Anda di halaman 1dari 15

Contract agreement model for murabahah financing in Indonesia

Islamic banking (Model akad akad pembiayaan murabahah di


perbankan syariah Indonesia)
Permata Wulandari and Niken Iwani Surya Putri Department Management, Faculty of Economy and Business,
Universitas Indonesia, Depok, Indonesia

Abstrak
Tujuan:
Tujuan dari makalah ini adalah untuk mengukur pola proses perjanjian kontrak untuk
memetakan berbagai posisi bank dalam memahami perilaku Syariah. Hal ini dilakukan dengan
memasukkan dinamika budaya, permintaan pasar dan literasi Syariah di berbagai bank. Temuan
penelitian ini akan berfungsi sebagai formula untuk memetakan tingkat laten komitmen bank
syariah terhadap visi dan identitas strategisnya sebagai sebuah lembaga keuangan berbasis
Islam.
Desain/metodologi/pendekatan:
Penelitian ini mengembangkan latar belakang teorinya dalam klasik dan tinjauan pustaka
kontemporer tentang kontrak murabahah dalam perspektif Islam. Diskusi kelompok terfokus
(FGD) dan wawancara mendalam dilakukan terhadap 32 bankir (di 14 bank syariah), dua Dewan
Syariah Nasional, lima akademisi dan tiga perwakilan bank sentral sebagai masukan untuk
analisis kualitatif. Isi Analisis digunakan dalam makalah ini untuk menekankan proses
menemukan hubungan antara dinamika faktor-faktor yang mempengaruhi proses akad akad
dalam skema murabahah di perbankan Indonesia.
Temuan:
Ada empat dimensi yang mempengaruhi kesepakatan kontrak: keadilan bagi pelanggan, negara
regulasi, kepraktisan bisnis yang dirasakan dan karakteristik produk. Keempat dimensi tersebut
adalah diasumsikan dipengaruhi dengan kategori yang diusulkan, karena item kategori sebagian
besar diulang dan dianggap signifikan dalam perspektif peserta.
Orisinalitas/nilai:
Penelitian ini akan bermanfaat dalam memetakan determinan derajat syariah kepatuhan dalam
perbankan Syariah di Indonesia, dengan fokus pada proses perjanjian kontrak.
Kata kunci:
Indonesia, perbankan syariah, Analisis kualitatif, Akad akad, Murabahah pembiayaan
Jenis kertas: Makalah penelitian
1. Perkenalan
Secara global, total aset industri perbankan syariah akan mencapai sekitar US$ 1,7 triliun pada
tahun 2013, mencatat tingkat pertumbuhan tahunan sekitar 17,6 persen (Ernst and Young,
2013). Meskipun relatif baru dan kecil dibandingkan dengan industri perbankan konvensional,
bank syariah mampu menunjukkan peningkatan yang signifikan baik dalam ukuran dan inovasi,
dan juga dianggap sebagai salah satu sektor yang paling cepat berkembang di dunia (Awan dan
Bukhari, 2011). Memang, perbankan Islam sekarang dianggap sebagai bukti hidup entitas
keuangan yang sukses dengan nilai-nilai moral Islam tambahan.
Askari dkk. (2009) menganalisis fitur dimensi sosial dari sistem keuangan Islam dan
menyimpulkan bahwa fitur ini yang merupakan perwakilan dari ekuitas sosial adalah pusat
dalam kegiatan keuangan Islam. Perbankan syariah diharapkan tidak hanya untuk memenuhi
tujuan ekonomi yang adil tetapi juga untuk membangun identitas dan nilai-nilai Islam dalam
ekonomi global.
Sebaliknya, ekonomi konvensional yang dibangun secara fundamental berdasarkan prinsip
penciptaan uang dan suku bunga dikritik karena menciptakan perilaku pinjaman berlebihan dari
masyarakat yang secara bertahap mendorong munculnya gelembung keuangan. Gelembung
keuangan, yang dikatalisasi oleh kecanggihan derivatif, sering dikaitkan dengan leverage yang
berlebihan, spekulasi, dan kurangnya disiplin pasar yang memadai. Hal ini akan memicu
pemberian pinjaman yang berlebihan dan tidak bijaksana oleh para pelaku pasar keuangan.
Para pendukung ekonomi dan keuangan Islam berpendapat bahwa krisis keuangan global pada
kenyataannya adalah krisis moralitas yang gagal (Siddiqi, 2008).
Dalam pengertian konvensional, manfaat lembaga perbankan terletak pada kemampuannya
untuk memungkinkan sektor publik dan swasta meningkatkan siklus bisnis, yang dianggap
sebagai katalis utama ekonomi pasca-Perang Dunia di dunia Barat. Membuka pintu akses tak
terbatas untuk pembelanjaan, perbankan konvensional mengesampingkan konsep keinginan
tak terpuaskan dari pemain manusia. Dilema ekonomi dalam penerapan praktik keuangan
modern adalah konfrontasi tiga kekuatan, yaitu selera borjuis, kebijakan demokrasi dan etos
individualis (Bell, 1980). Kekuatan-kekuatan ini mengakomodasi sifat tak terpuaskan dari
keinginan manusia akan barang dan jasa yang tidak dapat dipenuhi dengan menggunakan
sumber daya yang tersedia. Ini juga mempromosikan gagasan kebebasan dan pencapaian
pribadi, tetapi mengabaikan tanggung jawab sosial yang diperlukan di antara para pelaku pasar
keuangan. Sifat spesifik dari pencapaian diri yang tak terpuaskan yang dihasilkan dari
kebangkitan kapitalisme dikenal sejak lama sebagai nafs dalam literatur Islam. Nafs bisa
menjadi pendorong peradaban jika hanya dibarengi dengan reformasi kelembagaan dan
pengekangan pengaruh moralitas (Chapra, 1985).
