Anda di halaman 1dari 12

ANALISIS JURNAL EVIDANCE BASED PRACTICE

PENATALAKSAAN TERAPI BILAS LAMBUNG DAN NUTRISI ENTERAL

Disusun Oleh Kelompok 2:

Ilham Ramadhan Siregar

Nur Eka Oktoria

Vanecha Br Bangun

Rona Yuliana Saragih

Sri Maya Tampubolon,

Hasni Br Tarigan

Sri Wahyuni Siregar,

Dian Marlisa Pane

PROGRAM PROFESI NERS POLTEKKES MEDAN


BAB I PENDAHULUAN

Intubasi gastrointestinal adalah pemasangan selang plastik atau karet fleksibel yang
pendek atau panjang kedalam lambung atau usus melalui mulut atau hidung dengan
tujuan dekompresi lambung dan mengeluarkan gas dan cairan, mendiagnosa motilitas
gastrointestinal, memberikan obat-obatan dan makanan, mengobati obstruksi atau sisi
perdarahan dan mengambil kandungan lambung untuk di analisis. Sedangkan selang
nasogastrik (NGT) adalah selang pendek yang dimasukan melalui hidung atau mulut
kedalam lambung (Smeltzer & Bare. 2002). Salah satu komplikasi klien yang menjalani
rawat inap adalah malnutrisi, sehingga pemberian dini/early enteral nutrition melalui
oral/NGT disarankan segera dilakukan. Early enteral nutrition terbukti dapat mencegah
kerusakan yang timbul pada saluran pencernaan terutama fili-fili usus yang diakibatkan
oleh puasa dan hal ini dapat memberikan keuntungan secara klinis dan telah dibuktikan
oleh banyak penelitian dan review meta-analysis yang terbukti dapat menurunkan
angka mortalitas dan pneumonia serta dapat mempertahankan fungsi imunitas pada
pencernaan (Doig S, 2013). Pada pasien-pasien dengan gangguan sistem pencernaan
seperti perdarahan saluran cerna atas, obstruksi dan ileus paralitik, pemberian early
enteral nutrition tidak bisa dilakukan, tetapi menunggu perbaikan organ pencernaan
terlebih dahulu. Sebelum dilakukan enteral nutrition biasanya dilakukan pengecekan
dan pengetesan fungsi lambung dengan cara prosedur bilas lambung dan test feeding
melalui NGT. Dari hasil pengumpulan data pada tanggal 5 Februari 2017 di ruang
Fresia lantai 2 RSHS Bandung terdapat 4 pasien yang terpasang NGT yaitu :

1. Tn. D, diagnosa CKD, keluhan kembung, terpasang NGT tersambung pada kantung
drainase, produksi lambung (+) warna kehijauan, udara (+).

2. Tn. R, diagnosa Meningitis, terpasang NGT tersambung pada kantung drainase


dilakukan bilas lambung 200 cc dengan NaCl 0,9% suhu ruangan, cairan lambung
keluar warna kecoklatan ± 200 cc.

3. Ny. E, diagnosa Gastropati erosive related ulkus e.c NSAID, punya riwayat
pemasangan NGT dan tersambung pada kantung drainase. Memiliki keluhan buang air
besar hitamdan muntah darah.

4. Tn. A, diagnosa gastropati, keluhan nyeri uluhati, riwayat hemtemesis melena,


terpasang NGT tersambung pada kantung drainase dilakukan bilas lambung 200 cc
dengan NaCl 0,9% suhu ruangan, cairan lambung yang keluar berwarna kehitaman.

5. Tn. M, dengan CAP, kesulitan menelan dan mengunyah, terpasang NGT yang
berfungsi untuk pemberian makanan dan obat-obatan

Berdasarkan penjelasan dan fenomena diatas, maka dilakukan analisa beberapa jurnal
dan artikel terkait penatalaksaan terapi bilas lambung dan enteral nutrition untuk
dijadikan Evidence Base Practice (EBP) dalam asuhan keperawatan pada klien yang
menjalani terapi bilas lambung dan nutrisi enteral.

