Anda di halaman 1dari 10

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI BANDUNG

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK


JURUSAN ILMU POLITIK
Jl. A.H. Nasution No. 105 Bandung

UJIAN TENGAH SEMESTER

Nama : Muhamad Ilham Nurhakiki


NIM : 1208040047
Mata Kuliah : PeemikiranPolitik Islam
Jurusan : IlmuPolitik
Semester : III ( Tiga) Kelas B
Hari/tanggal : 28 Desember 2021
Dosen : Dr. Muslim Mufti, M.Si
Sifat : Open Book

1. Originalitas jawaban saudara sangat dihargai. Oleh karena itu jangan saling
mencontek pekerjaan mahasiswa lain atau meminta orang lain mengerjakan
ujian ini. Konsekwensinya adalah nilai E
2. KerjakansampaidenganhariJumat. 31 Desember 2021 jam 12.00
3. Jawablahpertanyaanberikutini:

Soal :
1. PemikiranPolitik Islam dalam realitas politik Islam diwujudkanpada zaman Nabi
Muhammad SAW dan zaman-zaman sesudahnya serta konsep-konsep politik
yang diajukan oleh para tokoh dan pemikir politik Islam dari zaman klasik dan
abad pertengahan. Coba jelaskan oleh anda.
2. Berikan penjelasan oleh sejarah perkembangan pemikiran Politik Islam dengan
corak dan trend pemikiran dan Gerakan Politik Islam pada masa modern.
3. JelaskanolehandaperbedaanantaraRadikalismedenganFundamentalismedanbag
aimanahubungan yangterjadi di Indonesia saatini.
4. DalamPemikiranPolitik Islam salahsatupembahasannyaadalah Islam Liberal
danSekulerismejelaskanolehandaapaitu Islam Liberal dansekulerisme?
danjelaskanolehandatentang Islam Liberal dansekulerisme di Indonesia.

Selamat mengerjakan
Jawaban:

1. Pemikiran politik Islam abad klasik dimulai sejak Nabi Muhammad membangun
sebuah komunitas Islam di Madinah pada tahun 622 M. Setelah Rasulullah wafat
kendali pemerintahan dipegang oleh Khulafaurrasyidin. Masa ini berlanjut sampai
munculnya dinasti Bani Umayah dan dilanjutkan oleh Bani Abbasiyah sampai
kehancurannya akibat serangan tentara Mongol sekitar tahun 1250 M.

Adapun karakteristik yang paling menonjol dalam pemikiran politik Islam pada
abad klasik dan pertengahan adalah sistem khalifah dengan kepala negara atau
khalifah memegang peranan penting dan memiliki kekuasaan yang luas Rakyat
dituntut untuk mematuhi kepala negara karena ketaatan kepada Khalifah
merupakan sesuatu yang diwajibkan dalam Islam. Hal ini bertujuan untuk menjaga
stabilitas keadaan negara itu sendiri sehingga negara senantiasa dalam keadaan
aman dan penegakan hukum berjalan dengan baik. Namun seiring berjalannya
waktu sistem politik Islam mengalami perkembangan. Pada masa
Khulafaurrasyidin pasca wafatnya Rasulullah kepala negara adalah sebagai
Khadimul Ummah pelayan umat yang lebih mengutamakan kepentingan umat
tidak diangkat berdasarkan garis keturunan Pasca Khulafaurrasyidin makna
Khalifah berubah menjadi Zillullahfal Ardh bayang bayang Allah di muka bumi
yang diangkat secara turun temurun. Konsep tersebut muncul ketika Abu Ja’far al-
Manshur salah seorang pendiri Dinasti Bani Abbasiyah berhasil menggulingkan
kekhalifahan Bani Umayyah. Konsekuensi dari perubahan konsep tersebut adalah
kekuasaan dipandang suci dan mutlak yang harus ditaati oleh seluruh rakyat
karena kekuasaan merupakan mandat dari Tuhan dan bukan merupakan hasil
pilihan rakyat [ CITATION Muh10 \p 109 \l 1057 ].

