Anda di halaman 1dari 28

Case Report

BRONKIEKTASIS

Disusun Oleh :
Adia Fitri Septi
1811901001

Pembimbing :
dr. Yessi Zul, Sp.P

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR BAGIAN ILMU PENYAKIT PARU


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER UNIVERSITAS ABDURRAB
RSUD BANGKINANG
2018

1
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur atas kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat
dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan pembuatan case report
yang berjudul “bronkiektasis” yang diajukan sebagai persyaratan untuk mengikuti
kepaniteraan klinik senior bagian Ilmu Penyakit Paru Studi Kedokteran
Universitas Abdurrab.
Penulis berterima kasih yang sebesar-besarnya kepada dokter pembimbing
atas bimbingannya selama berlangsungnya pendidikan di bagian Ilmu Penyakit
Paru sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas ini.
Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan case report ini masih terdapat
banyak kekurangan serta jauh dari kesempurnaan akibat keterbatasan pengetahuan
dan kemampuan penulis. Oleh karenanya, penulis memohon maaf atas segala
kekurangan serta diharapkan kritik dan saran yang membangun dalam rangka
perbaikan penulisan case report. Semoga case report ini dapat bermanfaat bagi
banyak pihak demi perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan.
Demikian yang dapat saya sampaikan, mudah-mudahan case report ini
dapat bermanfaat bagi para pembaca, khususnya bagi kami yang sedang
menempuh pendidikan.

Bangkinang , 25 November 2018

Adia Fitri Septi

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ii
DAFTAR ISI iii
BAB I : PENDAHULUAN 1
BAB II: TINJAUAN PUSTAKA 2
2.1 Definisi 3
2.2 Epidemiologi 3
2.3 Etiologi 5
2.4 Klasifikasi....................................................................................6
2.5 Patofisiologi 9
2.6 Diagnosis 11
2.6 Penatalaksanaan 16
2.7 Prognosis 20
2.8 Komplikasi……………………………………………………...21
BAB III : KESIMPULAN 25
DAFTAR PUSTAKA 26

3
BAB I

PENDAHULUAN

Bronkiektasis (BE) adalah penyakit saluran napas kronik ditandai dengan


dilatasi abnormal yang permanen disertai rusaknya dinding bronkus.
Bronkiektasis merupakan pelebaran dan distorsi bronkus ukuran sedang (diameter
jalan nafas >2 mm) yang bersifat permanen dan irreversibel. Dilatasi bronkus
sering berhubungan dengan pneumonia akut dan dengan beberapa tipe atelektasis,
tetapi pada pneumonia atau atelektasis, dilatasi akan sembuh sendiri (90% dalam
3 bulan). Bronkiektasis bukan merupakan penyakit tunggal, dapat terjadi melalui
berbagai cara dan merupakan akibat dari beberapa keadaan yang mengenai
dinding bronkial, baik secara langsung maupun tidak, yang mengganggu sistem
pertahanannya. Keadaan ini mungkin menyebar luas, atau mungkin muncul di
satu atau dua tempat. Secara khusus, bronkiektasis menyebabkan pembesaran
pada bronkus yang berukuran sedang, tetapi bronkus berukuran kecil yang berada
dibawahnya sering membentuk jaringan parut dan menyempit. Kadang-kadang
bronkiektasis terjadi pada bronkus yang lebih besar, seperti yang terjadi pada
aspergilosis bronkopulmoner alergika (suatu keadaan yang disebabkan oleh
adanya respon imunologis terhadap jamur Aspergillus).
Di negara barat angka kematian dan kesakitan terus meningkat, kondisi ini
tetap menjadi salah satu alasan untuk menjadi perhatian mengenai angka
kesakitan di negara berkembang. Berbagai macam faktor telah diidentifikasi
sebagai predisposisi terjadinya bronkiektasis fibrosis non kistik (non-CF). Infeksi
berulang, defisiensi imun, kemasukan benda asing, asma, tuberculosis dan
diskinesia primer bulu getar adalah beberapa hal yang menjadi faktor resiko.
Bronkiektasis post infeksi pada penderita normal akan sering menyertai dan di
negara berkembang beberapa pasien dengan kelainan tersebut memiliki penyakit
sistemik yang mendasari. Di seluruh dunia angka kejadian BE tinggi, biasanya
terjadi pada negara terbelakang atau berkembang. BE kebanyakan terjadi
pada penduduk usia pertengahan sampai lanjut, sedangkan akibat penyakit
kongenital terjadi pada usia muda.

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI
Bronkiektasis (BE) adalah suatu keadaan bronkus dan bronkiolus yang
melebar akibat hilangnya elastisitas dinding otot bronkus yang disebabkan
oleh obstruksi dan peradangan yang kronis, atau dapat pula di sebabkan oleh
kelainan kongenital. Keluhan biasanya sesak, batuk-batuk kronis, sekret yang
kental dan banyak kadang-kadang bercampur darah (hemoptisis).
Bronkiektasis bisa karena didapat atau terkadang juga kongenital.