Selain itu, moralitas dalam entitas keuangan dan peradaban umum disorot sebagai tren dalam
gerakan saat ini. Tumbuhnya wirausahawan sosial, keadilan dan bisnis yang adil, perdagangan
etis, perusahaan hijau, dan kesadaran umum akan keberlanjutan kehidupan dimulai sebagai
dukungan penting untuk mengubah industri keuangan. Ini semua dianggap sebagai pintu masuk
utama bagi ekonomi dan keuangan Islam sebagai lembaga keuangan berbasis nilai, termasuk di
Indonesia.
Berbeda dengan perspektif konvensional, perbankan syariah sebagai prototipe entitas ideal
dalam wahana keuangan syariah mengemban misi menegakkan keadilan di tengah masyarakat.
Hukum Islam yang merupakan akar dari perilaku perbankan Islam menempatkan keadilan
sebagai titik kunci moralitas, sebagaimana Al-Qur'an menyatakan "Jadilah adil, yang paling
dekat dengan kesadaran Tuhan" (5:8). Al-Qur'an (57:25) juga menetapkan pentingnya keadilan
dalam dimensi sosial bahwa masyarakat manusia tanpa keadilan akan mengalami kemunduran
dan kehancuran. Gagasan ini membentuk dan membentuk dasar lembaga keuangan Islam
dengan tiga nilai:
(1) Penerapan limit Syariah yang ketat dalam bisnis perbankan;
(2) Pembagian risiko antara pemodal dan pengusaha dengan pembagian keuntungan dan
kerugian; dan
(3) Proporsi yang adil dari sumber daya keuangan untuk semua orang, termasuk orang
miskin.
Namun, praktik perbankan syariah saat ini sering dikritik karena sangat mirip dengan perbankan
konvensional (Kuran et al., 2004). Farooq (2004) menyatakan bahwa perbankan syariah saat ini
hanyalah sebuah label yang meniru konvensional dan belum secara efisien berbagi sumber
daya untuk masyarakat umum. Secara spesifik, perbankan syariah masih belum mampu
mengedepankan mekanisme bagi hasil. Selain itu, juga sering menghindari rintangan dalam
menerapkan perilaku Syariah yang benar karena kepraktisan bisnis. Fitur yang paling terlihat
dari hal ini adalah penerapan skema murabahah di perbankan syariah.
Selanjutnya, pada akad murabahah yang mekanisme pemberi pinjaman peminjam mirip dengan
pembiayaan kredit di perbankan konvensional adalah jenis pembiayaan utama di sebagian
besar perbankan syariah di dunia. Sekitar 70 persen dari pembiayaan bank syariah global
didasarkan pada murabahah (skema biaya plus pembiayaan) daripada kontrak mudharabah
yang ideal (skema berbasis ekuitas bagi hasil). Sebagai skema yang paling disukai di perbankan,
murabahah tidak hanya populer di kalangan konsumen, tetapi juga dianggap sebagai
generalisasi bisnis perbankan syariah. Menariknya, penerapan skema murabahah bervariasi
antar bank di seluruh dunia dalam hal kedekatannya dengan perilaku Syariah yang tepat. Lebih
mengkhawatirkan, banyak sarjana perbankan Islam berpandangan bahwa praktik murabahah
saat ini bukanlah praktik keuangan Islam yang paling tepat.
Betapa pentingnya untuk sedekat mungkin dengan perilaku Syariah yang tepat dari suatu
produk perbankan, dan bagaimana praktik perbankan mempengaruhi persepsi umum tentang
bisnis perbankan syariah adalah pertanyaan yang menarik dalam kasus implementasi
murabahah. Mengukur pola proses akad akad merupakan langkah logis untuk memetakan
berbagai posisi bank dalam memahami perilaku syariah, dan pendekatan sistematis dalam
membantu bank syariah di seluruh dunia untuk standar prosedur. Hal ini dilakukan dengan
menggabungkan dinamika budaya, permintaan pasar dan literasi syariah di berbagai negara.
Penelitian ini bertujuan untuk memodelkan proses akad skema murabahah, dengan
mempertimbangkan perbedaan perspektif pemangku kepentingan bank syariah. Ini mencoba
menemukan pola proses dan perilaku kontrak dan, yang terpenting, berfungsi sebagai formula
untuk memetakan tingkat laten komitmen bank syariah terhadap visi dan identitas strategis
mereka sebagai lembaga keuangan berbasis syariah. Temuan penelitian ini akan bermanfaat
dalam memetakan determinan tingkat kepatuhan Syariah di perbankan syariah Indonesia
dengan berfokus pada proses perjanjian kontrak. Temuan penelitian ini menjelaskan bagaimana
karakteristik nasabah, peraturan negara, persepsi kepraktisan bisnis dan karakteristik produk
mempengaruhi proses akad murabahah yang dilakukan oleh bank syariah.