Perubahan konsep Khilafah juga tidak terlepas dari pengaruh interaksi dunia Islam
dengan praktik politik asing yang berkembang saat itu Seperti diketahui bahwa
pada masa itu kekuasaan Islam sudah keluar Jazirah Arab melalui penaklukan
penaklukan wilayah. Dari sinilah umat Islam melakukan interaksi secara sosial
politik dan budaya dengan masyarakat asing. Konsep politik di luar Islam pada
masa itu adalah bahwa kekuasaan kaisar merupakan titisan Tuhan Konsep titisan
Tuhan tersebut kemudian diadopsi oleh Abu Ja’far al Mansur dan dijustifikasi oleh
para pemikir Islam abad klasik dan pertengahan Konsep kepatuhan mutlak kepada
kepala negara yang dianggap sebagai bayang bayang Tuhan mengakibatkan
lemahnya kontrol masyarakat terhadap pemerintan serta berdampak pada
kekacauan sistem penyelenggaraan pemerintah. Bahkan di kalangan pemikir
politik Suni tidak membenarkan adanya gerakan oposisi terhadap pemerintah yang
tengah berkuasa apalagi pemberontakan meskipun pemerintahan bersikap korup
dan diskriminatif terhadap rakyat Alasan mereka melarang campur tangan rakyat
terhadap pemerintah adalah bahwa menghindari kekacauan yang lebih besar harus
diutamakan. Pemikiran politik Abu Ja far juga ditandai oleh legitimasi suku
Quraisy sebagai pihak yang berhak untuk memegang kekuasaan. Hal tersebut
didasarkan pada hadis Nabi yang menyatakan bahwa pemimpin politik umat Islam
harus berasal dari kalangan suku Quraisy. Akan tetapi, pada abad pertengahan
konsep semacam ini diinterpretasi ulang oleh para pemikir Islam seperti A1
Farabi, Al Mawardi, Al Ghazali, Ibnu Taimiyyah dan Ibnu Khaldun. Dalam
pandangan Al Farabi kepala negara harus berasal dari golongan kelas atas
Pemikirannya tersebut tidak terlepas dari pengaruh filsafat Yunani kuno terutama
pemikiran Plato [ CITATION Moh80 \p 110 \l 1057 ].

Sebaliknya menurut Al Mawardi, kepala negara harus seorang yang mempunyai


kredibilitas dalam bernegara dan agama Hujjatul Islam Al Ghazali mendefinisikan
kepala negara sebagai bayang bayang Tuhan di bumi dan jabatan kepala negara
adalah sesuatu yang sangat suci. Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa kepala negara
merupakan sesuatu yang urgen. Adapun menurut Ibnu Khaldun adanya kepala
negara merupakan bentuk keefektifan dalam pelaksanaan syariat Islam. Perbedaan
pemikiran tersebut tidak terlepas dari realitas historis dan setting sosial politik
umat Islam serta kecenderungan dan peran para pemikir pada masanya [ CITATION
Muh10 \p 119 \l 1057 ]
2. Pada abad ke 19 hingga awal abad ke 20 dunia Islam sebagian besar berada dalam

genggaman penjajahan Barat. Dalam internal umat Islam sendiri terdapat berbagai
macam permasalahan berkaitan dengan pemahaman keagamaan yang
menyebabkan umat Islam tidak mampu menghadapi kuatnya Hegemoni Barat.
Umat Islam tenggelam dalam masa lalu mereka dan belum berani melakukan
terobosan terobosan baru untuk menjawab permasalahan permasalahan yang
mereka hadapi. Di sisi lain penjajahan Barat terhadap dunia Islam membawa
hikmah tersendiri bagi umat Islam. Adanya penjajahan tersebut telah menyadarkan
umat Islam bahwa mereka mengalami kemunduran dibandingkan dengan Barat
[ CITATION Har86 \p 94 \l 1057 ].

Dalam konteks hubungan Islam dengan negara serta penetrasi pemikiran politik
Barat ke dunia Islam, Dr Muhammad Iqbal dalam bukunya Pemikiran Politik
Islam berusaha untuk memaparkan secara luas perkembangan pemikiran politik
abad modern yang terbagi kepada tiga arus pemikiran [ CITATION Muh10 \l 1057 ].

