Anda di halaman 1dari 69

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Sirosis hepatis merupakan penyakit hati kronis yang tidak diketahui
penyebabnya dengan pasti. Telah diketahui bahwa penyakit ini merupakan
stadium akhir dari penyakit hati kronis. Di Negara maju, hepatitis C kronis
dan konsumsi alkohol yang berlebihan merupakan penyebab paling umum
dari sirosis. Secara lengkap, sirosis ditandai dengan fibrosis jaringan dan
konversi hati yang normal menjadi nodul struktural yang abnormal.
Akibatnya, bentuk hati yang normal akan berubah disertai terjadinya
penekanan pada pembuluh darah dan terganggunya aliran darah vena porta
yang akhirnya menyebabkan hipertensi portal (Pinzani et al., 2011). Penyebab
munculnya sirosis hepatis di negara barat akibat alkoholik sedangkan di
Indonesia kebanyakan disebabkan akibat hepatitis B atau C. Patogenesis
sirosis hepatis menurut penelitian terakhir memperlihatkan adanya peranan sel
stelata dalam mengatur keseimbangan pembentukan matriks ekstraselular dan
proses degradasi, di mana jika terpapar faktor tertentu yang berlangsung
secara terus menerus, maka sel stelata akan menjadi sel yang membentuk
kolagen. Terapi sirosis ditujukan untuk mengurangi progresi penyakit,
menghindarkan bahan-bahan yang bisa menambah kerusakan hati,
pencegahan dan penanganan komplikasi. Walaupun sampai saat ini belum ada
bukti bahwa penyakit sirosis hati reversibel, tetapi dengan kontrol pasien yang
teratur pada fase dini, diharapkan dapat memperpanjang status kompensasi
dalam jangka panjang dan mencegah timbulnya komplikasi (Riley et al.,
2009).
Berdasarkan data WHO (2004), sirosis hati merupakan penyebab
kematian ke delapan belas di dunia, hal itu ditandai dengan semakin
meningkatnya angka kesakitan dan kematian akibat sirosis hati. Data WHO
(2008) menunjukkan pada tahun 2006 sekitar 170 juta umat manusia
menderita sirosis hepatis. Angka ini meliputi sekitar 3% dari seluruh populasi
manusia di dunia dan setiap tahunnya infeksi baru sirosis hepatis bertambah 3-
4 juta. The Journal for Nurse Practitioners mengatakan bahwa di Amerika
Serikat, penyakit hati kronis adalah penyebab kematian ke dua belas. Sekitar
5,5 juta orang di Amerika Serikat memiliki sirosis.
Menurut Hadi (2008) di Indonesia, kasus sirosis lebih banyak
ditemukan pada kaum laki-laki dibandingkan kaum wanita dengan

1
perbandingan 2-4:1 dengan umur rata-rata terbanyak antara golongan 3059
tahun dengan puncaknya sekitar 40-49 tahun. Sirosis hati dijumpai di seluruh
negara termasuk Indonesia. Sirosis hati dengan komplikasinya merupakan
masalah kesehatan yang masih sulit di atasi di Indonesia dan mengancam jiwa
manusia. Hal itu ditandai dengan semakin meningkatnya angka kesakitan dan
kematian akibat sirosis hati di Indonesia. Data WHO menunjukkan bahwa
pada tahun 2004 di Indonesia Age Standarized Death Rates (ASDR) sirosis
hati mencapai 13,9 per 100.000 penduduk. Di Indonesia pada tahun 2004
terdapat 9.441 penderita sirosis hati dengan proporsi 0,4% dan Proportionate
Mortality Rate (PMR) 1,2%. Diperkirakan prevalensi sirosis hati di Indonesia
adalah 3,5% dari seluruh proporsi pasien penyakit dalam atau rata-rata
proporsi 47,4% dari seluruh penyakit hati yang dirawat. Penderita sirosis hati
lebih banyak dijumpai pada kaum laki-laki dibandingkan dengan kaum wanita
(Runyon, 2009).
Komplikasi yang dialami pasien sirosis hati antara lain hipertensi
portal, ascites, spontaneous bakterial peritonitis (SBP), varises esofagus, dan
ensefalopati hepatik. Antara komplikasi satu dengan yang lain saling terkait.
Ascites hanya akan muncul jika pasien mengalami hipertensi portal. Pasien
yang mengalami varises esofagus akan berisiko terjadi perdarahan karena
ruptur esofagus, pada keadaan perdarahan akan menjadi salah satu faktor
pemicu terjadinya ensefalopati hepatik (Tasnif dan Hebert, 2011).
Ensepalopati hepatik merupakan suatu kelainan neuropsikiatri yang bersifat
reversibel dan umumnya didapat pada pasien dengan sirosis hati setelah
mengeksklusi kelainan neurologis dan metabolik.
Derajat keparahan dari kelainan ini terdiri dari derajat 0 (subklinis)
dengan fungsi kognitif yang masih bagus sampai ke derajat 4 di mana pasien
sudah jatuh ke keadaan koma (Rahimi and Rockey, 2012). Selanjutnya Wolf
(2012) menjelaskan bahwa patogenesis terjadinya ensefalopati hepatik diduga
oleh karena adanya gangguan metabolisme energi pada otak dan peningkatan
permeabilitas sawar darah otak. Peningkatan permeabilitas sawar darah otak
ini akan memudahkan masuknya neurotoxin ke dalam otak. Neurotoxin
tersebut di antaranya, asam lemak rantai pendek, mercaptans, neurotransmitter
palsu (tyramine, octopamine, dan betaphenylethanolamine), amonia, dan
gamma-aminobutyric acid (GABA).
Kelainan laboratoris pada pasien dengan ensefalopati hepatik adalah
berupa peningkatan kadar amonia serum. Amonia merupakan hasil samping
dari metabolisme protein, dan sebagian besar diperoleh dari pencernaan
makanan atau dari adanya protein dalam darah yang masuk ke saluran cerna
(misalnya perdarahan varises esofageal). Bakteri yang ada dalam saluran

2
cerna mencerna protein menjadi polipeptida, asam amino, dan amonia. Zat‐zat
ini kemudian diabsorpsi melalui mukosa usus, di mana mereka kemudian
dimetabolisme lebih lanjut, disimpan untuk penggunaan kemudian, atau
digunakan sebagai bahan dasar untuk sintesis protein lain. Amonia mudah
dimetabolisme di hati menjadi urea, dan kemudian dieliminasi melalui ginjal.
Ketika aliran darah dan metabolisme hati terganggu karena sirosis, kadar
amonia serum dan sistem saraf pusat menjadi meningkat.
Amonia yang masuk ke sistem saraf pusat bergabung dengan α‐ketoglutarate
membentuk glutamin, suatu asam amino aromatik. Amonia dianggap penting
dalam patogenesis ensefalopati hepatik. Peningkatan kadar amonia akan
meningkatkan jumlah glutamin dalam astrosit, mengakibatkan
ketidakseimbangan osmotik sehingga sel mengembang dan akhirnya terjadi
edema otak. Walaupun kadar amonia serum dan glutamin serebrospinal tinggi
merupakan tanda‐tanda ensefalopati, keduanya mungkin bukan penyebab
sesungguhnya dari sindrom ini (Wright and Jalan, 2007; James, 2002).
Pemberian laktulosa pada merupakan modalitas untuk menurunkan
kadar amonia. Laktulosa merupakan lini pertama dalam penatalaksanaan
ensefalopati hepatik. Laktulosa dihidrolisa bakteri usus menjadi asam laktat
dan asetat. Lingkungan asam ini mengionisasi amonia menjadi ion amonium,
sehingga tidak berdifusi melalui membran kolon dan akan diekskresikan
bersama feses. Laktulosa juga menghambat pembentukan amonia oleh bakteri
usus.Kelebihan laktulosa lainnya adalah sifat katarsis yang dimilikinya.
Laktulosa akan menarik cairan sehingga melunakkan feses dan merangsang
peristaltik usus. Peningkatan peristaltik usus akan memendekkan waktu transit
feses dalam kolon, sehingga amonia yang terserap semakin sedikit (Li et
al.,2004).
Secara umum dikatakan laktulosa menghambat produksi dan
penyerapan amonia di dalam usus, dan meningkatkan eliminasinya melalui
feses. Efikasi dan keamanan laktulosa dalam pencegahan ensefalopati ini telah
dibuktikan berbagai penelitian (Schomerus et al., 2001). Dosis laktulosa yang
diberikan adalah 3 x 15-30 ml sehari dan dapat diberikan 3 hingga 6 bulan.
Efek samping dari penggunaan laktulosa adalah menurunnya persepsi rasa dan
kembung. Penggunaan laktulosa secara berlebihan akan memperparah episode
ensefalopati hepatik, karena akan memunculkan faktor presipitasi lainnya,
yaitu dehidrasi dan hiponatremia. The American College of Gastroenterology
mengeluarkan guidelines yang merekomendasikan pemberian laktulosa 45
ml/jam sampai terjadi defekasi (Zhan and Stremmel, 2012). Di sinilah peran
farmasis sangatlah besar untuk membantu para klinisi dalam menentukan
terapi laktulosa. Dengan alasan tersebut, maka begitu penting untuk

3
mengetahui pola penggunaan laktulosa pada pasien siroris hepatis dengan
ensefalopati hepatik yang dilakukan di RSUD Kabupaten Sidoarjo, demi
meningkatkan pelayanan rumah sakit dan berguna untuk klinisi.

B. TUJUAN
1. Untuk mengetahui bagaimanakah tinjauan teori tentang sirosis hepatis.
2. Untuk mengetahui asuhan keperawatan pada klien sirosis hepatis

4
BAB II

TINJAUAN TEORI

A. ANATOMI DAN FISIOLOGIS


Hepar merupakan kelenjar yang terbesar dalam tubuh manusia. Hepar
pada manusia terletak pada bagian atas cavum abdominis, di bawah
diafragma, di kedua sisi kuadran atas, yang sebagian besar terdapat pada
sebelah kanan. Beratnya 1200 – 1600 gram. Permukaan atas terletak
bersentuhan di bawah diafragma, permukaan bawah terletak bersentuhan di
atas organ-organ abdomen. Hepar difiksasi secara erat oleh tekanan
intraabdominal dan dibungkus oleh peritoneum kecuali di daerah posterior-
superior yang berdekatan dengan v.cava inferior dan mengadakan kontak
langsung dengan diafragma. Bagian yang tidak diliputi oleh peritoneum
disebut bare area.Terdapat refleksi peritoneum dari dinding abdomen anterior,
diafragma dan organ-organ abdomen ke hepar berupa ligament.
Macam-macam ligamennya:
 Ligamentum falciformis : Menghubungkan hepar ke dinding
ant. abd dan terletak di antara umbilicus dan diafragma.
 Ligamentum teres hepatis = round ligament : Merupakan
bagian bawah lig. falciformis ; merupakan sisa-sisa
peninggalan v.umbilicalis yg telah menetap.
 Ligamentum gastrohepatica dan ligamentum
hepatoduodenalis : Merupakan bagian dari omentum minus yg
terbentang dari curvatura minor lambung dan duodenum sblh
prox ke hepar.Di dalam ligamentum ini terdapat Aa.hepatica,
v.porta dan duct.choledocus communis. Ligamen
hepatoduodenale turut membentuk tepi anterior dari Foramen
Wislow.

5
 Ligamentum Coronaria Anterior ki–ka dan Lig coronaria
posterior ki-ka : Merupakan refleksi peritoneum terbentang
dari diafragma ke hepar.
 Ligamentum triangularis ki-ka : Merupakan fusi dari
ligamentum coronaria anterior dan posterior dan tepi lateral
kiri kanan dari hepar.