BAB II TINJAUAN JURNAL

Angka kejadian perdarahan saluran cerna bagian atas (SCBA) sekitar 50 dari 100.000
populasi per tahun dan angka kematian berkisar 5 – 11%. Penyebab utama perdarahan
SCBA adalah ulkus peptikum, esofagitis, kerusakan mukosa diinduksi obat, akibat
hipertensi portal (varies esophagus, varises fundus gaster, dan gastropati hipertensi
portal), anomali pembuluh darah, trauma, post operasi, dan keganasan. Cara cepat dan
sederhana untuk melihat adanya perdarahan dari SCBA adalah dengan pemasangan
NGT juga dapat digunakan untuk bilas lambung. Keuntungan terapi bilas lambung
dapat membantu dalam stratifikasi risiko terjadinya perdarahan aktif dan kematian serta
mengurangi risiko aspirasi, meningkatkan kualitas visual saat endoskopi, dan
menyingkirkan adanya perdarahan SCBA pada pasien yang diduga perdarahan saluran
cerna bawah. Saat ini belum ada pedoman yang jelas mengenai pemberian terapi bilas
lambung pada pasien (Ari F, 2014). Pada pasien-pasien dengan perbaikan organ
pencernaan, pemberian early enteral nutrition sudah bisa dilakukan. Salah satu cara
pemberian nutrisi secara enteral yaitu dengan pemasangan selang nasogastrik (NGT)
ataupun dengan pemasangan orogastrik (OGT). Entral tube dapat diberikan kepada
pasien yang memiliki kriteria tidak sadar, gangguan menenlan, gagal system
pencernaan pasrisa, dan anoreksia nervosa (Stroud et al) Kelebihan pemberian nutrisi
secara enteral antara lain biaya lebih murah, dapat dimulai sesegera mungkin. Selain
itu pemberian terapi secara enternal dapat mengurangi komplikasi septik, mencegah
atropi saluran cerna, mempertahankan gut barrier, mempertahankan flora usus,
menstimulasi peristaltic, mempertahankan produksi igA, (Salim et al, 2013) sama
halnya dengan penelitian yang dilakukan oleh (jurnalnya mira) pemasangan NGT pasca
operasi dapat membantu dalam resolusi ileus dengan penampilan awal bising usus,
yang juga mengarah ke bagian awal flatus dan gerakan penurunan ryles lambung
pasca aspirasi bedah dan juga dapat menurunkan septicemia dan tingkat
penyembuhan luka. .Early enteral feeding juga dapat memperbaiki stres oksidatif
setelah proses pembedahan dan dapat menurunkan angka
kematian pasca operasi pada pasien yang menjalani operasi gastrointestinal.Meskipun
dengan manfaat tersebut, tidak semua pasien yang menerima nutrisi enteral dapat
optimal karena faktor-faktor seperti keterlambatan dalam pengambilan keputusan
dokter, salah perkiraan kebutuhan kalori, dan sering adanya gangguan makan (Kim et
al, 2017). Protokol nutrisi enteral mendorong inisiasi dini makanan enteral jika tidak ada
kontraindikasi. Kontraindikasi antara lain hemodinamik tidak stabil, volume intravaskuler
yang tidak teresusitasi, obstruksi usus, ileus paralitik, perdarahan saluran
gastrointestinal, distensi abdomen,muntah keras atau diare, iskemia gastrointestinal,
sindrom usus pendek atau pankreatitis kronik dan pasien intravena dilengkapi dengan
emulsi lemak, asam amino atau albumin). Adapun komplikasi pada pasien dengan
enteral feeding sebagai berikut (Salim et al, 2013):

1. Mechanical Complications -

Aspiration
-
Tube malposition
-
Tube clogging
2. Gastrointestinal Complications -
Nausea and vomiting
-
Diarrhea or constipation
-
Malabsorption/maldigestion

3. Metabolic Complications -
Hyperglycemia or hypoglycemia
-
Electrolyte imbalance Early satiety Dehydration Refeeding syndrome.
Pada Analisis Jurnal ini akan dibahas tentang early feeding dan bilas lambung pada
pasien-pasien dengan indikasi pemasangan intubasi gastrointestinal.

