Anda di halaman 1dari 12

Tawadhu` : Kian Rendah Hati

Kian Bermartabat Tinggi

MAKNA TAWADHU
Tawâdhu’ merupakan kebalikan dari sifat sombong. Ia
merupakan sifat pertengahan antara sombong dan rendah diri.
Jika sombong telah mengakibatkan setan diusir dari surga dan
menjadi makhluk terlaknat, maka Tawâdhu’ berhasil
menjadikan Adam dan Istrinya sebagai manusia yang diampuni
setelah keduanya melakukan dosa.
Satu di antara banyaknya indikator sifat Tawâdhu’
seseorang adalah kemauan untuk mengakui kesalahan dirinya.
Jika ia seorang suami, satu di antara banyaknya tanda sifat
Tawâdhu’nya adalah kerelaannya untuk membantu tugas rumah
seorang istri. Sebagaimana diceritakan oleh ‘Aisyah
Radhiyallahu anhuma, bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa
sallam terbiasa membantu pekerjaan rumah istrinya saat Beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam di rumah dan keluar rumah ketika
tiba waktunya shalat.
Ditanya Fudhail bin Iyadh rahimahullah tentang
tawâdhu’ beliau menjawab, “Tunduk dan patuh kepada
kebenaran, menerima kebenaran dari siapapun yang
menyampaikannya, walaupun mendengarnya dari anak kecil.
Dan seandainya menerima dari orang yang paling bodohpun dia
menerimanya!”.
Ditanya al Hasan al Bashri rahimahullah tentang
tawâdhu’ beliau menjawab: “Tawâdhu’ adalah kamu keluar
rumah dan tidak berjumpa Muslim kecuali kamu
menganggapnya lebih baik darimu.
Sedangkan Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan
hakikat tawâdhu’ dan memberikan penjelasan perbedaannya
dengan menghinakan diri (al-Muhânah) dengan menyatakan:
Perbedaan antara tawâdhu’ dan al-Muhânah (menghinakan diri)
adalah Tawâdhu’ muncul dari ilmu pengetahuan tentang Allâh
1
Azza wa Jalla , mengenal nama dan sifat-Nya, pengagungan,
kecintaan dan penghormatannya dan dari pengetahuan tentang
dirinya dan jiwanya secara rinci serta aib-aib amalan serta
perusaknya. Muncullah dari ini semua sifat tawâdhu’. Tawâdhu’
adalah hati yang merendah karena Allâh Azza wa Jalla dan
rendah hati serta penuh rahmat kepada hamba-Nya, sehingga
tidak memandang dirinya memiliki kelebihan atas seorangpun
dan tidak memandang ia memiliki hak atas orang lain. Bahkan
memandang kelebihan orang-orang atas dirinya dan hak-hak
mereka atasnya. ini adalah sifat yang hanya Allâh Azza wa Jalla
berikan kepada orang yang dicintai, dimuliakan dan didekatkan
kepada-Nya.
Perintah Tawadhu`
Allâh memerintahkan nabi-Nya Muhammad Saw. untuk
bertawadhu dalam firman-Nya:

‫ﻭَﺍﺥﻒﺾ ﺝَﻦَﺎﺡَﻚَ ﻝﻞﻢﺆﻡﻦﻴﻦ‬


َDan berendah hatilah kamu terhadap orang-orang yang
beriman. [Al-Hijr/15:88]
Bahkan rendah hati menjadi sifat khusus kaum
Mukminin, sebagaimana difirmankan Allâh:

‫ﻭَﻉﺐَﺎﺩ ﺍﻟﺮَﺡﻢَﻦ ﺍﻝَﺬﻳﻦَ ﻱَﻢﺶﻮﻥَ ﻉَﻞَﻰ ﺍﻝﺄَﺭﺽ ﻩَﻮﻥﺎ ﻭَﺇﺫَﺍ ﺥَﺎﻁَﺐَﻪﻢ‬


‫ﺍﻝﺞَﺎﻩﻞﻮﻥَ ﻕَﺎﻝﻮﺍ ﺱَﻞَﺎﻡﺎ‬
Dan hamba-hamba yang baik dari Rabb Yang Maha Penyayang
itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan
rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka,
mereka mengucapkan kata-kata (yang mengandung)
keselamatan. [Al-Furqân/25:63]
Suatu ketika Sayyidina Ali ibn Abi Thalib karramallahu
wajhah berkata:

‫ﺍﻟﻨﺎﺱ ﻣﻦ ﺭﺟﻼ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﻋﻨﺪ ﻭﻛﻦ ﺷﺮﺍﻟﻨﺎﺱ ﺍﻟﻨﻔﺲ ﻋﻨﺪ ﻭﻛﻦ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﺧﻴﺮ ﺍﻟﻠﻪ‬
‫ﻋﻨﺪ ﻛﻦ‬

2
Artinya, “Jadilah kamu di sisi Allah sebagai sebaik-baik manusia,
sementara itu jadilah kamu di lihat dari sisi jiwa sebagai seburuk
-buruk individu manusia! Jadilah kamu di sisi masyarakat
sebagai seorang yang mempersatukan mereka!”
Maqalah ini tertuang di dalam dua kitab yang memiliki
struktur redaksi sama, yaitu Kitab Nashaihul ’Ibad, halaman 12
dan Kasyful Khafa’ wa Muzilul Ilbas ‘Amma Isytahara minal
Ahaditsi ala Alsinatin Nas, halaman 123.
Ada sejumlah penjelasan yang turut disertakan oleh
Syekh Nawawi Banten dalam karyanya yang populer di kalangan
pesantren Indonesia ini, yaitu Nashaihul’Ibad. Saat
menjelaskan, “Jadilah kamu di sisi Allah sebagai sebaik-baik
manusia, sementara itu jadilah kamu di lihat dari sisi jiwa
sebagai seburuk-buruk individu manusia!” ia menukil sebuah
penjelasan yang dikutip dari Syekh Abdul Qadir Al-Jailany,
sebagai berikut: "Jika kamu bertemu dengan seseorang, maka
yakinilah bahwa dia lebih baik darimu. Ucapkan dalam hatimu,
“Mungkin kedudukannya di sisi Allah jauh lebih baik dan lebih
tinggi dariku”. Jika bertemu anak kecil, maka ucapkanlah dalam
hatimu, "Anak ini belum bermaksiat kepada Allah, sedangkan
diriku telah banyak bermaksiat kepada-Nya. Tentu anak ini jauh
lebih baik dariku". Jika bertemu orang tua, maka ucapkanlah
dalam hatimu, "Dia telah beribadah kepada Allah jauh lebih lama
dariku, tentu dia lebih baik dariku". Jika bertemu dengan
seorang yang berilmu, maka ucapkanlah dalam hatimu, "Orang
ini memperoleh karunia yang tidak kudapat, mencapai
kedudukan yang tidak kucapai, mengetahui apa yang tidak
kuketahui dan dia mengamalkan ilmunya, tentu dia lebih baik
dariku". Jika bertemu dengan seorang yang bodoh, maka
katakanlah dalam hatimu, "Orang ini bermaksiat kepada Allah
kerana dia bodoh (tidak tahu), sedangkan aku bermaksiat
kepada-Nya padahal aku mengetahui akibatnya. Aku tidak tahu
bagaimana akhir umurku dan umurnya kelak". Jika bertemu
orang kafir, maka katakanlah dalam hatimu, "Aku tidak tahu apa
yang akan terjadi, bisa jadi dia memeluk Islam dan mengakhiri
hidupnya dengan perbuatan baik, sedang aku bisa saja berbuat

3
kafir dan mengakhiri hidupku dengan perbuat buruk".
(Nashaihul’Ibad, halaman 12).
Adapun ketika menjelaskan maksud maqalah “Dan
jadilah kamu di sisi masyarakat sebagai seorang yang
mempersatukan mereka!”, Syekh Nawawi Banten menuliskan
komentarnya sebagai berikut:

‫ﺍﻟﺤﺪﻳﺚ ﻓﻲ ﻛﻤﺎ ﻏﻴﺮﻩ ﻋﻦ ﻣﺘﻤﻴﺰﺍ ﻋﺒﺪﻩ ﻳﺮﻯ ﺃﻥ ﻳﻜﺮﻩ ﺍﻟﻠﻪ ﻓﺈﻥ‬


Artinya: “Karena sungguh Allah SWT tidak menyukai hamba-Nya
sebagai yang mengistimewakan diri dari sesamanya,
sebagaimana dalam sebuah hadits.” (Nashaihul ’Ibad, halaman
12)
hadits yang diriwayatkan oleh Imam At-Thabary di dalam
Kitabnya Khulashatu Sa’iri Sayyidil Basyar, juz I, halaman 87.