Secara anatomis

organ hepar tereletak di hipochondrium kanan dan epigastrium, dan melebar


ke hipokondrium kiri. Hepar dikelilingi oleh cavum toraks dan bahkan pada orang
normal tidak dapat dipalpasi (bila teraba berarti ada pembesaran hepar). Permukaan
lobus kanan dpt mencapai sela iga 4/ 5 tepat di bawah aerola mammae. Lig
falciformis membagi hepar secara topografis bukan scr anatomis yaitu lobus kanan
yang besar dan lobus kir

Secara Mikroskopis

Hepar dibungkus oleh simpai yg tebal, terdiri dari serabut kolagen dan
jaringan elastis yg disebut Kapsul Glisson. Simpai ini akan masuk ke dalam
parenchym hepar mengikuti pembuluh darah getah bening dan duktus biliaris. Massa
dari hepar seperti spons yg terdiri dari sel-sel yg disusun di dalam lempengan-
lempengan/ plate dimana akan masuk ke dalamnya sistem pembuluh kapiler yang
disebut sinusoid. Sinusoid-sinusoid tersebut berbeda dengan kapiler-kapiler di bagian
tubuh yang lain, oleh karena lapisan endotel yang meliputinya terediri dari sel-sel
fagosit yg disebut sel kupfer. Sel kupfer lebih permeabel yang artinya mudah dilalui
oleh sel-sel makro dibandingkan kapiler-kapiler yang lain .Lempengan sel-sel hepar
tersebut tebalnya 1 sel dan punya hubungan erat dengan sinusoid. Pada pemantauan
selanjutnya nampak parenkim tersusun dalam lobuli-lobuli Di tengah-tengah lobuli
tdp 1 vena sentralis yg merupakan cabang dari vena-vena hepatika (vena yang

6
menyalurkan darah keluar dari hepar).Di bagian tepi di antara lobuli-lobuli terhadap
tumpukan jaringan ikat yang disebut traktus portalis/ TRIAD yaitu traktus portalis
yang mengandung cabang-cabang v.porta, A.hepatika, ductus biliaris.Cabang dari
vena porta dan A.hepatika akan mengeluarkan isinya langsung ke dalam sinusoid
setelah banyak percabangan Sistem bilier dimulai dari canaliculi biliaris yang halus
yg terletak di antara sel-sel hepar dan bahkan turut membentuk dinding sel. Canaliculi
akan mengeluarkan isinya ke dalam intralobularis, dibawa ke dalam empedu yg lebih
besar , air keluar dari saluran empedu menuju kandung empedu.

B. FISIOLOGI HATI
Hati merupakan pusat dari metabolisme seluruh tubuh, merupakan sumber
energi tubuh sebanyak 20% serta menggunakan 20 – 25% oksigen darah. Ada
beberapa fung hati yaitu :

1. Fungsi hati sebagai metabolisme karbohidrat


Pembentukan, perubahan dan pemecahan KH, lemak dan protein saling
berkaitan 1 sama lain.Hati mengubah pentosa dan heksosa yang diserap dari usus
halus menjadi glikogen, mekanisme ini disebut glikogenesis. Glikogen lalu
ditimbun di dalam hati kemudian hati akan memecahkan glikogen menjadi

7
glukosa. Proses pemecahan glikogen mjd glukosa disebut glikogenelisis.Karena
proses-proses ini, hati merupakan sumber utama glukosa dalam tubuh, selanjutnya
hati mengubah glukosa melalui heksosa monophosphat shunt dan terbentuklah
pentosa. Pembentukan pentosa mempunyai beberapa tujuan: Menghasilkan
energi, biosintesis dari nukleotida, nucleic acid dan ATP, dan membentuk/
biosintesis senyawa 3 karbon (3C)yaitu piruvic acid (asam piruvat diperlukan
dalam siklus krebs).

2. Fungsi hati sebagai metabolisme lemak


Hati tidak hanya membentuk/ mensintesis lemak tapi sekaligus mengadakan
katabolisis asam lemak Asam lemak dipecah menjadi beberapa komponen :

1. Senyawa 4 karbon – KETON BODIES


2. Senyawa 2 karbon – ACTIVE ACETATE (dipecah menjadi asam lemak dan
gliserol)
3. Pembentukan cholesterol
4. Pembentukan dan pemecahan fosfolipid
Hati merupakan pembentukan utama, sintesis, esterifikasi dan ekskresi
kholesterol .Dimana serum Cholesterol menjadi standar pemeriksaan metabolisme
lipid

3. Fungsi hati sebagai metabolisme protein


Hati mensintesis banyak macam protein dari asam amino. dengan proses
deaminasi, hati juga mensintesis gula dari asam lemak dan asam amino.Dengan
proses transaminasi, hati memproduksi asam amino dari bahan-bahan non
nitrogen. Hati merupakan satu-satunya organ yg membentuk plasma albumin dan
∂ - globulin dan organ utama bagi produksi urea.Urea merupakan end product
metabolisme protein.∂ - globulin selain dibentuk di dalam hati, juga dibentuk di
limpa dan sumsum tulang β – globulin hanya dibentuk di dalam hati.albumin
mengandung ± 584 asam amino dengan BM 66.000

8
4. Fungsi hati sehubungan dengan pembekuan darah
Hati merupakan organ penting bagi sintesis protein-protein yang berkaitan
dengan koagulasi darah, misalnya: membentuk fibrinogen, protrombin, faktor V,
VII, IX, X. Benda asing menusuk kena pembuluh darah – yang beraksi adalah
faktor ekstrinsi, bila ada hubungan dengan katup jantung – yang beraksi adalah
faktor intrinsik.Fibrin harus isomer biar kuat pembekuannya dan ditambah dengan
faktor XIII, sedangakan Vit K dibutuhkan untuk pembentukan protrombin dan
beberapa faktor koagulasi.

5. Fungsi hati sebagai metabolisme vitamin


Semua vitamin disimpan di dalam hati khususnya vitamin A, D, E, K

6. Fungsi hati sebagai detoksikasi


Hati adalah pusat detoksikasi tubuh, Proses detoksikasi terjadi pada proses
oksidasi, reduksi, metilasi, esterifikasi dan konjugasi terhadap berbagai macam
bahan seperti zat racun, obat over dosis.

7. Fungsi hati sebagai fagositosis dan imunitas


Sel kupfer merupakan saringan penting bakteri, pigmen dan berbagai bahan
melalui proses fagositosis. Selain itu sel kupfer juga ikut memproduksi ∂ -
globulin sebagai imun livers mechanism.

8. Fungsi hemodinamik
Hati menerima ± 25% dari cardiac output, aliran darah hati yang normal ±
1500 cc/ menit atau 1000 – 1800 cc/ menit. Darah yang mengalir di dalam
a.hepatica ± 25% dan di dalam v.porta 75% dari seluruh aliran darah ke hati.
Aliran darah ke hepar dipengaruhi oleh faktor mekanis, pengaruh persarafan dan
hormonal, aliran ini berubah cepat pada waktu exercise, terik matahari,
shock.Hepar merupakan organ penting untuk mempertahankan aliran darah

B. DEFINISI

9
Sirosis adalah penyakit hati kronik yang dicirikan oleh terbentuknya
jaringan parut pada hati berupa lembar-lembar jaringan ikat dan nodula-
nodula, sebagai akibat dari regenerasi sel hati yang tidak berkaitan dengan
vakulator normal.
Sirosis adalah suatu keadaan patologis yang menggambarkan stadium
akhir fibrosis hepatic yang berlangsung progresif yang ditandai dengan
distrosi dari arsitektur hepar dan pembentukan nodulus regenerative.
Ada tiga tipe sirosis (Smeltzer & Bare, 2010 ) :
1. Sirosis portal laenec (alkoholik, nutrisional), yaitu jaringan parut
secara khas mengelilingi daerah portal, sirosis ini merupakan
sirosis yang paling banyak ditemukan di negara barat.
2. Sirosis pascanekrotik, terdapat pita jaringan parut yang lebar
sebagai akibat lanjut dari hepatitis virus akut yang dialami
sebelumnya.
3. Sirosis bilier, yaitu pembentukan jaringan parut terjadi di dalam
hati di sekitar saluran empedu bisanya terjadi sebagai akibat
obstruksi bilier yang kronis dan infeksi (kolangitis).

C. ETIOLOGI
1. Factor kekurangan nutrisi dan alkoholisme
Penyalahgunaan alcohol dihubungkan dengan sirosis hepatis, karena
pecandu alcohol dengan sirosis hepatis secara kosistensi kekurangan gizi
dan memiliki tubuh kurus di percaya bahwa penyakit hati tidak
disebabkan oleh meminum terlalu banyak alcohol tetapi karena terus-
menerus kexkurangan asupan gizi yang seharusnya (Price & Wilson,
1997). Alcohol dapat langsung merusak sel-sel hati terlepas dari status gizi
host.
Kerusakan hati dimulai dengan hati yang berlemak (steatotis),
menyebabkan steatohepatitis, fibrosa progresif dan ahkirnya akan
menyebabkan sirosis hepatis. Sampai dengan tahap sirosis ada perbaikan

10
jika alcohol dihentikan (Nayak, 2011). Pada kondisi kalori fari protein
kurang pada hewan dan manusia maka akan mendorong steatotis yang
parah dan luas, tetapi tidak menyebabkan fibrosa yang signifikan dan tidak
pernah menjadi sirosis. Bahkan, pembentuk kolagen di hati dapat diatasi
pada tahap kekurangan protein. Factor kekurangan nutrisi terutama
kekurangan protein hewani menjadi penyebab timbulnya sirosis hepatis.
Menurut CAMPARA (1973) dalam Hadi (2002) untuk terjadinya sirosis
hepatis ternyata ada bahan dalam makana, yaitu kekurangan alfa I-
antitripsin.
2. Hepatitis virus
Infeksi virus merupakan penyebab terutama HBV dan HVC. Hepatitis
virus erutama tipe βnsering di sebut sebagai salah satu penyebab sirosis
hepatis. Secara klinik telah dikenal bahwa hepatitis virus B lebih banyak
mempuntai kecendrungan untuk lebih menetap dan member gejala sisa
serta menunjukan perjalanan yang kronis, bila dibandingkan dengan
hepatitis virus A (Hadi, 2002).
3. Penyakit Wilson
Suatu penyakit yang jarang ditemukan, biasanya terdapat pada orang-
orang muda dengan ditandai sirosis hepatis, degenerasi ganglia basalis
dari otak, dan terdapatnya cincin pada kornea yang berwarna cokelat
kehijauan disebut Kayser Fleiscer Ring. Penyakit ini di duga disebabkan
defisiensi bawaan dan sitoplasmin (Hadi, 2002).
4. Hemokromatosis
Bertambahnya absorpsi dari Fe, kemungkinan menyebabkan
timbulnya sirosis hepatis (Hadi, 2002). Jika tidak diobati.
Hemokromatosis ini akan sangat berbahaya dan hal ini juga mengarah ke
(mikronodular) sirosis.
5. Obstruksi saluran empedu

11
Sebagai saluran empedu akibat obstruksi yang lama pada saluran empedu
akan dapat menimbulkan sirosis biliaris primer. Penyakit ini lebih banyak
dijumpai pada kaum wanita (Hadi, 2002).

Sebab lainnya, adalah:

1. Kelemahan jantung yang lama dapat menyebabkan timbulnya sirosis kardiak.


Perubahan fibrotic dalam hati terjadi sekunder terhadap anoksi dan nekrosis
sentrilibuler.
2. Sebagai akibat obstruksi yang lama pada saluran empedu akan dapat
menimbulkan sirosis biliaris primer. Penyakit ini lebih banyak dijumpai pada
kaum wanita.
3. Penyebab sirosis hepatic yang tidak diketahui dan digolongkan dalam sirosis
kriptogenik. Penyakit ini ditemukan di Inggris (menurut Reer 40%, Sherlock
melaporkan 49%). Penderita ini sebelumnya tidak menunjukan tanda-tanda
hepatitis atau alkoholisme, sedangkan dalam makananya cukup mengandung
protein (Hadi, 2002).

