Anda di halaman 1dari 48

BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM LAPORAN KASUS

ANEMIA NORMOSITIK NORMOKROM

Disusun oleh:

dr. Vicentia Pical

Konsulen

dr. Briliant Wisnu, Sp.PD

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS INTERNSIP


PADA BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM
RSUD KABUPATEN BURU
NAMLEA
2020
BAB I

LAPORAN KASUS

I. Identitas Pasien
Nama: Tn. HB
Umur: 59 tahun
Agama: Islam
Pekerjaan: Petani
Alamat: Desa Bara
Tanggal masuk 06 Januari 2020
Tanggal keluar 11 Januari 2020
II. Anamnesis
Keluhan utama:
Pasien datang dengan keluhan lemas dan pucat

Riwayat penyakit sekarang:


Pasien datang dengan keluhan lemas dan pucat sejak 1 minggu yang lalu,
makan minum baik, BAB dan BAK lancar normal, demam (-). Riwayat
perdarahan (-),. Pasien juga sering mengeluhkan nyeri perut kanan atas hilang
timbul disertai perut kiri yang membesar dan keras sejak 10 bulan terakhir.

Riwayat penyakit dahulu:


Riwayat transfusi darah (+) berulang sejak ± 10 bulan yang lalu, sudah 2x
transfusi darah, terakhir transfusi 1 bulan yang lalu
Hipertensi: Disangkal
DM: Disangkal

Riwayat penyakit keluarga:


Pada anggota keluarga tidak didapati keluhan yang sama seperti pasien.
Riwayat pemakaian obat: -
III. Pemeriksaan fisik
Keadaan umum : Sakit sedang
Kesadaran : Compos Mentis
TD : 110/70 mmHg
Nadi : 86 x/ menit, kuat angkat
Pernapasan : 20 x/ menit
Suhu : 36,5 °C

IV. Status Generalis


Kepala : Normocephal, rambut hitam, tidak mudah dicabut
Mata : Conjungtiva anemis (+/+), sklera ikterik (-/-), refleks cahaya (+/+)
diameter pupil 3mm/ 3mm
Telinga : Sekret (-)
Hidung : Sekret (-)
Mulut : Bibir tampak normal, caries gigi (-)
Thorax
Pulmo
- Inspeksi : Pengembangan dinding dada simetris, retraksi iga (-)
- Palpasi : Ketinggalan gerak napas (-)
- Perkusi : Sonor pada kedua lapang paru
- Auskultasi: Vesikular (+/+), rhonki (-/-), wheezing (-/-)
Cor
- Inspeksi : Ictus cordis tak tampak
- Palpasi : Ictus cordis teraba di ICS V
- Perkusi : Redup
- Auskultasi: Reguler, murmur (-), gallop (-)
Abdomen
- Inspeksi : Perut datar
- Auskultasi: Bising usus (+) normal,
- Palpasi : Dinding perut supel, nyeri tekan (-), hepar tidak teraba, lien teraba
schuffner VII
- Perkusi : Perkusi redup pada regio lumbal sinistra dan iliaka sinistra
Ekstremitas: Akral hangat, CRT <2”

V. Hasil Laboratorium
Pemeriksaan darah rutin tanggal 06 Januari 2020

Parameter Hasil Nilai Rujukan


WBC 5.61 [10³/uL] 4.50 – 11.00
RBC 2.34 [106/uL] 4.20 – 6.10
HGB 6.4 [g/dL] 12.0 – 18.0
HCT 21.1 [%] 37.0 – 52.0
MCV 90.2 [fL] 86.0 – 110.0
MCH 27.4 [pg] 26.0 – 38.0
MCHC 30.3 [g/dL] 31.0 – 37.0
PLT 12 [103/uL] 150 – 450
NEUTROFIL 3.45 [103/uL] 1.50 – 7.00
LIMFOSIT 1.16 [103/uL] 1.00 – 3.70
MONOSIT 0.36 [103/uL] 0.00 – 0.70
EOSINOFIL 0.29 [103/uL] 0.00 – 0.40
BASOFIL 0.35 [103/uL] 0.00 – 0.10
GOL. DARAH O (+)
GDS 140 mg/dl

Pemeriksaan darah kimia tanggal 06 Januari 2020

Parameter Hasil Nilai Rujukan


Ureum 21 6 – 20 mg/dl
Kreatinin 0.73 L= 1 – 1.7
P= 0 – 1.3

Pemeriksaan hapusan darah tepi

Parameter Hasil
Eritrosit Normokrom, normosit, anisositosis, mikrosit,
polikromasi, ovalosit, spherosit, sel target, eritroblast (-)
Leukosit Jumlah normal, sel blast (-)
Trombosit Jumlah menurun, penyebaran merata
Kesimpulan: Anemia normokromik normositik dengan trombositopenia
suspek ec. Sferositosis
VI. Resume
Pasien datang dengan keluhan lemas dan pucat sejak 1 minggu yang lalu,
makan minum baik, mual/muntah (-). BAB dan BAK lancar normal,
Riwayat BAB hitam disangkal, demam (-). Riwayat perdarahan (-),.
Pasien juga sering mengeluhkan nyeri perut kanan atas hilang timbul.
Riwayat transfusi darah (+) berulang sejak ± 10 bulan yang lalu, sudah 2x
transfusi darah, terakhir transfusi 1 bulan yang lalu. Pada pemeriksaan
fisik ditemukan pasien terlihat lemas dan tampak pucat, palpasi abdomen
terdapat splenomegaly schuffner VII, hasil lab yang bermakna Hb 6,4 g%,
Trombosit 12000.

VII. Diagnosa Kerja


Anemia normositik normokrom ec. sferositosis
Trombositopenia
VIII. Terapi
IVFD NaCl 0,9% 20 tpm
Omeprazole 40 mg/ IV/ 24 jam
Konsul dr. Briliant Wisnu, Sp.PD
- Diet TKTP
- Pro transfusi 1 labu/ hari sampai Hb >10
- Premed difenhidramin 1 ampul dan paracetamol 1 tablet
- Asam folat/ tablet tambah darah 3 x 1
- Periksa hapusan darah tepi

IX. Prognosis

- Quo ad vitam : Dubia

- Quo ad fungsionam : Dubia

- Quo ad sanationam : Dubia malam


X. Follow-Up di Bangsal

Tanggal Subjective (S), Objective (O), Assasement (A) Planning (P)