‫ﺍﻟﺤﻄﺐ ﻭﺟﻤﻊ ﻭﺳﻠﻢ ﻋﻠﻴﻪ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ ﻭﻗﺎﻡ ﺃﺻﺤﺎﺑﻪ ﺑﻴﻦ ﻣﺘﻤﻴﺰﺍ ﻳﺮﺍﻩ ﺃﻥ ﻋﺒﺪﻩ‬
‫ﻣﻦ ﻳﻜﺮﻩ ﺍﻟﻠﻪ ﻓﺈﻥ ﻋﻠﻴﻜﻢ ﺃﺗﻤﻴﺰ ﺃﻥ ﺃﻛﺮﻩ ﻭﻟﻜﻨﻲ ﺗﻜﻔﻮﻧﻲ ﺃﻧﻜﻢ ﻋﻠﻤﺖ ﻗﺪ ﻓﻘﺎﻝ‬
‫ﻧﻜﻔﻴﻚ ﻧﺤﻦ ﺍﻟﻠﻪ ﺭﺳﻮﻝ ﻳﺎ ﻓﻘﺎﻟﻮﺍ ﺍﻟﺤﻄﺐ ﺟﻤﻊ ﻭﻋﻠﻲ ﻭﺳﻠﻢ ﻋﻠﻴﻪ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ‬
‫ﻓﻘﺎﻝ ﻃﺒﺨﻬﺎ ﻋﻠﻲ ﺁﺧﺮ ﻭﻗﺎﻝ ﺳﻠﺨﻬﺎ ﻋﻠﻲ ﺁﺧﺮ ﻭﻗﺎﻝ ﺫﺑﺤﻬﺎ ﻋﻠﻲ ﺍﻟﻠﻪ ﺭﺳﻮﻝ ﻳﺎ‬
‫ﺭﺟﻞ ﻓﻘﺎﻝ ﺷﺎﺓ ﺑﺈﺻﻼﺡ ﻓﺄﻣﺮ ﺃﺳﻔﺎﺭﻩ ﺑﻌﺾ ﻓﻲ ﻛﺎﻥ ﻭﺳﻠﻢ ﻋﻠﻴﻪ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻨﺒﻲ‬
‫ﺃﻥ‬
Artinya, “Sungguh, Nabi SAW suatu ketika berada di tengah
rombongan safar-nya. Kemudian ia memerintahkan agar
membereskan dengan baik seekor kambing yang bersama
mereka. Lalu tiba-tiba seorang lelaki berkata, ‘Ya Rasulallah,
biar aku saja yang menyembelihnya. Lalu datang lelaki lain
berkata, ‘Aku yang memotongnya, Wahai Rasul.’ Lelaki lain lagi
berkata, ‘Aku yang bagian memasaknya, ya rasul.’ Kemudian
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Aku bagian
yang mengumpulkan kayu bakarnya.’ Para sahabat bersahutan
menjawab, ‘Ya Rasulullah, biarlah kami saja, sudah mencukupi.’
Rasulullah menjawab, ‘Aku tahu bahwa dengan kalian saja
sudah mencukupi. Tetapi aku tidak suka sebagai yang
diistimewakan di antara kalian, karena sungguh Allah SWT
membenci melihat hamba-Nya mengistimewakan diri dari para

4
sahabatnya. Setelah itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
lalu bangkit dan mencari kayu bakar.”
As-Sakhawi di dalam Kitab Al-Maqashid Al-Hasanah lis Sakhawy,
juz I, halaman 210, menuliskan:

‫ﺃﺧﻴﻪ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻤﺘﻤﻴﺰ ﺍﻟﻌﺒﺪ ﻳﻜﺮﻩ ﺍﻟﻠﻪ ﺇﻥ(ﺣﺪﻳﺚ‬


Artinya, “Sebuah hadits berbunyi ‘Sungguh Allah membenci
seorang hamba yang mengistimewakan diri dari saudaranya.
Hakikat Tawadhu
Tawadhu adalah sikap batin yang menjelma dalam
praktik lahiriyah secara proporsional dan wajar. Karena
merupakan sikap batin, ketawadhuan sulit diukur. Yang bisa
dilihat hanya praktik lahiriyah yang proporsional dan wajar. Bisa
jadi dalam tata krama tertentu, seseorang dapat menyesuaikan
diri tetapi sesungguhnya ia belum terbilang orang yang
tawadhu. Masalah ini disinggung oleh Syekh Ibnu Athaillah
sebagai berikut:

‫ﻟﻴﺲ ﺍﻟﻤﺘﻮﺍﺿﻊ ﺍﻟﺬﻱ ﺇﺫﺍ ﺗﻮﺍﺿﻊ ﺭﺃﻯ ﺃﻧﻪ ﻓﻮﻕ ﻣﺎ ﺻﻨﻊ ﻭﻟﻜﻦ ﺍﻟﻤﺘﻮﺍﺿﻊ ﺍﻟﺬﻱ‬
‫ﺇﺫﺍ ﺗﻮﺍﺿﻊ ﺭﺃﻯ ﺃﻧﻪ ﺩﻭﻥ ﻣﺎ ﺻﻨﻊ‬
Artinya, “Orang yang tawadhu itu bukan ia yang ketika
merendah menganggap dirinya lebih tinggi dari yang
dilakukannya. Tetapi, orang yang tawadhu itu ia yang ketika
merendah menganggap dirinya lebih rendah dari yang
dilakukannya.”
Ketawadhuan hanya bisa diukur oleh diri manusia itu
sendiri karena hanya mereka yang mengerti batin mereka.
Penilaian atas sikap batin itu persis dengan penilaian atas ibadah
puasa. Hanya mereka sendiri yang dapat menyadari apakah
mereka merasa lebih tinggi atau merasa istimewa dibanding
orang lain atau bahkan makhluk lain.
Syekh Ibnul Hajib menyebutkan secara jelas bahwa
ketawadhuan adalah sebuah sikap batin yang merendah. Sikap
batin ini yang melahirkan tata krama dan sikap sosial yang
wajar. demikian disampaikan Syekh Ibnul Hajib sebagai berikut:
5
‫ﻗﻠﺖ ﺍﻟﺘﻮﺍﺿﻊ ﺍﻟﺤﻘﻴﻘﻲ ﻫﻮ ﺍﻟﺬﻱ ﻳﻨﺸﺄ ﻣﻤﻦ ﻳﺸﺎﻫﺪ ﺍﻷﺷﻴﺎﺀ ﻛﻠﻬﺎ ﻣﻨﻪ‬
‫ﻓﺈﺫﺍ ﺗﻮﺍﺿﻊ ﻣﻌﻬﺎ ﺭﺃﻯ ﺃﻧﻬﺎ ﺗﺴﺘﺤﻖ ﺃﻛﺜﺮ ﻣﻦ ﺫﻟﻚ ﺍﻟﺘﻌﻈﻴﻢ ﻭﺃﻥ ﻧﻔﺴﻪ‬
‫ﻓﻲ ﺍﻟﺪﻧﺎﺀﺓ ﻭﺍﻟﺬﻝ ﺩﻭﻥ ﺃﻱ ﺃﺳﻔﻞ ﻣﻤﺎ ﺻﻨﻊ ﻣﻦ ﺍﻟﺘﻮﺍﺿﻊ ﻭﻟﻴﺲ‬
‫ﺍﻟﻤﺘﻮﺍﺿﻊ ﺍﻟﺬﻱ ﻳﺮﻯ ﻟﻨﻔﺴﻪ ﻣﺰﻳﺔ ﻋﻠﻰ ﺍﻷﺷﻴﺎﺀ ﻓﺈﺫﺍ ﺗﻮﺍﺿﻊ ﻣﻌﻬﺎ ﺭﺃﻯ‬
‫ﺃﻥ ﻧﻔﺴﻪ ﻓﻮﻕ ﻭﺃﻓﻀﻞ ﻣﻤﺎ ﺻﻨﻊ ﻣﻦ ﺍﻟﺘﻮﺍﺿﻊ ﻓﻬﺬﺍ ﻫﻮ ﺍﻟﻤﺘﻜﺒﺮ ﻷﻧﻪ‬
‫ﺃﺛﺒﺖ ﻟﻨﻔﺴﻪ ﺗﻮﺍﺿﻌﺎ ﻣﻤﺎ ﺗﺴﺘﺤﻘﻪ‬
Artinya, “Menurut saya, ketawadhuan hakiki adalah sikap yang
muncul dari orang yang memandang segala sesuatu dari Allah.
Ketika ia merendah, maka ia merasa bahwa segala sesuatunya
berhak lebih banyak lagi ketakziman dan merasa bahwa dirinya
dalam kerendahan dan kehinaan lebih rendah dari ketawadhuan
yang telah dilakukannya. Orang yang merasa istimewa di tengah
yang lain bukan orang yang tawadhu. Kalaupun ia merendah di
tengah yang lain, tetapi memandang dirinya lebih tinggi dan
lebih utama dari ketawadhuan yang dilakukannya, maka
hakikatnya ia orang yang takabur karena ia menyematkan
ketawadhuan bagi dirinya sendiri karena sesuatu yang
menurutnya layak ia terima,” (Lihat Syekh Ibnu Ajibah, Iqazhul
Himam, Beirut, Darul Fikr, tanpa catatan tahun, juz I, halaman
238).
Ketawadhuan adalah upaya dalam membela dan
menjamin hak pribadi dan hak orang lain. Ketawadhuan juga
berarti upaya mempertahankan harkat manusia baik diri sendiri
maupun orang lain. Jangan sampai diri sendiri terhina. Jangan
sampai orang lain terhina dan dirugikan karena ulah kita.
Pengertian ketawadhuan ini justru jauh sekali berbeda dari
sekadar tata karma atau sopan santun. Hal ini sebagaimana
keterangan Syekh Ibrahim Al-Aqshara’i berikut ini:

‫ ﻓﺎﻟﻀﻌﺔ ﺃﻥ ﺗﻜﻮﻥ ﻣﻬﺎﻧﺎ ﻭﺣﻘﻚ‬.‫ﺍﻟﺘﻮﺍﺿﻊ ﺑﻴﻦ ﺍﻟﻀﻌﺔ ﻭﺍﻟﺘﻜﺒﺮ‬


‫ ﻭﺍﻟﺘﻮﺍﺿﻊ‬،‫ ﻭﺍﻟﺘﻜﺒﺮ ﺃﻥ ﻳﻜﻮﻥ ﻏﻴﺮﻙ ﺑﻚ ﻣﻬﺎﻧﺎ ﻭﺣﻘﻪ ﺿﺎﺋﻌﺎ‬،‫ﺿﺎﺋﻌﺎ‬
‫ ﻭﻻ ﻳﻀﻴﻊ ﺣﻘﻚ ﻭﻻ ﻳﻀﻴﻊ ﺑﻚ ﺣﻖ‬،‫ﺃﻥ ﻻ ﺗﻬﺎﻥ ﻭﻻ ﻳﻬﺎﻥ ﺑﻚ ﻏﻴﺮﻙ‬
‫ﻏﻴﺮﻙ‬
6
Artinya, “Bagi saya, ketawadhuan itu bergerak antara
kerendahan dan ketakaburan. Kerendahan itu adalah kamu
menjadi hina dan hakmu terlantar. Sementara takabur adalah
kau menjadi sebab atas kehinaan orang lain dan haknya
terlantar karenamu. Sedangkan ketawadhuan itu adalah kau
tidak menjadi hina dan orang lain tidak menjadi hina karenamu;
hakmu tidak terlantar dan hak orang lain tidak terlantar
karenamu,” (Lihat Syekh Ibrahim Al-Aqshara’i, Ihkamul Hikam,
Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyah, 2008 M/1429 H, halaman 135).
Meskipun hanya sikap batin, tanda-tanda ketawadhuan
itu dapat dilihat dengan jelas. Syekh Syarqawi menyebutkan
sejumlah tanda konkret mutawadhi‘in yang memiliki kepribadian
tangguh dalam menghadapi berbagai tekanan sosial dan tabah
dalam menjaga diri dari godaan kemunafikan hidup. Berikut ini
kutipannya:
“Tanda riil dari perilaku mutawadhi‘in adalah ia yang
tidak marah ketika dicela atau difitnah, tidak membenci ketika
dicaci atau dituduh melakukan dosa besar; tidak ngotot
mengejar pencitraan, mencari muka atau mengambil hati orang
lain; dan tidak merasa bahwa dirinya memiliki tempat di hati
banyak orang,” (Lihat Syekh Syarqawi, Syarhul Hikam,
Semarang, Maktabah Thaha Putra, tanpa catatan tahun, juz II,
halaman 60-61).
Dari sejumlah keterangan ulama itu, kita dapat
menyimpulkan bahwa ketawadhuan hanya dimiliki oleh orang-
orang besar. Tawadhu adalah mereka yang siap belajar ketika
bodoh, bertanya ketika tidak mengetahui, berterima kasih atas
budi baik orang lain, memohon maaf atas kesalahan. Tidak
banyak orang yang bersikap tawadhu. Hanya mereka yang
berjiwa besar dapat mencapai derajat mutawadhi‘in. Karena
hanya mereka yang siap melawan arus demi hak dan harkat
hidup manusia.
Keutamaan Tawadhu`
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