D. PATOFISIOLOGI
Apapun yang merusak hati selama bertahun-tahun dapat menyebabkan
hati membentuk jaringan parut. Fibrosis adalah tahap pertama dari
pembentukan jaringan parut hati. Ketika jaringan parut terbentuk luas, kondisi
ini dapat dikatakan sirosis. Jaringan parut tidak dapat melakukan salah satu
pekerjaan dari sel-sel hati yang normal, dan ini menyebabkan seseorang
dengan sirosis perlahan-lahan menjadi sakit akibat penurunan fungsi hati.
Respons terhadap kerusakan hati, akan terjadi akumulasi ekstraseluler matriks
(ECM) protein seperti kolagen, proteoglikan, fibronektin dan laminin yang
distimulasi oleh hepatic stellate cells (HSC) untuk pembentukan jaringan baru

12
serta opoptosis. Di samping itu HSC akan menghasilkan matriks
metalloproteinase (MMP) untuk degradasi ekstraseluler matriks protein. Pada
ahkirnya, sebagai akibat dari ketidakseimbangan antara fibrogenesis dan
fibrolisis, deposisi kolagen akan terjadi dan bekas luka akan terbentuk.
Ketrika jaringan parut berkembang, distorsi arsitektur, fibrosis hati dan
akhirnya sirosis akan terjadi (Stalnikkowitz & Weissbrod, 2003).
Segera setelah kerusakan hati, jumlah leukosit akan menigkat.
Leukosit bersama-sama dengan sel kupffer akan menghasilkan senyawa yang
memodulasi sel stelate. Oksida nitrat (NO) dan sitokin inflamasi, seperti
factor tumor nekrosis (dengan kemampuan stimulasi pada sel stellata untuk
sintesis kolagen) akan di hailkan oleh monosit dan makrofag. Selain itu, sel-
sel kupffer dapat merangsang sintesis matriks oleh sel stellata melalui
tindakan transformasi β factor pertumbuhan (TGF-β) dan spesies oksigen
reaktif (ROS) (Parsian et al, 2011).
Kerusakan hati akibat nekrosis dapat memperlihatkan beberapa tanda
dan gejala serta komplikasi. Salah satu gejala awal dari sirosis yaitu
pembesaran hati. Pada awal perjalanan sirosis hati cenderung membesar dan
sel-sel di penuhi lemak, akibat pembesaran hati menimbulkan regangan pada
selubung fibrosa hati (kapsula glissoni ) sehingga menimbulkan keluhan
nyeri. Sirosis juga dapat menyebabkan gangguan endokrin, pada kondisi hati
yang normal hormone korteks adrenal, testis dan ovarium dimetabolisme dan
diinaktifkan oleh hati. Gangguan endokrin tersebut akan menampakan
beberapa gejala di antaranya angioma laba-laba, atrofi testis, ginekomastia,
alopesia pada dada dan aksila, eritema Palmaris yang disebabkan kelebihan
estrogen, juga peningkatan pigmentasi kulit diduga aktivitas melanin
stimulating hormone yang bekerja secara berlebihan.
Gangguan hati juga akan berdampak pada gangguan sel darah seperti
penurunan factor pembekuan, s el darah merah dan putih. Akibat dari
trombositopenia, manifestasi yang muncul kecendrugan perdarahan hidung,
gusi, menstruasi yang berat, dan mudah memar. Penurunan sel darah merah

13
akibat gangguan di hati dapat menimbulkan gejala anemia, kondisi ini
diperparah oleh adanya pembesaran limpa ( splenomegali ), yang berakibat
pada penghancuran sel-sel darah dan defisiensi asam folat, vitamin B12 dan zat
besi sekunder akibat kehilangan darah. Selain itu sirosis dapat berdampak
pada kondisi leucopenia, ketika seseorng mudah terinfeksi kegagalan hati
menyebabkan gangguan produksi albumin yang mengakibatkan muncul
manifetasi edema, edema juga terjadi karena kegagalan sel hati untuk
menginaktifkan aldosteron dan hormone antidiuretik, sehingga terjadi retensi
natrium dan air.
Selain itu, gangguan hati dapat menyebabkan kelainan metabolism
ammonia, yang menyebabkan gangguan neurologi seperti ensefalopati
hepatic. Kerusakan hati juga dapat menyebabkan resistansi aliran darah
memali hati sehingga menimbulkan komplikasi hipertensi portal
mengakibatkan peningkatan tekanan baik menyebabkan splenomegali yang
selanjutnya menimbulkan manifestasi asites. Asites pada sirosis dapat di
sebabkan karena peningkatan tekanan hidrostatik pada kapiler usus dan
penurunan tekanan osmotic karena hipoalbuminemia. Juga factor retensi
natrium dan air akibat peningkatan antidiuretik hormone.
Peningkatan beban pada sirkulasi portal akibat berkurangnya aliran
keluar melalui vena dan meningkatnya aliran masuk merangsang timbulnya
kolateral, pembentukan kolateral salah satunya terbentuk saluran kolateral
pada esophagus bagian bawah. Pirau darah melalui saluran ini menyebabkan
dilatasi vena ( varises esophagus ). Varises daerah ini dapat komplikasi
adanya pendarahan. Sirkulasi kolateral juga melibatkan vena superfisisal
dinding abdomen. Timbulnya sirkulasi ini mengakibatkan dilatasi vena sekitar
umbilicus. Dilatasi anastomosis cabang mesenteria inferior dan vena rectum
dapat menimbulkan hemoroid.
Komplikasi lain dari sirosis adalah HRS (sindrom hepatorenal).
Keadaan yang di temukan pada HRS adalah vasokonstriksi ginjal yang
reversible dan hipotensi sistemik. Kejadian HRS diawali dari keadaan

14
hipertensi portal dan sirosis masih terkompensasi, gangguan pengisian arteri
menyebabkan penurunan volume darah arteri dan menyebabkan aktivitas
system vasokonstriktor endogen. Dilatasi pembuluh darah splanknik pada
pasien hipertensi portal dan sirosis yang terkompensasi dapat dimedisasi oleh
beberapa factor, terutama oleh pelepasan vasodilator local seperti NO (oksida
nitrat). Pada fase ini, perfusi renal masih dapat dipertahankan atau mendekati
batas normal karena system vasodilator menghambat system vasokonstriktor
ginjal. Lalu terjadi aktivitas RAAS dan SNS yang menyebabkan sekresi
hormone anti-diuretik, selanjutnya terjadi kekacauan sirkulasi. Hal ini
mengakibatkan vasokonstriksi bukan hanya di pembuluh darah renal, tetapi
juga di pembuluh darah otak, otot, dan ekstremitas. Namun, sirkulasi
splanknik tetapi resistan terhadap efek ini karena produksi terus-menerus
vasodilator local, yaitu NO, sehingga masih terjadi penurunan resistansi
vaskuler sistemik total. Jika penyakit hati makin berat dapat lagi mengatasi
aktivitas maksimal vasokonstriktor eksogen dan atau vasokontriktor intra-
renal, menyebabkan tidak terkontrolnya vasokonstriksi renal (Pratama, 2015).

E. PATOFLODIAGRAM TEORI

15
16
F. MANIFESTASI KLINIS
1. Keluhan pasien:
 Pruritis
 Urin berwarna gelap
 Ukuran lingkar pinggang meningkat

17
 Turunya selera makan dan turunya berat badan
 Ikterus (kuning pada kulit dan mata) muncul belakangan
2. Tanda klasik
 Telapak tangan merah
 Pelebaran pembulih darah
 Ginekomastia bukan tanda yang spesifik
 Peningkatan waktu protombin adalah tanda yang lebih khas
 Ensefelopati hepatitis dengan hepatitis fulminan akut dapat terjadi
dalam waktu singkat dan pasien akan merasa mengantuk, delirium,
kejang, dan koma dalam waktu 24 jam
 Onset enselopati hepatitis dengan gagal hati kronik lebih lambat
dan lemah.

G. KOMPLIKASI
1. Hipertensi portal
Hipertensi portal adalah kondisi saat aliran normal darah yang melalui
vena portal (yang membawa darah dari usus dan limpa ke hati) melambat
karena adanya jaringan parut pada hati. Kondisi ini pada ahkirnya bisa
meningkatkan tekanan di dalam pembuluh darah.
2. Pembengkakan di kaki dan perut.
Adanya peningkatan tekanan di vena portal membuat cairan
menumpuk di kaki (edema) dan perut (asites). Selain karena peningkatan
tekanan darah, kondisi ini juga di sebabkan karena hati tidak mampu
memproduksi albumin.
Albumin adalah protein darah yang berfungsi untuk mengatur tekanan
dalam pembuluh darah. Tak hanya itu, albumin juga berfungsi untuk
menjaga agar cairan yang terdapat di dalam pembuluh darah tidak bocor
ke jaringan tubuh sekitarnya.
3. Pembuluh darah yang melebar.

18
Ketika aliran darah yang melalui vena portal melambat, maka darah
dari usus dan limpa kembali ke pembuluh darah di perut dan
kerongkongan. Akibatnya, pembuluh darah di bagian ini akan melebar
karena tidak dipersiapkan untuk membawa banyak darah. Pembuluh darah
yang besar ini dinamakan varises.
Pada varises, dinding kulit sangatlah tipis. Akan tetapi, dibawahnya
terdapat tekanan yang cukup tinggi sehingga membuatnya lebih mudah
untuk pecah. Jika sudah pecah, anda berisiko mengalami perdarahan serius
di bagian perut atas dan kerongkongan.
4. Memar dan berdarah
Komplikasi sirosis dapat menyebabkan hati memperlambat bahkan
menghentikan produksi protein yang dibutuhkan dalam proses pembekuan
darah. Akibatnya, seseorang yang mengalami sirosis lebih mudah memar
atau berdarah meski hanya cedera ringan.
5. Ensefalopati hepatic.
Sirosis membuat hati menjadi rusak. Akibatnya, hati tidak dapat
membersihkan racun dari darah. Racun kemudian menumpuk di otak dan
menyebabkan seseorang mengalami linglung, sulit konsentransi, tidak
responsive, dan pikun (mudah lupa).
6. Jaundice (penyakit kuning)
Komplikasi yang satu ini membuat seluruh kulit dan mata berubah
warna menjadi kuning. Kondisi ini bisa terjadi ketika hati yang sudah
rusak tidak mengeluarkan bilirubin (produk limbah darah) dalam jumlah
yang semestinya.
H. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1. Laboratorium
 Peningkatan kadar enzm hati, seperti aminotransferase, aspartat
aminotransferase, bilirubin serum total, dan bilirubin indirek.
 Penurunan kadar albumin dan protein serum total
 Masa protombin memanjang

19
 Penurunan hemoglobin, hematokrit, dan elektorlit serum
 Defisiensi vitamin A, C, dan K
 Peningkatan kadar bilirubin dan urobilinogen urine, penurunan
kadar urobilinogen feses.
2. Pencitraan
 Ronsen abdomen menunjukan pembesaran hati dan limpa serta
kista atau gas di saluran empedu atau hati, klasifikasi hati, dan
asites massif.
 CT scan hati menentukan ukuran hati, mengidentifikasi massa hati,
dan memantau aliran darah serta obstruksi.
3. Prosedur diagnostic
 Biopsy hati adalah uji definitive untuk sirosis, menunjukan
kerusakan dan fibrosa jaringan hati.
 Esofagogasroduodenoskopi menunjukan perdarahan varises
esophagus, iritasi atau ulserasi lambung, dan pendarahan serta
iritasi duodenum.
I. DISCHARGE PLANING
1. Istirahat ditempat tidur sampai terdapat perbaikan ikterus, asites, dan
demam
2. Diet rendah protein. Bila ada asites diberikan diet rendah garam II, dan
bila proses ttidak aktif, diperlukan diet tinggi protein
3. Mengatasi infeksi dengan antibiotic
4. Memperbaiki keadaan gizi, bila perlu dengan pemberian asam amino
essensial berantai cabang dan glukosa
5. Roboansia. Vitamin B kompleks. Dilarang makan dan minum bahan yang
mengandung alcohol.
J. PENATALAKSANAAN
Pengobatan sirosis hati pada prinsipnya berupa:
1. Simtomatis
2. Supportif, yaitu antara lain:

20
a. Istirahat yang cukup
b. Pengaturan makanan yang cukup dan seimbang, misalnya: cukup
kalori, protein 1gr/kgBB/hari dan vitamin
c. Pengobatan berdasarkan etiologi, misalnya pada sirosis hati akibat
infeksi virus hepatitis C dapat dicoba dengan interferon
3. Pengobatan yang spesifik dari sirosis hati akan diberikan jika telah terjadi
komplikasi seperti:
a. Asites
b. Spontaneous bacterial peritonitis (SBP)
Adanya kecurigaan akan SBP bila dijumpai keadaan sebagai berikut:
 Dicurigai sebagai sirosis tingkat B dan C dengan asites
 Gambaran klinis mungkin tidak ada dan leukosit tetap
normal
 Protein asites biasanya <1 g/dl
 Biasanya monomicrobial dan bakteri Gram-negative
 Mulai pemberian antibiotic jika asites >250 mm polymorphs
 50% mengalami kematian dan 69% sembuh dalam 1 tahun
Pengobatan SBP dengan memberikan cephalosporins
generasi III (cefotaxime), secara parental selama lima hari,
atau Qinolon secara oral. Mengingat akan rekurenya tinggi
maka untuk profilaxis dapat siverikan Norfloxaacin
(400mg/hari) selama 2-3 minggu.
c. Hepatorenal syndrome
Adapun criteria diagnostic dapat dilihat sebagai berikut:
 Majo: penyakit hati kronis dengan asites, glomerula fitration
rate yang rendah, serum creatin >1,5 mg/dl, creatin clearance
(24 hour) <4,0 ml/minute, tidak ada syok, infeksi berat
kehilangan cairan dan obat-obatan nephrotoxic, proteinuria <
500 mg/hari, tidak ada peningkatan ekspansi volume plasma.