07/01/2020 S: Lemas (+), sudah transfusi 3x - Terapi lanjut
Hari O: Anemis membaik, splenomegaly (+) - KIE pasien dan
perawatan A: Anemia normositik normokrom ec. Sferositosis keluarga transfusi 2
ke – 1 Trombositopenia ec. Hipersplenisme labu/ hari (pagi-
sore)
- DL ulang post 3
labu
08/01/2020 S: Keluhan (-) - USG abdomen
Hari O: Anemis membaik, splenomegaly (+) - Diet TKTP
perawatan Pemeriksaan darah rutin tanggal 08 Januari 2020: - Terapi lain tetap
ke – 2 Parameter Hasil Nilai - DL ulang bila Hb
Rujukan <10  transfusi
WBC 5.01 [10³/uL] 4.50 – 11.00 lanjut
RBC 3.09 [106/uL] 4.20 – 6.10
HGB 8.5 [g/dL] 12.0 – 18.0
HCT 26.8 [%] 37.0 – 52.0
MCV 86.7 [fL] 86.0 – 110.0
MCH 27.5 [pg] 26.0 – 38.0
MCHC 31.7 [g/dL] 31.0 – 37.0
PLT 11 [103/uL] 150 – 450
NEUTROFIL 3.07 [103/uL] 1.50 – 7.00
LIMFOSIT 0.98 [103/uL] 1.00 – 3.70
MONOSIT 0.35 [103/uL] 0.00 – 0.70
EOSINOFIL 0.19 [103/uL] 0.00 – 0.40
BASOFIL 0.42 [103/uL] 0.00 – 0.10
Kesan:
- Hepatosplenomegali
- Multiple cholelitiasis

A: Anemia normositik normokrom ec. Sferositosis


Trombositopenia ec. Hipersplenisme
09/01/2020 S: Nyeri punggung - Terapi lanjut
Hari O: Splenomegali (+) - Transfusi PRC 1
perawatan labu/ hari
ke – 3 Pemeriksaan darah kimia tanggal 09 Januari 2020: - Na diclofenac 2 x
Parameter Hasil Nilai 25mg
Rujukan - Omeprazole 2 x
Bilirubin Total 2.2 mg/dl <1 20 mg ac
A: Anemia normositik normokrom ec. Sferositosis
Trombositopenia ec. Hipersplenisme
10/01/2020 S: Keluhan (-), sudah transfuse kolf ke V Terapi lanjut
Hari O: Anemis membaik, splenomegaly (+)
perawatan Pemeriksaan darah rutin tanggal 10 Januari 2020:
ke – 4 Parameter Hasil Nilai
Rujukan
WBC 4.67 [10³/uL] 4.50 – 11.00
RBC 3.11 [106/uL] 4.20 – 6.10
HGB 8.4 [g/dL] 12.0 – 18.0
HCT 26.6 [%] 37.0 – 52.0
MCV 85.5 [fL] 86.0 – 110.0
MCH 27.0 [pg] 26.0 – 38.0
MCHC 31.6 [g/dL] 31.0 – 37.0
PLT 10 [103/uL] 150 – 450
A: Anemia normositik normokrom ec. Sferositosis
Trombositopenia ec. Hipersplenisme
11/01/2020 Keluarga minta pulang paksa Tidak dibekali obat
Hari
perawatan
ke – 5

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Sistem Hematopoesis1

2.1.1 Tahapan hematopoesis

Sistem hematopoetik mempunyai karakteristik berupa pergantian sel yang


konstan dengan konsekuensi untuk mempertahankan populasi leukosit, trombosit
dan eritrosit. Sistem hematopoetik dibagi menjadi 3, yaitu:

1. Sel stem (progenitor awal) yang menyokong hematopoesis

2. Colony forming unit (CFU) sebagai pelopor yang selanjutnya berkembang dan
berdiferensiasi dalam memproduksi sel

3. Faktor regulator yang mengatur agar sistem berlangsung beraturan

Perkembangan sistem vaskuler dan hematopoesis dimulai pada awal


kehidupan embrio dan berlangsung secara paralel/bersamaan sampai masa
dewasa. Perkembangan ini mempunyai hubungan dengan lokasi anatomi yang
menyokong hematopoesis tersebut. Secara garis besar perkembangan
hematopoesis dibagi menjadi 3 periode:

1. Hematopoesis yolk sac (mesoblastik atau primitif)

Sel darah dibuat dari jaringan mesenkim 2-3 minggu setelah fertilisasi.
Mula-mula sel tersebut dibentuk dalam pulau-pulau darah (blood islands) dari
yolk sac yang merupakan pelopor dari sistem vaskuler dan hematopoesis.
Selanjutnya sel eritrosit dan megakariosit dapat diidentifikasi dalam yolk sac pada
masa gestasi 16 hari. Sel induk primitif hematopoesis yang berasal dari mesoderm
mempunyai respons terhadap faktor pertumbuhan antara lain eritropoetin, IL-3,
IL-6, dan faktor sel stem. Sel induk hematopoesis (blood borne pluripotent
hematopoetic progenitors) mulai berkelompok dalam hati janin pada masa gestasi
5-6 minggu. Pada masa gestasi 8 minggu blood islands mengalami regresi.

2. Hematopoesis hati (definitif)


Hematopoesis hati berasal dari sel stem pluripoten yang berpindah dari
yolk sac. Hematopoesis terbentuk dalam hati saat masa gestasi 9 minggu.
Hematopoesis dalam hati yang terutama adalah eritropoesis, namun masih
ditemukan pula sirkulasi granulosit dan trombosit. Hematopoesis hati mencapai
puncaknya pada masa gestasi 4-5 bulan kemudian mengalami regresi perlahan-
lahan. Pada masa pertengahan kehamilan, tampak pelopor hematopoetik terdapat
di limpa, thymus, kelenjar limfe, dan ginjal. Dalam limpa dibentuk eritropoesis
dan leukopoesis sampai bulan kelima kehidupan fetus. Limpa terutama
membentuk sistem limfosit. Timus terutama membentuk limfosit, sedikit mielosit
dan eritroblas.

3. Hematopoesis medular

Merupakan periode terakhir dalam sistem hematopoesis dan dimulai sejak


masa gestasi 4 bulan. Ruang medular terbentuk dalam tulang rawan dan tulang
panjang dengan proses reabsorpsi. Mula-mula sel eritropoetik terutama dibuat
dalam hati sedangkan sel leukosit dalam sumsum tulang. Namun dalam
perkembangan selanjutnya fungsi pembuatan sel darah diambil alih oleh sumsum
tulang dan hepar tidak berfungsi lagi untuk membuat sel darah. Pada masa gestasi
32 minggu sampai lahir semua rongga sumsum tulang diisi jaringan hematopoetik
yang aktif dan sumsum tulang penuh berisi sel darah.

Sel mesenkim yang mempunyai kemampuan untuk membentuk sel darah


menjadi berkurang namun tetap ada dalam sumsum tulang, hati, limpa, kelenjar
getah bening, dan dinding usus. Sel-sel ini dikenal secara umum sebagai sistem
retikuloendotelial. Pada bayi dan anak, hematopoesis yang aktif terutama terdapat
pada sumsum tulang, termasuk bagian distal tulang panjang. Sedangkan pada
dewasa sistem hematopoetik terbatas pada vertebra, tulang iga, sternum, pelvis,
skapula, tulang tengkorak, dan jarang berlokasi pada tulang panjang.
Gambar 1. Tahapan hematopoesis2

2.1.2 Eritropoesis

Eritropoesis adalah suatu proses dimana terjadi pembentukan/produksi


dari sel darah merah/eritrosit. Proses ini distimulasi oleh berkurangnya oksigen
dalam sirkulasi. Rendahnya kadar oksigen dalam darah dideteksi oleh ginjal, yang
kemudian mensekresikan hormon eritropoetin. Hormon ini menstimulasi
proliferasi dan diferensiasi dari prekursor sel darah merah, yang kemudian
mengaktivasi sistem eritropoesis pada sistem hematopoetik.

