Anda di halaman 1dari 5

Memahami Hermeneutika Kritis Habermas dalam Keislaman

Oleh: Thoriq Ad Dakhil


(NIM: 19105010022)

Ketika berbicara tentang Islam Progresif pasti tak lepas dengan istilah-istilah yang
berkaitan setelahnya, seperti sekuler, liberal, dan progresif itu sendiri. Sebagai agama yang
mengklaim sebagai agama yang tak tergerus oleh zaman dan makan, Islam yang diturunkan
sekitar 1400-an tahun yang lalu hingga sekarang pastilah mengalami dinamika pasang surut
baik itu dalam segi pengetahuan, tradisi, politik dan lainnya. Terutama pasca wafatnya Nabi
Muhammad S.AW., sebagai nabi terakhir, banyak pemikir Muslim klasik hingga
kontemporer yang mencoba merumuskan agar Islam tidak ketinggalan zaman dalam hal
apapun, biasanya istilah ini kita kenal dengan mujaddid. Contoh mujaddid Islam yang
maklum kita kenal antara lain adalah Muhammad Iqbal, Jamaluddin Al-Afghani, Hassan
Hanafi, Muhammad Arkoun, dan lain-lain.

Tokoh-tokoh yang disebut di atas memiliki corak pemikirannya masing-masing yang


menjadikan mereka unik. Tetapi, pada dasarnya mereka ingin menumpas kejumudan
masyarakat muslim, khususnya orang awam, dalam menjalani kehidupan agar tidak hanya
terpacu terhadap teks-teks kitab suci secara literal, melainkan juga memahami teks-teks
tersebut secara kontekstual. Mengapa demikian? Karena hal ini ditengarai sebagai penyebab
Islam yang tidak berkembang, dan dengan memahami teks kitab suci secara kontekstual
maka dipercayai masalah ini akan selesai.

Untuk pemecahan masalah ini, penulis ingin mencoba menggunakan Hermeneutika


kritis Habermas untuk digunakan sebagai metode dalam menumpas kejumudan umat Muslim
karena Habermas juga berbicara tentang otoritas dan tradisi, dan penggunaan kekuasaan
dalam hal kebenaran. Tulisan ini hanya sekedar menyentuh permukaan air dari kedalaman
intelektual Islam yang luas, dan bertujuan hanya untuk memercik api semangat dalam ber-
Islam.

Sekilas Tentang Habermas

Nama lengkapnya adalah Jurgen Habermas, ia adalah salah seorang filosof


kontemporer yang lahir di Gummerbarsch pada tanggal 18 Juni 1929 dari keluarga kelas
menengah Jerman. Ia pernah masuk dinas militer di usia 15 tahun dan bersimpati terhadap
gerakan Nazi tentang ras unggul, namun, sikapnya terhadap Nazi berubah ketika ia menonton
film dokumenter tentang pengadilan Nuremberg dan kamp-kamp konsentrasi. Habermas
muda tepengaruh dengan pemikiran-pemikiran Heidegger yang pada saat itu memenuhi ruang
intelektualitas Jerman, dan kemudian melepaskan diri dari pengaruh Heidegger karena sikap
mendukungnya terhadap Nazi. Sikapnya ini dituliskan dalam artikelnya yang berjudul Mit
Heidegger gegen Heidegger denken (Berpikir bersama Heidegger melawan Heidegger).

Ia belajar kesusastraan Jerman, sejarah dan filsafat di Gottingen, selain itu ia juga
mempelajari bidang-bidang lain seperti psikologi dan ekonomi. Selang waktu ia meraih gelar
doktor dari universitas Bonn pada tahun 1954 dengan disertai tentang Schelling yang berjudul
“Das Absolute und die Geschichte” (yang absolute dan sejarah). Pada tahun 1956 ia
berkenalan dengan lembaga penelitian sosial di Frankfur dan menjadi asisten Adorno di
Institut fur Sozialforschung.

Pada awal tahun 1960-an Habermas populer di kalangan mahasiswa Jerman berkat
partisipasinya dalam ”Sozialistische Deutsche Studentenbund” (ikatan mahasiswa sosialis
Jerman). Tetapi karena aksi-aksi mereka sudah mulai keluar batas, Habermas menarik diri
dari mereka yang kemudian berbalik menkritisi mahasiswa sehingga terlibat konflik dengan
mereka.

Karya-karya Habermas terbilang cukup banyak mencakup tulisan-tulisan berbentuk


esai maupun buku. Di antaranya ia tulis sebagai respon terhadap kritiknya atas Gadamer, dari
sini ia menghasilkan karya-karya yang lebih epistemologis, seperti Erkenntnis und Interesse
(Pengetahuan dan Kepentingan, 1968), Theorie und Praxis (Teori dan Praksis, 1963), dan
Zur Logik zer Sozialwissenshaften (Untuk Logika Ilmu-ilmu Sosial, 1967). Di tahun 1971 ia
menyelasaikan karya monumentalnya dalam dua jilid tebal Theorie des kommunikativen
Handelns (Teori Tindakan Komunikatif, 1981).

Hermeneutika Kritis Habermas: Tradisi dan Refleksi Kritis

Agak sulit ketika kita membicarakan Habermas dalam kajian hermeneutika modern,
karena ia tidak secara khusus memfokuskan kajiannya tentang hermeneutika, walaupun
begitu pemikirannya tentang hermeneutika tidak boleh kita lewatkan begitu saja, karena
kajiannya tentang ilmu-ilmu sosial berkaitan dengan hermeneutika.