BAB III PEMBAHASAN

1. Pemberian Nutrisi Enteral Dini (Early Internal Feeding)

Perawat sebagai pemberi asuhan keperawatan perlu memperhatikan keadaan dan


kebutuhan dasar pasien, yang salah satunya adalah nutrisi pasien. Pengelolaan nutrisi
sangat penting karena pasien (terutama pasien kritis) seringkali mengalami stress
akibat trauma, cedera, pembedahan, sepsis dan penyakitnya sehingga mengakibatkan
peningkatan metabolisme dan katabolisme yang akhirnya terjadi malnutrisi, kondisi
malnutrisi dapat menyebabkan kematian, komplikasi,memperlama hari rawat dan biaya
serta waktu penyembuhan(Setianingsih dan Anna tahun, 2014). Pada pasien-pasien
yang sudah mengalami perbaikan organ pencernaan, pemberian early enteral nutrition
sudah bisa dilakukan. Adapun protokol enteral nutrition sebagai berikut:

Inisiasi dini makanan enteral dapat dilakukan pada 24-48 jam setelah masuk ICU/pasca
bedah apabila tidak ada kontraindikasi. Jika nutrisi enteral diindikasikan, pemberian
susu formula enteral diberikan pada volume 20 cc/jam pada awalnya dan meningkat
sebesar 10 cc/jam setiap 24 jam sampai target kalori dicapai. Perkiraan target kalori
untuk setiap pasien adalah 20-25 kcal/kg selama fase akut dan 25-30 kkal/kg selama
fase stabil (Kim et al, 2017). Pemberian nutrisi saat awal 24 jam hingga 48 jam pertama
diberikan 50% dari total kebutuhan kalori dan dosis penuh (100%) setelah 3x24 jam
(Weisman, 2009). Pasien yang terpasang nasogatric tube pemberian makan
menggunakan rumus isotonik (Jevity, Abbott Laboratories, Ontario, Kanada), mulai dari
20 cc/jam, dan meningkat 20 mL/jam setiap 4 jam untuk memenuhi kebutuhan energi
dan protein yang dianjurkan oleh ahli gizi klinis berdasarkan persamaan Ireton-Jones:
EEE (v) = 1784-1711 (A) + 5 (W) + 244 (S) + 239 (T) + 804 (B) - 609 (O) REI

= EEE × (1,0-1,5)

Keterangan: EEE = perkiraan pengeluaran energi (kkal / hari) v = tergantung ventilator


A = umur (thn) W = berat badan (kg) S = seks (laki-laki = 1, perempuan = 0) T =
diagnosis trauma B = luka bakar O = obesitas (jika ada = 1, tidak ada = 0) REI = asupan
energi yang direkomendasikan (Huang et al, 2012). Nilai rekomendasi harian energi
dan protein berkisar 25-30 kkal/kg dan 1,2-1,5 g/kg berat badan ideal. Semua pasien
diberi makan dengan kepala ditinggikan 30-45° selama makan dan selama 1 jam
setelah makan. Residual diperiksa setiap 4 jam dan makan ditahan selama 1 jam jika
volume residu adalah lebih dari 250 ml. Residu diperiksa ulang sebelum pemberian
makan kembali. Setelah volume residu lebih rendah dari 250 ml dan pasien tidak
menunjukkan distensi abdomen, mual atau muntah, tabung

