Anda di halaman 1dari 22

ARTIKEL SEMINAR FILSAFAT

Menelaah Mitos mengenai Menstruasi dalam Konstruksi Patriarki


Kapitalis : Kajian Ekofeminisme terhadap Penggunaan Pembalut Sekali
Pakai

Oleh :
Melly Oktaviani - 1806218113

Abstrak :
Konstruksi patriarki memandang menstruasi sebagai hal yang kotor dengan berlandas pada
alasan emosional terhadap darah yang merupakan lambang kematian. Implikasi dari hal ini
adalah adanya anggapan bahwa rahim membawa penyakit yang disebut dengan “penyakit
perempuan”. Bias yang terjadi menyebabkan perempuan merasa malu dengan adanya
menstruasi melanggengkan narasi patriarkal mitos menstruasi. Nilai-nilai yang tertanam
secara mengakar dan kontinyu berdampak pada perempuan yang kehilangan otoritas atas
tubuhnya. Ilmu pengetahuan dan kapitalisme yang berkembang pesat membuat opresi
terhdapa perempuan semakin kuat, bahkan produk menstruasi kini dikapitalisasikan.
Kapitalisme yang berfokus pada profit mengabaikan kerusakan alam yang diakibatkan
dengan banyaknya limbah pembalut. Ekofeminisme menunjukkan adanya opresi terhadap
alam dan opresi terhadap perempuan masih berlanjut hingga saat ini dan ridaklah mungkin
untuk membebaskan salah satunya tanpa membebaskan yang lain.
Kata Kunci : Patriarki, menstruasi, kapitalisasi, opresi, ekofeminisme

Abstract
The patriarchal construction views menstruation as a dirty thing based on emotional reasons
for blood which is a symbol of death. The implication of this is the assumption that the
uterus carries a disease called "women's disease". The bias that occurs causes women to
feel embarrassed about menstruation, perpetuating the patriarchal narrative of the menstrual
myth. Values that are deeply rooted and continuous have an impact on women who lose
authority over their bodies. Science and capitalism that are developing rapidly have made
the oppression of women stronger, even menstrual products are now capitalized. Profit-
focused capitalism ignores the natural damage caused by the abundance of sanitary
napkins. Ecofeminism shows that there is an oppression of nature and the oppression of
women is still ongoing today and it is not possible to liberate one of them without liberating
the other.
Keywords : Patriarchy, menstruation, capitalism, opression, ecofeminism

1
PENDAHULUAN

Menstruasi merupakan hal umum dan alami yang terjadi pada wanita, khususnya
wanita yang telah mengalami masa pubertas. Menstruasi yang biasa disebut dengan haid
atau datang bulan merupakan suatu siklus secara periodik dimana akan terjadi pendarahan
pada vagina yang dihasilkan dari lapisan dinding rahim wanita (Nurin, 2020). Ketika siklus
ini berlangsung,sering muncul gejala-gejala yang cenderung dialami seperti jerawat, kram,
keputihan, nyeri, dan pegal-pegal. Gejala-gejala tersebut dapat direda dengan meminum
obat atau jenis jamu tertentu. Gejala-gejala yang rawan terjadi tersebut juga rawan
menjadikan perhatian perempuan teralihkan dari menjaga kebersihan organ intimnya.
Kesehatan reproduksi adalah suatu keadaan sejahtera fisik, mental, dan sosial secara
utuh, tidak semata-mata bebas dari penyakit atau kecacatan dalam semua hal yang
berkaitan dengan sistem reproduksi, serta fungsi dan prosesnya. Hygiene adalah suatu
usaha yang dilakukan untuk melindungi, memelihara, dan meningkatkan derajat kesehatan
dengan cara memelihara dan melindungi kebersihan subyeknya. Hygiene pada saat
menstruasi sangat penting dalam menentukan kesehatan organ reproduksi perempuan,
khususnya agar terhindar dari infeksi alat reproduksi. Sehingga, menjaga kebersihan area
intim sangatlah penting terutama ketika siklus menstruasi datang agar terhindar dari
mikroorganisme seperti bakteri, jamur, dan virus yang berlebih sehingga dapat
mengganggu organ reproduksi.
Perilaku hygiene tentunya menjadi tema penting yang perlu ditelaah secara lebih
mendalam. Namun sayangnya, pembahasan mengenai menstruasi masih dianggap tabu di
beberapa kalangan di Indonesia. Menstruasi dianggap sebagai suatu penyakit yang datang
setiap sebulan sekali yang dapat mengganggu aktivitas. Pada saat siklus ini terjadi,
perempuan diajarkan menerima sifat pasif sebagai kutukan dan tidak dapat bebas untuk
melakukan tindak bebas seperti biasanya sehingga periode ini dianggap abnormal.
Menstruasi sebgai gangguan merupakan fakta sosial yang diterima sehingga berbagai