‫ﻭَﻡَﺎ ﺕَﻮَﺍﺽَﻊَ ﺃَﺡَﺪ ﻝﻞَﻪ ﺇﻝَﺎ ﺭَﻑَﻊَﻪ ﺍﻟﻞَﻪ‬


7
Tidaklah seorang bersifat rendah hati (Tawâdhu’) karena Allâh,
kecuali Allâh mengangkatnya. [HR Muslim].
Imam An-Nawawi rahimahullah berkata: “Hadits ini
mempunyai dua makna:
Pertama: Allâh Subhanahu wa Ta’ala akan meninggikan
derajatnya di dunia, dan mengokohkan sifat tawadhu’nya dalam
hati hingga Allâh Subhanahu wa Ta’ala mengangkat derajatnya
di mata manusia.
Kedua: Pahala di akhirat, yakni Allâh Azza wa Jalla akan
mengangkat derajatnya di akhirat disebabkan tawadhu’nya di
dunia.
Oleh karena itu Ibnul Hâj rahimahullah menyatakan: Siapa yang
menginginkan ketinggian, maka hendaknya bersifat rendah hati
(tawadhu’).
Kemuliaan yang didapatkan dari sifat tawadhu’
dikarenakan beberapa hal, diantaranya:
1. Tawadhu’ adalah akhlak para nabi dan Rasul.
2. Semua orang menyayangi orang yang rendah hati dan tidak
menyombongkan diri. Tawadhu’ dapat mendatangkan rasa
cinta, persaudaraan dan menghilangkan kebencian. Beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda,

َ‫ﻭَﺇﻥَ ﺍﻟﻞَﻪَ ﺃَﻭﺡَﻰ ﺇﻝَﻰَ ﺃَﻥ ﺕَﻮَﺍﺽَﻊﻮﺍ ﺡَﺖَﻰ ﻻَ ﻱَﻒﺦَﺮَ ﺃَﺡَﺪ ﻉَﻞَﻰ ﺃَﺡَﺪٍ ﻭَﻻ‬
ٍ‫ﻱَﺐﻎﻰ ﺃَﺡَﺪ ﻉَﻞَﻰ ﺃَﺡَﺪ‬
Dan sesungguhnya Allâh mewahyukan padaku untuk memiliki
sifat tawadhu’. Janganlah seseorang menyombongkan diri
(berbangga diri) dan melampaui batas pada yang lain.” [HR.
Muslim no. 2865].

{‫ }ﺍﻟﺖَﻮَﺍﺽﻊ ﻡَﻊَﺎﻥﺪ ﺍﻟﺶَﺮَﻑ‬:َ‫ﻭَﻕَﺎﻝَ ﺹَﻞَﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻉَﻞَﻲﻪ ﻭَﺱَﻞَﻢ‬.


Nabi saw. bersabda, “Tawadhu’ itu tempat-tempat kembalinya
kemuliaan.”

8
‫ }ﺍﻝﻚَﺮَﻡ ﺍﻟﺖَﻖﻮَﻯ ﻭَﺍﻟﺶَﺮَﻑ ﺍﻟﺖَﻮﺍﺽﻊ ﻭَﺍﻝﻲَﻖﻲﻦ‬:َ‫ﻭَﻕَﺎﻝَ ﺹَﻞَﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻉَﻞَﻲﻪ ﻭَﺱَﻞَﻢ‬
{‫ﺍﻝﻎﻦَﻰ‬.
Nabi saw. bersabda, “Kemuliaan adalah taqwa, kemuliaan itu
tawadhu’, dan keyakinan itu kekayaan.” Hadis ini diriwayatkan
oleh imam Ibnu Abid Dunya dari Yahya bin Abi Katsir.