B. EPIDEMIOLOGI
Prevalensi bronkiektasis tidak banyak diketahui karena gejala
bervariasi dan diagnosis sering tidak ditegakkan. Saat ini kejadian
bronkiektasis meningkat, karena kewaspadaan para klinisi meningkat dan
makin banyak tersedia alat standar diagnostik terutama high resolution chest
computed tomography (HRCT). Berbagai penelitian epidemiologis
menunjukkan prevalensi bronkiektasis 1,3 - 17,8 penderita per 1000
penduduk. Di Amerika Serikat, dari tahun 2000 sampai tahun 2007 prevalensi
bronkiektasis meningkat 8,74% setiap tahun sesuai usia dan memuncak pada
usia 80-84 tahun. Prevalensi lebih tinggi pada perempuan dan paling tinggi
pada populasi Asia. Rentang usia penderita terutama pada usia pertengahan
dan meningkat pada usia lanjut. Di Indonesia belum ada laporan angka pasti
mengenai penyakit ini, namun cukup sering ditemukan di klinik atau rumah
sakit.

5
C. ETIOLOGI
Penyebab bronkiektasis saat ini masih belum diketahui dengan jelas,
namun terdapat beberapa hal yang diduga menjadi penyebab bronkiektasis.
 Kelainan Kongenital
Faktor genetik atau pertumbuhan dan perkembangan memegang peranan
penting. Bronkiektasis karena kongenital biasanya mengenai hampir
seluruh cabang bronkus pada satu atau kedua bronkus. Selain itu,
bronkiektasis kongenital biasanya menyertai penyakit-penyakit kongenital
seperti fibrosis kistik, Kertagener Syndrome, William Campbell Syndrome,
Mounier-Kuhn Syndrome dan lain-lain.
 Kelainan Didapat
o Infeksi
Bronkiektasis sering terjadi sesudah seorang anak menderita
pneumonia yang sering kambuh dan berlangsung lama. Pneumonia
merupakan komplikasi pertusis maupun influenza yang diderita semasa
anak, tuberkulosis paru, dan sebagainya. Aspergillosis bronkopulmonalis
alergi dapat menyebabkan bronkiektasis karena invasi jamur pada
saluran napas yang kemudian merusak saluran napas.
o Obstruksi Bronkus
Obstruksi bronkus dapat disebabkan oleh berbagai macam sebab
seperti korpus alienum, karsinoma bronkus atau tekanan dari luar
lainnya terhadap bronkus. Menurut penelitian para ahli diketahui bahwa
infeksi ataupun obstruksi bronkus tidak selalu nyata (automatis)
menimbulkan bronkiektasis.

D. KLASIFIKASI
Bronkiektasis lebih sering ditemukan pada paru kiri dibandingkan
paru kanan, mungkin disebabkan karena diameter bronkus utama kiri lebih
kecil daripada kanan. Lynne Reyd membagi BE menjadi 3 bentuk
berdasarkan pelebaran bronkus dan derajat obstruksi, yaitu:

6
1. Bentuk Silindrik (tubular)
Seringkali dihubungkan dengan kerusakan parenkim paru, terdapat
penambahan diameter bronkus yang bersifat regular, lumen distal bronkus
tidak begitu melebar.
2. Bentuk Varikosa (fusiform)
Pelebaran bronkus lebih besar dari bentuk silindrik dan bersifat irregular.
Gambaran garis irregular dan distal bronkus yang mengembang adalah
gambaran khas pada bentuk varikosa
3. Bentuk Sakuler (kistik)
Dilatasi bronkus yang sangat progresif menuju ke perifer bronkus.
Pelebaran bronkus ini terlihat sebagai balon, kelainan ini biasanya terjadi
pada bronkus besar, pada bronkus generasi ke 4. Bentuk ini juga terdapat
pada BE kongenital.

Gambar 1. Klasifikasi Bronkiektasis

E. PATOGENESIS
` Bronkiektasis non-fibrosis kistik belum sepenuhnya dipahami. Model
lingkaran setan Cole adalah hipotesis yang diterima umum untuk menjelaskan
evolusi bronkiektasis. Cole menjelaskan pada individu dengan predisposisi,
infeksi paru, atau cedera jaringan akan menyebabkan respons inflamasi yang
kuat. Inflamasi saluran napas didominasi oleh kemoatraktan neutrofil terutama
interleukin-8 (CXCL-8) dan leukotrine B4. Respons inflamasi yang melibatkan
neutrofil, limfosit, dan makrofag, serta produk inflamasi yang dikeluarkan oleh
mikroorganisme dan pertahanan tubuh (protease, kolagenase, dan radikal
bebas) akan membuat dinding bronkus menjadi lemah karena kehilangan
elemen muskuler dan elemen elastisitasnya. Neutrophil elastase (NE)

7
menurunkan kecepatan klirens mukosilier dan meningkatkan sekresi mukus,
sehingga menimbulkan stasis mukus. Stasis mukus dan penurunan kemampuan
fagositosis dari neutrofil akan menyebabkan kolonisasi bakteri di sinobronchial
tree.

Neutrophil
inflammation airway obstruction and
(proteases) distortion
(bronchiectasia)

bacterial abnormal mucus


colonization clearance

Hipotesis lingkaran setan bronkiektasis. Penurunan kemampuan


opsonofagositosis terjadi pada beberapa tingkat, yakni pemecahan opsonin
melalui permukaan luar bakteri dan pemecahan reseptor neutrofil. Pengeluaran
alpha defensin dari granula neutrofil juga mensupresi fagositosis.
Mekanisme disfungsi imun lain yang berpengaruh adalah penurunan
klirens apoptosis dan infiltrasi sel T. Hasil akhir proses di atas adalah
terbentuknya kolonisasi bakteri yang menyebabkan inflamasi kronis dan menjadi
lingkaran setan kembali menjadi progresif sehingga makin merusak paru. Stres
oksidatif juga berperan penting pada patofisiologi bronkiektasis. Faktor utama
yang berperan pada peningkatan stres oksidatif pasien bronkiektasis adalah
eksaserbasi berulang dan kolonisasi patogen kronik.