21
 Minor : volume urin < 1 liter/hari, sodium urin <10 mmol/liter,
osmolaritas urin > osmolaritas plasma, kosentrasi sodium
serum <13 mmol/liter.

Sindrom ini dicegah dengan menghindari pemberian diuretic yang


berlebihan, pengenalan secara dini setiap penyakit seperti
gangguan elektrolit, perdarahan dan infeksi. Penanganan secara
konservatif dapat dilakukan berupa: retriksi cairan, garam,
potassium dan protein. Serta menghentikan obat-obatan yang
Nefrotoxic. Diuretic dengan dosis yang tinggi juga tidak
bermanfaat, dapat mencetuskan perdarahan dan shock. Pilihan
terbaik adalah transplantasi hati yang diikuti dengan perbaikan dan
fungsi ginjal.

a. Perdarahan karena pecahnya varises esophagus


Kasus ini merupakan kasus emergensi. Prinsip penangananya:
 Pasien disitirahatkan dan dipuasakan
 Pemasangan IVFD berupa garam fisiologis dan kalau
perlu transfuse
 Pemasangan Naso Gastric Tube, hal ini mempunyai
banyak sekali kegunaanya yaitu: untuk mengetahui
perdarahan, cooling dengan es, pemberian obat-obatan,
evaluasi perdarahan.
 Pemberian obat-obatan berupa antasida, ARH2,
antifibrinolitik, vitamin k, vasopressin, octriotide dan
somatostatin.
 Disamping itu diperlukan tindakan-tindakan lain dalam
rangka menghentikan perdarahan misalnya
pemasangan Ballon tamponade dan tindakan
skleroterapi / ligasi atau oesophagel transaction.
b. Ensefalophaty hepatic

22
Suatu sindrom neuropsikiatri yang didapatkan pada penderita
penyakit hati menahun, mulai dari gangguan ritme tidur,
perubahan kepribadian, gelisah sampai ke pre koma dan koma.
Factor pencetrus, antara lain: infeksi, perdarahan gastro
intestinal, obat-obat yang hepatotoxic. Prinsip penanaganan
ada 3 sasaran:
 Mengenali dan mengobati factor pencetus.
 Intervensi untuk menurunkan produksi dan absorpsi
amoniak serta toxin-toxin yang berasal dari usus
dengan jalan: diet rendah protein, pemberian antibiotic
(neomisin), pemberian lactulose/lactikol.
 Obat-obat yang memodifikasi balance neutronsmiter:
secara langsung (bromocriptin, flumazemil) dan tak
langsung (pemberian AARS).

K. ASUHAN KEPERAWATAN TEORI


A. Pengkajian
pengkajian pada pasien sirosis hepatis menurut Denges (2002), sebagai
berikut:
1. Demografi
 Usia : di atas 30 tahun
 Laki-laki beresiko daripada perempuan
 Pekerjaan : riwayat terpapar toksin
2. Riwayat kesehatan
 Riwayat hepatitis kronis
 Penyakit gangguan metabolisme:DM
 Obstruksi kronis duktus kolekductus
 Gagal jantung kongestif berat dan kronis
 Penyakit autonum

23
 Riwayat malnutrisi kronis terutama KEP
Pola fungsional
1. Aktivitas atau istirahat
Gejala: kelemahan, kelelahan
Tanda: letargi, penurunan masa otot/tonus
2. Sirkulasi
Gejala: riwayat gagal jantung kongesif (GJK) kronis, perikarditis,
penyakit jantung rematik, kanker,distrimia, bunyi jantung ekstra,DVJ,
vena abdomen distensi.
3. Eliminasi
Gejala: flatus
Tanda: distensi abdomen (hepatomegali, splenomegali, asites),
penurunan/tak adanya bising usus, feses warna tanah liat, melena,
urine gelap, pekat.
4. Makanan/cairan
Gejala: anoreksia, tidak tolern terhadap makanan/tak dapat mencerna,
mual/muntah.
Tanda: penurunan berat badan/peningkatan (cairan), kulit kering, turgor
buruk, ikterik : angioma spider, napas berbau/fetor hepatikus,
perdarahan gusi.
5. Neurosensori
Gejala: orang terdekat dapat melaporkan perubahan kepribadian,
penurunan mental.
Tanda: perubahan mental, bingung halusinasi, koma, bicara lambat.tak
jelas,
6. Nyeri/kenyamanan
Gejala: nyeri tekan abdomen/nyeri kuadran kanan atas.
Tanda: perilaku berhati-hati/distraksi, fokus pada diri sendiri
7. Pernapasan
Gejala: dispnea

24
Tanda: takipnea, pernapasan dangkal, bunyi napas tambahan, ekspansi
paru terbatas (asites), hipoksia.
8. Keamanan
Gejala: pruritus
Tanda: demam, (lebih umum pada sirosis alkohilik), ikterik, ekimosis,
petekie.
9. Seksualitas
Gejala: gangguan menstruasi, impoten.
Tanda: atrofi testis, ginekomastia, kehilangan rambut (dada, bawah
lengan, pubis)

b. Pemeriksaan fisik

a. Tampak lemah
b. Peningkatan suhu, peningkatan tekanan darah (bila ada kelebihan cairan)
c. Scelera ikterik, konjugtiva anemis
d. Distensi vena jugularis dileher
e. Dada:
 Ginekomastia (pembesaran payudara pada laki-laki)
 Penurunan ekspansi paru
 Pengguanaan otot-otot asesoris pernapasan
 Distrimia, gallop

c. Pemeriksaan diagnostik

Menurut Smeltzer (2001), yaitu:

1. Radiologi
Dapat dilihat adanya varises esofagus untuk konfirmasi hipertensi portal.
2. Esofagoskopi
Dapat menunjukan adanya varises esofagus
3. USG

25
4. Angiografi
Untuk mengukur tekanan vena porta
5. Skan /biopsi hati
Mendekati infiltrat lemak, fibrosis, kerusakan jarinagan hati.
6. Partografi transhepatik perkutancus
Memperlihatkan sirkulasi sistem vena portal

d. diagnosa keperawatan

1. ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh

2. kelebihan volume cairan

3. resiko infeksi

4. resiko kerusakan integritas kulit

5. ketidaefektifan pola napas

6.Resiko pendarahan

7. resiko konfusi akut

8. gagguan citra tubuh

9. ketidakefektifan amanjemen kesehatan.

e. Intervensi

Diagnosa keperawatan HASIL YANG INTERVENSI


NANDA DICAPAI (NIC)
(NOC)
Ketidak seimbangan nutrisi Status nutrisi Terapi nutrisi
kurang dari kebutuhan -Mendemonstrasikan Independen
tubuh yang berhubungan penambahan berat badan  Catat laporan ketidakmampuan untuk
dengan yang progresif menurut makan. Kaji untuk keberadaan kondisi

26
 ketidakmampuan tuhuan. yang dapat mengganggu asupan
menelan makanan makanan.
(anoreksia,indigesti) -Tidak lagi mengalami  Evaluasi resiko malnutrisi klien.
 ketidakmampuan tanda malnutrisi Perhatikan penampilan, pelayuhan
mencerna makanan otot, jelas terlihat kurang tertarik pada
makanan, mengekspresikan enggan
untuk makan, dll.
 Tentukan kemampuan mengunyah,
menelan, dan mengecap. Diskusikan
kebiasaan makan, termasuk pilihan
makanan (kesukaan), intoleransi, atau
keengganan
 Evalusi total asupan makanan harian,
menggunakan diari makanan jika di
perlukan.
 Timbang berat badan, sesuai
diindikasikan. Pertimbangkan status
cairan dan riwayat berat badan terkini.
 Bantu atau dorong klien untuk makan,
jelaskan alasan tipe diet. Suapi klien
jika mudah lelah, atau minta orang
terdekat membantu klien.
 Rekomendasikan atau sediakan
makanan porsi kecil tapi sering.
 Batasi makanantinggi garam seperti
sayuran dan sop, daging yang sudah
diproses.
 Batasi asupan kafein dan penghasil gas
atau bumbu dan makanan yang terlalu

27
panas atau dingin.
 Dorong atau sediakan perawatan
mulut yang sering, khususnya sebelum
makan.
 Sediakan bantuan dengan aktivitas
sesuai kebutuhan. Tingkatkan periode
istirahat yang tidak terganggu,
khususnya sebelum makan.
 Anjurkan berhenti merokok
Kolaboratif
 Pantau pemeriksaan labolatorium,mis
glukosa,prealbumin atau albumin,
protein total, dan amonia.
 Pertahankan status puasa, ketika
diindikasikan,
 Tentukan kebutuhan nutrisi dan kalori
menggunakan metode yang tepat,
seperti total energi ekspenditure
(TEE), IMT, persamaan Harris
Benedict atau uji kalorimetri indirek,
sebagaimana diindikasikan.
 Kolaborasi dengan tim nutrisi untuk
menyediakan diet yang sesuai dengan
kebutuhan klien.
 Sediakan selang pemberian makan
enteral atau nutrisi parenteraltotal jika
diindikasikan.
 Beri medikasi sesuai indikasi mis
suplemen vitamin( khususnya vit laruk

28
lemak A,D,E,K)dan vitamin B (tiamin,
zat besi dan asam folat)
 Antiemetik, mis trimetobenzamid.
Kelebihan volume cairan Keseimbangan cairan Manajemen cairan/elektrolit
yang berhubungan dengan -Mendemontrasikan Independen
 Kelebihan natrium dan volume cairan yang stabil  Timbang berat badan setiap hari atau
asupan cairan dengan keseimbangan sesuai pesanan dan dokumentasikan
 Mekanisme pengaturan asupan dan haluaran. perubahan, perhatikan baik
yang mengalami -Berat badan stabil, tanda peningkatan maupun penurunan.
pelemahan-sindrom vital dalam batas normal  Panta tekanan darah dan CVP jika ada.
ketidaktepatan hormon dan tidak ada edem. Perhatikan distensi vena jugularis dan
antidiuretik (SIADH). di distensi vena abdomen
 Penurunan protein  Kaji status pernapasan dan perhatikan
plasma peningkatan laju pernapasan dan
dispnea.
 Auskultasi paru, perhatikan
kehilangan atau ketiadaan suara napas
dan terjadinnya suara tambahan-krakel
 Pantau untuk distritmia jantung.
Auskultasi suara jantung, perhatikan
terjadinya ritme galop S3/S4.
 Kaji derajat edem perifer dan
dependen.
 Ukur lingkar abdomen
 Beri perawatan mulut yang sering dan
es batu, khususnya jika puasa,
jadwalkan asupan cairan berdasarkan
waktu.
Kolaboratif
 Pantau albumin serum dan elektrolit

29
khususnya kalium dan natrium
 Pantau seri ronsen dada
 Batasi natrium dan cairan sesuai
indikasi
 Beri albumin bebas garam dan
ekspander plasma sesuai indikasi
 Beri medikasi sesuai indikasi
 Diuretik seperti spironolaktot
diberikan sendiri (tunggal) atau
dikombinasikan dngan furosemid,
 Obat inotropik positif dan vasodilator
arterial
 Siapkan untuk/bantu prosedur sesuai
indikasi pada klien dengan asites yang
tidak responsif terhadap terapi medis
mis pintas peritoneovenosa (PVS) ,
pintas portosistemik intrahepatika
transjugular (TIPS)
Resiko infeksi Keparahan infeksi Perlindungan infeksi
Faktor resiko Bebas dari demam dan Independen
 Malnutrisi nyeri abdomen  Identifikasi klien untuk resiko, mis
 Pertahanan tidak Kontrol infeksi : proses keadaan serosis dan asites ;status
adekuat- cairan tubuh infeksi gangguan imun ;malnutrisi ;jalur dan
yang statis -Mengenali faktor resiko prosedur invasif
 Pertahanan sekunder individual untuk infeksi  Catat laporan klien tentang nyeri
tidak adekuat- abdomen awitan baru atau perubahan
imunosupresi -Melakukan tindakan tingkat ketidaknyamanan abdomen
untuk mengurangi infeksi yang biasa. Tentukan intensitas
dengan menggunakan skala 0-10 atau
-Bebas dari komplikasi kode yang mirip.