2. Tinjauan Pustaka
2.1 hukum kontrak Islam
Kontrak didefinisikan sebagai seperangkat aturan yang akan mengatur kegiatan ekonomi
manusia (Shimizu, 2000). Berbagai transaksi termasuk transaksi keuangan harus memiliki
kontrak yang terdefinisi dengan baik untuk membuktikan signifikansi hukum (Bakar, 2001).
Hukum niaga Islam kaya akan berbagai transaksi untuk memenuhi kebutuhan masyarakat
dalam keadaan apapun. Hukum kontrak Islam adalah gambaran ideal kontrak dengan
menafsirkan makna kontrak yang mendasari dengan mempertimbangkan konteks total
masyarakat (Shimizu, 2000). Quran dan praktik spiritual Nabi (Sunnah) adalah satu-satunya
kitab suci dalam hukum kontrak Islam yang dilakukan sebagai jalan raya menuju kehidupan
yang baik (Syariah) (Mohammed, 1988). Akad tukar menukar dalam transaksi hukum akad Islam
klasik meliputi sejumlah akad seperti bay' al-musawamah, bay' al-murabahah, bay' al-istis'na,
bay' al-muqayadaah, bay' al-sarf dan bay. al-muzayadah (Bakar, 2001). Makalah ini berfokus
pada bay'al-murabahah dalam praktik Islam.
2.5 Jebakan kontrak murabahah
Ada dua jenis akad murabahah di Indonesia, yaitu tidak mengikat dan mengikat. Tidak mengikat
memungkinkan klien untuk keluar atau membatalkan permintaan. Namun praktek jual beli
murabahah di Indonesia saat ini bersifat mengikat dan mengangsur. Bahaya akad murabahah
adalah mudah terjerumus dalam hawalah (pemindahbukuan utang) dengan jual beli, jika aset
tersebut tidak pernah jatuh ke tangan bank.
Hawalah adalah kredit segitiga atau situasi di mana klien datang ke bank untuk pesanan
pembelian suatu aset. Ketika pembeli tidak mampu membayar tunai, pembeli membayar
cicilan. Selain itu, bank akan membeli aset tersebut untuk berjaga-jaga dan kemudian
menjualnya kepada klien. Akad ini disebut skema murabahah. Persoalannya, bank syariah di
Indonesia seringkali mengabaikan proses perpindahan kepemilikan yang bisa berujung pada
riba nasi’ah. Hawalah atau transfer utang adalah kepatuhan hukum dan Syariah. Namun, dalam
praktik saat ini, klien yang memesan aset ke pemasok dianggap berhutang kepada pemasok
dengan harga tunai. Bank membayar hutang, dan hutang ditransfer ke bank dari pemasok.
Namun, klien membayar jumlah yang jauh lebih tinggi ke bank karena sifat angsurannya. Bank
melakukan re-pricing utang dari harga tunai ke harga cicilan, sedangkan re-pricing utang jelas
dilarang.
Sementara murabahah adalah transaksi pembelian, bagian angsuran membuatnya tampak
seperti pembiayaan hutang karena klien berhutang kepada bank melalui kewajiban
angsurannya. Chapra (1985) merangkum sebagian besar pendapat ulama Islam tentang
pembiayaan utang dengan beberapa ciri: keuntungan diketahui keduanya, penjual atau
penyewa harus memiliki dan memiliki barang yang dijual atau disewakan. Akibatnya, pemodal
(bank) menanggung bagian dari risiko dan imbalan untuk menghindari short sale dan transaksi
tersebut harus merupakan transaksi perdagangan yang tulus dengan niat penuh memberi dan
menerima penyerahan dan hutang tidak dapat dijual.
Solusi dari jebakan kontrak ini adalah memodifikasi transaksi dengan mendokumentasikan
secara jelas transformasi perpindahan aset dari pemasok ke bank dan bank ke klien. Beberapa
bank melakukan ini dengan kombinasi beberapa perawatan seperti: formulir wakalah,
perjanjian transfer kepemilikan dan transfer uang nyata ke rekening bank klien. Prinsip utama
lembaga keuangan Islam adalah larangan riba atau riba. Riba dilarang dalam Islam dan tidak
dapat ditawar, bahkan untuk aktivitas yang paling tidak berbahaya sekalipun. Kelalaian dari
faktor-faktor kecil seperti pendokumentasian yang jelas tentang transfer kepemilikan yang
dapat menyebabkan bank syariah terjerumus ke dalam skema riba.
Pendukung fiqih sangat menekankan pentingnya penghapusan semua jenis riba dari transaksi
bisnis, tetapi ada banyak jenis riba yang dikenal dan tidak dikenal di masyarakat umum maupun
di kalangan praktisi (bankir). Untuk bersaing dengan perbankan konvensional, bank syariah
mengaku siap, menetapkan cara bertransaksi yang paling efisien dan menawarkan berbagai
produk perbankan kepada nasabahnya baik Muslim maupun non-Muslim. Untuk mengatasi
target pertumbuhan, bank syariah di Indonesia ditantang untuk keluar dari ukuran 5 persen dari
total industri perbankan Indonesia yang merupakan tugas berat selama 20 tahun sejak
didirikan.