Dalam proses maturasi sel darah merah, sel tersebut mengalami suatu
rangkaian diferensiasi. Hemositoblas merupakan suatu stem cell hematopoetik
yang pluripoten. Sel ini kemudian berdiferensiasi menjadi common myeloid
progenitor dan common lymphoid progenitor. Sel darah merah sendiri dibentuk
dari diferensiasi dari common myeloid progenitor, sedangkan common lymphoid
progenitor merupakan prekursor dari sel limfosit. Common myeloid progenitor
mengalami diferensiasi menjadi pronormoblas (proeritroblas atau rubriblas)
kemudian menjadi basofilik normoblas (eritroblas). Setelah itu basofilik
normoblas berkembang menjadi polychromatic normoblast lalu orthochromatic
normoblast. Nukleus dari orthochromatic normoblast menghilang dan menjadi
polychromatic erythrocyte (retikulosit). Retikulosit dilepaskan dari sum-sum
tulang dan masuk ke dalam sirkulasi, sebelum kemudian menjadi eritrosit matur
setelah 1-2 hari berada dalam sirkulasi. Dalam sirkulasi darah dapat ditemukan
kurang lebih 1% retikulosit. Dalam proses maturasi sel darah merah ini
dibutuhkan dua vitamin, yaitu vitamin B12 dan asam folat. Defisiensi dari salah
satu vitamin ini menyebabkan kegagalan maturasi sel darah merah, yang
bermanifestasi sebagai retikulositopenia.

Gambar 2. Sistem hematopoetik3


Gambar 3. Maturasi sel darah4

2.2 Hemoglobin

2.2.1 Susunan hemoglobin

Hemoglobin merupakan kompleks protein yang terdiri dari heme, yang


mengandung besi, dan globin. Hem sendiri terdiri dari 4 struktur pirol dengan
atom Fe di tengahnya, sedangkan globin terdiri dari 2 pasang rantai polipeptida.
Sesuai dengan rangkaian sistem hematopoetik yang dimulai dari yolk sac, limpa,
hati, dan sumsum tulang, terjadi pula perubahan sintesis hemoglobin. Sejak masa
embrio, janin, dan anak dewasa, sel darah merah mempunyai 6 hemoglobin,
antara lain:

Hemoglobin embrional : Gower-1, Gower-2, Portland

Hemoglobin fetal : Hb-F

Hemoglobin dewasa : Hb-A1 dan Hb-A2


A. Hemoglobin embrional

Selama masa gestasi 2 minggu pertama, eritroblas primitif dalam yolk sac
membentuk rantai globin-epsilon ( ) dan zeta (Z) yang akan membentuk
hemoglobin primitif Gower-1 (Z22). Selanjutnya mulai sintesis rantai 
mengganti rantai zeta, rantai  mengganti rantai  di yolk sac, yang akan
membentuk Hb-Portland (Z22) dan Gower-2 (22).

Hemoglobin yang terutama ditemukan pada masa gestasi 4-8 minggu adalah Hb
Gower-1 dan Gower-2 yaitu kira-kira 75% dan merupakan hemoglobin yang
disintesis di yolk sac, tetapi akan menghilang pada masa gestasi 3 bulan.

B. Hemoglobin fetal

Migrasi pluripoten sel stem dari yolk sac ke hati, diikuti dengan sintesis
hemoglobin fetal (22) dan awal dari sintesis rantai . Setelah masa gestasi 8
minggu, Hb F merupakan hemoglobin yang paling dominan dan setelah janin
berusia 6 bulan, Hb F merupakan 90% dari keseluruhan hemoglobin. Kadar Hb F
akan berkurang bertahap. Pada saat lahir, ditemukan kira-kira 70% Hb F dalam
sirkulasi. Sintesis Hb F menurun secara cepat setelah bayi lahir. Setelah usia bayi
6-12 bulan, hanya sedikit ditemukan Hb F dalam sirkulasi.

C. Hemoglobin dewasa

Pada masa embrio telah dapat dideteksi HbA 1 (22) karena telah terjadi
perubahan rantai sintesis rantai  menjadi  dan selanjutnya globin  meningkat.
Pada masa gestasi 6 bulan ditemukan 5-10% HbA 1, sedangkan pada waktu lahir
mencapai 30%. Pada saat bayi berusia 6-12 bulan sudah memperlihatkan
gambaran hemoglobin dewasa, yaitu sebanyak 98% HbA1, Hb F < 2% dan HbA2
< 3%2.
Gambar 4. Hemoglobin prenatal-postnatal5
Gambar 5. Struktur hemoglobin6

2.2.2 Fungsi hemoglobin

Hemoglobin merupakan protein yang berfungsi mengangkut oksigen dari


paru-paru ke jaringan, serta mengangkut karbon dioksida dari jaringan kembali ke
paru-paru.

Gambar 6. Fungsi hemoglobin7


2.2.3 Katabolisme hemoglobin

Hem dibentuk dalam semua sel tubuh dan bukan saja merupakan bagian
penting dari hemoglobin, tetapi juga merupakan bagian dari sitokrom dan enzim
pernafasan yang penting. Persenyawaannya terdiri dari cincin porfirin dengan
atom Fe di tengahnya. Cincin porfirin dibentuk oleh 4 pirol yang terikat satu
dengan yang lainnya melalui ikatan metan. Setiap pirol dibentuk oleh asam
suksinat dan glisin. Kedua persenyawaan ini bersatu dan membentuk molekul
asam - amino- levulinat (-amino levulinic acid), disingkat menjadi -ALA. Dua
molekul -ALA ini bersenyawa untuk membentuk porfobilinogen yang
mempunyai struktur pirol.

Empat molekul porfobilinogen akhirnya membentuk ikat porfirin (protoporfirin


IX) dan setelah mengikuti Fe++ dibentuklah hem. Peristiwa ini terjadi dalam
mitokondria sel tubuh atau sel darah muda. Dengan globin yang telah terbentuk
tersebut, hem membentuk hemoglobin.

Penghancuran sel darah merah terjadi dalam sistem retikuloendotelial,


yaitu dalam hati dan limpa. Rantai porfirin dipecah oleh suatu proses oksidasi
pada jembatan -metan, sedangkan Fe tetap terikat pada ada persenyawaan dan
globin pun tetap tidak terputus. Persenyawaan ini disebut verdo-hemoglobin.
Kemudian Fe dan globin lepas dan terbentuklah biliverdin. Dalam tubuh manusia,
biliverdin ini cepat diubah menjadi bilirubin. Fe yang dilepaskan diikat oleh
protein dalam jaringan dan melalui plasma diangkut untuk dipergunakan kembali,
sedangkan globin yang dilepaskan selanjutnya akan dipecah menjadi asam amino
lagi. Bilirubin yang dibentuk (tidak larut dalam air) diikat oleh albumin dan
diangkut dalam plasma dari tempat penghancuran hemoglobin tersebut ke hati.
Dalam hati bilirubin ini bersenyawa dengan asam glukoronat dengan bantuan
enzim glukoronil transferase. Bilirubin yang belum bersenyawa dengan asam
glukoronat disebut bilirubin indirek. Sedangkat bilrubin yang telah bersenyawa
dengan asam glukoronat disebut bilirubin direk. Bilirubin direk ini akan keluar
dari hati dan masuk ke dalam saluran pencernaan. Oleh bakteri dalam usus
bilirubin direk ini akan diubah menjadi urobilinogen. Selanjutnya urobilinogen
akan dioksidasi menjadi urobilin yang akan dikeluarkan bersama-sama tinja
(disebut sterkobilin). Sebagian dari urobilinogen yang terdapat dalam usus akan
diserap kembali melalui plasma, sebagian kembali ke hati dan sebagian lagi
dikeluarkan melalui ginjal dalam urin.

