga perlawanan pihak Indonesia berlangsung alot, dari hari ke hari, hingga dari minggu ke
minggu lainnya. Perlawanan rakyat yang pada awalnya dilakukan secara spontan dan tidak
terkoordinasi, makin hari makin teratur. Pertempuran ini mencapai waktu sekitar tiga minggu.
Setidaknya 6,000 - 16,000 pejuang dari pihak Indonesia tewas dan 200,000 rakyat sipil
mengungsi dari Surabaya.[2] Korban dari pasukan Inggris dan India kira-kira sejumlah 600 - 2000
tentara.[9] Pertempuran berdarah di Surabaya yang memakan ribuan korban jiwa tersebut telah
menggerakkan perlawanan rakyat di seluruh Indonesia untuk melakukan perlawanan.
Banyaknya pejuang yang gugur dan rakyat sipil yang menjadi korban pada hari 10 November ini
kemudian dikenang sebagai Hari Pahlawan oleh Republik Indonesia hingga sekarang.

Anda mungkin juga menyukai