Kelompok pertama, mengembangkan gagasan kesempurnaan dan kemurnian


ajaran Islam dan menolak pengaruh pemikiran Barat. Di antara para pemikir abad
ini antara lain Muhammad Rasyid Ridha, Hasan Al Banna, Al Maududi, dan
Sayyid Quthb. Bagi mereka Islam adalah agama terbaik dan meniru Barat adalah
suatu kesalahan Rasyid Ridha masih merindukan kebangkitan kekhalifahan Islam.
seperti juga Sayyid Quthb yang menginginkan terbentuknya negara supranasional
yang melepas batas batas geografis. Sementara itu, Maududi menganggap sistem
politik demokrasi sebagai sistem musyrik dan bertentangan dengan ajaran Islam.

Kelompok kedua, berusaha untuk memisahkan Islam dan politik yang keduanya
tidak boleh bersatu. Urusan politik hams diatur dalam kerangka sekular.
Kelompok ini meng haruskan pemikir pemikir Islam terlibat dalam topik
sekularisme sebagi bagian dari upaya merekonsiliasi nilai nilai agama mereka
dalam bentuk pemerintahan yang sekuler. Sebagai contoh yang terjadi di Iran era
Reza Pahlevi yang digulingkan pada tahun 1979. Pahlevi memerintahkan
pasukannya ke jalan-jalan untuk membuka jilbab-jilbab dan melarang perempuan
di pemerintahan menggunakan jilbab [ CITATION Nad10 \l 1057 ]. Adapun tokoh tokoh
yang masuk dalam kelompok ini adalah Musthafa Kemal Ataturk, Ali Abdur
raziq, dan Thaha Husein Ali. Abdurraziq dan Thaha Husein lebih banyak berbicara
pada tataran pemikiran. Raziq menolak khilafah sebagai bentuk ideal
pemerintahan Islam, Thaha Husein menganjurkan adopsi mentah mentah
pemikiran politik Barat, Kemal Ataturk lebih jauh lagi dia menolak peran serta
agama dalam politik praktis dan membangun sebuah negara Turki Modern yang
sekuler. Hal hal yang berbau agama tidak boleh dimasukkan dalam tataran politik
praktis. Agama adalah urusan personal yang tidak diatur oleh negara [ CITATION
Nad10 \p 68 \l 1057 ].

Kelompok ketiga, berusaha untuk menjembatani kedua arus pemikiran yang


bertentangan di atas. Mereka tidak menolak pemikiran yang berasal dari Barat,
tetapi juga tidak menerima begitu saja khazanah pemikiran Islam yang tidak sesuai
dengan kondisi dan situasi yang berkembang. Adapun tokoh tokohnya antara lain
Sayyid Jamaluddin Al Afghani, Muhammad Abduh, Muhammad Iqbal, dan
Mahmud Syaltut. Mereka dapat menerima demokrasi dan sosialisme namun di
dalamnya disertakan nilai nilai religius Mereka juga tidak sepenuhnya dapat
menerima sistem pemerintahan Khilafah universal yang sudah tidak relevan
dengan perkembangan zaman. Oleh karena itu, kelompok ini berusaha untuk
merunauskan sistem pemerintahan Islam dengan tetap berpijak pada akar akar
keislaman seperti pentingnya syura musyawarah, namun tidak menutup diri dari
pemikiran pemikiran berkembang yang tidak bertentangan dengan ajaran Islam.
Menurut kelompok ini, Islam memberikan seperangkat nilai nilai yang harus
diterapkan sesuai dengan kondisi yang dihadapi umatnya.

3. Kata fundamentalis yang berasal dari kata fundamental yang berarti dasar atau

asal. Istilah fundamentalisme dalam pandangan Martin van Bruinessen,


mengimplikasikan suatu peneguhan kembali atas kebenaran kepercayaan
sebagaimana ada dalam kitab suci Bibel, yang kembali ditegakkan dalam rangka
menghadapi serangan gencar ilmu pengetahuan sekuler, terutama dalam
menghadapi teori evolusinya Darwin [ CITATION Muf19 \p 208 \l 1057 ].