Gambar 7. Heme8
2.3 Anemia

2.3.1 Definisi dan epidemiologi

Anemia didefinisikan sebagai nilai hemoglobin di bawah batas nilai


normal sesuai dengan usia.9

Kelompok usia dan gender Batas nilai hemoglobin (gr/dl)


Anak 6 bulan - 4.99 tahun 11
Anak 5 tahun – 11.99 tahun 11,5
Anak 12 tahun – 14.99 tahun 12
Wanita tidak hamil ( 15 tahun) 12
Wanita hamil 11
Pria ( 15 tahun) 13
Tabel 1. Batas nilai hemoglobin berdasarkan usia dan gender

2.3.2 Etiologi

Berdasarkan etiologinya, anemia dapat dibagi menjadi10:

1. Kurangnya produksi/kegagalan produksi sel darah merah

a. Anemia aplastik

Merupakan keadaan yang disebabkan berkurangnya sel darah dalam darah


tepi sebagai akibat terhentinya pembentukan sel hemopoetik dalam sumsum
tulang. Anemia aplastik dapat terjadi karena kelainan bawaan (congenital) atau
didapat (acquired).

a.1 Faktor kongenital

Sindrom Fanconi yang biasanya disertai kelainan bawaan lain seperti


mikrosefali, strabismus, anomali jari, kelainan ginjal, dan sebagainya.

a.2 Faktor didapat

1. Bahan kimia, seperti benzene, insektisida, dan lain-lain


2. Obat-obatan, seperti kloramfenikol, mesantoin (antikonvulsan),
piribenzamin (antihistamin), obat sitostatika (myleran, methotrexate,
vincristine, dan sebagainya)

3. Radiasi

4. Idiopatik

b. Anemia defisiensi

Anemia defisiensi adalah anemia yang disebabkan oleh kekurangan satu


atau beberapa bahan yang diperlukan untuk pematangan eritrosit.

b.1 Anemia defisiensi besi

Anemia defisiensi besi dapat disebabkan oleh meningkatnya kebutuhan zat


besi atau menurunnya asupan zat besi. Salah satu penyebab penting anemia
defisiensi besi ialah infeksi parasit (cacing). Selain itu dapat juga disebabkan oleh
insufisiensi zat besi, malabsorpsi, perdarahan kronis, dan hipokloridia/akloridia
(seringkali karena terapi proton pump inhibitor jangka lama).

b.2 Anemia defisiensi asam folat

Defisiensi asam folat dapat terjadi pada mereka yang kurang mengonsumsi
makanan kaya asam folat, seperti buah-buahan citrus dan sayuran hijau. Defisiensi
asam folat juga dapat terjadi bila absorbsi asam folat menurun, misalnya pada
kasus alkoholisme dan pada pasien dengan penyakit ginjal.

b.3 Anemia defisiensi vitamin B12

Anemia defisiensi vitamin B12 dapat terjadi pada vegetarian, sebab


vitamin B12 banyak terkandung pada produk hewani (telur, daging, susu). Selain
itu defisiensi vitamin B12 juga dapat terjadi pada kasus gangguan absorpsi
vitamin B12 karena defisiensi faktor intrinsik, yaitu protein yang esensial untuk
absorpsi vitamin B12 di ileum. Keadaan ini sering disebut anemia pernisiosa.
Terjadi destruksi autoimun terhadap sel parietal dari lambung yang memproduksi
faktor intrinsik sehingga terjadilah malabsorpsi vitamin B12.

c. Anemia karena penyakit kronis

c.1 Penyakit ginjal

Ginjal memproduksi hormon eritropoetin (EPO) yang akan menstimulasi


sum-sum tulang untuk memproduksi sel darah merah. Pada keadaan gangguan
ginjal, ginjal tidak dapat memproduksi EPO dalam jumlah yang adekuat sehingga
produksi sel darah merah pun akan terganggu.

c.2 Penyakit liver

Penyakit liver dapat menyebabkan anemia karena berbagai hal 8. Salah satu
penyebab penting anemia yaitu perdarahan akibat gangguan koagulasi darah.
Seperti yang kita ketahui, liver merupakan tempat produksi faktor-faktor
koagulasi darah. Mekanisme anemia lain yang dapat terjadi yaitu anemia aplastik
sekunder setelah hepatitis, atau merupakan efek samping pengobatan hepatitis
dengan interferon dan ribavirin. Pada kasus alkoholisme (jarang pada anak-anak),
dapat terjadi anemia karena malabsorpsi atau efek toksik langsung ke sel darah
merah.

c.3 Infeksi kronis

c.4 Neoplasia

d. Anemia Diamond-Blackfan (pure red cell aplasia)


Pure red cell aplasia (PRCA) merupakan gangguan dimana terjadi
kegagalan maturasi eritrosit. Pada sum-sum tulang tidak terdapat eritroblas yang
merupakan prekursor dari eritrosit. Keadaan ini berbeda dari anemia aplastik,
dimana pada pure red cell aplasia ini produksi leukosit dan trombosit normal7.
PRCA dapat disebabkan oleh kelainan congenital, infeksi virus, atau karena
penggunaan obat-obatan tertentu (Azathioprine, kloramfenikol, tiamfenikol,
isoniazid, dll).

2. Penghancuran

Terjadi akibat penghancuran (hemolisis) eritrosit yang berlebihan. Anemia


hemolitik dapat terjadi akibat kelainan intrasel (proses hemolisis terdapat dalam
eritrosit sendiri) ataupun ekstrasel. Proses hemolisis intrasel umumnya disebabkan
oleh kelainan bawaan (congenital), sedangkan hemolisis ekstrasel umumnya
disebabkan oleh faktor yang didapat (acquired).

a. Faktor intrasel

Sickle cell anemia, talasemia, sferositosis congenital, defisiensi enzim


eritrosit (G-6PD, piruvat kinase, glutation reduktase).

b. Faktor ekstrasel

Intoksikasi, infeksi (malaria), imunologis (inkompatibilitas golongan


darah, reaksi hemolitik pada transfusi darah).

