Anda di halaman 1dari 5

liveDevil

Karya: Ilham B. Cahyadi

Masuknya Febi Komaril ke gelanggang kumite disambut sorak-sorai pemirsa. Di


depan, seorang karateka putri lainnya berdiri. Dialah adikku, Eve Ichwan, adik bungsu.
Jantung pun berdebar ketika dia masuk ke arena.

“Waktunya ekspos betapa kuatnya diriku,” slogan Eve, berkuda-kuda.

Lantang wasit, “Hajime!”

Keduanya bergerak seperti kanguru, menunggu waktu yang pas untuk menyerang atau
menangkis. Sementara, diriku, Ariella Ichwan, anak tengah, menonton khawatir dari tribune
sebelah kanan.

“Hai, Krib,” salam seorang wanita.

Aku menoleh ke kanan, “Eh, Kakak! Baru datang?”

“Maklumlah, jam segini macetnya gimana,” jelasnya.

Perempuan ini kakakku, Gabriela Ichwan, si kakak sulung. Di semesta ini, Bumi-51778,
Ichwan Bersaudari ada tiga orang. Kemudian, ia duduk di sebelahku.

“Gue belum telat, kan?” tanya Kak Gaby, akrabnya.

Ariel bergeleng, “Santai, baru pertama!”

Kembali berfokus kepada kumite adikku. Di sana, Eve jatuh tersimpuh pasca-disepak di
lengan kanannya. Aku berdecak gemas.

“Ao, hida o ten waza-ari!”

“Astaga, itu anak ngapain aja, sih!”

Ledek Kak Gaby, “Sabar, sabar! Antusias banget, sayang Eve, ya, lu?”

Aku menjeling risih ke arah Kak Gaby, serta kembali khusyuk ke Eve versus Febi. Terus,
Kak Gaby lantas mendekap daguku. Aku kembali menjeling kepadanya.

“Malu banget, nih, di tempat ramai begini,” gumamku.

“Gemas, gemas! Gengsimu buat gemas,” gemas Kak Gaby. Ekor pipinya makin melekat
pipi tembam ini.

Ratapku, “Tolong, Kak Gaby, tolong!” lalu terlepaslah dekapannya.

[liveDevil]
Sudut pandang Eve Ichwan …

“Ao, hida o ten waza-ari!” tinjau Wasit, sambil merentangkan tangan kirinya, terhadap
Senior Febi yang memakai atribut warna biru itu.

“Asu, kenapa kuat sekali?” gumamku, kesal.

“Gue tidak akan kalah semudah itu, kan?” katanya, senyum.

Kupejamkan mata sejenak sambil mengembus napas. Setelah kurasa cukup santai, aku
bangkit dan kembali pasang kuda-kuda untuk kumite berikutnya.

“Hajime!”

Kali ini, aku lebih waswas daripada sebelumnya. Mau tidak mau mesti mendapat
ippon supaya ke babak final. Aku tak mau gagal lagi untuk kesekian kalinya.

Dengan secepat kilat, Kak Febi kembali menyerangku. Namun, kali ini aku benar-benar
siap sehingga aku dapat menjepit pukulannya dengan kaki, kemudian berputar membanting
dirinya ke lantai. Kutindih badannya, lalu kutodong wajahnya dengan kepal.

“Dengan ini, gue menang,” gumamku, mengklaim.

“Aka, chouten-kiri ippon! Ippon gachi!” tegas Wasit.

Ippon gachi, kemenangan dengan poin penuh. Skor akhir 3:2 untukku. Omong-omong,
karate memang berbahasa Jepang secara internasional.

Aku mendekati Kak Febi, lantas mengulurkan tangan.

“Kumite yang bagus, Senior,” pujiku, tetapi ditepisnya, “Bacot!”

Dia berdiri dan pergi begitu saja tanpa menghormat penutup.

[liveDevil]

Sudut pandang Febi Komaril …

“BRAK!” Begitulah suara mebel yang seketika hancur setelah terhantam badanku yang
‘dibuang’ kakakku, Kak Beby. Terasa sakit sekali seperti … entah, bayangkan sendiri! Dengan
pelan-pelan, dia mendekat sambil berkata, “Kenapa bisa kalah dari bocah itu?”

“Maafkan aku,” laungku, ketakutan dan menyesal.

Kak Beby meraih nia bajuku, “Enggak butuh maaf dari lu!”

Kemudian, aku dihabisinya sampai benar-benar habis. Selama memukuliku, ia berseru,


“Dasar lemah, lembek, enggak bisa diandalkan!” Aku benar-benar babak belur. Sampai saat
ia hendak melancarkan pukulan terakhir, aku menangkap kepalannya.
Kutatap tajam dirinya, “Gue, gue tidak selemah yang lu pikir hanya pertandingan bego
itu, Bajingan!” kemudian aku membalas dengan segala jurus yang kupunya.

Aku lari ke dapur, mengambil pisau dan menodongkannya.