pengisi dimulai kembali pada tingkat 20 mL/jam dan meningkat sebesar 20 mL/jam
setiap 4 jam sampai target kalori dicapai. Pasien dipantau sampai 21 hari atau
pengamatan ditutup jika mereka berakhir atau dipindahkan ke ruang rawat inap (Huang
et al, 2012). Pemberian nutrisi secara enteral terdapat dua jenis yaitu gravity drip
(pemberian yang menggunakan corong yang disambungkan ke selang nasogastric
dengan kecepatan mengikuti gaya gravitasi) dan intermittent feeding (pemberian nutrisi
secara bertahap yang diatur kecepatannya menggunakan syiringe pump). Metode
intermittent lebih efektif dibandingkan grafitty drip volume residu yang dihasilkan
2,v47ml : 6,93ml (Montejo et al., 2010). Banyak pasien yang mendapat manfaat lebih
banyak dengan pemberian nutrisi melalui enteral dengan formulasi terbaru, seperti
Immunonutrisi (Salim et al, 2013). Imunonutrisi (IN) merupakan konsep pemberian
nutrisi melalui enteral dengan kandungan arginine, omega 3 polyunsaturated fatty
acids, glutamine or ribonucleic acid yang bertujuan untuk meningkatkan kekebalan
tubuh. Pemberian nutrisi enteral memiliki komplikasi yang rendah di banding parenteral
nutrisi namun kadang tidak mencukupi kebutuhan klien jika tidak di kombinasi dengan
pemberian parenteral nutrisi. Pemberian nutrisi enteral dapat menurunkan infeksi
sebesar 0,64% dibanding parenteral nutrisi, penelitian lain menunjukan enteral :
parenteral yaitu 60: 84 (Ziegler, 2009). Apabila dilihat dari hasil unit perawatan intensif
dan kematian di rumah sakit lebih rendah pada kelompok nutrisi enteral dini
dibandingkan kelompok enteral akhir (34% vs 44%; P < .001). (Imran et al, 2017).
Pemberian early enteral feeding dapat meningkatkan hasil klinis, mengurangi intoleransi
lambung, dan mempromosikan pembentukan kembali motilitas saluran cerna
[ CITATION Doi09 \l 1057 ]. Dalam penelitian McClave, et al. (2009) menyebutkan
pasien yang mendapatkan early enteral feeding (dalam waktu 24-48 jam setelah masuk
ICU) menunjukkan penurunan permeabilitas usus dan pelepasan sitokin dibandingkan
dengan pasien yang mendapat late enteral feeding (setelah 72 jam).Jika kurang dari 48
jam termasuk early enteral feeding, jika lebih dari 48 jam termasuk late enteral feeding.
Secara klinis, kadar albumin serum yang paling mungkin bertindak sebagai prognostik
dari indikator gizi. Penelitian sebelumnya telah menunjukkan bahwa

mediator inflamasi dan sitokin dilepaskan selama cedera yang menjadi kontributor
utama dalam menurunkan albumin serum dan tingkat prealbumin. Pada penyakit kritis,
hipoalbuminemia dan hypoprealbuminemia sangat umum dan berbanding terbalik
dengan C-reactive protein (CRP). Oleh karena itu, kenaikan dua tingkat protein serum
ini (dalam menanggapi enteral makan pada hari 4 dan 7) hanya dalam kasus yang lebih
parah sakit awal pengumpan mungkin berhubungan dengan makan pagi menginduksi
pelepasan agen endogen trofik dan efek penghambatan mediator inflamasi dan sitokin
dilepaskan selama penyakit berat. CRP (C-reactive protein) merupakanprotein yang
dihasilkan oleh hati (terutama saat terjadi infeksi atau inflamasi di dalam tubuh) kadar
CRP sering digunakan untuk memantau keadaan pasien setelah operasi. Pada
umumnya, konsentrasi CRP akan mulai meningkat pada 4-6 jam setelah operasi dan
mencapai kadar tertinggi pada 48-72 jam setelah operasi. Kadar CRP akan kembali
normal setelah 7 hari pasca-operasi. Namun, bila setelah operasi terjadi inflamasi atau
sepsis maka kadar CRP di dalam darah akan terus menerus meningkat, peningkatan
kadar CRP ini berkaitan dengan terjadinya hipermetabolisme dan meningkatnya
katabolisme protein pada pasien pasca bedah, dimana hal tersebut berkaitan dengan
pelepasan sitokinin, katekolamin, dan kortisol. Hipermetabolisme mencapai puncaknya
dalam 48-72 jam pasca bedah dan kembali normal dalam 7-10 (Cook AM et al, 2008).
Hipermetabolisme terbagi kedalam beberapa fase fase awal (Ebb fase) yaitu dimana
terjadi ketidak stabilan hemodinamik, ditandai dengan penurunan fungsi daari sel-sel,
sehingga mayoritas jaringan tubuh akan terdepresi, gejala klinis yang mungkin timbul
mencangkup hipotensi sistemik dan aktivitas sistem saraf otonom (berkerigat, sioanosis
perifer, dan takikardi) fase awal terjadi dalam 24 jam pertama (Tayek et al., 2008). Fase
berikutnya adalah (flow fase) ditandai dengan peningkatan cardiac output dan
peningkatan kebutuhan energi dan ekskresi nitrogen, pada fase ini terjadi pelepasan
insulin yang cukup tinggi, tapi efek insulin ini tidak terlihat karena hormon-hormon anti
insulin seperti glucagon, katekolamin, serta kortisol juga dilepaskan dalam kadar tinggi
dalam fase ini. Akibat ketidak seimbangan hormon ini akan terjadi peningkatan
mobilisasi asam amino dan asam lemak bebas dari otot periferdan jaringan lemak,
dimana sebagian besar digunakan sebagai sumber energy, sedangkan yang lain akan
dibentuk langsung menjadi glukosa dan melalui proses dihepar menjadi trigeserida.
Sementara hipermetabolik akan