3. Perdarahan
a. Perdarahan akut

Perdarahan akut pada bayi baru lahir dapat terjadi karena trauma
persalinan. Perdarahan ini kadang tidak terdeteksi sampai terjadi keadaan syok.
Anemia yang terjadi pada bayi usia 24-72 jam tanpa ikterus umumnya disebabkan
oleh perdarahan internal. Perdarahan yang terjadi akibat trauma dapat berupa
perdarahan ekstrakranial, perdarahan intrakranial, atau perdarahan intra abdomen.

b. Perdarahan kronis

Perdarahan yang bersifat kronis dapat disebabkan oleh perdarahan


gastrointestinal, misalnya karena ulkus peptikum. Selain itu juga dapat disebabkan
oleh proses keganasan, seperti kanker kolon, walaupun jarang terjadi pada anak-
anak. Perdarahan yang bersifat kronis ini akan menyebabkan defisiensi zat besi.

2.3.3 Patofisiologi

Pada keadaan normal, ketika tubuh mengalami hipoksia, akan terjadi dua
mekanisme untuk mengatasi keadaan hipoksia ini yaitu peningkatan ekspresi
eritropoetin dan penurunan ekspresi hepcidin. Hepcidin sendiri merupakan
hormon peptida yang diproduksi oleh liver yang berfungsi untuk mengatur
homeostasis zat besi dalam tubuh. Hepcidin menginhibisi transport zat besi
dengan cara berikatan dengan kanal zat besi ferroportin pada sel-sel saluran cerna
(enterosit) dan membran plasma dari sel-sel retikuloendotelial (makrofag).
Dengan menghambat ferroportin, hepcidin mencegah enterosit dari usus untuk
mensekresikan zat besi ke sistem porta hepatika, sehingga akan menurunkan
absorpsi zat besi. Pada keadaan hipoksia, aktivitas hepcidin akan menurun,
sehingga terjadi peningkatan absorpsi zat besi. Selain itu aktivitas eritropoetin
akan meningkat. Kedua mekanisme ini menyebabkan peningkatan aktivitas
eritropoesis hingga tercapai keadaan normoksia.
Gambar 9. Mekanisme tubuh untuk mempertahankan keadaan normoksia10

Banyak keadaan-keadaan yang dapat menyebabkan terjadinya anemia.


Pada hemolisis dan perdarahan terjadi destruksi eritrosit prematur. Normalnya
eritrosit memiliki umur 110-120 hari dalam sirkulasi. Sedangkan pada kasus
infeksi, keganasan, dan imunoterapi terjadi proses inflamasi sehingga terbentuklah
sitokin-sitokin yang dapat menyebabkan penurunan respon EPO terhadap anemia
serta penurunan respon sum-sum tulang terhadap EPO. IL-6 juga dapat
menstimulasi liver untuk mensekresikan hepcidin sehingga terjadi penurunan
absorpsi zat besi dan peningkatan sekuestrasi zat besi. Semua mekanisme tersebut
akan berujung pada keadaan anemia. Defisiensi nutrisional dan inflitrasi sum-sum
tulang juga akan menyebabkan anemia akibat menurunnya respon sum-sum
tulang terhadap EPO.

Gambar 10. Patofisiologi anemia10

2.3.4 Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis yang timbul pada anemia dapat bermacam-macam


tergantung dari etiologi dan derajat keparahan anemia. Pada anemia ringan
mungkin dapat bersifat asimptomatik. Pada anemia terjadi penurun kapasitas
pengangkutan oksigen ke jaringan. Oleh sebab itu manifestasi yang muncul
berkaitan dengan keadaan hipoksia jaringan, seperti kelemahan otot, mudah lelah,
takipnea, sesak nafas saat aktivitas, takikardia, dan dapat pula terjadi gagal
jantung kongestif pada anemia yang berat dengan sebab apapun3.

Manifestasi sistem saraf pusat dapat berupa sakit kepala, rasa melayang
(dizziness), iritabilitas, daya pikir lambat, penurunan atensi, dan apatis. Pada
anemia kronis yang parah dapat terjadi gangguan pertumbuhan anak karena
adanya metabolisme seluler yang terganggu. Biasanya hal ini disertai dengan
keadaan anoreksia dan maturasi seksual yang terlambat.

2.3.5 Diagnosa

Diagnosa dapat ditegakkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan


pemeriksaan penunjang.

2.3.5.1 Anamnesis
Anamnesis harus dilakukan dengan teliti agar dapat ditemukan kelainan
yang mendasari kondisi anemia tersebut. Gali durasi dari anemia yaitu dengan
menanyakan langsung ke pasien kapan ia mulai merasakan gejala atau dapat
dengan mengumpulkan data-data mengenai pemeriksaan darah sebelumnya.
Tanyakan adanya riwayat jaundice, kolelitiasis, splenektomi, dan gangguan
perdarahan. Selain itu perlu digali juga mengenai pekerjaan pasien, terapi obat-
obatan yang pernah diterima, pajanan terhadap bahan-bahan kimia tertentu. Untuk
mencari adanya kehilangan darah, tanyakan mengenai kehamilan, aborsi, dan
menstruasi. Adanya tinja yang berwarna kehitaman (seperti tar) disertai perubahan
buang air besar dapat mengindikasikan adanya neoplasma pada kolon. Warna urin
yang abnormal dapat terjadi pada penyakit ginjal atau liver, serta pada anemia
hemolitik. Aspek lain yang perlu digali pada pasien anemia yaitu diet pasien.
Tanyakan makanan yang biasa dimakan dan makanan yang dihindari oleh pasien
beserta perkiraan jumlahnya.Adanya defisiensi nutrisional dapat berkaitan dengan
gejala-gejala tertentu yang dapat diidentifikasi melalui anamnesis. Pasien dengan
anemia defisiensi besi umumnya akan suka mengunyah es (pagophagia). Pada
defisiensi vitamin B12, terjadi pemutihan rambut dini, rasa terbakar pada lidah,
dan hilangnya proprioseptif. Paresthesia atau sensasi yang aneh yang kadang
dideskripsikan sebagai rasa nyeri dapat terjadi pada anemia pernisiosa. Pasien
dengan defisiensi asam folat dapat memilki gejala lidah terasa nyeri, keilosis, dan
steatorrhea. Untuk mendeteksi adanya steatorrhea, tanyakan apakah tinja
mengapung atau tenggelam dalam air, apakah perlu menyiram kloset lebih dari
sekali, atau apakah terdapat substansi seperti minyak yang mengapung pada
permukaan air saat buang air besar.

Tanyakan juga riwayat demam pada pasien dengan anemia. Infeksi dan
neoplasma dapat menyebabkan anemia yang disertai demam. Adanya purpura,
ekimosis, dan ptekiae menunjukkan adanya trombositopenia atau gangguan
pendarahan yang lain. Hal ini dapat mengindikasikan bahwa lebih dari 1 sistem
hematopoetik sumsum tulang yang terlibat, atau dapat juga menunjukan bahwa
koagulopati merupakan penyebab anemia karena adanya perdarahan. Gali adanya
gejala-gejala yang dapat menunjukkan adanya penyakit lain yang mendasari,
seperti penyakit jantung, liver, dan ginjal, ataupun infeksi kronis.