30
yang dapat dicegah  Pantau tanda vital, perhatikan awitan
demam.
 Evaluasi sistem tubuh mis;
pernapasan, kulit, saluran kemih untuk
tanda infeksi.
 Tingkatkan lingkungan pelayanan
kesehatan yang aman.
 Tingkatkan dan praktikkan mencuci
tangan yang benar sesudah dan
sebelum kontak langsung. Gunakan
sarung tangan ketika diperlukan
 Pertahankan teknik steril untuk semua
prosedur invasid mis memasang jalur
IV, memasang kateter urine,
pengisapan paru.
 Bantu balutan luka bedah atau luka
lain, sebagaimana diindikasikan,
menggunakan teknik yang benar
untuk penggantian atau pembuangan
bahan yang terkontaminasi.
 Dorong napas dalam dan batuk,
perubahan posisi dan ambulasi dini.
 Pertahankan hidrasi yang adekuat,
dorong berkemih teratur atau
pertahankan kateter urine sesuai
indikasi. Beri/bantu perawatan perinial
Kolaboratif
 Siapkan untuk/bantu prosedur medis
(mis parasintesis)

31
 Kaji hasil uji laboratorium (mis SDP
dengan diferensial, urinalisis, kultur
cairan asites dan/atau darah)
 Beri antibiotik sesuai indikasi
Resiko kerusakan integritas Kontrol resiko Kesintasan kulit
kulit -Mempertahankan Independen
Fator-faktor resiko integritas kulit  Diskusikan rasa gatal bersama klien,
Kerusakan sirkulasi bahas area yang terena dan waktu
 Ketidakseimbangan -Mengidentifikasi tautan dalam sehari ketika klien paling
status nutrisi;gangguan resiko individual dan merasa tidak nyaman
status metabolik mendemontrasikan  Inpeksi permukaan kulit dan titik
 Perubahan pada turgor perilaku atau teknik tekan secara rutin. Dengan berlahan
kulit, penonjolan untuk mencegah masases tonjolan tulang atau area
rangka, perubahan pada kerusakan kulit tekanan terus menerus. Gunakan
status cairan (mis losion emolien dan batasi
edema, asites) penggunakan sabun untuk mandi.
 Zat kimia,  Dorong dan bantu penggantian posisi
pengumpulan garam sesuai jadwal rutin, sementara
empedu di kulit. ditempat tidur atau kursi, dan latihan
rentang gerak (ROM) aktif atau pasif
dengan benar.
 Anjurkan meninggikan ekstermitas
bawah.
 Jaga seprai tetap kering dan bebas
kerutan
 Anjurkan memotong pendek kuku jari
dan sediakan sarung tangan jika
diindikasikan
 Dorong atau sediakan perawatan
parineal setelah berkemih dan buang

32
air besar.
Kolaboratif
 Gunakan secara silih berganti, kasur
keras, kasur air, atau kulit domba
sesuai indikasi
 Oleskan losion kelamin dan berikan
mandi baking soda
 Beri medikasi seperti koletiramin,
kolestipol, hidroksizin, dan
dronabinol, jika diindikasikan
Ketidakefektifan pola nafas Status pernapasan : Pemantauan pernapasan
yang berhubungan dengan ventilasi Independen
 Hipoventilasi (asites Mempertahankan pola  Pantau laju, kedalaman dan upaya
dengan penurunan nafas efektif dan bebas pernapasan
ekspansi paru) dari dyspnea dan sianosis  Auskultasi suara napas, perhatikan
 Kelelahan dengan gas darah arteria krakel, mengi, dan ronki
(GDA) dan kapasitas  Investigasi perubahan tingkat
vital dalam batas yang kesadaran
dapat diterima  Tetap tinggikan kepala tempat tidur.
Miringkan pasien
 Dorong reposisi yang sering, latihan
napas dalam dan batuk jika mampu
 Pantau suhu tubuh. Catat adanya
mengigil, peningkatan batuk, dan
perubahan warna atau karakter sputum
Kolaboratif
 Pantau serangkaian GDA, oksimetri
nadi, pengukuran kapasitas vital dan
ronsen dada.
Bantuan ventilasi

33
Kolaboratif
 Beri suplemen oksigen sesuai indikasi
 Demonstrasikan dan bantu dengan alat
pernapasan seperti spirometer insentif
 Siapkan untuk atau bantu prosedur
perawatan akut seperti parasentesis.
Resiko pedarahan Koagulasi darah Kewaspadaan pendarahan
Faktor resiko Mempertahankan Independen
 Gangguan homeostatis dengan  Kaji tanda dan pendarahan Gl mis
gastrointestinal (mis tanpa pendarahan periksa semua sekresi untuk darah
varises) Kontrol resiko samar atau jelas. Observasi warna dan
 Kerusakan fungsi hati Mendemonstrasikan konsistensi feses, drainase,
perilaku untuk nasogastrik, atau muntahan.
mengurangi resiko  Observasi keadaan petekie, ekimosis,
pendarahan. dan perdarahan dari satu atau lebih
tempat
 Pantau denyut nadi dengan penurunan
TD dan CVP
 Kaji perubahan mental dan tingkat
kesadaran
 Hindari pengukuran suhu melalui
rektum, laukan perlahanan pemasukan
selang Gl
 Dorong penggunaan sikat gigi lembut
dan pencukur listrik ,
hindaraimengejan daatdefekasi ,
meniup lewat hidung dengan kuat, dll
 Gunakan jarum kecil untuk injeksi.
Beri tekanan pada pedarahan kecil
atau tempat pungsi pena dari biasanya.

34
 Anjurkan menghindari produk yang
mengandung aspirin
Kolaboratif
 Pantau Hb dan Ht , trombosit dan
faktor pembekuan
 Beri medikasi sesuai indikasi mis ;
vitamin suplemen, seperti vit K,D, dan
C pelunak fases
 Beri kumbah lambung dengan larutan
salin dingi atau air sesuai indikasi
 Bantu pemasangan dan memelihara
selang usus attau esofagus seperti
selang Sengstaken-Blakemore
 Siapkan untuk prosedur , seperti ligasi
direk atau pengikatan varises, reseksi
esofagogastrik, TIPS, dan anastomosis
splenorenal portakava
Risiko konfusi akut Kognisi Pengobatan penggunaan zat :gejala putus
Faktor resiko -Menpertahankan tingkat obat alkohol
 Kerusakan hati mental yang biasa dan Independen
(ketidakmampuan orientasi realitas.  Observasi terhadap perubahan perilaku
mendetokfikasi enzim -Perilaku berhenti dan mental: letargi, konfusi,
dan obat-obatan menyalagunakan mengantuk, bicara lambat atau pelo
tertentu) alkohol/obat-obatan dan iritabilitas. Banunkan klien
 Penyalagunaan zat dengan interval.
(alkohol)  Tinjau regimen terapi pada saat ini
 Evaluasi jadwal tidur atau istirahat
 Catat perkembangan atau keberadaan
asteriksis, fektor hepatikus dan
aktivitas kejang.

35
 Konsultasi dengan orang terdekat
tentang perilaku dan mental pasien
pada biasanya.
 Minta klien menulis nama secara
berkala dan simpan catatan tersebut
untuk perbandingan. Laporkan
deteriorasi (penurunan) kemampuan.
Minta klien melakukan hitungan
aritmatika sederhana
 Orientasikan kembali tentang waktu,
tempat, orang dan situasi.
 Pertahankan lingkungan yang tenang
dan menyenangkan dan pendekatan
secara perlahan dan tenang. Dorong
periode istirahat tanpa gangguan
 Sediakan kesinambungan perawatan.
Jika mungkin tugaskan perawat yang
sama selama beberapa waktu
 Kurangi stimuli dan konfortasi yang
provokatif. Hindari memaksakan
aktivitas. Kaji potensi terjadinya
perilaku kekerasan,
 Diskusikan situasi saat ini dan harapan
yang akan datang.
 Pertahankan tirang baring dan bantu
dengan aktivitas perawatan diri.
 Identifikasi dan sediakan kebutuhan
keselamatan seperti supervisi ketika
merokok, tempat tidur dalam posisi

36
yang rendah, pinggiran tempat tidur,
ditinggikan, dan bantalan jika
diperlukan. Beri supervisi ketat.
 Investigasi peningkatan suhu tubuh.
Pantau tanda-tanda infeksi.
 Rekomendasikan menghindari
narkotik atau sedatif ,agens
antiansietas dan membatasi atau
mengurangi penggunaan medikasi
yang dimetabolisme oleh hati.
Kolaboratif
 pantau studilaboratorium, seperti
amonia, elektrolit, Ph, BUN,glukosa
dan HDL dengan diferensial.
 Kurangi atau batasi protein dalam diet.
Sediakan suplemen glukosa dan
hidrasi yang adekuat.
 Beri medikasi sebagaimana
diindikasikan
Mis Asam ursodeoksikolat, Agens
imunosupresif, seperti kortikosteroid,
metotreksat dan siklosporin; agens
antiinflamasi seperti kolkhicines
Elektrolit
Pelunakan feses seperti magnesium
sulfat, enema, dan laktusa
Agen bakterisida, seperti neomisin dan
kanamisin.
 Beri suplemen O2
 Bantu dengan prosedur sebagaimana

37
diindikasikan seperti dialisis,
plasmaferesis atau perfusi hati
ekstrakorporeal
Gangguan citra tubuh yang Citra tubuh Pengembangan citra tubuh
berhubungan dengan -Menyatakan Independen
perubahan biofisik, perubahan pemahaman tentang  Diskusikan situasi dan dorong
penampilan fisik perubahan dan verbalisasi rasa takut dan
penerimaan diri terhadap kekahwatiran. Jelaskan hubungan
situasi sekarang antara asal penyakit dan gejalanya.
 Dukung dan dorong klien ;beri asuhan
- Mengidentifikasi dengan tingka laku yang positif dan
perasaan dan metode ramah
untuk koping dengan  Dorong keluarga/orang terdekat untuk
persepsi negatif tentang mengungkapkan perasaan, membesuk
diri dengan bebas dan partisipasi dalam
asuhan.
Kolaboratif
 Bantu keluarga/orang terdekat untuk
koping terhadap perubahan pada
penampilan , sarankan pakaian yang
tidak memperjelas perubahan
penampilan , seperti penggunaan
pakaian mera, biru, atau hitam.
 Rujuk kelayanan dukungan, seperti
konsulen, bantuan kejiwaan,
pelayanan sosial, tokoh agama, dan
program penanganan alkohol
Ketidakefektifan manajeman Manajemen diri: Penyuluhan :proses penyakit
kesehatan penyakit kronis Independen
Yang berhubungan dengan -verbalisasi pemahaman  Tinjau prose penyakit dan harapan

38
 Kelebihan barier yang proses penyakit, dimasa depan
dirasakan prognosis, dan potensi  Tekankan pentingnya menghindari
 Kesulitan ekonomi komplikasi alkohol. Beri informasi tentang
 Kompleksitas regimen -korelasi gejala dengan pelayanan medis dan komunitas yang
terapeutik faktor penyebab tersedia untuk membantu dalam
 Kurang dukungan -mengidentifikasi dan rehabilitasi alkohol jika diindikasikan.
sosial memulai perubahan gaya  Informasikan klien tentang perubahan
hidup yang perlu efek medikasi dengan serosis dan
-berpartisipasi dalam pentingnya menggunakan hanya obat
perawatan secara aktif yang diresepkan atau diizinkan oleh
tenaga layanan kesehatan yang
familiar dengan riwayat klien
 Instruksikan klien dengan asites untuk
menghindari penggunaan NSAID.
 Tinjau prosedur untuk memelihara
fungsi pintas peritoneovenosa jika ada
 Bantu klien dengan mengidentifikasi
orang pendukung
 Tekankan pentingnya nutrisi yang
baik. Anjurkan untuk menghindari
makanan tinggi protein dan asin,
bawang merah, dan keju yang keras.
Sediakan instruksi diet tertulis
 Tekankan pentingnya asuhan lanjutan
dan kepatuhan terhadap regimen
terapeutik
 Diskusikan pembatasan natrium dan
pengganti garam dan penitingnya
membaca label makanan, obat yang

39
dijual bebas dan agen herbal
 Dorong jadwal aktivitas dengan
periode istirahat yang adekuat
 Tingkatkan aktivitas pengalih yang
dapat dinikmati klien
 Rekomendasikan untuk menghindari
orang dengan infeksi, khususnya
infeksi saluran pernapasan atas
 Instruksikan orang terdekat untuk
memberitahu penyediaan layanan
kesehatan jika terjadi konfusi,
berantakan,termor atau perubhan
kepribadian dan keluyuran malam
hari.