8
Inflamasi saluran napas kronik menyebabkan pelepasan sitokin pro-
inflamasi yang dapat memicu pelepasan reactive oxygen species (ROS) secara
terus-menerus dan meningkatkan tingkat petanda stres oksidatif.

F. PATOFISIOLOGI
Bronkiektasis adalah dilatasi abnormal bronkus proksimal dan
menengah (>2mm) yang disebabkan oleh melemahnya atau perusakan
komponen otot dan elastis dinding bronkus. Daerah yang terkena bisa
menunjukkan berbagai perubahan, termasuk peradangan transmural, edema,
jaringan parut, dan ulserasi, diantara temuan lainnya. Parenkim paru distal
juga mungkin rusak sekunder terhadap infeksi mikroba persisten dan
pneumonia postobstructive sering. Bronkiektasis dapat bawaan tetapi paling
sering diperoleh.
Bronkiektasis kongenital biasanya mempengaruhi bayi dan anak-anak.
Kasus-kasus penangkapan hasil dari perkembangan pohon bronkial. Bentuk
Acquired terjadi pada orang dewasa dan anak-anak yang lebih tua dan
memerlukan adanya faktor penularan, gangguan drainase, obstruksi jalan
nafas, dan/atau cacat dalam host. Jaringan juga rusak sebagian oleh respon
host protease neutrophilic, sitokin inflamasi, oksida nitrat, dan radikal
oksigen. Hal ini menyebabkan kerusakan pada komponen otot dan elastis
dinding bronkus. Selain itu, jaringan alveolar peribronchial mungkin rusak,
sehingga fibrosis difus peribronchial.
Hasilnya adalah dilatasi bronkus abnormal dengan kerusakan dinding
bronkus dan peradangan transmural. Temuan paling penting fungsional
anatomi saluran nafas berubah adalah sangat terganggu clearance sekresi dari
pohon bronkial. Gangguan bersihan sekresi menyebabkan kolonisasi dan
infeksi dengan organisme patogen, berkontribusi terhadap dahak purulen
umumnya diamati pada pasien dengan bronkiektasis. Hasilnya adalah
kerusakan lebih lanjut pada bronkial dan kerusakan pada lingkaran bronkus,
pelebaran bronkus, gangguan sekresi, infeksi berulang, dan kerusakan yang
berlebihan pada bronkial.

9
G. DIAGNOSIS DAN DIAGNOSIS BANDING
1. Gambaran klinis
Manifestasi klasik dari bronkiektasis adalah batuk dan
produksi sputum harian yang mukopurulen sering berlangsung bulanan
sampai tahunan. Batuk kronik yang produktif merupakan gejala yang
menonjol. Terjadi hampir 90% pasien. Sputum yang bercampur darah
atau hemoptisis dapat menjadi akibat dari kerusakan jalan napas
dengan infeksi akut. Sputum yang dihasilkan dapat berbagai macam,
tergantung berat ringannya penyakit dan ada tidaknya infeksi sekunder.
Sputum dapat berupa mukoid, mukopurulen, kental dan purulen. Jika
terjadi infeksi berulang, sputum menjadi purulen dengan bau yang
tidak sedap. Dahulu, jumlah total sputum harian digunakan untuk
membagi karakteristik berat ringannya bronkiektasis. Sputum yang
kurang dari 10 ml digolongkan sebagai bronkiektasis ringan,
sputum dengan jumlah 10-150 ml perhari digolongkan sebagai
bronkiektasis moderat dan sputum lebih dari 150 ml digolongkan
sebagai bronkiektasis berat. Namun sekarang, berat ringannya
bronkiektasis diklasifikasikan berdasarkan temuan radiologis. Pada pasien
fibrosis kistik, volume sputum pada umumnya lebih banyak dibanding
penyakit penyebab bronkiektasis lainnya. Dispnea dan mengi terjadi
pada 75 % pasien. Nyeri dada pleuritis terjadi pada 50 % pasien dan
mencerminkan adanya distensi saluran napas perifer atau pneumonitis
distal yang berdekatan dengan permukaan pleura viseral.
2. Pemeriksaan fisik
Ditemukannya suara napas tambahan pada pemeriksaan fisik
dada, termasuk crackles (70 %), wheezing (34 %), dan ronki (44%)
adalah petunjuk untuk diagnosis. Dahulu, clubbing finger atau jari
tabuh adalah gambaran yang sering ditemukan, tapi saat ini prevalensi
gambaran tersebut hanya 3%. Penyakit utama yang mengaburkan
bronkiektasis adalah penyakit paru obstruktif kronik.