3. Metodologi
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif untuk memetakan indikator-indikator proses
akad pembiayaan murabahah oleh bank syariah di Indonesia. Dengan sampel 14 unit usaha
bank syariah, tiga perspektif regulator (Bank Indonesia), lima akademisi dan dua ulama,
penelitian ini menggunakan beberapa tahapan seperti tinjauan literatur klasik dalam melakukan
murabahah dalam perspektif ulama; diskusi kelompok terfokus (FGD) dan wawancara
mendalam; dan analisis kualitatif berdasarkan analisis isi dalam memodelkan variabel. Data
dikumpulkan pada Agustus 2013, difasilitasi oleh bank sentral Indonesia – Bank Indonesia. Isi
wawancara dan FGD kemudian dianalisis dan disintesis untuk membentuk faktor-faktor yang
mempengaruhi proses akad bank syariah di Indonesia. Responden FGD dan wawancara
mendalam disajikan pada Tabel I dan II:
Dalam mempersiapkan analisis isi kualitatif, seseorang tidak dapat membedakan pengumpulan
data dan proses analisis isi, karena keterlibatan awal dalam tahap analisis akan menguntungkan
peneliti untuk bergerak bolak-balik antara pengembangan konsep dan pengumpulan data,
terutama di bidang induktif di mana pertanyaan penelitian dapat dikembangkan lebih lanjut
tergantung pada situasi (Miles dan Huberman, 1994). Untuk melakukan kesimpulan yang dapat
diandalkan, analisis isi kualitatif melibatkan serangkaian prosedur yang sistematis dan
transparan untuk memproses data, serupa dengan prosedur analisis isi kuantitatif tradisional
(Tesch, 1990). Analisis isi kualitatif dapat digunakan untuk menganalisis berbagai jenis data,
tetapi sebagian besar dalam data teks tertulis. Proses pendefinisian unit analisis data mengacu
pada unit dasar teks yang akan diklasifikasikan selama analisis isi. Data yang disatukan memiliki
dampak yang signifikan terhadap keputusan pengkodean serta komparabilitas dengan
penelitian serupa (De Wever et al., 2006).

No Institution
1 Maybank
2 Bank Syariah Indonesia
3 Sinarmas Bank
4 HSBC Amanah
5 Panin Bank Syariah
6 Bank Mega Syariah
7 BCA Syariah
8 CIMB Niaga Syariah
9 Danamon Syariah
10 BII Syariah
11 Bank Muamalat Indonesia
12 Bank DKI Syariah
13 BTN Syariah
14 Central Bank of Indonesia
Tabel 1

No Institution
1 Maybank
2 Bank Syariah Indonesia
3 Sinarmas Bank
Tabel 2
Unit use yang tersedia adalah kata, kalimat atau paragraf, dan tulisan ini menggunakan
kalimat dan kata sebagai unit analisis. Kategori dan skema pengkodean dapat
dikembangkan dari studi terkait sebelumnya, teori atau data yang dihasilkan. Ini juga
bisa berfungsi sebagai pengembangan data induktif atau deduktif. Glaser dan Strauss
(1967) menyarankan bahwa ketika metode induktif digunakan selama pengembangan
bahan baku, disarankan metode komparatif konstan. Metode komparatif konstan pada
dasarnya adalah perbandingan sistematis dari setiap teks yang ditetapkan untuk suatu
kategori dengan masing-masing yang telah ditetapkan untuk kategori itu, untuk
mengungkapkan sifat-sifat teoretis dari kategori tersebut dan untuk mengintegrasikan
kategori-kategori dan sifat-sifatnya dengan mengembangkan memo interpretatif.
Setelah dilakukan kategorisasi dan abstraksi, hasil akhir tulisan ini adalah mengungkap
pola, tema, dan kategori yang penting bagi sebuah realitas sosial.
Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk membahas tentang proses pemilihan kontrak
sebagai proposal penawaran untuk memenuhi permintaan pelanggan, tetapi tentang
bagaimana formalisasi proses kesepakatan setelah kontrak (jenis kontrak) dipilih.
Definisi proses akad dalam penelitian ini adalah rincian proses akad akad, terutama
diwakili oleh tiga dimensi sebagai berikut: dokumen akad, proses negosiasi (baik
didokumentasikan maupun tidak didokumentasikan) dan peristiwa dan proses ijab.
Berikut adalah contoh materi wawancara dan FGD:
 Manajemen pengungkapan (informasi tentang biaya pokok atas aset yang
diperoleh, informasi tentang margin yang ditawarkan oleh bank) (al-Zuhayli,
1989).
 Rincian terkait fiqh yang bertentangan (pembicaraan tentang perlunya agunan,
apakah harus ada penalti atas keterlambatan pembayaran, apakah ada bentuk
wakalah untuk memastikan bahwa bank diwakili oleh pelanggan untuk membeli
aset kepada pemasok dan apakah margin murabahah adalah tetap atau
mengambang).
 Suku bunga acuan (secara tidak langsung), dalam menetapkan keputusan margin,
apakah bank lebih dipengaruhi oleh pendekatan biaya (menetapkan target
pembiayaan dari bagi hasil daripada menetapkan target bagi hasil dari
pendapatan pembiayaan) atau pendekatan pendapatan. Bagaimana
kemungkinan indeks sektor riil untuk penetapan harga murabahah?
4. Menemukan dan berdiskusi
Dari wawancara mendalam dan FGD, teridentifikasi beberapa determinan penting
dalam proses kontrak, yang dapat dikategorikan ke dalam empat dimensi. Masing-
masing dimensi merepresentasikan pemikiran dan kepedulian peserta terhadap
determinan proses kontrak (Gambar 1).