َ‫ }ﻙﻞ ﺫﻱ ﻥﻊﻢَﺔٍ ﻡَﺢﺲﻮﺩ ﺹَﺎﺡﺐﻪَﺎ ﺇﻻ‬:َ‫ﻭَﻕَﺎﻝَ ﺹَﻞَﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻉَﻞَﻲﻪ ﻭَﺱَﻞَﻢ‬


.{‫ﺍﻟﺖَﻮَﺍﺽﻊ‬
Nabi saw. bersabda, “Setiap orang yang memiliki nikmat itu
akan dihasudi kecuali ketawadhu’an.”
3. Menjalankan perintah Allâh dalam firmanNya:

َ‫ﻭَﺍﺥﻒﺾ ﺝَﻦَﺎﺡَﻚَ ﻝﻢَﻦ ﺍﺕَﺐَﻊَﻚَ ﻡﻦَ ﺍﻝﻢﺆﻡﻦﻴﻦ‬


Dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang
mengikutimu, yaitu orang-orang yang beriman. [asy-
Syu’ara/26: 215]
Syaikh Ibnu Utsaimîn rahimahullah berkata: “Maksudnya
adalah tawadhu’, karena orang yang sombong melihat dirinya
bagaikan burung yang terbang di angkasa, maka Allâh Azza wa
Jalla memerintahkan untuk merendahkan sayapnya dan
merendahkan diri terhadap orang-orang beriman yang
mengikuti Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ”.
4. Tawâdhu’ adalah Perangai Ibadurrahmân, seperti dijelaskan
dalam firman Allâh Azza wa Jalla :

‫ﻭَﻉﺐَﺎﺩ ﺍﻟﺮَﺡﻢَﻦ ﺍﻝَﺬﻳﻦَ ﻱَﻢﺶﻮﻥَ ﻉَﻞَﻰ ﺍﻝﺄَﺭﺽ ﻩَﻮﻥﺎ ﻭَﺇﺫَﺍ ﺥَﺎﻁَﺐَﻪﻢ‬


‫ﺍﻝﺞَﺎﻩﻞﻮﻥَ ﻕَﺎﻝﻮﺍ ﺱَﻞَﺎﻡﺎ‬
Dan hamba-hamba Alloh yang Maha Penyayang itu (ialah) orang
-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan
apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka
mengucapkan kata-kata (yang mengandung) keselamatan. [al-
Furqân/25:63]
Imam Ibnul Qoyyim rahimahullah mengatakan: “Firman
Allâh Azza wa Jalla berjalan di atas bumi dengan rendah hati