10
Tabel 1. Perbedaan PPOK dan Bronkiektasis
Variabel PPOK Bronkiektasis
Penyebab Merokok Infeksi/genetik
Infeksi Sekunder Primer
Predominan organisme Streptococcus Haemophillus
dalam sputum pneumoniae, influenzae,
Haemophillus influenzae Pseudomonasa
aeruginosa
Obstruksi saluran napas + +
dan hiperresponsif
Rontgen thorax Hiperlusen, hiperinflasi, Dilatasi dan
dilatasi saluran napas penebalan saluran
napas, mukous plug
Sputum Mukoid, jernih Purulen, 3 lapis

3. Pemeriksaan Penunjang
1) Spirometri
Pada pemeriksaan spirometri menunjukkan adanya keterbatasan aliran
udara dengan rasio penurunan volume ekspirasi paksa dalam satu detik
(VEP1) untuk memaksa volume kapasitas paksa (KVP), KVP normal
atau sedikit berkurang dan VEP1 menurun.
2) Radiologi
Pada penderita bronkiektasis, dapat ditemukan gambaran radiologi
sebagai berikut:
a. Ring shadow
Tampak bayangan seperti cincin dengan berbagai ukuran
(dapat mencapai diameter 1 cm). Jika terdapat lebih dari satu
bayangan cincin akan membentuk gambaran “honeycomb
appearance” atau “bounches of grape”. Bayangan tersebut
menunjukkan kelainan yang terjadi pada bronkus.

11
Gambar. Honeycomb appearance
b. Tramline shadow
Gambaran ini dapat terlihat pada bagian apeks paru. Bayangan
ini terdiri atas dua garis paralel yang putih dan tebal yang
dipisahkan oleh daerah berwarna hitam.
c. Tubular shadow
Merupakan bayangan yang putih dan tebal. Lebarnya dapat
mencapai 8 mm. Gambaran ini menunjukkan bronkus yang
penuh dengan sekret.
3) High resolution chest computed tomography (HRCT)
pemeriksaan standar untuk menegakkan diagnosis bronkiektasis.
HRCT memberikan informasi morfologi paru yang lebih jelas,
bronkiektasis ditandai dengan bronkus yang tidak meruncing ke
arah perifer, bronkus terlihat pada jarak 1-2 cm dari perifer paru,
dan peningkatan rasio bronkoarterial (diameter internal bronkus
lebih besar daripada pembuluh darah yang menyertainya) yang
disebut signetring sign. Berdasarkan gambaran HRCT,
bronkiektasis dapat diklasifikasikan menjadi bentuk silindrik,
varikose, dan sakuler atau kistik

12
H. EVALUASI KEPARAHAN
Evaluasi tingkat keparahan bronkiektasis nonfibrosis kistik
berdasarkan klinis, spirometri, dan gambaran radiologis, dilakukan untuk
menilai prognosis. Dua kelompok penelitian pada tahun 2014 secara
bersamaan menerbitkan sistem penilaian bronkiektasis, yaitu FACED score
dan bronchiectasis severity index (BSI). Kedua penilaian tersebut mampu
memprediksi mortalitas 4-5 tahun sejak diagnosis bronkiektasis ditegakkan.
Penilaian membagi tingkat keparahan menjadi tiga, yaitu: ringan, sedang,
dan berat. FACED score lebih sederhana dengan hanya menilai 5 variabel
dan 10 item penilaian, namun tetap memerlukan validasi eksternal. BSI
lebih kompleks (terdiri dari variabel dan 26 item penilaian), namun telah
divalidasi di beberapa negara Eropa.
Tabel. 2. Skor FACED
Variabel Hasil Nilai
FEV1 >50% 0
<50% 2
Usia <70 tahun 0
>70 tahun 2
Kolonisasi kronik Tidak ada 0
kuman pseudomonas ada 1
Perl(jumlah lobus paru 1 atau 2 lobus 0
terkena) >2 lobus 1

Tingkat skala sesak 0-2 0


MMRC 3-4 1
*Ket : MMRC= Modified Medical Research Council
Jumlah poin 0-7. Nilai 0-2 ringan, nilai 3-5 sedang, 6-7 berat

13
Tabel. 3 Bronchiectasis severity index (BSI)

I. PENATALAKSANAAN
Tujuan pengobatan bronkiektasis adalah untuk mencegah eksaserbasi,
mengurangi keluhan, meningkatkan kualitas hidup pasien, dan menghentikan
perburukan penyakit. Beberapa guidelines nasional di Eropa tentang
bronkiektasis telah dipublikasikan antara lain Spanish Society of Pneumology
and Thoracic Surgery (SEPAR) pada tahun 2008, British Thoracic Society
(BTS) pada tahun 2010, dan European Respiratory Society (ERS) pada tahun
2017. Target utama tatalaksana adalah penurunan kejadian eksaserbasi;
eksaserbasi menghabiskan biaya pengobatan yang paling banyak. Data ERS
menunjukkan 50% pasien bronkiektasis di Eropa mengalami eksaserbasi lebih
dari dua kali dalam setahun dan sepertiganya membutuhkan rawat inap di
rumah sakit. Terapi saat ini merujuk pada hipotesis lingkaran setan dari Cole.
Terapi diharapkan bisa memotong alur lingkaran setan, yakni inflamasi saluran
napas, penurunan klirens mukus, kerusakan struktur saluran napas, dan
kolonisasi bakteri.

14
Gambar. 1 Prinsip penatalaksanaan bronkiektasis merujuk pada konsep hipotesis
lingkaran setan Cole

1. Identifikasi dan Mengobati Penyebab Utama


Tujuan tatalaksana adalah untuk menangani penyebab yang terbukti
mendasari. BTS merekomendasikan skrining penyebab bronkiektasis antara
lain penghitungan imunoglobulin (IgA, IgE, IgM, IgG), pemeriksaan untuk
mengeksklusi allergic bronchopulmonary Aspergilosis (ABPA) yaitu IgE dan
IgG spesifik PA dan hitung eosinofil, antibodi spesifik pneumococcus dan
haemophillus, kultur sputum untuk eksklusi mikobakterium non-tuberkulosis,
pemeriksaan fibrosis kistik, pemeriksaan tambahan pada keadaan tertentu
(bronkoskopi, alpha-1 antitripsin, dan tes fungsi silier).