Keadilan bagi nasabah sering disebut-sebut sebagai salah satu penentu utama dalam
proses bisnis di perbankan syariah (Ismal dan Abduh, 2009; Market Strategic
Development, 2010; Hoq, 2011; Chong dan Liu, 2009) termasuk profitabilitas bisnis dan
penerimaan produk serta . Meskipun tidak ada bukti kuat pada tulisan ilmiah tentang
pengaruh nasabah terhadap proses perjanjian kontrak, secara intuitif ada dampak tidak
langsung preferensi nasabah terhadap kemudahan yang dirasakan, keamanan dan
kecepatan proses (Strategi Pengembangan Pasar Bank Syariah Bank Indonesia, 2008/
2010).
Selain itu, kepraktisan bisnis mempengaruhi proses kesepakatan dalam dua cara:
(1) Efisiensi yang dirasakan, pengalaman petugas pada produk, kesamaan dengan
produk konvensional; dan
(2) Tersedianya sistem pendukung seperti standar akuntansi.
Kepatuhan Syariah tidak dapat dihindari dalam proses bisnis dan pengembangan produk
baik bagi regulator (Bank Sentral Indonesia dan Dewan Syariah Nasional DSN yang
membawahi produk perbankan). Namun, pengawasan lebih banyak dilakukan pada
pengembangan produk, dan audit kepatuhan syariah telah dilakukan melalui pelaporan
dari departemen syariah bank. Di luar rapat rutin juga dilakukan audit syariah
Selanjutnya, kepatuhan Syariah adalah faktor terpenting untuk proses kontrak; namun
pelaksanaannya sangat bervariasi pada item seperti tujuan transaksi, tahapan transaksi,
proses transaksi, status kepemilikan selama kontrak, perhitungan margin, proses
perolehan aset, validasi kontrak, pengungkapan pokok dan margin, jangka waktu, cara
pembayaran dan agunan. Seluruh item didukung dengan tinjauan literatur klasik. Setiap
kehilangan, kehilangan, penambahan dan perubahan setiap item dapat mengubah arti
dan proses transaksi. Selain itu, dalam transaksi bisnis, satu transaksi yang sah dalam
perilaku Islam dapat dengan mudah jatuh ke dalam perangkap riba dengan
mengabaikan perlakuan tunggal terhadap prosedur operasi standar. Perlu diketahui,
pada dasarnya tidak ada perbankan syariah yang akan mengembangkan produk tanpa
izin ke Bank Indonesia. Oleh karena itu, semua produk perbankan syariah tidak dilarang
(tidak merugikan). Namun, derajat penerimaan Islam tidak hanya menghindari substansi
haram tetapi juga ada ruang untuk fleksibilitas dan penyesuaian dalam prosesnya.
Misalnya, gadai emas (rahn), produk rahn (pegadaian emas) diizinkan berdasarkan fatwa
Dewan Syariah Nasional, tetapi pelaksanaannya tidak dapat diterima oleh sebagian
besar ulama karena bank umumnya menggunakannya untuk tujuan spekulatif.
Konsumen menggadaikan emasnya dan menerima uang tunai dari bank, yang uangnya
digunakan untuk membeli lebih banyak emas dari bank untuk digadaikan oleh bank dan
terus menerus untuk mendapatkan keuntungan yang berlebihan. Pelaksanaan dan
skema semacam ini dilarang, bersifat spekulatif, berlebihan dan tidak berdampak nyata
pada sektor riil; uang hanya didistribusikan antara bank dan pelanggan. Pada akhirnya,
bank sentral Indonesia menyatakan akan menghentikan operasi rahn syariah
menggunakan emas di tiga bank besar pada tahun 2012.
Contoh ini menunjukkan bahwa seseorang harus dapat membedakan landasan akad
(rahn atau gadai) dan skema produk pada proses akad yang mencakup negosiasi dan
pertukaran informasi antara konsumen dan bank tentang cara menggunakan akad yang
tersedia. Secara sederhana, riba tidak selalu muncul dalam dasar kontrak atau substansi
perjanjian, beberapa riba bersifat laten, tersembunyi dalam kecenderungan
pemanfaatan kontrak.
Karakteristik intrinsik adalah sifat kontrak seperti karakteristik produk, jenis, ukuran,
tenor, cara pembayaran, kriteria pemilihan klien, pergerakan pasar, pengaruh valuta
asing terhadap harga dan proses penyelesaian harga. Beberapa peserta diskusi juga
menyertakan regulasi.
Selain itu, data yang dihasilkan pada analisis isi menunjukkan pola empat dimensi yang
menarik; itu adalah representasi dari pemikiran gabungan tentang faktor-faktor apa
yang mempengaruhi proses kontrak. Namun, kami juga dapat mengkategorikan
kelompok ide yang dihasilkan dari proses tersebut. Sub-kategori adalah biaya aset yang
diperoleh, pengungkapan margin, ancaman pesaing, kepatuhan terhadap peraturan,
dan pandangan sarjana. Ini adalah pengulangan kata dan kalimat pada topik proses akad
murabahah. Apa yang muncul pada subkategori dalam tulisan ini sangat subjektif dan
hanya bisa ditafsirkan dalam konteks praktik murabahah. Biaya perolehan aset dan
pengungkapan margin adalah dua fitur penting dari murabahah yang tidak dapat
diterapkan pada kontrak lain seperti dalam pembagian keuntungan dan kerugian.
Subkategori tersebut disarikan dari sudut pandang partisipan yang menekankan pada
apa yang menjadi ciri penting akad murabahah dan faktor-faktor apa saja yang dapat
mempengaruhi proses akad murabahah. Subkategori tersebut kemudian dibuat menjadi
kategori, seperti yang diusulkan oleh makalah ini. Di bawah ini adalah usulan model
determinan proses kontrak.