Sementara itu, Judith Nagata menemukan kecenderungan yang lebih dinamis dari
penggunaan term fundamentalis. Kata ini telah mengalami perubahan domain.
Minimal ia menyebutkan ada tiga pemaknaan, yaitu bentuk dari kesadaran
nasionalis yang tinggi, gerakan keagamaan –khususnya Muslimyang ekstrim, dan
kecenderungan ideologi yang khas. Ini terlihat dari interpretasi yang berbeda
terhadap persoalan politik, pemaknaan, dan pelabelan, sehingga membedakan
kelompoknya dengan kelompok lain yang dianggap ‘musuh’. Hal tersebut
diekspresikan dengan sikap anti-keterbukaan dan anti-relativisme terhadap
perkembangan dan perubahan dunia kosmopolitan [ CITATION Teo19 \p 34 \l 1057 ] .

Mengenai istilah ‘radikal’ sendiri, Ungkapan radical dalam konteks keindonesiaan


didefinisikan dengan baik oleh Greg Fealy, seorang peneliti dari Australia. Ia
menilai bahwa kata “radical” pada dasarnya digunakan terhadap sesuatu yang
bersifat negatif, yaitu ejekan. Ia menyadari bahwa term radical menjadi sepi dari
makna jika tidak dirangkai dengan kata-kata lain. Berdasarkan itu, pada kasus
Indonesia, Greg Fealy mempermudah pendefinisian dengan merangkainya dalam
beberapa kata, sepertiradical islamic group. Berdasarkan gabungan tersebut ia
menemukan definisi radical secara lebih tepat. Suatu kelompok disebut
radikal,tambah Greg Fealy, memiliki beberapa karakter. Dalam hal ini, ia
menyebutkan dua karakter utama. Pertama, kelompok tersebut meyakini bahwa
teks al-Qur’an dan Sunnah dapat diimplementasikan secara utuh dan tekstual.
Kecenderungan ini lebih banyak terfokus kepada aspek hubungan sosial, ritual,
dan sanksi pelanggaran hukum. Kedua, kelompok radikal terlihat sangat reaktif
dalam bahasa, ide, kekerasan fisik terhadap sesuatu yang dianggap sekuler,
materialis, dan penyimpangan ajaran agama [ CITATION Teo19 \p 38 \l 1057 ].
Berdasarkan pendefenisian ini, Greg Fealy mengungkapkan bahwa fenomena
radical mesti dipahami dalam konteks islamic group secara umum. Oleh karena
itu, ia menilai keliru jika term ini dianggap terpisah dari kelompok moderat atau
liberal. Ia meyakinkan bahwa justru radikal tersebut ada dalam lingkaran
kelompok moderat. Greg Fealy menyontohkan realita ini dalam tubuh organisasi
Muhammadiah. Walaupun dianggap sebagai organisasi moderat, tetapi
Muhammadiah memiliki kerumitan tersendiri. Dalam hal ini, ia menyebutkan
realita lain dari sosok Ahmad Syafii Maarif yang dianggap liberal, tetapi pernah
dipercaya mempimpin Muhammadiah. Tokoh ini disebut Greg Fealy sebagai a
prominent advocate of religious tolerance karena sikapnya yang luarbiasa
memperjuangkan toleransi beragama. Tetapi, di sisi lain Muhammadiah dinilai
sangat mendukung beberapa ide radikal, bahkan terkadang bersuara seperti
mereka. Berdasarkan ini, Greg Fealy lebih cenderung menilai radical sebagai
perkembangan dari pemahaman keislaman, bukan menjadi ciri khas organisasi
tertentu.