2. Vaksinasi
Peranan vaksin influenzae dan pneumococcal dalam tatalaksana penyakit
saluran napas kronik telah terbukti. Namun, belum ada studi pengaruh
pemberian vaksin dalam penatalaksanaan bronkiektasis non-fibrosis kistik.
Rehabilitasi paru dan pembersihan Saluran Napas Intervensi latihan
multidisipliner dan rehabilitasi paru dipandang sebagai bagian integral
manajemen beberapa penyakit paru kronik.
Pembersihan saluran napas dengan fisioterapi dada adalah salah satu
teknik pengeluaran sekret paru secara nonfarmakologis, namun belum ada
bukti adekuat meningkatkan kualitas hidup pasien dan menurunkan kejadian
eksaserbasi. Terapi rehabilitasi paru direkomendasikan untuk semua pasien

15
bronkiektasis, pada derajat ringan hanya diberikan saat eksaserbasi saja.
Penelitian pada 111 pasien bronkiektasis nonfibrosis kistik dan sesak saat
aktivitas, latihan fisik berjalan kaki 2 kali seminggu, bersepeda, dan latihan
penguatan menghasilkan perbaikan signifikan pada tes jalan 6 menit dan skor
kualitas hidup.
3. Terapi Jangka Pendek
1. Antimikroba
Pedoman BTS dan ERS merekomendasikan pemberian antibiotik
oral selama 14 hari untuk bronkiektasis akut ataupun eksaserbasi. Definisi
eksaserbasi adalah perburukan gejala lokal (batuk, peningkatan jumlah
atau kekentalan sputum, peningkatan purulensi sputum dengan / atau tanpa
wheezing, sesak, dan hemoptoe) dan gejala sistemik. Pemilihan antibiotik
dipengaruhi oleh banyak faktor antara lain tingkat keparahan penyakit,
hasil kultur dahak, uji sensitivitas obat. Jika kultur dahak tidak tersedia
atau pada kasus risiko tinggi kolonisasi kuman Pseudomonas aeruginosa
(PA), lebih baik digunakan obat anti-pseudomonas (misalnya
fluorokuinolon).
Terapi eradikasi kuman PA yang dianjurkan adalah pemberian
siprofloksasin oral 750 mg dua kali per hari selama 14 hari. Terapi empiris
antibiotik oral lini pertama adalah amoksisilin 500 mg oral setiap 8 jam
selama 14 hari. Cakupan antibiotik amoksisilin meliputi Haemophilus
influenzae yang paling sering ditemukan di saluran napas bagian bawah
pasien bronkiektasis pascainfeksi. Pasien alergi amoksisilin dapat diberi
klaritromisin 500 mg setiap 12 jam untuk 14 hari. Pada bakteri yang
memproduksi enzim beta lactamase seperti kuman M. catharralis dapat
diberikan amoksisilin-klavulanat 625 mg setiap 8 jam selama 14 hari.
Antibiotik intravena diberikan apabila terapi oral gagal, rawat inap
di rumah sakit, atau resistensi in vitro yang membutuhkan terapi intravena.
Seperti antibiotik oral, pemilihan antibiotik didasarkan hasil kultur sputum
dan sensitivitas. Antibiotik intravena golongan sefalosporin generasi
ketiga, seperti sefotaksim dan seftriakson, direkomendasikan jika hasil

16
kultur dahak mengandung Haemophilus influenzae dan patogen
pernapasan lainnya. Jika dicurigai infeksi kuman PA, direkomendasikan
pemberian seftazidime intravena 2000 mg tiap 8 jam selama 14 hari.
Terapi antibiotik intravena ganda untuk bronkiektasis dengan kuman PA
seperti beta-laktam ditambah aminoglikosida atau kuinolon masih
kontroversial dan tidak dianjurkan karena efek samping aminogloksida
yang nefrotoksik dan menyebabkan hearing loss, kecuali bila ditemukan
hasil kuman Pseudomonas aeruginosa (PA) pada pasien sakit kritis.
4. Terapi Eradikasi
Pasien bronkiektasis dengan penyebab Pseudomonas aeruginosa (PA)
memiliki risiko eksaserbasi dan peningkatan angka mortalitas tiga kali lipat
dibandingkan pasien bronkiektasis dengan penyebab lain. Bakteri PA mampu
membentuk biofilm, sehingga antibiotik standar menjadi kurang efektif. Terapi
eradikasi dapat dipertimbangkan untuk pasien bronkiektasis dengan penyebab
PA. Terapi eradikasi kuman PA yang dianjurkan adalah siprofloksasin oral 750
mg dua kali sehari selama 14 hari.