4.1 Hasil 1: Eksposur risiko berdampak pada proses kesepakatan kontrak melalui
dimensi kewajaran kepada pelanggan
Subkategori (biaya perolehan aset) memiliki dua arti, yaitu digunakan untuk
menunjukkan harga aset yang diperoleh dari sudut pandang pelanggan dan digunakan
untuk merujuk biaya dana yang merupakan biaya yang harus ditanggung bank. dalam
memperoleh dana untuk membiayai aset tersebut. Harga aset yang diperoleh
merupakan penentu penting dalam akad murabahah bagi bank. Penjelasan untuk
gagasan tersebut berasal dari literatur yang ada di mana mayoritas menyatakan bahwa
harga aset yang diperoleh adalah referensi tetap untuk pengaturan margin, tenor dan
risiko yang terkait dengan cara pembayaran (Hassan dan Lewis, 2007).
Ulama syariah secara aklamasi menyatakan bahwa keterbukaan informasi harga awal
aset harus dinyatakan, karena ini merupakan salah satu syarat sahnya akad murabahah.
Oleh karena itu, jelas bagi perbankan syariah untuk menambahkan pengungkapan harga
sebagai salah satu pelaksanaan transaksi murabahah syariah. Akad murabahah batal
tanpa menyebutkan harga awal kepada nasabah.
Hubungan antara harga dan akad jelas, tetapi tidak langsung, karena sebagian besar
jenis akad murabahah hanya dibedakan berdasarkan jangka waktunya. Semakin tinggi
harga aset yang diperoleh, semakin berisiko skema tersebut. Oleh karena itu, bank
harus memasukkan item tambahan pada kontrak seperti jaminan. Para ulama
memandang jaminan dalam murabahah itu boleh (al-Zuhayli, 1989). Harga yang lebih
tinggi sebagian besar juga memperpanjang jangka waktu angsuran, dan ini menambah
eksposur risiko. Dalam pembiayaan konsumer seperti multifinance dan KPR, akad pada
murabahah yang menyangkut syariah adalah tenor yang digunakan untuk jangka waktu
angsuran. Banyak ulama yang berpendapat penerapan skema murabahah dengan tenor
lebih dari lima tahun (al-Zuhayli, 1989, p. 705), tetapi untuk pembiayaan konsumen,
hanya skema murabahah dan ijarah yang diperbolehkan. Murabahah tidak cocok untuk
pembiayaan produktif; Namun, sebagian besar bank menyadari risiko bagi hasil dan
lebih memilih skema murabahah sebagai salah satu bentuk pengalihan risiko kepada
nasabah. Risiko mudharabah dan musyarakah jauh lebih tinggi di bank syariah
dibandingkan dengan pembiayaan produktif serupa di bank konvensional. Para bankir
mengapresiasi hambatan ini dengan “memutar” murabahah menjadi mode pembiayaan
(Zandi dan Ariffin, 2011).
Murabahah dipraktekkan di sebagian besar negara Islam termasuk Indonesia sebagai
mode keuangan. Ini akan terjadi ketika bank membeli komoditas hanya setelah
pelanggan setuju untuk membelinya dari bank dengan keuntungan (mark-up), dan ini
termasuk aset produktif di perusahaan menengah. Oleh karena itu, diyakini secara luas
bahwa transaksi perdagangan sedang diubah menjadi mode keuangan hanya untuk
memenuhi persyaratan Syariah.
Konsep pendapatan di bank syariah bekerja secara fundamental sebagai mekanisme
transfer risiko. Tidak seperti di bank konvensional, perspektif Islam tidak mendukung
suku bunga tetap di sisi tabungan. Para deposan adalah investor di bank syariah, dan
keuntungan mereka berhak atas siklus bisnis. Dana dari deposan ditransfer di sisi
pembiayaan, yang bekerja di bawah bagi hasil, kontrak pembelian dan sewa guna usaha.
Oleh karena itu, biaya perolehan aset di bank syariah harus mengacu pada insentif
industri serta pengembalian sektor riil (Hasan dan Lewis, 2007; Khan, 2008; Obaidullah,
2005). Namun, sistem pengaturan margin di perbankan syariah saat ini sama dengan
bank konvensional. Margin diperoleh dari suku bunga yang dijanjikan deposan, suku
bunga antar bank dan sumber dana lainnya untuk membentuk biaya dana rata-rata
tertimbang.
Nasabah pada umumnya tidak mengetahui cara kerja perbankan syariah. Para deposan
membutuhkan setidaknya pengembalian yang stabil atas simpanan mereka, dan
kekhawatiran bank tentang kemungkinan risiko komersial yang dipindahkan (risiko klien
pindah ke pesaing). Situasi ini menjerat dan akan mengarahkan bank untuk mengambil
tindakan yang paling aman dengan menggunakan murabahah untuk kegiatan
pembiayaan.
4.2 Hasil 2: pengungkapan margin dan harga diperlukan item untuk memvalidasi
kontrak
Pengungkapan margin penting dalam perspektif Islam karena menjadi ciri transaksi
murabahah. Dalam murabahah, baik pokok maupun margin harus dinyatakan oleh bank,
karena merupakan bagian dari dukun (harga). FGD menyepakati bahwa pengungkapan
harga dan margin adalah item yang diperlukan untuk memvalidasi kontrak. Murabahah
mirip dengan pembiayaan kredit di bank konvensional, digunakan untuk membiayai
fasilitas atau aset dalam jangka waktu biasanya lebih dari lima tahun. Bank konvensional
memperlakukan risiko gagal bayar dan keterlambatan pembayaran dengan suku bunga
mengambang dan peningkatan premi.