Sebelum lanjut membahas tentang hermeneutika kritis alangkah baiknya kita


memahami sekilas yang melatarbelakangi Habermas dalam konsepnya tentang teori kritis.
Habermas dikenal sebagai madzhab kedua Frankfurt yang berupaya mengatasi kebuntuan dan
merekonstruksi ulang bangunan pemikiran yang diperkenalkan oleh generasi pertama
madzhab Frankfurt. Madzhab ini dikenal dengan teori krtisnya. Singkatnya adalah mereka
ingin menguji kembali konsepsi mapan yang sudah dibangun saat itu. Konsepsi mapan ini
adalah aliran positivistik-kapitalistik. Namun, generasi pertama ini gagal dalam merombak
ulang konsepsi yang sudah mapan ini karena masih terjebak dalam pemikirannya sendiri
tentang tradisi. Kemudian datang Habermas yang merumuskan dan mengatasi kebuntuan ini
dengan paradigmanya yang baru tentang komunikasi intersubyektif yang menempatkan
proses saling memahami sebagai pokok bahasan sentral. Dalam membahas ini, Habermas
dipercayai terpengaruh dengan karya Gadamer Wahrheit und Methode untuk merumuskan
awal teori sosialnya.

Selain mengambil sari dari karya Gadamer, ia juga melontarkan kritik terhadapnya.
Kritik ini menjadi perdebatan yang sengit antara Gadamer dan Habermas. Melalui tulisan-
tulisan dari perdebatan ini Habermas mengambil pendiriannya sendiri tentang hermeneutika
yang kemudian dikenal sebagai hermeneutika kritis.

Untuk memahami pendirian itu, kita harus kembali kepada pokok-pokok pemikiran
Gadamer tentang prasangka dan tradisi, dua pembahasan inilah secara khusus yang dikritik
oleh Gadamer. Pertama, Gadamer berpendapat bahwa memahami tidak dapat dilakukan tanpa
adanya prasangka-prasangka, malah prasangka inilah yang nantinya menjadi titik awal
pengetahuan. Tugas kita adalah membedakan antara prasangka yang legitim dan prasangka
yang tidak legitim. Kedua, konsep rehabilitasi prasangka ini berimplikasi bahwa memahami
bergerak dalam tradisi dan otoritas, karena kita adalah makhluk sejarah yang tak lepas dari
tradisi dan otoritas. Ketiga, memahami berarti kesesuaian atau kesepahaman dengan tradisi,
mustahil bagi kita memahami di luar tradisi karena kita tidak mungkin kita keluar dalam
“percakapan yang adalah kita”. Singkatnya Gadamer memercayai ada titik temu tujuan dalam
hermeneutik dan tradisi.

Habermas menyangkal Gadamer yang seolah menenggelamkan rasionalitas atau


refleksi kritis ke dalam tradisi dan otoritas. Menurut Habermas prasangka legitim itu tidak
mungkin jika dalam berpikir kita tidak mampu mengambil jarak dari tradisi. Karena sikapnya
terhadap perilaku Nazi, Habermas menyatakan bahwa kita tidak harus melanjutkan tradisi,
malah kita juga bisa memutus diri dari tradisi. Yang memungkinkan hal ini adalah dengan
cara refleksi kritis terhadap tradisi. Memang benar bahwa pengetahuan dapat diteruskan lewat
otoritas dan tradisi, sehingga prasangka juga dapat memungkinkan pengetahuan itu, tetapi
prasangka-prasangka itu menjadi pengetahuan hanya karena kita melakukan refleksi kritis.
Jika demikian, maka hermeneutik tidak hanya melanjutkan tradisi atau membenarkan
otoritas, melainkan juga dapat mengevaluasi mereka.

Kontribusi Hermeneutika Kritis Terhadap Keislaman

Perlu kita sepakati bersama apa yang dimaksud dengan tradisi dan otoritas di dalam
Islam. Al-Qur’an dan Hadis merupakan epistemologi Islam dalam bentuk otoritas, tetapi Al-
Qur’an tidak bisa berbicara kepada kita sendiri kecuali disampaikan oleh Nabi, dalam hal ini
yakni Muhammad S.A.W. namun, pasca Nabi wafat ilmu-ilmu keislaman berkembang
dengan pesat seperti ilmu tafsir, ilmu hadis, fiqh dan ushul fiqh dan lainnya.

Yang bisa ditawarkan dari hermeneutika kritis adalah konsepnya tentang refleksi
kritis terhadap otoritas dan tradisi. Misalnya pemahaman umat Islam terhadap Al-Qur’an saat
ini sering hanya terpaku terhadap suatu bentuk otoritas saja. Hal ini jika dibiarkan dapat
menyebabkan kemandekan berpikir yang berakibatkan kepada lambannya umat Islam
merespon terhadap berbagai permasalahn yang muncul di era modern ini.

Jika kita menggunakan hermeneutika kritis maka kita bisa menghasilkan pengetahuan
yang baru yang terbebaskan dari tradisi-tradisi terdahulu yang bisa dikatakan “ketinggalan
jaman”. Hermeneutika kritis ini bersifat dialektis, dimana subjek dan objek sama-sama
menghasilkan wacana yang dengannya tercapai kesepahaman. Tidak ada dominasi dalam hal
ini, karena keduanya saling mengajukan pemahaman-pemahaman.

Terlebih dalam studi Al-Qur’an, dalam hal ini ilmu tafsir. Yang bisa dikenakan krtik
bukan isi Al-Qur’an itu sendiri, melainkan pendapat para mufassir yang selama ini seringkali
dilanjutkan pemikirannya bahkan dianggap benar semua. Di sini lah hermeneutika kritis
beraksi, kita harus bisa terlepas dulu dari tradisi-tradis para mufassir ini, kemudian lakukan
refleksi kritis terhadap isi tafsir, jika dirasa tidak relevan dengan konteks masa kini maka
harus kita adakan evaluasi terhadap itu.

Anda mungkin juga menyukai