Tabel 4. Pemilihan antibiotik oral dan intravena pada bronkiektasis eksaserbasi


akut

17
5. Terapi Jangka Panjang
1. Terapi Mukoaktif
Terapi mukoaktif dapat diberikan pada pasien eksaserbasi ataupun
pasien kronik. Terapi bisa diberikan baik secara oral, inhalasi, maupun
nebulasi. Mukoaktif dapat menurunkan kekentalan dahak dan membantu
pengeluaran dahak yang secara rasional dapat mengurangi gejala dan
menurunkan eksaserbasi. Berbagai agen nebulasi seperti cairan saline
hipertonis, manitol, dan agen mukolitik telah terbukti membantu
pembersihan sekret jalan napas. Studi pada pasien fibrosis kistik
menunjukkan bahwa inhalasi cairan salin hipertonis lebih efektif daripada
salin 0,9% dalam meningkatkan FEV1 bila dipadukan dengan fisioterapi
dada. Pada penelitian randomized control trial (RCT) selama 12 bulan,
inhalasi manitol tidak signifikan mengurangi jumlah eksaserbasi namun
terdapat perbaikan pada eksaserbasi pertama dan peningkatan indikator
kualitas hidup pasien.
Obat oral mukoaktif seperti carbocysteine dan N -acetylcysteine
sering diberikan sebagai terapi bronkiektasis di Inggris, namun belum ada
penelitian RCT tentang keduanya. Obat dornase alfa tidak
direkomendasikan pada pasien bronkiektasis non-fibrosis kistik karena
meningkatkan kejadian eksaserbasi dan menurunkan FEV1. Agen
mukoaktif yang direkomendasikan saat ini adalah bromheksin. ESR
merekomendasikan terapi mukoaktif jangka panjang ≥3 bulan pada pasien
yang sulit mengeluarkan dahak dan sudah diberi fisioterapi, namun tidak
dapat meningkatkan kualitas hidup. Pemilihan terapi sebaiknya disesuaikan
berdasarkan profil gejala, tes toleransi agen mukoaktif dan agonis beta-2
sebagai premedikasi.

2. Agen Anti-inflamasi
Agen anti-inflamasi mencakup kortikosteroid, non-steroidal anti-
inflammatory drugs (NSAID), dan leukotriene receptor antagonist (LTRA). Setiap
obat memiliki mekanisme dan lama pemberian yang berbeda..

18
Review Cochrane tentang terapi kombinasi long acting beta-2 agonist
(LABA) dan inhaled corticosteroid (ICS) menunjukkan kurangnya bukti. Hanya
terdapat satu studi RCT tahun 2014 yang mengevaluasi perbandingan terapi
inhalasi budesonid dan formoterol (640 µg dan 18 µg) dan budesonid dosis tinggi
(1600 µg) pada pasien bronkiektasis dewasa tanpa asma. Penelitian menunjukkan
penurunan gejala sesak pada kedua kelompok. Namun, populasi penelitian kecil
dan perbedaan antara keduanya tidak signifikan. Komplikasi yang mungkin terjadi
akibat terapi inhalasi jangka panjang meliputi risiko pneumonia, supresi adrenal,
penipisan kulit, dan hemoptysis.
3. Bronkodilator
Agonis reseptor beta - 2 (kerja pendek dan kerja panjang) sudah dievaluasi
sebagai terapi pada pasien COPD dan asma, namun belum ada RCT pada pasien
bronkiektasis, begitu juga dengan antikolinergik inhalasi pada bronkiektasis.
Peran bronkodilator pada bronkiektasis belum sepenuhnya terbukti, namun sering
diberikan pada keluhan sesak dalam praktik sehari-hari. Bila terdapat perbaikan
subjektif gejala, bronkodilator dapat dilanjutkan sebagai terapi. ESR tidak
merekomendasikan pemberian bronkodilator rutin pada pasien bronkiektasis;
melainkan hanya pada keadaan sesak berat, saat sebelum memulai aktivitas atau
fisioterapi dada, dan saat sebelum memulai terapi inhalasi mukoaktif dan inhalasi
antibiotik untuk meningkatkan deposisi obat dalam paru.

6. Terapi Jangka Panjang Lain


1. Makrolida
Mekanisme kerja makrolida pada penyakit respirasi antara lain anti-
inflamasi (mencegah migrasi sel inflamasi dan sekresi sitokin), imunomodulasi,
mengurangi produksi ROS, dan sebagai antimikroba. Mekanisme lainnya adalah
kemampuan merusak biofilm yang menyelubungi permukaan bakteri gram negatif
seperti PA dan meningkatkan gastric emptying, sehingga mengurangi
refluks asam lambung. Pemakaian jangka panjang makrolida telah diteliti pada
populasi penyakit panbronkiolitis dan fibrosis kistik. Tiga penelitian besar pada
tahun 2012 dan 2013 di tiga negara.

19
Di Australia dilakukan studi Bronchiectasis and Low-doses Erytrhomycin
Studies (BLESS) yaitu pemberian eritromisin oral 400 mg dua kali per minggu
selama 12 bulan. Efek samping makrolida antara lain gangguan gastrointestinal,
hepatotoksik, risiko kardiovaskular, resistensi kuman, dan penurunan
pendengaran. Pedoman ESR dan BTS merekomendasikan pemberian makrolida
jangka panjang pada pasien dengan frekuensi eksaserbasi ≥3 kali per tahun dan
terbukti terdapat kolonisasi kuman PA.
7. Terapi Lain
Pembedahan Pembedahan secara rasional akan memutus lingkaran setan
bronkiektasis dengan menghilangkan segmen paru yang tidak lagi fungsional.
Indikasi tersering pembedahan paru pada pasien bronkiektasis adalah gejala
kronik seperti batuk lama, produksi sputum purulen, dan batuk darah. Lobektomi
paling sering dilakukan, namun teknik lain (segmentomi dan pneumektomi) juga
dilakukan bila perlu. Mortalitas post operasi pada 26 studi dilaporkan sebanyak
1,4% dan morbiditas pada 29 studi dilaporkan 16,2%. Morbiditas post operasi
berkaitan dengan kebocoran udara paru, atelektasis, dan infeksi. ESR tidak
merekomendasikan pembedahan pada pasien bronkiektasis dewasa, kecuali lesi
penyakit terlokalisir dan eksaserbasi yang sering walaupun telah dilakukan semua
manajemen tatalaksana bronkiektasis.
J. PROGNOSIS
Prognosis bronkiektasis tergantung penyebab penyakit yang mendasari.
Pada pasien kriteria berat menurut skor BSI dengan hasil nilai ≥9, tingkat
kematian satu tahun pertama 7,6-10,5% dan angka rawat inap sebesar 52,6%.
Dengan penatalaksanaan yang tepat kebanyakan pasien bronkiektasis ringan dan
sedang dapat menjalani hidup normal tanpa disabilitas yang berarti.