Namun dalam kurs murabahah, bank syariah dilarang menetapkan margin lebih dari
satu kali. Pendapat ini diamini oleh FGD dengan beberapa pendapat. Di bawah sistem
perbankan ganda, suku bunga akan mempengaruhi banyak transaksi di perbankan
konvensional. Misalnya, setiap kali suku bunga tinggi, bank juga akan menaikkan suku
bunga KPR, dan ini akan menguntungkan bagi bank konvensional. Namun bank syariah
tidak dapat menyesuaikan suku bunga KPR karena margin yang ditetapkan hanya untuk
satu kali. Di bawah sistem perbankan ganda, bank syariah akan selalu menghadapi
situasi seperti yang disebutkan di atas.
Benchmarking pada margin konvensional tidak dilarang menurut hukum Islam. Secara
intuitif, ketika seorang trader ingin mengatur margin, dia ingin menggunakan trader lain
sebagai referensi. Dalam literatur klasik, kita dapat menemukan kisah di mana shahabah
(sahabat) Nabi SAW diizinkan untuk memungut keuntungan sebanyak 100 persen atau
dua kali lipat dari harga.
Diskusi berkembang dalam tema ini. Ulama kontemporer lebih memilih bank Islam
untuk mengatasi masalah mashlahah karena hipotek, salah satu aset murabahah yang
khas, merupakan kebutuhan dasar bagi manusia. Tetapi bankir menyatakan bahwa tidak
ada perilaku Syariah dalam pengaturan margin, dan mekanisme penawaran permintaan
akan mengesampingkan bank dengan pengaturan margin yang berlebihan.
4.3 Hasil 3: Ancaman pesaing berdampak pada proses kesepakatan kontrak melalui
dimensi kepraktisan bisnis
Bagaimana kesepakatan kontrak dipengaruhi oleh karakteristik pasar dijelaskan dengan
baik dalam wawancara dan diskusi. Obaidullah (2005) menyatakan bahwa lembaga
keuangan Islam secara unik menghadapi semacam "risiko penarikan atau risiko
komersial yang dipindahkan" yang dihasilkan dari tekanan persaingan yang dihadapi
lembaga keuangan Islam dari rekanan Islam atau konvensional yang ada. Bank Islam
sangat rentan terhadap risiko penarikan oleh deposan sebagai akibat dari tingkat
pengembalian yang lebih rendah yang akan mereka terima dibandingkan dengan apa
yang dibayar pesaingnya. Dihadapkan dengan risiko ini, dan dengan mempertimbangkan
lingkungan di mana Bank Islam beroperasi dalam sistem campuran, ini memaksa bank
Islam untuk membayar pemegang rekening investasi pengembalian "pasar" yang
kompetitif terlepas dari kinerja dan profitabilitas aktual mereka dan bahkan bekerja
lebih keras untuk mendapatkan klien pembiayaan .
Proses akad murabahah sangat dipengaruhi oleh permintaan nasabah. Serangkaian
survei yang dilakukan oleh BI mengungkapkan bahwa nasabah bank syariah menuntut
efisiensi yang sama, harga yang lebih rendah, dan layanan yang lebih banyak dari bank
syariah, sebagaimana judul Islam atau Syariah terikat untuk membawa beban reputasi
(MDS-BI, 2010). Dalam perjanjian kontrak, pengungkapan penuh margin keuntungan
dan pokok diperlukan sebagai bagian dari proses negosiasi. Namun, hasil wawancara
dan FGD mengungkapkan bahwa sebagian besar bankir cenderung menyederhanakan
penjelasannya. Para ulama memandang ini bukan proses negosiasi yang ideal (DSN,
2012) tetapi tidak menjadi penyebab batalnya akad murabahah.
4.4 Hasil 4 : Variabel regulasi (regulasi Bank Sentral dan Dewan Syariah Nasional)
akan mempengaruhi formalisasi proses perjanjian kontrak
Baik Bank Sentral Indonesia maupun para cendekiawan Islam memiliki pemikiran yang
sama mengenai beberapa item akad murabahah. Ini harus mengungkapkan harga aset
yang diperoleh dan pengaturan margin, margin harus ditetapkan pada proses ijab
(penandatanganan perjanjian) dan ada posisi pembeli dan penjual yang jelas. Untuk
mencegah penyalahgunaan akad murabahah, dan juga akad lainnya, Bank Indonesia
menuntut laporan berkala untuk memenuhi kepatuhan pelaporan perbankan umum,
dan ulama menuntut laporan audit Syariah. Kedua laporan tersebut ditelaah di Dewan
Syariah Nasional, gugus tugas Bank Sentral Indonesia dan ulama Syariah. Dewan Syariah
Nasional dan Bank Indonesia sangat menekankan kejelasan proses pembelian sebagai
syarat utama transaksi murabahah. Oleh karena itu, skema dalam akad akad murabahah
dipengaruhi oleh peraturan Bank Indonesia dan Dewan Syariah Nasional tentang
formalisasi proses akad. Di negara lain, misalnya di Malaysia dan Pakistan, pengaturan
margin mungkin tidak tetap (seperti dalam Murabahah-Bai Bithaman Ajil) dan didukung
oleh ulama setempat. Namun, di Iran dan sebagian besar negara teluk, margin
murabahah adalah tetap. Apa yang merupakan kontrak untuk menjadi murabahah atau
tidak dan seberapa dekat dengan perilaku Islam umum tergantung pada badan pengatur
negara.