melibatkan proses anabolik dan katabolik dengan hasil akhir kehilangan protein dan
lemak yang sangat bermakna, oleh karena itu pemenuhan nutrisi perlu dilakukan sedini
mungkin (Debora et al., 2009).

2. Gastric Lavage (Bilas Lambung) Menurut Pateron et al, (2011) bilas lambung pada
pasien dengan perdarahan
lambung dapat menggunakan 500 ml air suhu ruangan yang diulang setiap jam sampai
jernih, dan NGT tersambung terus dengan kantung drainase. Residu sebanyak 500ml
masih dikatakan normal karena tidak menimbulkan komplikasi gastrointestinal (Montejo
et al., 2010). Jika volume residu lambung 200 mL atau lebih, maka penggunaan
penurunan feeding rate atau agen motilitas direkomendasikan. Jika volume residu
lambung persisten tinggi, atau jika risiko aspirasi tinggi, makan via nasojejunal
direkomendasikan. Metoclopramide digunakan sebagai agen motilitas pilihan dalam
penelitian Kim, et al (2017). Erythromycin adalah agonis reseptor motilin yang dapat
mempercepat pengosongan lambung melalui induksi kontraksi antrum gaster.
Beberapa uji klinis telah membuktikan efektifitas erythromycin dalam membersihkan
traktus gastrointestinal dibandingkan dengan placebo (pateron et al, 2011) Pada studi
oleh Pateron et al, dilakukan perbandingan antara injeksi erythromycin dan bilas
lambung terhadap kualitas visual endoskopi. Pada studi ini tidak didapatkan perbedaan
bermakna pada kelompok erythromycin, nasogastric , dan nasogastric erythomycin.
Namun pada kasus yang berat, kombinasi pemberian erythromycin dan bilas lambung
dapat memberi keuntungan (gambaran visual lambung yang lebih jelas). Angka
perdarahan berulang dan kematian pada ketiga kelompok tidak berbeda bermakna,
dengan rata-rata angkan mortalitas 7%.

Pada studi ini juga tidak ditemukan

komplikasi akibat pemasangan NGT selain nyeri. Didapatkan seperempat pasien pada
studi ini yang mengalami nyeri berat (VAS > 60). Sedangkan pemberian erythromycin
dilaporkan aman, mudah dilakukan, dan tidak menimbulkan nyeri. Pada penelitian lain,
pemberian erythromycin sebelum endoskopi juga memberikan efektifitas biaya.
Berbeda dengan studi oleh Huang et al, studi oleh Pateron et al melaporkan adanya
darah atau bekuan darah pada aspirat NGT memiliki sensitifitas dan spesifisitas yang
rendah dalam memprediksi adanya perdarahan aktif saat dilakukan endoskopi.
BAB IV SIMPULAN