K. KOMPLIKASI
Komplikasi bronkiektasis antara lain pneumonia berulang, abses paru,
empiema, batuk darah, pneumothorax, kor pulmonale, dan infeksi intrakranial
(abses serebral atau ventrikulitis). Bronkiektasis yang lama dan luas dapat
menyebabkan amiloidosis

20
BAB III
LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. Syamsidar
No. RM : 004409
Umur : 67 th 10 bl 16 hr
Jenis Kelamin : perempuan
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Status : Menikah
Masuk RS : 17 November 2018
Tanggal Pemeriksaan : 19 November 2018
B. ANAMNESIS (Autoanamnesis)
Keluhan Utama:
 Sesak nafas sejak 2 hari yang lalu.
Riwayat Penyakit Sekarang:
 Pasien mengeluhkan sesak nafas sejak 2 hari yang lalu. Sesak nafas
dirasakan hilang timbul, terutama saat beraktivitas. Sesak sudah dialami
pasien sejak 1 tahun yang lalu. Pasien mengatakan saat melakukan
aktivitas ringan, sesak juga dapat timbul. Pasien mengurangi keluhan
sesaknya dengan cara beristirahat seperti duduk atau berbaring dengan
posisi setengah duduk.
 Pasien mengeluhkan batuk sejak 1 tahun yang lalu. Batuk berdarah sejak 3
hari yang lalu. Sekarang sudah tidak ada lagi batuk berdarah, namun
batuk disertai dengan dahak kental berwarna putih. Batuk dirasakan hilang
timbul.
 Pasien menyelesaikan pengobatan TB pada tahun 2007.
 Pasien tidak mengeluhkan demam, sakit kepala dan nyeri dada
 Nafsu makan menurun sudah 1 minggu yang lalu
 BAB tidak ada keluhan dan BAK tidak ada keluhan

21
Riwayat Penyakit Dahulu:
 Pasien pernah memiliki riwayat minum obat 6 bulan dan sudah
menyelesaikan pengobatan dengan teratur pada tahun 2007 dan pasien
dinyatakan sembuh oleh dokter.
 Pasien tidak memiliki riwayat hipertensi.
 Pasien juga tidak memiliki riwayat DM.

Riwayat Penyakit Keluarga:


 Tidak ada di keluarga pasien yang mengeluhkan hal serupa
 Riwayat asma (-)
 Riwayat DM (-)
 Riwayat Hipertensi (-)

Riwayat Pekerjaan, Sosial-Ekonomi, dan Kebiasaan:


 Pasien sudah tidak bekerja
 Makan teratur dan cukup gizi
 Ekonomi: menengah
 Riwayat merokok (-)
 Riwayat konsumsi alkohol (-)
 Riwayat sering terpapar asap di lingkungan sekitar (-)

C. PEMERIKSAAN FISIK
Status Generalis:
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Komposmentis
Tanda Vital :
- Tekanan darah: 150/70 mmHg
- Nadi : 82 x/menit
- Pernafasan : 28 x/menit
- Suhu : 36,5oC

22
Pemeriksaan Kepala dan Leher:
Kepala : Normocephale
Kulit dan Wajah : Tidak sembab
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
Hidung : Tidak ada deviasi septum nasi, tidak ada pembesaran
concha
Mulut : Tidak sianosis
Telinga : Tidak ada nyeri tekan
Leher : Tidak ada pembesaran kelenjar getah bening, JVP: 5-1
cmH2O
Pemeriksaan Thoraks:
Pemeriksaan Paru
Anterior
- Inspeksi : Statis : Simetris kiri dan kanan
Dinamis : Pergerakan dinding dada simetris
- Palpasi : Fremitus taktil kiri = kanan
- Perkusi : Kanan : Sonor
Kiri : Sonor
- Auskultasi : Kanan : Ekspirasi memanjang, rhonki (-), wheezing (+)
Kiri : Ekspirasi memanjang, rhonki (-), wheezing (+)
Posterior
- Inspeksi : Statis : Simetris kiri dan kanan
Dinamis : Pergerakan dinding dada simetris
- Palpasi : Fremitus taktil kiri = kanan
- Perkusi : Kanan : Sonor
Kiri : Sonor
- Auskultasi : Kanan : Ekspirasi memanjang, rhonki (-), wheezing (+)
Kiri : Ekspirasi memanjang, rhonki (-), wheezing (+)
Pemeriksaan Jantung
- Inspeksi : Iktus cordis tidak terlihat
- Palpasi : Iktus cordis teraba 2 jari medial LMCS ICS V

23
- Perkusi : Batas atas : ICS II LPSS
Batas Kanan : ICS IV LPSD
Batas Kiri : ICS V LMCS
- Auskultasi : Suara jantung regular, gallop (-), murmur (-)
Pemeriksaan Abdomen
- Inspeksi : Perut datar, scar (-)
- Auskultasi : Bising usus normal
- Palpasi : Tidak ada nyeri tekan
- Perkusi : Timpani seluruh lapang abdomen
Pemeriksaan Ekstremitas
Ekstremitas atas : Akral hangat, edema (-/-), CRT < 2 detik.
Ekstremitas bawah : Akral hangat, edema (-/-), CRT < 2 detik.