4. Hasil 5: Nilai Islam menekankan pengungkapan harga dan proses negosiasi
kesepakatan
Dewan Syariah Nasional, sumber utama referensi perbankan syariah di Indonesia,
menekankan bahwa untuk menjadi syariah, bankir harus memastikan transfer
kepemilikan secara formal. Langkah-langkah ideal ditulis sebagai berikut:
• Nasabah datang ke bank untuk pengajuan pembiayaan.
• Review bank tentang latar belakang nasabah. Jika disepakati, nasabah bertindak
sebagai wakil bank (wakalah) untuk membeli aset dari pemasok.
• Ada dua ijab-kabul, pemasok dan bank yang menunjukkan perpindahan kepemilikan
antara pemasok dan bank, dan antara bank dan klien (Siddique, 2001).
Temuan dari wawancara mendalam sebagian besar setuju bahwa faktor-faktor penting
termasuk pengungkapan harga dan negosiasi kesepakatan atas nama keadilan
pelanggan. Ada perilaku Islam umum dalam perjanjian jual beli, bahwa baik pembeli dan
penjual harus melakukan transaksi atas kehendak mereka sendiri (al Zuhayli, 1989),
sebagai tambahan sifat murabahah tertentu, pengungkapan. Namun, dalam kasus
khusus pengalihan kepemilikan, bankir menyetujui konsep tersebut tetapi entah
bagaimana tidak dapat mencapai kesimpulan yang memberikan indikasi yang jelas
tentang pemisahan kepemilikan, dengan beberapa bankir percaya bahwa dua kontrak
yang terpisah telah memperhitungkan pengalihan kepemilikan, sementara yang lain
kurang ketat. Ketersediaan bentuk wakala juga tidak ada di beberapa bank. Ketika
ditanya, para bankir memilih untuk tidak dibatasi dalam memberikan perilaku Islami
yang tepat, kecuali ada peraturan yang jelas dari regulator, dan juga jika perlu untuk
memberikan bukti di pengadilan.

5. Kesimpulan
Makalah ini bertujuan untuk memodelkan proses akad dalam skema murabahah,
dengan mempertimbangkan berbagai perspektif pemangku kepentingan bank syariah.
Penelitian ini bertujuan untuk menemukan pola proses dan perilaku akad dan yang
terpenting adalah sebagai formula untuk memetakan tingkat laten komitmen bank
syariah terhadap visi strategisnya dan identitas sebagai lembaga keuangan berbasis
Islam.
Temuan penelitian ini adalah empat dimensi yang mempengaruhi perjanjian kontrak:
keadilan bagi pelanggan, peraturan negara, kepraktisan bisnis yang dirasakan dan
karakteristik produk. Keempat dimensi diasumsikan dipengaruhi dengan kategori yang
diusulkan, karena item kategori sebagian besar diulang dan dianggap signifikan dalam
perspektif peserta. Dapat disimpulkan bahwa para bankir, regulator, cendekiawan dan
akademisi Islam di Indonesia menekankan pada eksposur risiko, karakteristik pasar,
variabel makroekonomi dan nilai Islam sebagai faktor yang “tidak dapat diabaikan”
dalam setiap proses akad murabahah. Selain itu, pengungkapan harga, pengungkapan
margin, dan pengalihan kepemilikan yang jelas merupakan faktor-faktor yang diperlukan
untuk akad murabahah yang sah di Indonesia.
Transaksi muamalah dibangun di atas fokus maslahah. Islam tidak melarang segala
bentuk transaksi, kecuali ada unsur kezaliman, riba, ihtikar (penimbunan), penipuan dan
transaksi lainnya yang berpotensi menimbulkan konflik dan spekulasi seperti perjudian
dan gharar (al-Qardhawi, 1995, hal. 18). Quran menyatakan bahwa Syariah adalah untuk
meringankan hidup manusia, bukan membebani (An Nisa 25, Al Baqarah 285). Persepsi
yang berbeda tentang kemudahan dapat diterjemahkan dalam proses kontrak, sangat
bervariasi antar negara dan mempertajam perdebatan konstruktif antara praktisi dan
sarjana Syariah. Yang penting, bagaimana kemudahan itu tidak ditukar dengan
kelonggaran terhadap ketidakadilan dan pelanggaran terhadap kemaslahatan (al-
Qardhawi, 1995, hlm. 22).

6. Peringatan penelitian
Penelitian kualitatif pada dasarnya bersifat interpretatif, dan interpretasi menarik
pemahaman teoritis subjektif dari fenomena yang diteliti. Dinyatakan bahwa analisis
kualitatif harus memberikan deskripsi yang cukup untuk memungkinkan pembaca
memahami dasar interpretasi dan interpretasi yang cukup untuk memungkinkan
pembaca memahami deskripsi (Patton, 2002). Penelitian ini bertujuan untuk membawa
pembaca ke dalam perspektif netral dalam memahami perbedaan pandangan para
pelaku industrinya tentang bagaimana akad murabahah disyahkan.

Anda mungkin juga menyukai