2.3.5.2 Pemeriksaan Fisik


Pertama-tama perhatikan habitus pasien. Amati adanya habitus yang tidak
normal, seperti pada pasien dengan malnutrisi atau penyakit kronis. Tanda-tanda
anemia yang dapat ditemukan berupa kulit dan mukosa yang pucat. Konjungtiva
merupakan lokasi yang mudah diperiksa untuk mengidentifikasi adanya anemia.
Spoon nail merupakan tanda yang dapat ditemui pada pasien dengan anemia
defisiensi besi. Kemudian lakukan pemeriksaan sistematis untuk mempalpasi
pembesaran kelenjar getah bening. Adanya limfadenopati dapat mengindikasikan
adanya infeksi atau suatu proses keganasan. Edema bilateral dapat menunjukkan
adanya penyakit jantung, ginjal, atau liver. Sedangkan edema unilateral
kemungkinan merupakan suatu obstruksi aliran pembuluh limfe karena keganasan
yang tidak dapat diobservasi atau palpasi. Pada palpasi abdomen, periksa adanya
hepatomegali atau splenomegali. Bila terdapat hepatomegali atau splenomegali,
palpasi untuk menentukan ukuran, adanya nyeri tekan, konsistensi, dan ada atau
tidaknya nodul. Pada pasien dengan penyakit kronis, pembesaran liver dan lien
umumnya tidak disertai nyeri tekan dan tidak ada nodul-nodul. Pada pasien
dengan keganasan, liver dapat teraba keras dan bernodul-nodul. Sedangkan pada
proses infeksi akut, biasanya terdapat nyeri tekan pada palpasi liver dan lien.

Pada pemeriksaan jantung, adanya pembesaran jantung dapat


menunjukkan durasi dan tingkat keparahan anemia. Adanya murmur dapat
menjadi tanda adanya endokarditis bakterial yang merupakan penyebab anemia.

2.3.5.3 Pemeriksaan penunjang


1. Pemeriksaan darah lengkap dan zat besi
Untuk menegakkan diagnosis anemia, diperlukan pemeriksaan darah lengkap,
yang mencakup kadar hemoglobin, hematokrit, leukosit, dan trombosit, serta
mean corpuscular volume (MCV), mean corpuscular hemoglobin concentration
(MCHC), dan Mean corpuscular hemoglobin (MCH).

 Mean corpuscular volume (MCV) = Volume rata-rata dari sel darah merah
pada sampel darah.
Hematokrit (%) X 10

Nilai sel darah merah (juta/uL)

Nilai normal: 84-96 fL (femtoliter)

 Mean corpuscular hemoglobin (MCH) = Isi hemoglobin dalam korpus sel


darah merah.
Hemoglobin (gr/dl) X 10

Nilai sel darah merah (juta/uL)

Nilai normal: 26-36 pg

 Mean corpuscular hemoglobin concentration (MCHC) = Konsentrasi


hemoglobin pada rata-rata sel darah merah.
Hemoblobin (gr/dl) X 100
Hematokrit (%)
Nilai normal: 32-36%

Suatu cara yang mudah untuk menentukan hemoglobin ialah sel darah
merah (juta/ul) x 3. Sedangkan untuk mendapatkan hematokrit dapat dengan
perhitungan sederhana hemoglobin x 3. Namun metode ini tidak sepenuhnya
akurat.

Pada anemia mikrositik hipokrom, dapat dilakukan pengukuran kadar zat


besi dalam serum (serum iron), total-iron binding capacity (TIBC), dan feritin
serum atau zat besi dalam sum-sum tulang (bone marrow iron). Nilai normalnya
ialah sebagai berikut:

 Serum Iron (SI):


Pria: 65 to 176 μg/dL
Wanita: 50 to 170 μg/dL
Bayi baru lahir: 100 to 250 μg/dL
Anak-anak: 50 to 120 μg/dL
 TIBC: 240–450 μg/dL

 Serum feritin:

Pria: 20-250 μg/L

Wanita: 15-150 μg/L

Apabila kadar zat besi dalam serum menurun dan TIBC meningkat, maka
diagnosis defisiensi zat besi dapat ditegakkan, terapi zat besi dapat dimulai, serta
dapat dicari penyebab dari defisiensi zat besi tersebut. Penyebab-penyebab dari
anemia mikrositik hipokrom dapat dilihat pada tabel 2.

Pada anemia makrositik, dapat dilakukan aspirasi sum-sum tulang untuk


menentukan apakah sel darah merah megaloblastik atau tidak. Pada anemia
megaloblastik, penyebab yang utama ialah defisiensi vitamin B12 atau asam folat.
Diagnosis dapat ditegakkan dengan pemeriksaan laboratorium untuk mengukur
kadar keduanya. Ketika telah diidentifikasi penyebab dari anemia megaloblastik
ini, maka harus dilakukan investigasi lanjutan untuk menemukan penyebab yang
mendasari defisiensi tersebut.

Anemia normositik normokrom dapat terjadi pada tiga keadaan, yaitu


perdarahan, hemolisis, dan berkurangnya produksi. Perlu dilakukan pemeriksaan
lebih lanjut untuk menentukan etiologi dari anemia normositik normokrom.
Tabel 2. Anemia mikrositik hipokrom (MCV < 83 fl; MCHC < 31%)

Total
Iron- Bone
Serum
Kondisi Binding Marrow Keterangan
Iron
Capacity Iron
(TIBC)

Defisiensi besi ↓ ↑ 0 Berespon terhadap terapi zat


besi

Inflamasi kronik ↓ ↓ ++ Tidak berespon terhadap


terapi zat besi

Talasemia ↑ N ++++ Terdapat retikulositosis dan


mayor peningkatan kadar bilirubin
indirek

Talasemia N N-↓ ++ Peningkatan HbF dan HbA2,


minor sel target, dan poikilositosis

Keracunan lead N N ++ Basophilic stippling dari sel


darah merah

Sideroblastik ↑ N ++++ Ring sideroblasts pada sum-


sum tulang

↓ = menurun; ↑ = meningkat; 0 = absen; +'s mengindikasikan jumlah dari kadar besi


pada spesimen sumsum tulang, pada skala 0-4; N = normal.
Tabel 3. Anemia makrositik (MCV >95 fl)

Megaloblastic bone marrow Deficiency of vitamin B-12

Deficiency of folic acid

Drugs affecting deoxyribonucleic acid (DNA)


synthesis

Inherited disorders of DNA synthesis

Nonmegaloblastic bone Liver disease


marrow
Hypothyroidism and hypopituitarism

Accelerated erythropoiesis (reticulocytes)

Hypoplastic and aplastic anemia

Infiltrated bone marrow


2. Pemeriksaan retikulosit

Merupakan pemeriksaan kuantitatif dari produksi sel darah merah baru oleh
sumsum tulang.

