Ketika berbicara tentang Islam Progresif pasti tak lepas dengan istilah-istilah yang
berkaitan setelahnya, seperti sekuler, liberal, dan progresif itu sendiri. Sebagai agama yang
mengklaim sebagai agama yang tak tergerus oleh zaman dan makan, Islam yang diturunkan
sekitar 1400-an tahun yang lalu hingga sekarang pastilah mengalami dinamika pasang surut
baik itu dalam segi pengetahuan, tradisi, politik dan lainnya. Terutama pasca wafatnya Nabi
Muhammad S.AW., sebagai nabi terakhir, banyak pemikir Muslim klasik hingga
kontemporer yang mencoba merumuskan agar Islam tidak ketinggalan zaman dalam hal
apapun, biasanya istilah ini kita kenal dengan mujaddid. Contoh mujaddid Islam yang
maklum kita kenal antara lain adalah Muhammad Iqbal, Jamaluddin Al-Afghani, Hassan
Hanafi, Muhammad Arkoun, dan lain-lain.
Ia belajar kesusastraan Jerman, sejarah dan filsafat di Gottingen, selain itu ia juga
mempelajari bidang-bidang lain seperti psikologi dan ekonomi. Selang waktu ia meraih gelar
doktor dari universitas Bonn pada tahun 1954 dengan disertai tentang Schelling yang berjudul
“Das Absolute und die Geschichte” (yang absolute dan sejarah). Pada tahun 1956 ia
berkenalan dengan lembaga penelitian sosial di Frankfur dan menjadi asisten Adorno di
Institut fur Sozialforschung.
Pada awal tahun 1960-an Habermas populer di kalangan mahasiswa Jerman berkat
partisipasinya dalam ”Sozialistische Deutsche Studentenbund” (ikatan mahasiswa sosialis
Jerman). Tetapi karena aksi-aksi mereka sudah mulai keluar batas, Habermas menarik diri
dari mereka yang kemudian berbalik menkritisi mahasiswa sehingga terlibat konflik dengan
mereka.
Agak sulit ketika kita membicarakan Habermas dalam kajian hermeneutika modern,
karena ia tidak secara khusus memfokuskan kajiannya tentang hermeneutika, walaupun
begitu pemikirannya tentang hermeneutika tidak boleh kita lewatkan begitu saja, karena
kajiannya tentang ilmu-ilmu sosial berkaitan dengan hermeneutika.
Selain mengambil sari dari karya Gadamer, ia juga melontarkan kritik terhadapnya.
Kritik ini menjadi perdebatan yang sengit antara Gadamer dan Habermas. Melalui tulisan-
tulisan dari perdebatan ini Habermas mengambil pendiriannya sendiri tentang hermeneutika
yang kemudian dikenal sebagai hermeneutika kritis.
Untuk memahami pendirian itu, kita harus kembali kepada pokok-pokok pemikiran
Gadamer tentang prasangka dan tradisi, dua pembahasan inilah secara khusus yang dikritik
oleh Gadamer. Pertama, Gadamer berpendapat bahwa memahami tidak dapat dilakukan tanpa
adanya prasangka-prasangka, malah prasangka inilah yang nantinya menjadi titik awal
pengetahuan. Tugas kita adalah membedakan antara prasangka yang legitim dan prasangka
yang tidak legitim. Kedua, konsep rehabilitasi prasangka ini berimplikasi bahwa memahami
bergerak dalam tradisi dan otoritas, karena kita adalah makhluk sejarah yang tak lepas dari
tradisi dan otoritas. Ketiga, memahami berarti kesesuaian atau kesepahaman dengan tradisi,
mustahil bagi kita memahami di luar tradisi karena kita tidak mungkin kita keluar dalam
“percakapan yang adalah kita”. Singkatnya Gadamer memercayai ada titik temu tujuan dalam
hermeneutik dan tradisi.
Perlu kita sepakati bersama apa yang dimaksud dengan tradisi dan otoritas di dalam
Islam. Al-Qur’an dan Hadis merupakan epistemologi Islam dalam bentuk otoritas, tetapi Al-
Qur’an tidak bisa berbicara kepada kita sendiri kecuali disampaikan oleh Nabi, dalam hal ini
yakni Muhammad S.A.W. namun, pasca Nabi wafat ilmu-ilmu keislaman berkembang
dengan pesat seperti ilmu tafsir, ilmu hadis, fiqh dan ushul fiqh dan lainnya.
Yang bisa ditawarkan dari hermeneutika kritis adalah konsepnya tentang refleksi
kritis terhadap otoritas dan tradisi. Misalnya pemahaman umat Islam terhadap Al-Qur’an saat
ini sering hanya terpaku terhadap suatu bentuk otoritas saja. Hal ini jika dibiarkan dapat
menyebabkan kemandekan berpikir yang berakibatkan kepada lambannya umat Islam
merespon terhadap berbagai permasalahn yang muncul di era modern ini.
Jika kita menggunakan hermeneutika kritis maka kita bisa menghasilkan pengetahuan
yang baru yang terbebaskan dari tradisi-tradisi terdahulu yang bisa dikatakan “ketinggalan
jaman”. Hermeneutika kritis ini bersifat dialektis, dimana subjek dan objek sama-sama
menghasilkan wacana yang dengannya tercapai kesepahaman. Tidak ada dominasi dalam hal
ini, karena keduanya saling mengajukan pemahaman-pemahaman.
Terlebih dalam studi Al-Qur’an, dalam hal ini ilmu tafsir. Yang bisa dikenakan krtik
bukan isi Al-Qur’an itu sendiri, melainkan pendapat para mufassir yang selama ini seringkali
dilanjutkan pemikirannya bahkan dianggap benar semua. Di sini lah hermeneutika kritis
beraksi, kita harus bisa terlepas dulu dari tradisi-tradis para mufassir ini, kemudian lakukan
refleksi kritis terhadap isi tafsir, jika dirasa tidak relevan dengan konteks masa kini maka
harus kita adakan evaluasi terhadap itu.