BAB III

ASKEP KASUS SIROSIS HEPATIS

KASUS : Sirosis Hepatitis

CASE A 60 year-old Middle Eastern male with no prior history of chronic hepatitis B
is admitted to the intensive care unit in grade II encephalopathy. He is found to be
hepatitis B surface antigen (HBsAg)-positive and hepatitis B Core antigen, antibody
(Anti-HBc) IgM-negative. His aspartate aminotransferase (AST) is 153, alanine

40
aminotransferase (ALT) is 90IU/L; bilirubin is 1.4mg/dL, and international
normalized ratio (INR) is 1.3. He has mild to moderate ascites. He is hepatitis Be
antigen (HBeAg)-negative but his hepatitis B virus (HBV) DNA is pending. His
blood urea nitrogen (BUN) is 34 and his serum creatinine is 1.5 (upper limit of
normal 1.4). What would you do? (a) No treatment, wait for serum HBV DNA results
(b) Start lamivudine (c) Start adefovir dipivoxil (d) Begin evaluation for liver
transplantation and start lamivudine (e) Begin evaluation for liver transplantation and
start adefovir Hepatitis B 260 Further studies become available. The patient’s HBV
DNA is found to be 3.2 x 107 copies/mL by a commercially available polymerase
chain reaction (PCR). He is Anti-HBe-positive. His INR is repeated (next day) and it
is now 1.7. His serum creatinine is 1.6 despite hydration and colloid expansion.
Would this change your thinking about how to approach management? (a) I would
start lamivudine because of concerns about nephrotoxicity with adefovir (b) I would
start adefovir as soon as the patient’s renal dysfunction improves (c) I would use
adefovir knowing that I could adjust the dose according to creatinine clearance as
listed in the package literature (d) I would not worry about starting adefovir since he
is unlikely to have severe significant renal dysfunction The patient is started on
lamivudine. Six weeks later, he no longer has encephalopathy, AST, ALT and serum
bilirubin have decreased to normal range, and serum HBV DNA has declined to 1.2 x
104 copies/mL. His serum creatinine has stabilized at 1.4, and the patient’s INR is
now 1.2. The patient is maintained on lamivudine and does well for 11 months when
his AST and ALT increase to 80 and 63, respectively. Serum HBV DNA is now 2.5 x
106 copies/mL. Genotyping results show lamivudine resistance (double mutant at
positions 180 and 204). His serum creatinine is 1.7. Creatinine clearance is
40mL/minute. Now what would you do? (a) Stop the lamivudine and start adefovir
(b) Add adefovir to lamivudine maintenance (c) Add adefovir and consider stopping
the lamivudine after two to three months (d) Maintain the patient on lamivudine alone
Case

41
Terjemahan

KASUS Seorang laki-laki Timur Tengah berusia 60 tahun tanpa riwayat hepatitis B
kronis dirawat di unit perawatan intensif pada ensefalopati tingkat II. Ia ditemukan
sebagai antigen permukaan hepatitis B (HBsAg) positif dan antigen Inti hepatitis B,
antibodi (Anti-HBc) IgM negatif. Aspartate aminotransferase (AST) adalah 153,
alanine aminotransferase (ALT) adalah 90IU / L; bilirubin adalah 1,4mg / dL, dan
rasio normalisasi internasional (INR) adalah 1,3. Ia memiliki asites ringan hingga
sedang. Dia adalah hepatitis Be antigen (HBeAg) -negatif tetapi DNA virus hepatitis
B-nya (HBV) tertunda. Nitrogen urea darahnya (BUN) adalah 34 dan kreatinin
serumnya 1,5 (batas atas normal 1,4). Apa yang akan kamu lakukan? (a) Tidak ada
pengobatan, tunggu hasil DNA HBV serum (b) Mulai lamivudine (c) Mulai adefovir
dipivoxil (d) Mulai evaluasi untuk transplantasi hati dan mulai lamivudine (e) Mulai
evaluasi untuk transplantasi hati dan mulai adefovir Hepatitis B 260 Studi lebih lanjut
menjadi tersedia. DNA HBV pasien ditemukan 3,2 x 107 salinan / mL oleh reaksi
rantai polimerase (PCR) yang tersedia secara komersial. Ia anti-HBe-positif. INR-nya
diulang (hari berikutnya) dan sekarang 1,7. Kreatinin serumnya 1,6 meskipun hidrasi
dan ekspansi koloid. Apakah ini mengubah pemikiran Anda tentang cara mendekati
manajemen? (a) Saya akan memulai lamivudine karena kekhawatiran tentang
nefrotoksisitas dengan adefovir (b) Saya akan mulai adefovir segera setelah disfungsi
ginjal pasien membaik literatur paket (d) Saya tidak akan khawatir tentang memulai
adefovir karena dia tidak mungkin memiliki disfungsi ginjal yang signifikan dan
parah. Pasien mulai menggunakan lamivudine. Enam minggu kemudian, ia tidak lagi
memiliki ensefalopati, AST, ALT dan serum bilirubin telah menurun ke kisaran
normal, dan DNA HBV serum telah menurun menjadi 1,2 x 104. Kreatinin serumnya
telah stabil di 1,4, dan INR pasien sekarang 1,2. Pasien dirawat dengan lamivudine
dan bekerja dengan baik selama 11 bulan ketika AST dan ALT-nya masing-masing
meningkat menjadi 80 dan 63. DNA HBV serum sekarang 2,5 x 106 salinan / mL.
Hasil genotipe menunjukkan resistensi lamivudine (mutan ganda pada posisi 180 dan
204). Kreatinin serumnya adalah 1,7. Jarak kreatinin adalah 40 mL / menit. Sekarang

42
apa yang akan kamu lakukan? (a) Hentikan lamivudine dan mulai adefovir (b)
Tambahkan adefovir ke pemeliharaan lamivudine (c) Tambahkan adefovir dan
pertimbangkan untuk menghentikan lamivudine setelah dua hingga tiga bulan (d)
Rawat pasien dengan lamivudine saja.

A. PENGKAJIAN

1. identitas : Tn. P berusia 60 tahun.

2. pola pengkajian Gordon :

 pola persepsi kesehatan dan pemeliharaan kesehatan

DS :

Keluhan utama : klien mengeluh perut membesar.

Riwayat penyakit dahulu : klien mengatakan tidak


memiliki riwayat penyakit sebelumnya.

Riwayat penyakit sekarang : Seorang laki-laki Timur


Tengah berusia 60 tahun tanpa riwayat hepatitis B
kronis dirawat di unit perawatan intensif pada
ensefalopati tingkat II. Ia ditemukan sebagai antigen
permukaan hepatitis B (HBsAg) positif dan antigen Inti
hepatitis B, antibodi (Anti-HBc) IgM negatif.

DO : dari hasil pemeriksaan LAB : Aspartate


aminotransferase (AST) adalah 153, alanine
aminotransferase (ALT) adalah 90IU / L; bilirubin
adalah 1,4mg / dL, dan rasio normalisasi internasional
(INR) adalah 1,3. Nitrogen urea darahnya (BUN) adalah
34 dan kreatinin serumnya 1,5 (batas atas normal 1,4). .
DNA HBV pasien ditemukan 3,2 x 107 salinan / mL

43
oleh reaksi rantai polimerase (PCR) yang tersedia secara
komersial. Ia anti-HBe-positif. INR-nya diulang (hari
berikutnya) dan sekarang 1,7. Kreatinin serumnya 1,6.

 Pola nutrisi

DS : klien mengatakan ia sering mengonsumsi


minuman keras(± 2 x sehari).

DO : klien tampak kurus.

 Pola aktivitas dan latihan

DS : klien mengatakan jarang berolahraga


DO : klien tampak lemah
 Pola persepsi dan konsep diri
DS : klien merasa tidak nyaman dengan kondisi
tubuhnya, karena perut yang membesar.
DO : perut klien tampak membesar.
 Pola eliminasi
DS : klien mengatakan kesulitan saat BAB
DAN BAK
DO : BAB : frekwensi 1 hari Warna : kehitaman
lunak. Konsistensi lunak. BAK : warna kuning
kemerahan .
 Pola tidur dan istirahat :
DS : klien mengatakan susah tidur pada malam
hari . karena kram pada daerah abdomen.
DO : klien tampak kesulitan tidur.
 Pola kognitif – persepsi
DS :
P : nyeri timbul pada saat klien bergerak.
Q : nyeri tekan

44
R : letak nyeri pada daerah abdomen kuadran
kanan atas.
S : skala nyeri 6
T : nyeri muncul terus – menerus.
DO : klien tampak meringis kesakitan.
 Pola peran – hubungan
DS : klien mengatakan hubungan dengan
sesamanya terjalin dengan baik.

 Pola seksualitas – reproduksi


DS : klien mengatakan aktivitas seksual dengan
istrinya terganggu.
 Pola koping – stress – toleransi
DS : klien mengatakan ia tidak stress dengan
kondisi tubuh nya.
 Pola nilai – keyakinan
DS : klien mengatakan ia sering berdoa
kepada Tuhan.
3. Pemeriksaan fisik
 Kepala : bentuk kepala simetris, tidak ada
benjolan, rambut rontok dan berminyak. Mata :
konjungtiva anemis, sclera tampak ikterik, reflek
cahaya positif, tajam penglihatan menurun.
Telinga : membrane timpani dalam batas normal.
Hidung : pernafasan cuping hidung tidak ada.
Mulut :membrane timpani dalam batas normal.
Hidung : pernafasan cuping hidung tidak ada.
Mulut :membrane timpani dalam batas normal.
Hidung : pernafasan cuping hidung tidak ada.

45
 Leher : adanya distensi vena jugularis. tenggorokan
normal, tidak ada pembesaran tiroid,tidak ada
pembesaran tonsil dan nyeri telan.
 Toraks : Dada : Bentuk dada simetris, tidak terlihat
adanya barelchest, funnal atau pidgeon. Tidak ada
bantuan otot pernafasan, saat auskultasi tidak terdengar
bunyi nafas tambahan seperti wizing, bronki dan
crakless, saat di perkusi terdengar bunyi sonor, dan
terdengar suara jantung pertama (s1) dan suara jantung
kedua (s2) tunggal reguler, tidak adanya murmur.
 Abdomen : Bising usus +, tidak ada benjolan,
nyeri tekan ada, perabaan massa tidak ada, hepar
tidak teraba, asites ringan sampai sedang(+).
Mengeluh perut terasa mual dan begah.
 Ekstremitas : akral hangat, CPR 2 dtk, reflex
patella negative, tidak ada abses, tampak
jaungdis, tekstur kulit kasar. Kulit terasa gatal.