3. Sediaan apusan darah tepi

Pada pemeriksaan ini dapat dilihat ukuran dan bentuk (morfologi) dari sel
darah merah. Berbagai kelainan bentuk dari sel darah merah dapat mengarah ke
diagnosis tertentu. Selain itu, adanya Plasmodium falciparum malaria dapat
dinilai dari adanya lebih dari 1 cincin pada sel darah merah.
Tabel 4. Berbagai bentuk sel darah merah yang abnormal

Makrosit Ukuran lebih besar dari normal (diameter (>8.5 µm)

Mikrosit Ukuran lebih kecil dari normal (diameter (< 7 µm)

Hipokromik Terdapat hemoglobin yang lebih sedikit pada sel darah merah.
Terdapat area pucat sentral yang membesar.

Sferosit Hilangnya area pucat sentral, warna lebih pekat, seringkali


mikrositik.

Terdapat pada sferositosis herediter dan pada anemia hemolitik


didapat.

Sel target Hipokromik dengan “target” di daerah sentral dari hemoglobin.

Terdapat pada penyakit liver, talasemia, hemoglobin D, dan pasca


splenektomi.

Eliptosit Berbentuk oval/elips.

Terdapat pada eliptositosis herediter, anemia defisiensi B12 dan


defisiensi asam folat.

Skistosit Sel darah merah yang terfragmentasi seperti helm, atau berbentuk
segitiga.

Terdapat pada anemia mikroangiopatik, katup jantung buatan,


uremia, dan hipertensi malignan.

Stomatosit Area slitlike pada daerah pucat sentral dari sel darah merah.

Terdapat pada penyakit liver, alkoholisme akut, keganasan,


stomatositosis herediter. Dapat juga merupakan artifak.

Sel air mata Sel darah merah berbentuk seperti tetesan air mata, seringkali
mikrositik.

Terdapat pada mielofibrosis, infiltrasi sum-sum tulang oleh


tumor, dan talasemia.

Akantosit Terdapatnya 5-10 spikula dengan panjang yang bervariasi dan


jarak yang ireguler pada permukaan sel darah merah.

Ekinosit Terdapatnya spikula yang terdistribusi merata pada permukaan


sel darah merah, biasanya terdapat 10-30 spikula.

Terdapat pada uremia, ulkus peptikum, karsinoma gastric,


defisiensi pyruvic kinase. Dapat juga merupakan artifak.

Sel bulan sabit Sel darah merah yang memanjang dengan kedua ujungnya
(sickle cell) runcing (bentuk seperti bulan sabit).

Terdapat pada hemoglobin S dan tipe tertentu dari hemoglobin C


dan I
Gambar 11. Morfologi sel darah merah abnormal11
4. Pemeriksaan sumsum tulang

Dapat dilakukan aspirasi dan biopsi sumsum tulang untuk


mengidentifikasi adanya kelainan pada sum-sum tulang.

Gambar 12. Aspirasi sumsum tulang12

Gambar 13. Gambaran sum-sum tulang normal12


A. B.

Gambar 14a. Pewarnaan zat besi pada sum-sum tulang normal12

Gambar 14b. Keadaan defisiensi zat besi12

5. Coombs test13

Coombs test dilakukan untuk melihat adanya antibodi yang berikatan


dengan sel darah merah dan menyebabkan destruksi sel darah merah yang
prematur (hemolisis). Terdapat dua macam coombs test, yaitu direk dan indirek.
Tes coombs direk dilakukan untuk mendeteksi antibody yang telah berikatan di
permukaan sel darah merah. Beberapa penyakit dan obat-obatan (quinidine,
metildopa, prokainamid) dapat menyebabkan terbentuknya antibody ini.
Sedangkan tes coombs indirek dilakukan untuk mendeteksi antibodi dalam
sirkulasi yang belum terikat pada permukaan sel darah merah. Tes ini jarang
dilakukan untuk mendiagnosa suatu penyakit. Seringkali tes coombs indirek ini
dilakukan untuk menentukan apakah seseorang mungkin akan memiliki reaksi
terhadap transfusi darah.
Gambar 15. Tes coombs direk13

Gambar 16. Tes coombs indirek13


2.3.6 Tatalaksana

2.3.6.1 Tatalaksana umum


Tujuan dari ditegakkannya etiologi dari anemia ialah agar terapi yang
diberikan dapat efektif dan spesifik berdasarkan masing-masing etiologi.
Contohnya pada anemia hemolitik autoimun dapat diberikan steroid. Splenektomi
dapat berguna pada kasus sferositosis dan eliptositosis herediter. Pada kasus
anemia aplastik akibat pemakaian obat atau pajanan terhadap zat kimia tertentu,
maka pemberian obat atau pajanan tersebut harus segera dihentikan. Anemia
akibat perdarahan harus segera ditangani dan dihentikan penyebab perdarahan
tersebut. Penanganan anemia akibat penyakit kronis harus bertujuan untuk
mengatasi penyakit kronis yang mendasarinya.

2.3.6.2 Transfusi
Transfusi packed red cells (PRC) dapat diberikan pada pasien dengan
perdarahan aktif atau pada pasien dengan anemia berat yang memberikan gejala.
Transfusi merupakan terapi paliatif dan tidak dapat menjadi substitusi untuk terapi
yang spesifik. Pada penyakit kronis yang menyebabkan anemia, pemberian
eritropoetin dapat membantu mengurangi transfusi darah.

Produk-produk darah

Koreksi anemia yang terjadi secara akut umumnya memerlukan darah atau
produk-produk darah. Dengan adanya perdarahan yang terus berlanjut atau
hemolisis, maka transfusi darah saja tidaklah cukup. Namun, transfusi untuk
mengembalikan hemoglobin ke nilai normal dapat membantu mencegah
komplikasi akibat anemia akut.

a. Packed red cells (PRC)

Packed red cells (PRC) lebih sering dipakai daripada whole blood (darah
utuh) karena penggunaan PRC membatasi volume darah dan imunitas yang masuk
ke tubuh pasien. PRC memiliki plasma 80% lebih sedikit, serta lebih tidak
imunogenik dibanding darah utuh. PRC dapat disimpan lebih lama, yaitu selama
40 hari (dibandingkan darah utuh yang dapat disimpan selama 35 hari). PRC
didapatkan dari hasil sentrifugasi darah utuh.

Secara umum, untuk penderita anemia berat dengan kadar Hb < 4 gr/dl
diberikan transfusi PRC dengan dosis 2-3 ml/kgBB per satu kali pemberian
disertai pemberian diuretik seperti furosemid. Pemberian PRC juga dapat
diberikan dengan formula: BB (kg) x  Hb (Hb yang diinginkan – Hb saat ini) x
4.

b. Fresh frozen plasma

Fresh frozen plasma (FFP) mengandung faktor koagulasi, protein C, dan


protein S. Pemberian FFP dilakukan pada keadaan koagulopati yang
menyebabkan terjadinya perdarahan.

c. Trombosit  

Transfusi trombosit diberikan kepada pasien yang trombositopenia dengan


adanya perdarahan. Pasien dengan nilai trombosit < 10.000/ul berisiko untuk
mengalami perdarahan serebral spontan dan membutuhkan transfusi profilaktik.