“Gue muak sama perlakuan keras lu selama ini. Sekarang, izinkan gue mengakhirinya!”
izinku padanya.

Kak Beby terpojok. Cengangnya, “Febi?” sekarang ia yang takut.

“Febi Komaril selesai,” Aku mencabik dadanya sampai tewas.

Pungkasku, “Aku Kaliya, iblis yang lahir darimu,” dengan bersimbah darah.

[liveDevil]

Sudut pandang Gabriela Ichwan …

Dengan segelas sirop di tangan kanan, aku berdiri di depan kedua adikku, Kribi dan Ipi,
kemudian berseru, “Kalau begitu, untuk diperolehnya emas Ipi hari ini, bersulang!”

“Bersulang,” laung keduanya, kompak. Gelas berbunyi ‘ting’ karena bersua.

“Selamat ya, Eve,” ucap Si Krib, lalu minum.

“Terima kasih,” balas Ipi, tersipu.

“Keren ‘dah, lu dapat emas,” pujiku.

“Kak Gebi, setoplah!” Eve makin tersipu.

Setelah menang dari rekannya, Febi, dia menang lagi dalam final tadi. Ya, walau selalu
terluput skornya dalam kumite pertama, sih. Dia memang penuh kejutan.

“Keren ‘dah, lu, curi ippon terus. Mantap, Ichwan Terkuat!” kagumku.

“Sudah kubilang, setop, kan?” sipunya, makin tersipu.

Memang kami memiliki sebutan sendiri-sendiri. Gabriela Si Ichwan Tercekat; Ariella Si


Ichwan Tersehat; dan Eve Si Ichwan Terkuat.

“Jangan sok imut, enggak cocok!” cibir Krib, menjelingnya sinis.

“Coba bilang sekali lagi!” todong Ipi dengan garpu.

Ariel menahannya, “Kenapa pasang muka galak begitu?”

Adik-adikku ini memang sangat akrab juga saling menyayangi satu sama lain.

“Harmonisnya!” pikirku dalam hati, tak ingin melerainya.


“Kenapa sialan ini jadi cici gue?” kata Eve, melendeh.

“Bahasa!” tegurku, Eve tunduk, “Maaf, Kak Gebi.” Sedangkan, Krib terkekeh-kekeh.

“Ketawa, gue tabok ya, Krib!”

“Cek, coba saja kalau berani!” tantang Krib.

Seketika Ipi beranjak dan hendak menyerang Krib.

“Sudah, sudah! Dimakan dulu dagingnya, keburu dingin, lo!” tahanku, menarik Ipi biar
keseruan antarsaudari ini berakhir sehingga kami dapat makan bersama.

Mendadak terdengar birama dari depan. Dengan inisiatif sendiri, aku beranjak. Lantas,
aku membuka pintu dan … .

[liveDevil]

Sudut pandang Febi Komaril …

Aku langsung mendekap dan menusuk perutnya dengan belati begitu pintu ini terbuka
olehnya. Di telinganya, aku berbisik, “Ini pembalasan atas kekalahan gue tadi, Junior,” lantas
menariknya kembali.

“Eh, Kak Gaby?” kagetku.

Dia membeku sejenak, “Ke-kenapa?” sebelum ambruk.

“Tidak ada opsi lainkah?” dengusku, tenang.

Mau tidak mau aku harus mengubah rencana. Kini, sasaranku bukan cuma Eve, namun
semua penghuni. Kutinggalkan Kak Gaby masuk untuk mencari mereka.

“KALIAN BERDUA, LARILAH!” lantang Kak Gaby.

Teriakan bodoh sebab membuat Ariel-Eve keluar.

“Kak Febi?” heran Eve, melihat belati berdarah di tanganku.

“Waktunya makan malam,” tuturku.

“Ci Ariel, mundur!” minta Eve.

Jawab Ariel, “Tetapi … ”

“Tidak ada ‘tetapi’, Cici!” sentak Eve, “Ada aroma iblis kuat darinya.”

Ariel pun mundur beberapa langkah, menjauh.

“Kak Febi tahu, kenapa gue bisa cium aroma iblis dari Kakak?” tanya dia,
Tanyaku, “Kenapa?”

“Karena kami, Tri-Ichwan pernah sepakat sama iblis, bertahun-tahun,” ujarnya,


terlihat tenang di mataku.

Gadis itu senyum, “Tetapi,” lalu lari padaku.

Aku membeku saat dia mencekikku, “Manusia tercipta lebih mulia, tahu!” Bahkan, aku
menjatuhkan belatiku seketika. Lantas, dirinya memukulku beruntun.

“Sadarlah, Senior!” teriaknya, menghajarku.

Eve mengalahkanku lagi, aku tidak sadarkan diri.

Samar-samar terdengar, “Bahkan, kau pun tak bisa menang, Kaliya.”

Aku pingsan di tempat.

“Apakah aku kalah lagi, Eve?”

[TAMAT]

Anda mungkin juga menyukai