Dalam konteks keindonesiaan, Greg Fealy mengakui bahwa penyematan radical


secara umum lebih relevan dialamatkan kepada kepada enam organisasi, yaitu
Darul Islam dan NII (Negara Islam Indonesia), JI (Jamaah Islamiah), MMI (Majlis
Mujahidi Indonesia), FPI (Front Pembela Islam), FKAW (Forum Komunikasi
Ahlus Sunnah wal Jamaah) dan Laskar Jihad, dan HT (Ḥizb al-Taḥrīr).45
Pembatasan kepada enam organisasi tersebut berdasarkan penelitian Greg Fealy
pada tahun 2004. Setelah itu, organisasi-organisasi tersebut telah mengalami
perubahan dan perpecahan. MMI, misalnya, mengalami perpecahan karena
keputusan Abu Bakar Baasyir yang keluar, lalu mendirikan JAT (Jamaah
Anshorut Tauhid). Begitu juga dengan HT Indonesia yang terpecah karena al-
Khattath—ketua HTI—keluar, lalu mendirikan FUI (Forum Umat Islam). Berbeda
dengan Laskar Jihad yang masih terdengar hanya namanya, tetapi aktivitasnya
telah dibekukan [ CITATION Teo19 \p 39 \l 1057 ].
4. Islam liberal adalah gerakan pembaharuan yang dimaksudkan untuk memberi

penekanan utama kepada pengembangan ilmu pengetahuan, diskursus keadilan,


keterbukaan, sikap toleransi, dan perlunya membangun integritas moral kaum
muslim dalam membangun kebangsaan Indonesia. Islam Liberal bukan hanya
memahami Islam sebagai agama, tetapi lebih jauh Islam sebagai peradaban. Istilah
Islam Liberal merupakan pengembangan lebih mendalam dari pemikiran dan
posisi Islam Moderat sering dihadapkan dengan “Islam Radikal” di satu sisi dan
Islam Liberal yang jauh lebih sekular di sisi lain. Sarjana yang pertama kali
menggunakan istilah Islam Radikal dan Islam Liberal di Indonesia adalah Greg
Barton, yang menggambarkan suatu gerakan mutakhir dalam Islam Indonesia yang
melampaui gerakan Islam tradisional dan gerakan Islam modern. Gerakan
progresif liberal yang dimaksud adalah gerakan yang Fazlur Rahman menyebutnya
“Islam Neo Modernis” di Indonesia dikembangkan oleh muridmuridnya yaitu
Ahmad Syafii Maarif, dan Nurcholis Madjid. Belakangan masuk Abdurrahman
Wahid, M. Dawam Rahardjo, Djohan Effendi masuk kategori ini [ CITATION Ero16 \p
18 \l 1057 ].

Ada tiga aspek yang bisa dilihat dari pola pemikiran Islam yang bercorak liberal
progresif yang bersifat akomodatif kritis di Indonesia, yaitu pertama, Islam tidak
boleh berdiri sendiri sehingga memperhadapkan Islam dengan negara. Dalam hal
ini, Pancasila tidak boleh dipertentangkan dengan Islam. Pandangan ini didasarkan
pada pemahaman religio politik bahwa tiap sila dalam Pancasila sejalan dengan
ajaranajaran agama Islam. Oleh karena itu, dalam pandangan kelompok ini, sama
sekali tidak penting dan juga tidak ada alasan bagi para pendukung Islam politik
untuk meragukan keabsahan Indonesia yang didasarkan pada ideologi non agama
(Pancasila). Kedua, sepanjang sejarah politik Orde Baru, umat Islam belum
pernah berada dalam posisi mampu membangun politik yang kuat, kecuali tahun
1955, dan itupun tidak berlangsung lama. Dalam kondisi seperti itu, umat Islam
tidak mampu memainkan perannya dalam birokrasi, bahkan di Kementrian
Agama. Yang terjadi adalah adanya proses peminggiran sistematis oleh rezim
Orde Baru sehingga aktivis Islam politik benar-benar tidak berkutik. Ketiga,
memulihkan citra Islam terutama aktivis politik muslim sebagai musuh negara.
Masuknya beberapa cendekiawan muslim dalam kabinet Soeharto periode 1992
dan 1997 adalah bukti konkret bahwa cendekiawan muslim dan juga aktivis Islam
politik telah mengubah orientasi politiknya secara lebih akomodatif. Yang
termasuk dalam kelompok ini adalah Wahid Institute, LkiS (Lembaga Kajian
Islam dan Sosial) di Yogyakarta, Jadul Maula dan sebagainya [ CITATION Ero16 \p
22 \l 1057 ].