4. Pemeriksaan diagnostic
Aspartate aminotransferase (AST) adalah 153 (5 – 4,3 IU/L),
alanine aminotransferase (ALT) adalah 90IU / L (5- 60 IU/L);
bilirubin adalah 1,4mg / dL( 0 -0,3 mg/dL atau 0-0,4 mg./dL), dan
Nitrogen urea darahnya (BUN) adalah 34 (7 – 20mg/dL) dan
kreatinin serumnya 1,5 (batas atas normal 1,4). . DNA HBV pasien
ditemukan 3,2 x 107 salinan / mL oleh reaksi rantai polimerase
(PCR) yang tersedia secara komersial. Ia anti-HBe-positif. INR-
nya diulang (hari berikutnya) dan sekarang 1,7. Kreatinin
serumnya 1,6.
5. Terapi obat
- Lamivudine

46
- Adefovire
- Furosemid
- paracetamol
6. Analisis data

Data Etiologi Masalah

DS : klien Alcohol & Infeksi Kerusakan fungsi


mengatakan sering virus hepatitis B hati berhubungan
mengonsumsi dengan infeksi virus
alcohol (± 2 x sehari) Sorosis hepatis hepatitis B.
DO : asites ringan
sampai sedang, Fungsi hati
konjungtiva anemis, terganggu
sclera tampak
ikterik, kulit tampak Kerusakan fungsi
jaungdis, hati .
peningkatan AST
153 IU /L,
peningkatan ALT 90
IU /L, anti-HBe-
positif. INR-nya
diulang (hari
berikutnya) dan
sekarang 1,7
Distensi vena
jugularis , BAB :
frekwensi 1 hari
Warna : kehitaman
lunak. terapi obat
lamivudine dan

47
adefovire.

DS : klien Infeksi virus Kelebihan volume


mengatakan gelisah hepatitis B cairan berhubungan
DO : asites, dengan asites
peningkatan Sirosis hepatis
Nitrogen urea
darahnya (BUN) Kerusakan fungsi
adalah 34 mg/dL, hati
dan kreatinin
serumnya 1,5. Terapi Hepatomegalia
obat furosemid.
Asites

DS : klien Infeksi hepatitis B Resiko Kerusakan


mengatakan kulit integritas kulit
terasa gatal. Sirosis hepatis berhubungan dengan
DO : peningkatan garam dalam
bilirubin adalah Fungsi hati empedu meningkat.
1,4mg / dL. terganggu

Gangguan
metabolisme
bilirubin

Bilirubin tak
terkunjugasi

48
Penumpukan
garam empedu di
bawah kulit

Pruritus

Kerusakan
integritas kulit.

DS : Infeksi hepatitis B Nyeri berhubungan


P : nyeri timbul pada dengan agen injuri
saat bergerak. Sirosis hepatis biologis
Q : nyeri tekan
R : nyeri pada Inflamasi akut
abdomen kuadran
kanan atas. Nyeri
S : skala nyeri 6
T : nyeri timbul terus
– menerus.
DO : wajah klien
tampak meringis .

49
B. Diagnose & Intervensi Keperawatan

Diagnose Tujuan / Hasil Intervensi (NIC)


keperawatan (NOC)

Kerusakan fungsi Setelah dilakukan Tindakan mandiri :


hati berhubungan asuhan keperawatan Tindakan kolaborasi :
dengan infeksi virus selama …. X 24 jam terapi medis pemberian
hepatitis B. ditandai diharapkan tidak lamivudine dan
dengan adanya kerusakan adefovire.
DS : klien hati, dengan criteria Tindakan observasi :
mengatakan sering hasil : tidak adanya pantau TTV, pantau
mengonsumsi asites, konjungtiva asites, pantau darah di
alcohol (± 2 x tidak anemis, sclera dalam feses, pantau
sehari) tidak ikterik, kulit kulit, konjungtiva dan
DO : asites ringan tidak jaungdis, tidak sclera ikterik, pantau
sampai sedang, adanya peningkatan hasil LAB.
konjungtiva anemis, AST dan ALT, anti- Tindakan penyuluhan :
sclera tampak HBe-negatif. berikan informasi
ikterik, kulit tampak mengenai proses
jaungdis, penyakit yang dapat
peningkatan AST menyebabkan
153 IU /L, gangguan fungsi hati.
peningkatan ALT 90
IU /L, anti-HBe-
positif. INR-nya
diulang (hari
berikutnya) dan
sekarang 1,7 distensi
vena jugularis,
BAB : frekwensi 1

50
hari Warna :
kehitaman lunak.
terapi obat
lamivudine dan
adefovire.

Kelebihan volume Setelah dilakukan Tindakan mandiri :


cairan berhubungan asuhan keperawatan catat intake dan out put
dengan asites selama … X 24 jam cairan, timbang BB
ditandai dengan DS diharapkan adanya setiap hari,
: klien mengatakan keseimbangan cairan Tindakan kolaborasi :
gelisah dalam tubuh klien terapi medis pemberian
DO : asites, dengan criteria obat diuretic furosemid.
peningkatan hasil : klien tidak Tindakan observasi :
Nitrogen urea gelisah, tidak pantau secara teratur
darahnya (BUN) adanya asites, BUN abdomen, kaji efek
adalah 34 mg/dL, normal (7 – pengobatan,pantau
dan kreatinin 20mg/dL, kreatinin hasil LAB,
serumnya 1,5. Terapi normal (normal 1,4) Tindakan penyuluhan :
obat furosemid. anjurkan pasien untuk
puasa, sesuai dengan
kebutuhan,

Resiko Kerusakan Setelah dilakukan Tindakan mandiri :


integritas kulit asuhan keperawatan bersihkan kulit
berhubungan dengan selama … X 24 jam, klien,minimalkan
garam dalam diharapkan tidak pajanan kulit terhadap
empedu meningkat. adanya kerusakan kelembapan.
Ditandai dengan integritas kulit, Tindakan kolaboratif :
DS : klien dengan criteria kolaborasi dengan ahli

51
mengatakan kulit hasil : kulit tidak terapi enterostoma
terasa gatal. terasa gatal, bilirubin untuk mendapatkan
DO : peningkatan dalam keadaan bantuan dalam
bilirubin adalah normal 0 -0,3 mg/dL pencegahan,
1,4mg / dL. atau 0-0,4 mg./dL. pengkajian, dan
penaganan luka atau
kerusakan kulit,
konsultasikan ke ahli
gizi untuk makanan
tinggi protein, mineral,
dan vitamin.
Tindakan observasi :
kaji tingkat
keterbatasan
kemampuan untuk
berpindah atau
bergerak dari tempat
tidur, pantau status
nutrisi dan asupan
makanan,
Tindakan penyuluhan :
ajarkan kepada
keluarga perawatan
kulit.

Nyeri berhubungan Setelah dilakukan Tindakan mandiri :


dengan agen injuri asuhan keperawatan ajarkan klien teknik
biologis ditandai selama … X 24 jam distraksi dan relaksasi,
dengan DS : diharapkan tidak lakukan perubahan
P : nyeri timbul pada adanya nyeri, dengan posisi, masase daerah

52
saat bergerak. criteria hasil : skala yang terasa nyeri.
Q : nyeri tekan nyeri berkurang, Tindakan kolaborasi :
R : nyeri pada wajah klien tidak terapi pemberian obat
abdomen kuadran meringis. analgetik paracetamol.
kanan atas. Tindakan observasi ;
S : skala nyeri 6 observasi isyarat
T : nyeri timbul terus nonverbal
– menerus. ketidaknyamanan.
DO : wajah klien Tindakan penyuluhan :
tampak meringis . instruksikan pasien
untuk
menginformasikan
kepada perawat jika
peredaan nyeri tidak
dapat di capai.

BAB IV

PEMBAHASAN KASUS
A. Pembahasan kasus

a. Berdasarkan teori, sirosis hepatis merupakan suatu keadaan


patologis yang menggambarkan stadium akhir fibrosis hepar
yang berlangsung progresif yang di tandai dengan distorsi dari
arsitektur hepar dan pembentukan nodulus regenerative
( Sudoyo Aru, dkk, 2009). Sedangkan berdasarkan kasus sirosis
hepatis merupakan Tn. P yang sudah terinfeksi hepatitis B,
dengan pemeriksaan laboratorium yang meningkat Aspartate

53
aminotransferase (AST) adalah 153 (5 – 4,3 IU/L), alanine
aminotransferase (ALT) adalah 90IU / L (5- 60 IU/L); bilirubin
adalah 1,4mg / dL( 0 -0,3 mg/dL atau 0-0,4 mg./dL), dan
Nitrogen urea darahnya (BUN) adalah 34 (7 – 20mg/dL) dan
kreatinin serumnya 1,5 (batas atas normal 1,4). . DNA HBV
pasien ditemukan 3,2 x 107 salinan / mL oleh reaksi rantai
polimerase (PCR) yang tersedia secara komersial. Ia anti-HBe-
positif. INR-nya diulang (hari berikutnya) dan sekarang 1,7.
Kreatinin serumnya 1,6.

b. Berdasarkan teori, sirosis hepatis memiliki beberapa faktor resiko yang


berpotensi terjadinya sirosis hepatis diantaranya : keturunan,
umur/usia, obat – obatan, makanan yang kuran bergizi, alkohol dan
infeksi virus hepatitis B & C. Sedangkan berdasarkan kasus faktor
resiko pada Tn. P penyebab terjadinya sirosis hepatis adalah
mengonsumsi alkohol dan terinfeksi virus heptitis B.

Berdasarkan teori dan kasus tersebut, dapat diperoleh bahwa faktor resiko
tersebut sangat berpengaruh terhadap sirosis hepatis, seprti yang terdapat
pada kasus.

B. Terapi Obat
- Furosemide

Defenisi :

Furosemide adalah obat golongan diuretik yang digunakan untuk membuang


cairan atau garam berlebih di dalam tubuh melalui urine dan meredakan
pembengkakan yang disebabkan oleh gagal jantung, penyakit hati, penyakit
ginjal atau kondisi terkait. Furosemide juga dapat digunakan untuk
penderita tekanan darah tinggi (hipertensi) saat obat diuretik lainnya tidak bisa
mengatasi kondisi ini lagi. Obat ini bisa digunakan sendiri atau
dikombinasikan dengan obat diuretik lainnya, seperti triamtene

54
atau spironolactone. Kadang-kadang obat ini juga diresepkan bersama dengan
mineral kalium. Merek dagang: Diuvar, Farsix, Roxemid, Uresix injeksi,
Edemin, Lasix, atau Uresix.

Dosis :

Furosemid dengan dosis 20-40 mg/hari. Furosemid merupakan loop diuretik,


mekanisme kerjanya menghambat reabsorbsi NaCl secara selektif di bagian
henle bagian ascendens (Katzung, 2007). Pemberian furosemid bisa ditambah
dosisnya bila tidak ada respon, maksimal dosisnya 160 mg/hari.

Kontraindikasi :

 Harap berhati-hati bagi penderita penyakit ginjal, gangguan prostat, gangguan


hati, penyakit asam urat, kolesterol tinggi, lupus dan diabetes.
 Harap waspada bagi yang mengalami dehidrasi, sulit buang air kecil, memiliki
tingkat natrium dan kalium rendah dalam darah, atau gangguan keseimbangan
kadar elektrolit.

 Hindari penggunaan obat jika Anda memiliki alergi antibiotik golongan sulfa.
Konsultasikan dengan dokter untuk mengetahui obat pengganti yang tepat
untuk kondisi Anda.

 Jika Anda disarankan untuk menjalani pemeriksaan MRI atau pemindaian


yang melibatkan penyuntikan zat radioaktif ke dalam pembuluh vena, beri
tahu dokter bahwa Anda sedang menjalani pengobatan dengan furosemide.
Kombinasi furosemide dengan tes-tes tersebut dapat berbahaya bagi ginjal.

 Furosemide dapat meningkatkan kadar gula darah. Pastikan Anda rutin


memeriksanya agar selalu terpantau, khususnya bagi penderita diabetes.

 Jika terjadi reaksi alergi atau overdosis, segera temui dokter.

Efek samping dan bahaya furosemide :

55
Sama seperti obat-obatan lainnya, furosemide berpotensi menyebabkan efek
samping. Tapi seiring dengan penyesuaian tubuh dengan obat, efek samping
akan berkurang dan mereda. Efek samping yang umumnya terjadi dalam
penggunaan furosemide adalah:

 Pusing.
 Vertigo.

 Mual dan muntah.

 Penglihatan buram.

 Diare.

 Konstipasi.

Periksakan diri ke dokter jika mengalami efek samping sebagai berikut:

 Kram perut.
 Merasa lelah.

 Mudah mengantuk.

 Mual parah.

 Mulut terasa kering.

 Aritmia.

 Telinga berdenging.

 Kulit menguning.

 Reaksi alergi (ruam atau pembengkakan pada mulut dan wajah).