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Darah Lengkap
Hemoglobin : 15,4 gr%
Leukosit : 19,1 103/mm3 (Meningkat 5-11)
Hematokrit : 41,3 %
Trombosit : 300 103/mm3
Netrofil segmen :77 % (50-70)
Diabetes
Glukosa darah (stick) : 132 mg/dl
Foto Thorax

24
Interpretasi:
- Tampak infiltrat di bagian apeks dan basal kedua lapang paru
- Diafragma mendatar pada kedua lapang paru
- Corakan bronkovaskular meningkat kiri dan kanan
- CTR: 5+8,5/28= 0,48

E. DIAGNOSA
 Bronkiektasis
 PPOK
 Bekas TB
 CAP

F. TERAPI
IGD
 IUFD 0,5 %
 Ij. Vit. K
 Ij. Omeprazole
 Ij. Tanexamad
 Ij. Ceftriaxone

25
FOLLOW UP
Hari/Tanggal Senin, 19 November 2018
Subjective  Sesak nafas (+)
 Batuk berdahak (+)
 Nyeri ulu hati (+)
 Mual (-) muntah (-)
 BAB (+) Normal, BAK (+) Normal
Objective - Tekanan darah: 150/70 mmHg
- Nadi : 82 x/menit
- Pernafasan : 28 x/menit
- Suhu : 36,5o
 auskultasi paru: wh (+/+)
 nyeri tekan epigastrium
Assesment  Bronkiektasis
 PPOK
 CAP
 Bekas TB
Plan  IVFD RL 0,5% 14 tpm
 Inj. Ceftriaxone 1 gr 2x1
 Inj. Asam Tonexamad 2x1
 Inj. Omeprazole 40 mg 1x1
P/O
 Azitromisin 2x1
 Sucralfat 3x1

26
BAB IV
PEMBAHASAN

Pasien perempuan berusia 67 tahun masuk via IGD RSUD Bangkinang


dengan keluhan sesak nafas 2 hari yang lalu. Pada saat dilakukan anamnesis,
pasien mengeluhkan sesak nafas sejak 2 hari yang lalu, dirasakan hilang timbul
terutama saat melakukan aktivitas. Keluhan ini dirasakan semakin memberat dan
pasien langsung dibawa ke IGD dan selanjutnya dipindahkan ke ruang rawat
inap penyakit paru. Pasien mengeluhkan batuk sejak 1 tahun yang lalu. Batuk
berdarah sejak 3 hari yang lalu. Sekarang sudah tidak ada lagi batuk berdarah,
namun batuk disertai dengan dahak kental berwarna putih. Batuk dirasakan
hilang timbul.
Pada riwayat penyakit dahulu, Pasien pernah memiliki riwayat minum
obat 6 bulan dan sudah menyelesaikan pengobatan dengan teratur pada tahun
2007 dan pasien dinyatakan sembuh oleh dokter. Pada riwayat penyakit
keluarga, tidak ada anggota keluarga dengan keluhan serupa. Pada pemeriksaan
fisik vital sign didapatkan tekanan darah 150/70 mmHg, nadi 82 x/menit, nafas
28 x/menit, dan suhu 36,5oC. Pada pemeriksaan paru didapatkan ekspirasi
memanjang pada kedua lapang paru dan suara nafas tambahan wheezing di
kedua lapang paru. Pada hasil foto thorax didapatkan peningkatan corakan
bronkovaskular kiri dan kanan, tampak infiltrat di kedua lapang paru, dan
diafragma mendatar di kedua lapang paru.

27
BAB V
DAFTAR PUSTAKA

1. Emmons, E. E., 2017. Bronchiectasis. Available at :


https://emedicine.medscape.com/article/296961-overview
2. Hassan I. Bronchiectasis Imaging. Diakses pada tanggal 12 Januari
2012 dari http://emedicine.medscape.com/article/354167-
overview#showall
3. Rahmatullah P. Bronkiektasis, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid
II Edisi Kelima. Editor Aru W Sudoyo. Balai Penerbit FKUI. Jakarta.
2009.
4. Chalmers JD. Bronchiectasis and COPD overlap: A case of mistaken
identity. American College of Chest Physician [Internet]. 2017. Available
from http://dx.doi. org/10.1016/j.chest.2016.12.027
5. McShane PJ, Naureckas ET, Tino G, Strek ME. Non-cystic fibrosis
bronhiectasis. AM J Respir Crit Care Med. 2013;188(6):647-56.
6. Fatmawati F, Rasmin M. Bronkiektasis dengan sepsis dan gagal napas. J
Respir Indon. 2017;37(2):165-76.

28

Anda mungkin juga menyukai