Pemberian early enteral nutrition terbukti dapat mencegah kerusakan yang timbul pada
saluran pencernaan yang berkaitan dengan berkurangnya tingkat kejadian malnutrisi,
morbiditas dan mortalitas pada pasien rawat inap. Pemberian early enteral nutrition
dapat dilakukan melalui intubasi gastrointestinal menggunakan selang nasogastric
(NGT). Pada pasien-pasien dengan gangguan sistem pencernaan, sebelum dilakukan
enteral nutrition perlu dilakukan pengecekan dan pengetesan fungsi lambung salah
satunya dengan cara melakukan prosedur bilas lambung. Bilas lambung dilakukan
untuk membantu dalam stratifikasi risiko terjadinya perdarahan aktif, serta mengurangi
risiko terjadinya aspirasi. Analisa jurnal evidence based practice tentang pelaksanaan
terapi bilas lambung dan pemberian enternal nutrisi ini diharapkan dapat menambah
referensi tenaga kesehatan khususnya perawat dalam pelaksanaan pemberian asuhan
keperawatan dalam pelaksanaan implementasi pemenuhan kebutuhan nutrisi pada
pasien-pasien dengan indikasi terpasang intubasi gastrointestinal.
Soal

1. Pemberian enteral nutrision dapat mencegahkerusakan yang timbul pada


saluran pencernaan yang yang berkaitan dengan :
a. Berkurangnya tingkat kejadian malnutrisi, morbiditas dan mortalitas pada pasien
rawat inap
b. Berkurangnya tingkat kejadian malnutrisi dan morbiditas pada pasien rawat inap
c. Berkurangnya tingkat kejadian malnutrisi dan mortalitas pada pasien rawat inap
d. Berkurangnya kejadian mortalitas dan morbiditas pada pasien rawat inap
Jawaban. a
2. Bilas lambung dilakukan untuk membantu dalam stratifikasi resiko terjadinya:
a. Perdarahan aktif dan untuk immobilitas
b. Perdarahan aktif dan mengurangi resiko terjadinya aspirasi
c. Mengurangi resiko terjadinya aspirasi dan nyeri
d. Mengurangi nyeri dan mencuci lambung
Jawaban B
3. Pasien yang terpasang nasogatric tube pemberian makan menggunakan rumus
isotonik (Jevity, Abbott Laboratories, Ontario, Kanada), mulai dari 20 cc/jam, dan
meningkat 20 mL/jam setiap 4 jam untuk memenuhi kebutuhan energi dan
protein yang dianjurkan oleh ahli gizi klinis berdasarkan persamaan Ireton-Jones:
EEE (v) = 1784-1711 (A) + 5 (W) + 244 (S) + 239 (T) + 804 (B) - 609 (O) REI

= EEE × (1,0-1,5)

EEE= perkiraan pengeluaran Energi (kkal/hari), V = tergantung ventilator. Pada


rumus diatas A adalah:

a. Berat badan
b. Jenis kelamin
c. Umur
d. Asupan
Jawaban C
4. bilas lambung pada pasien dengan perdarahan
lambung dapat menggunakan 500 ml air suhu ruangan yang diulang setiap jam
sampai jernih, dan NGT tersambung terus dengan kantung drainase. Residu
cairan di lambung yang dikatakan normal adalah sebanyak :
a. 200 ml
b. 400 ml
c. 300 ml
d. 500 ml
Jawab D
5. Hipermetabolisme terbagi kedalam beberapa fase fase awal (Ebb fase) yaitu
dimana terjadi ketidak stabilan hemodinamik, ditandai dengan penurunan fungsi
daari sel-sel, sehingga mayoritas jaringan tubuh akan terdepresi, gejala klinis
yang mungkin timbul mencangkup hipotensi sistemik dan aktivitas sistem saraf
otonom. Yang termasuk kedalam system saraf otonom adalah kecuali :
a. Berkeringat
b. Sianosis perifer
c. Takikardi
d. Peningkatan cardiac output
Jawaban D

Pertanyaan

1.

Anda mungkin juga menyukai