 Pingsan.

Paracetamol

56
Defenisi :

Paracetamol adalah obat yang biasanya digunakan untuk mengobati rasa sakit
ringan hingga sedang, mulai dari sakit kepala, nyeri haid, sakit gigi, nyeri
sendi, dan nyeri yang dirasakan selama flu. Paracetamol juga bisa digunakan
untuk meredakan demam.

Kontraindikasi :

 Mual, sakit perut bagian atas, gatal-gatal, kehilangan nafsu makan


 Urin berwarna gelap, feses berwarna pucat
 Kuning pada kulit dan mata

Efek samping :

Parasetamol tidak boleh diberikan pada orang yang alergi terhadap obat anti-
inflamasi non-steroid (AINS), menderita hepatitis, gangguan hati atau ginjal,
dan alkoholisme. Pemberian parasetamol juga tidak boleh diberikan berulang
kali kepada penderita anemia dan gangguan jantung, paru, dan ginjal.

Lamivudine

Defenisi :

Lamivudine adalah obat antiviral yang digunakan berdasarkan petunjuk resep


dokter untuk membantu mengobati infeksi virus, terutama infeksi virus
hepatitis B. Selain untuk mengobati infeksi hepatitis B, lamivudine juga dapat
digunakan untuk mengobati infeksi virus HIV, dengan dikombinasikan
bersama obat lain. Lamivudine bekerja menghambat virus untuk berkembang
biak di dalam tubuh dengan cara mencegah enzim yang berperan dalam
perkembangbiakan virus di dalam tubuh. Lamivudine tidak dapat membunuh

57
virus HIV dan virus hepatitis B secara langsung, tetapi membantu menahan
perkembangan virus.

Dosis :

Dewasa :100 mg, sekali sehari. Khusus pasien yang menderita hepatitis B dan
HIV, diberikan 150 mg 2 kali sehari, atau 300 mg sekali sehari.

Anak-anak 2-17 tahun : 3 mg/kgBB, sekali sehari.Dosis maksimum adalah


100 mg per hari.

Efek samping :

Beberapa efek samping yang muncul akibat mengonsumsi lamivudine adalah:

 Diare
 Mual

 Sakit kepala

 Lelah

 Merasa tidak enak badan

 Batuk

 Hidung tersumbat.

Selain efek samping tersebut, efek samping lain yang harus diwaspadai oleh
pasien yang mengonsumsi lamivudine adalah asidosis laktat, pankreatitis, dan
penyakit liver. Gejala yang dapat ditimbulkan antara lain:

 Sakit perut
 Menggigil

58
 Penyakit kuning (ikterus)

 Urine berwarna gelap

 Penurunan nafsu makan.

Kontraindikasi :

 Sebelum mengonsumsi lamivudine, pasien perlu memberi tahu dokter jika


memiliki riwayat:
o Pankreatitis

o Penyakit liver

o Diabetes

o Penyakit ginjal

o Cangkok liver.

 Pasien yang mengonsumsi lamivudine berisiko mengalami penumpukan asam


laktat di dalam tubuh atau asidosis laktat, yang berbahaya jika tidak ditangani.
Segera konsultasikan dengan dokter jika mengalami gejala sakit perut, diare,
lemas, atau nyeri otot saat mengonsumsi lamivudine.

 Beri tahu dokter jika sedang menggunakan obat-obatan lain, termasuk


suplemen dan produk herba.

 Jika terjadi reaksi alergi atau overdosis, segera temui dokter.

59
Adevovire

Defenisi :

Adefovir adalah jenis obat oral untuk seseorang yang menderita penyakit dan


kelainan infeksi hati atau yang biasa disebut dengan Hepatitis B. Adefovir
diformulasikan dengan Decompensated Liver Disease yang disertai adanya
replika pengaktifan virus dan inflamasi liver aktif yang dilakukan secara
histologi atau dengan metode Decompensated Liver.

Dosis Minum Obat Adefovir :

Sebagai obat yang dikonsumsi secara oral atau dengan cara diminum,
Adefovir juga memiliki ukuran dosis tertentu bagi para pengkonsumsinya.
Obat ini dapat digunakan oleh para penderita hepatitis B kronis dengan
krontraindikasi di atas. Ukuran dosis dapat obat ini juga tergolong rendah
yaitu untuk dewasa di atas usia 18 tahun maka penggunaan Adefovir cukup
dengan 10mg dalam waktu 1 hari sekali.

Kontraindikasi :

 Ibu hamil dan menyusui


 Pasien dengan hipersensitive

 Penderita memiliki penyakit ginjal

 Alergi, dan lain sebagainya.

Untuk beberapa orang, penggunaan Adefovir memang tidak disarankan.


Karena apabila tetap digunakan tidak menutup kemungkinan jika penderita

60
akan mengalami beberapa efek samping yang serius hingga terjadinya
overdosis yang dapat membahayakan diri.

Efek samping :

Untuk para pasien penderita gangguan fungsi hati atau penyakit hepatitis B
kronis, maka pengkonsumsian obat Adefovir dapat menyebabkan beberapa
efek samping tertentu. Berikut adalah beberapa efek samping dari penggunaan
obat Adefovir yang mungkin dapat terjadi pada penderitanya.

1. Badan lemas dan mual


2. Muntah

3. Diare

4. Sakit Kepala

5. Pusing

6. Kulit Mengalami Gangguan Seperti Kemerahan, Gatal, dsb

7. Penyakit Ginjal

8. Hipofosfatemia

9. Flatulen

10. Nyeri Pada Bagian Abdomen

11. Terjadinya gejala dispepsia

12. Adanya Gejala Pruritus

C. Terapi Diet

1. Diet Garam Rendah I (DGR I)

61
Diet garam rendah I diberikan kepada pasien dengan edema, asites dan
atau atau hipertensi berat. Pada pengolahan makanannya tidak menambahkan
garam dapur. Dihindari bahan makanan yang tinggi kadar natriumnya. Kadar
Natrium pada Diet garam rendah I ini adalah 200-400 mg Na.
2. Diet Hati I (DH I)
Diet Hati I diberikan bila pasien dala keadaan akut atau bila prekoma
sudah dapat diatasi dan pasien sudah mulai mempunyai nafsu makan. Melihat
keadaan pasien, makanan diberikan dalam bentuk cincang atau lunak.
Pemberian protein dibatasi (30 g/hari) dan lemak diberikan dalam bentuk
mudah dicerna. Formula enteral dengan asam amino rantai cabang (Branched
Chain Amino Acid /BCAA) yaitu leusin, isoleusin, dan valin dapat
digunakan. Bila ada asites dan diuresis belum sempurna, pemberian cairan
maksimal 1 L/hari.

Makanan ini rendah energi, protein, kalsium, zat besi, dan tiamin;
karena itu sebaiknya diberikan selama beberapa hari saja. Menurut beratnya
retensi garam atau air, makanan diberikan sebagai Diet Hati I Garam rendah.
Bila ada asites hebat dan tanda-tanda diuresis belum membaik, diberikan Diet
Garam Rendah I. Untuk menambah kandungan energi, selain makanan per
oral juga diberikan makanan parenteral berupa cairan glukosa.

3. Diet Hati II (DH II)

Diet hati II diberikan sebagai makanan perpindahan dari diet hati II


kepada pasien dengan nafsu makannya cukup. Menurut keadaan pasien,
makanan diberikan dalam bentuk lunak / biasa. Protein diberikan 1 g/Kg berat
badan dan lemak sedang (20-25% dari kebutuhan energi total) dalam bentuk
yang mudah dicerna. Makanan ini cukup mengandung energi, zat besi,
vitamin A & C, tetapi kurang kalsium dan tiamin. Menurut beratnya retensi
garam atau air, makanan diberikan sebagai diet hati II rendah garam. Bila

62
asites hebat dan diuresis belum baik, diet mengikuti pola Diet Rendah garam
I.

4. Diet Hati III (DH III)

Diet Hati III diberikan sebagai makanan perpindahan dari Diet Hati II
atau kepada pasien hepatitis akut (Hepatitis Infeksiosa/A dan Hepatitis
Serum/B) dan sirosis hati yang nafsu makannya telah baik, telah dapat
menerima protein, lemak, mi9neral dan vitamin tapi tinggi karbohidrat.
Menurut beratnya tetensi garam atau air, makanan diberikan sebagai Diet Hati
III Garam Rendah I.

5. Diet tempe pada sirosis hati sebagai upaya meningkatkan kadar albumin dan
perbaikan ensefalopati hepatic. Pada penelitian ini membandingkan antara diet
hati II dan III (diet konvensional) dengan diet tempe dalam meningkatkan
kadar albumin darah dan menurunkan derjat ensepalohetik selama 20 hari.
Dan hasilnya diet tempe dapat meningkatkan albumin darah, menurunkan
ammonia dalam darah, meningkatkan psikomotor dan menurunkan
ensefalopatik hepatic.

6. Diet masukan protein pada pasien ensefalohepatik dan Sirosis hepatic yang
dilakukan oleh beberapa ahli gizi. Dari beberapa ahli gizi berbeda pendapat
mengenai batasan protein yang diberikan pada pasien sirosis hepatic, namun
pada pelaksaannya tetap mengacu pada konsesnsus ESPEN tentang nutrisi
pada pasien dengan penyakit hati yang kronik, yaitu :

Kondisi Klinis Energi/Non protein Protein (g/Kg)


(K.cal/Kg)

63
Sirosis yang dapat 25 – 35 1,0 – 1,2
mengkompensasi
komplikasi.

Intake yang tidak adekuat 35 – 40 1,5


dan malnutrisi

Ensepalopathy I - II 25 – 35 Pada fase transisi 0,5


kemudian 1,0 – 1,5 , jika
ditoleransi : diberikan
protein nabati. Suplemen
BCAA

Ensepalopathy III -IV 25 – 35 0,5 – 1,2, Suplemen


BCAA

Jika menggunakan nutrisi parenteral , kalori non protein yang didalamnya


terkandung lemak dan glukosa sekitar 35 – 50 %.

D. Pathoflodiagram Kasus

64
65
66
BAB V

PENUTUP

A. KESIMPULAN
Hepar merupakan kelenjar yang terbesar dalam tubuh manusia. Hepar
pada manusia terletak pada bagian atas cavum abdominis, di bawah
diafragma, di kedua sisi kuadran atas, yang sebagian besar terdapat pada
sebelah kanan. Beratnya 1200 – 1600 gram. Permukaan atas terletak
bersentuhan di bawah diafragma, permukaan bawah terletak bersentuhan di
atas organ-organ abdomen. Hepar difiksasi secara erat oleh tekanan
intraabdominal dan dibungkus oleh peritoneum kecuali di daerah posterior-
superior yang berdekatan dengan v.cava inferior dan mengadakan kontak
langsung dengan diafragma. Bagian yang tidak diliputi oleh peritoneum
disebut bare area.Terdapat refleksi peritoneum dari dinding abdomen anterior,
diafragma dan organ-organ abdomen ke h epar berupa ligament.
Sirosis adalah penyakit hati kronik yang dicirikan oleh terbentuknya
jaringan parut pada hati berupa lembar-lembar jaringan ikat dan nodula-
nodula, sebagai akibat dari regenerasi sel hati yang tidak berkaitan dengan
vakulator normal.
Sirosis adalah suatu keadaan patologis yang menggambarkan stadium
akhir fibrosis hepatic yang berlangsung progresif yang ditandai dengan
distrosi dari arsitektur hepar dan pembentukan nodulus regenerative.

B. SARAN
Semoga makalah ini bermanfaat bagi para pembaca. Bagi perawat hendaknya
mempelajari dengan baik tentang asuhan keperawatan pada klien Sirosis
hepatis.

67
DAFTAR PUSTAKA

Hurst Marlene.2016.Keperawatan Medikal Bedah.Jakarta: EGC

Aspiani Yuli Reni.2016.Asuhan Keperawatan Klien Gangguan sistem


pencernaan.Jakarta: EGC

Smeltzer C. Suzanne,dkk.2002.Keperawatan Medical Bedah. Jakarta: EGC

Wilkinson M. Judithm. 2017. Diagnosis Keperawatan.Jakarta: EGC

Amin Huda Nurarif.2015.Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa


Medis & NANDA NIC-NOC.Jakarta: MediAction.

68

Anda mungkin juga menyukai