9
yaitu mereka berjalan dengan tenang, penuh dengan
ketawadhu’an, tidak congkak dan sombong.” Dengan demikian
sudah selayaknya bagi setiap Muslim untuk berhias diri dengan
sifat tawadhu.
Contoh Ketawadhuan Rasulullah
Sopian Muhammad dalam karyanya, Manajemen Cinta
Sang Nabi, menceritakan, saat berkumpul, Rasul tak
mengizinkan para sahabatnya berdiri atau menyambutnya
ketika datang. Tulusnya cinta kepada para sahabatnya,
membuat Muhammad merasa tak perlu diperlakukan dengan
sikap penghormatan berlebihan.
Dia duduk sama rendahnya dengan para sahabat dan
berdiri sama tingginya. Statusnya yang mulia tak mencegahnya
untuk berbaur. Dalam sebuah perjalanan, Rasulullah dan
sahabatnya menyembelih seekor domba. Tugas pun dibagi di
antara para sahabat untuk mengolah daging domba tersebut.
Ada yang mencari kayu bakar, menyiapkan tempat
memasak, serta mengolah daging dan memasaknya. Utusan
Allah itu melibatkan diri dalam pembagian tugas tersebut, yaitu
mencari kayu bakar. Para sahabat tentu tak enak hati melihat
junjungan mereka ikut bersusah payah mencari kayu bakar.
Mereka meminta Rasulullah tak usah repot ikut mencari
kayu bakar. Namun dengan tenang, menjawab para sahabatnya
itu. Saya tak ingin lain sendiri dibandingkan sahabat-sahabatku.
Allah tak senang melihat seseorang berbeda dari sahabat-
sahabatnya,” katanya menegaskan.
Imam Syafii menyampaikan pandangannya, sifat rendah
hati atau sering disebut tawadhu seperti yang ditunjukkan
Rasulullah akan menuntun orang pada keselamatan,
menciptakan keakraban, juga menghilangkan kedengkian dan
persegketaan. Rasa cinta, menjadi buah dari sikap rendah hati
ini.
Cendekiwan Muslim lainnya, Syekh Khumais as-Said,
menyatakan, orang berakal tentu akan rendah hati. Kalau
melihat orang lebih tua, orang rendah hati akan berkata, orang
10
tua itu lebih dulu masuk Islam. Sedangkan kala melihat orang
yang lebih muda, diucapkannya bahwa dirinya lebih dulu
berbuat dosa daripada si orang muda itu.
Orang yang sebaya akan dianggap saudara oleh orang
yang tawadhu. Menurut Syekh Khumais, sikap rendah hati itulah
yang membuat orang tak sombong terhadap saudaranya dan
tak menganggap remeh orang lain. Jejak kerendahatian
Rasulullah tersingkap tatkala ia memimpin majelis yang disesaki
kaum Muslim.
Kala itu, Jabir bin Abdillah Bajali duduk di bibir pintu. Nabi
mengetahuinya dan segera mengambil kain baju yang
dimilikinya, kemudian melipatnya. Dengan ramah, beliau
memberikan lipatan itu kepada Jabir sambil memintanya untuk
duduk di lipatan kain itu sebagai alas. Jabir meraih kain itu.
Jabir tak menggunakan lipatan itu untuk diduduki
sebagai alas, tetapi mengusapkannya ke wajahnya sebagai
tanda hormat kepada Rasulullah. Dengan mata berkaca-kaca ia
mengembalikannya kepada Rasul, dan mengatakan, Semoga
engkau selalu dimuliakan Allah sebagaimana engkau
memuliakan aku.”
Tak sebatas itu, di tengah kesibukannya sebagai
pemimpin umat dan kegiatan dakwah, beliau menyempatkan
diri memenuhi undangan sahabatnya. Ia mendatangi jamuan
yang digelar mereka. Dan di tengah jamuan itu, putra Abdullah
ini tak membedakan diri dari orang lain.
Di sebuah kesempatan, sahabat bernama Abu al-Haitsam
bin al-Tihan membuat masakan khusus untuk Rasul dan sahabat
lainnya. Usai menyantap makanan yang disajikan, beliau
berkata kepada sahabatnya untuk membayar kepada Abu al-
Haitsam. Mereka bertanya apa yang harus dibayarkan.
Jika seseorang kedatangan tamu, maka disantap makan
dan minumannya, lalu mereka mendoakannya. Itulah
bayarannya,” kata Muhammad SAW dalam hadis yang
diriwayatkan oleh Abu Dawud. Dalam buku Rasulullah, Manusia

11
tanpa Cela, dijelaskan, dalam bermasyarakat Rasul tak pernah
memandang status atau derajat.
Dia bergaul dengan semua lapisan masyarakat, dari anak
kecil hingga orang dewasa. Juga dengan mereka yang miskin
dan kaya, serta bergaul pula dengan orang-orang awam dan
berpendidikan. Semua ia rangkul dalam pergaulan sehar-hari
tanpa memandang apakah mereka orang terhormat atau bukan
dalam strata di dalam masyarakat.
Bukhari meriwayatkan sebuah hadis dari Umar bin
Khattab mengenai kerendahan hati Rasulullah ini. Janganlah
kalian memuji dan memujaku berlebih-lebihan seperti orang-
orang Nasrani berbuat terhadap putra Maryam. Aku ini adalah
hamba Allah juga, maka katakanlah kepadaku, hamba Allah dan
Rasul-Nya.”
Kerendahan hati ini merambat pula dalam kehidupan
keluarganya. Aisyah menceritakan, dalam menjalani kehidupan
rumah tangganya, Rasulullah berlaku seperti manusia lainnya.
Beliau menjahit dan menambal bajunya sendiri, memerah susu
kambingnya serta menyiapkan sendiri apa yang diperlukannya,
hingga memperbaiki sandalnya yang rusak.

Wallahu a`lam bish shawab, dan Allah yang lebih mengetahui


yang sejatinya benar..

12

Anda mungkin juga menyukai