Secara terminologi, kata sekular atau faham sekular dalam Ensiklopedi Britania,
sebagaimana dikutip oleh Dr. Yusuf Qardhawy, bahwa Sekularisme adalah sebuah
gerakan kemasyarakatan yang bertujuan memalingkan manusia dari kehidupan
akhirat dengan semata-mata berorientasi kepada dunia. Gerakan ini dilancarkan
karena pada abad-abad pertengahan, orang sangat cenderung kepada Allah dan
hari akhirat dan menjauhi dunia. Sekularisme tampil untuk menghadapinya dan
untuk membawa kecenderungan manusia yang pada abad kebangkitan, orang
menampakkan ketergantungannya yang besar terhadap aktualisasi kebudayaan dan
kemanusiaan serta kemungkinan terealisasinya ambisi mereka terhadap dunia
[ CITATION Suh12 \p 74 \l 1057 ].

Masuknya ideologi-ideologi dunia ke Indonesia terjadi para permulaan abad ke-


19. Jika digeneralisasikan, maka ideologi-ideologi tersebut terdapat dua macam
ideologi. Pertama, ideologi universal, yaitu ideologi yang menginginkan agar
agama menjadi kekuatan penentu (utama) dalam kehidupan bernegara atau negara
teokrasi. Kedua, ideologi sekular, yakni suatu ideologi yang mengehndaki agar
jangan sampai agama menjadi salah satu kekuatan penentu dalam kehidupan
kenegaraan. Negara harus netral dalam urusan agama.34 Jika melihat
perkembangan yang ada dalam sejarah Indonesia, sehingga wajar, jika hubungan
politik antara Islam dan negara di Indonesia pada sebagian besar babakan
sejarahnya merupakan cerita antagonisme dan kecurigaan satu sama lain.
Hubungan yang tidak harmonis ini, terutama disebabkan oleh perbedaan
pandangan para pendiri republik ini yang sebagian besar muslim mengenai negara
Indonesia merdeka yang dicita-citakan. Salah satu butir terpenting dalam
perbedaan pendapat itu adalah apakah negara itu bercorak "Islam" atau
"nasionalis". Konstruk kenegaraan yang pertama mengharuskan agar Islam, karena
sifatnya yang holistik dan kenyataan bahwa agama itu dianut oleh sebahagian
besar penduduk, diakui dan diterima sebagai dasar ideologi negara. Tetapi atas
pertimbangan bahwa Indonesia adalah negara yang secara sosio-religius bersifat
majemuk, maka demi persatuan dan kesatuan nasional, konstruk kenegaraan yang
kedua menghendaki agar Indonesia didasarkan atas Pancasila [ CITATION Suh12 \p
82 \l 1057 ].

Referensi

Erowati, D. (2016). Islam Liberal dI Indonesia (Pemikiran dan Pengaruhnya Dalam Pemikiran
Politik Islam di Indonesia). Jurnal Ilmiah Ilmu Pemerintahan , 2 (2), 18-32.
Hashemi, N. (2010). Islam, Sekularisme, dan Demokrasi Liberal. Jakarta: Gramedia.
Hasyim, A. (2019). Teologi Islam Puritan Geneologi dan Ajaran Salafi (3 ed.). Tangerang:
Maktabah Darus-Sunnah.
Hatta, M. (1980). Alam Pemikiran Yunani. Jakarta: Tintamas.
Iqbal, M., & Nasution, A. H. (2010). Pemikiran Politik Islam dari Masa Klasik hingga
Indonesia Kontemporer. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Mufti, M., & Rahman, M. T. (2019). Fundamentalis dan Radikalis Islam di Tengah Kehidupan
Sosial Indonesia. Temali: Jurnal Pembangunan Sosial , 2 (2), 204-218.
Nasution, H. (1986). Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya. Jakarta: UI Press.
Suhandi. (2012). Sekularisasi di Indonesia dan Implikasinya Terhadap Konsep Kenegaraan.
al-Adyan , VII (12), 71-90.

Anda mungkin juga menyukai