2.3.6.3 Terapi nutrisional


Terapi nutrisional dilakukan pada keadaan anemia karena defisiensi zat
besi, vitamin B12, dan asam folat. Pasien-pasien vegetarian membutuhkan
suplemen zat besi dan vitamin B12. Anemia defisiensi zat besi memiliki
prevalensi tinggi pada daerah-daerah dimana konsumsi daging rendah. Zat besi
banyak terkandung pada daging ayam, kacang-kacangan, kuning telur, ikan,
daging, kacang kedelai. Asam folat banyak terdapat pada sayuran berdaun hijau.
2.3.6.4 Manajemen anemia aplastik

Terapi dari anemia aplastik mencakup penghentian dari agen-agen yang


dapat menjadi penyebab dari anemia aplastik, terapi suportif untuk anemia dan
trombositopenia, serta terapi untuk infeksi yang mungkin terjadi. Beberapa pasien
menunjukkan respon yang baik terhadap terapi imunosupresan (misalnya globulin
antitimosit, siklosporin).

2.3.6.5 Splenektomi
Splenektomi dapat berguna untuk terapi dari anemia hemolitik autoimun
dan pada beberapa gangguan hemolitik herediter tertentu (misalnya pada
sferositosis herediter dan eliptositosis).

2.3.6.6 Transplantasi sumsum tulang dan stem cell


Transplantasi sum-sum tulang dan stem cell telah dilakukan pada pasien-
pasien dengan leukemia, limfoma, penyakit Hodgkin, mieloma multipel,
mielofibrosis, dan anemia aplastik. Transplantasi ini dapat meningkatkan harapan
hidup serta dapat mengoreksi kelainan hematologis.

2.3.6.7 Medikamentosa
a. Suplemen mineral

Suplemen mineral diberikan untuk menyediakan zat besi dalam jumlah yang
adekuat untuk sintesis hemoglobin serta untuk memenuhi cadangan zat besi dalam
tubuh. Medikasi yang efektif dan ekonomis sebagai terapi anemia defisiensi besi
ialah suplemen zat besi yang diberikan secara oral. Pemberian zat besi secara
parenteral jarang dilakukan, dan hanya dilakukan pada pasien yang tidak dapat
mengabsorpsi zat besi oral atau terus mengalami anemia walaupun telah diberikan
zat besi oral dalam dosis yang adekuat10.
 Ferrous sulfate
Merupakan sediaan yang paling sering digunakan sebagai terapi anemia
defisiensi besi. Dosis untuk anak-anak yaitu 3-6 mg Fe/kg/hari dibagi
menjadi 3 dosis. Sebagai profilaksis dapat diberikan dosis 1-2 mg
Fe/kg/hari dibagi menjadi 3 dosis, tidak melebihi 15 mg/hari. Pemberian
suplemen ferrous sulfate ini dapat diberikan hingga 2 bulan setelah anemia
terkoreksi untuk mengoptimalkan cadangan zat besi dalam tubuh.

 Carbonyl iron
Carbonyl iron digunakan sebagai substitusi dari ferrous sulfate. Carbonyl
iron dilepaskan secara lambat sehingga lebih aman digunakan pada anak-
anak, namun harganya lebih mahal dibanding ferrous sulfate. Satu tablet
mengandung 45 mg dan 60 mg zat besi.

 Preparat besi parenteral


Pemberian besi secara intramuscular menimbulkan rasa sakit dan harganya
juga mahal. Preparat ini berisiko menimbulkan limfadenopati regional dan
reaksi alergi. Preparat yang sering dipakai adalah dekstran besi. Larutan
ini mengandung 50 mg besi/mL. Dosis dihitung berdasarkan: BB (kg) x
kadar Hb yang diinginkan (gr/dl) x 2,5.

b. Vitamin
Cyanocobalamin (vitamin B12) dan asam folat diberikan untuk terapi
anemia megaloblastik akibat defisiensi dari salah satu atau kedua vitamin tersebut.
Defisiensi vitamin K umumnya terjadi pada pasien dengan penyakit liver sehingga
terjadi gangguan pendarahan. Vitamin K juga dapat diberikan pada keadaan
perdarahan akibat penggunaan obat (misalnya aspirin).

c. Suplemen elektrolit
Kadar potassium dalam serum dapat menurun akibat terapi cobalamin atau
asam folat. Oleh sebab itu pada pemberian terapi vitamin B12 atau asam folat
perlu dilakukan pemantauan kadar elektrolit serta pemberian suplemen potassium
bila diperlukan (potassium chloride). Kehilangan 100-200 mEq potassium dapat
menyebabkan penurunan 1 mEq/L kadar potassium dalam serum.

d. Kortikosteroid

Diberikan pada keadaan anemia hemolitik autoimun atau idiopatik dengan dosis
2-10 mg/kg/hari1. Bila proses hemolitik menurun dengan disertai peningkatan
kadar hemoglobin maka dosis kortikosteroid diturunkan secara bertahap.
Pemberian gammaglobulin intravena pada pasien anemia hemolitik autoimun
dapat diberikan bersama-sama dengan pemberian kortikosteroid dengan dosis 2
gram/kgBB.

2.3.7 Prognosis

Prognosis dari anemia tergantung dari penyakit yang mendasarinya


(etiologi), tingkat keparahan, usia pasien, dan ada atau tidaknya kondisi komorbid
yang menyertai. Anemia yang segera mendapat penanganan yang adekuat
umumnya memiliki prognosis yang baik. Anemia akibat penyakit kronis
kemungkinan akan selalu berulang bila penyakit yang mendasarinya tidak
ditangani dengan baik. Pada kondisi anemia aplastik berat yang tidak segera
diterapi, tingkat kematian berkisar antara 60-70% dalam 2 tahun setelah
diagnosis10.
DAFTAR PUSTAKA

1. National Institutes of Health. Hematopoietic Stem Cells, US Department of


Health and Human Services, 2016
2. Cavaliere TA. Red Blood Cell Indices: Implications for Practice: Maturation
of RBCs. Newborn & Infant Nursing Reviews. 2004; 4(4): 231 – 239
3. Kaushansky K. Lineage-Specific Hematopoietic Growth Factors. NEJM,
2006; 354: 2034-2045
4. Lofsness K. Blood Cell Maturation. University of Minnesota.
5. University of Fribourg, Lausanne and Bern. Blood and lympathic tissue. The
formation of various Hb-Chains during the pregnancy. Human Embryology
Organogenesis, Switzerland
6. A Level Biology. Haemoglobin Structure and Function, 2015
7. Science in The News. High Altitude Hypoxia: Many Solutions To One
Problem, 2012
8. National Library of Medicine. Heme Structure. National Center for
Biotechnology Information.
9. World Health Organization. Haemoglobin concentrations for the diagnosis of
anemia and assessment of severity, 2011
10. Chaparro CM, Suchdev PS. Anemia epidemiology, pathophysiology, and
etiology in low and middle income countries. Annals of the New York
Academy of Sciences.
11. Akrimi JA, Jashami KAM. Frequency Rate of Abnormal Morphologic Shapes
of the Erythrocytes upon the Different Types of Anemia, 2013
12. National Cancer Institute. Bone Marrow Aspiration. National Institute of
Health
13. Theis SR, Hashmi MF. Coombs Test. StatPearls Publishing, 2019

Anda mungkin juga menyukai