2
proses sosial kemudian melihat periode menstruasi ini sebagai suatu yang dirugikan dan
kotor.1
Pada saat perempuan mengalami menstruasi, yang sesungguhnya merupakan proses
alami yang normal, berbagai penilaian dan tindakan diciptakan oleh berbagai pihak sebagai
sarana pertukaran sosial dan negosiasi kekuasaan. Proses semacam ini tidak hanya
disebabkan oleh adanya bias-bias dalam budaya dan interpretasi agama, tetapi juga oleh
politik kepentingan yang cenderung mereproduksi kekuasaan dengan sendirinya sehingga
nilai dan norma atau berbagai pranata sosial kemudian dimanfaatkan dengan cara
pemitosan sifat-sifat negatif menstruasi.
Dengan adanya tabu dan konstruksi sosial yang menganggap menstruasi sebagai hal
tabu berakibat pada kurangnya konsen perempuan untuk memfasilitasi dirinya kenyamanan
selama siklus tersebut berlangsung. Salah satu dampak dari hal ini adalah fenomena period
poverty. Period poverty adalah keadaan dimana seseorang tidak mampu membeli produk
pembalut seperti pembalut plastik, tampon, menstrual cup, atau yang lainnya, sehingga
menggunakan kain-kain bekas untuk mengatasi permasalahan siklus ‘tamu’ bulanan ini.
Yang menjadi permasalahan adalah hal ini berpengaruh pada kesehatan organ intim
perempuan2.
Sebagai perpanjangan dari hal tabu ini juga membatasi pilihan individu, yang juga
dilatar belakangi oleh keadaan ekonomi. Budaya patriarki3 telah menghabiskan begitu
banyak waktu untuk membentuk stigma, meneliti, dan membentuk ulang hal yang sangat
penting bagi wanita ini, dan mengubahnya menjadi pasar kapitalisme yang berprofit tinggi.
Budaya patriarki telak mengubah cara berpikir menjadi terpolarisasi menjadi 2 kutub dan
bersifat enklusif, seperti laki-laki dan perempuan, kuat dan lemah, miskin dan kaya, putih
1
Abdullah, Irwan. 2002. Mitos Menstruasi : Konstruksi Budaya Atas Realitas Gender. Humaniora. Vol. 14,
No.1 Februari 2002, h. 35
2
Davies, Shelby dan Grace Clarke. 2021. Period Poverty: The Public Health Crisis We Don’t Talk About diakses
melalui https://policylab.chop.edu/blog/period-poverty-public-health-crisis-we-dont-talk-about
3
Secara etimologi, patriarki berkaitan dengan sistem sosial dimana ayah menguasai seluruh anggota
keluarganya, harta, serta sumber-sumber ekonominya. Ayah juga yang membuat keputusan did alam
keluarga. Dalam sistem sosial, budaya (juga agama), patriarki muncul sebagai bentuk kepercayaan atau
ideologi bahwa laki-laki memiliki kedudukan yang lebih tinggi dibandingkan perempuan; bahwa perempuan
harus dikuasai bahkan dianggap sebagai harta milik laki-laki.

3
dan hitam, maskulin dan feminin. Polarisasi ini didasari pada pemberian nilai status yang
lebih tinggi pada apa yang secara historis diidentifikasikan sebagai “pikiran”, “nalar”, dan
“laki-laki”. Akibat dari adanya polarisasi karakter ini adalah sulitnya perempuan untuk
dapat memiliki posisi yang sejajar dengan laki-laki. Tujuan dari sistem patriarki ini adalah
untuk menguniversalkan perempuan dalam satu identitas.4 Dalam masyarakat modern,
manusia memenuhi kebutuhan hidupnya dengan teknologi yang tersedia, tak terkecuali
perempuan yang menggunakan teknologi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Dengan
adanya teknologi, perempuan dapat memenuhi kebutuhan hidupnya dengan lebih mudah
dan praktis. Salah satu contohnya adalah pembalut plastik yang memudahkan perempuan
untuk mengatasi permasalahan terkait menstruasi dengan menawarkan kemudahan
penggunaan, pemerolehan pembalut, dan banyaknya jenis yang dapat disesuaikan dengan
kebutuhan masing-masing. Pembalut yang secara historis diperuntukkan pada laki-laki pada
masa perang untuk memantu mengatasi pendarahan kini beralih fungsi sebagi pembalut
yang digunakan wanita untuk mengatasi siklus bulanannya.5 Awalnya pembalut dibuat
menggunakan perban bubuk kayu karena keterbatasan persediaan kapas pada masa itu,
kemudian perusahaan besar mulai memproduksinya secara massal dengan nama
Cellucotton. Pada akhir perang pada tahun 1918, produsen pembalut mulai kebingungan
karena para prajurit dan palang merah tidak lagi membutuhkan pembalut sehingga
mengakibatkan surplus. Untuk mengatasi surplus tersebut, perban-perban tersebut
digunakan oleh para perawat untuk mengatasi menstruasi mereka. Terinspirasi dari hal
tersebut, perusahaan kemudian mengembangkan perban menjadi produk komersial bagi
perempuan dimana saja. Karena kemudahan dan harganya yang murah, pembalut pun
meraih popularitasnya dengan sangat cepat. Kini, industri menstruasi telah bertambah
keuntungannya melalui darah kotor yang dikeluarkan setiap siklus ini terjadi. Dikutip dari

4
Identitas perempuan tidak lagi bersifat natural, melainkan bersifat kultural karena identitas yang melekat
pada dirinya merupakan hasil pelabelan dari citra ideal patriarki. Hal ini berdampak pada kapasitas rasio
perempuan yang menjadi minor, sehingga perempuan sulit untuk mendefinisikan identitas diri yang murni.
5
Dilansir dari grid.id, awalnya perempuan menggunakan kain untuk menampung darah menstruasinya,
selain itu mereka menambahkan kapas atau wol domba dalam pakaiannya. Di Cina, perempuan
menambahkan pasif ke dalam kain yang akan mereka gunakan, kemudian membuang pasir dan mencuci
kain jika suda merasa basah.

4
sustaination.id, tidak kurang dari 26 ton pembalut sekali pakai dibuang setiap hari di
Indonesia. Bila dikalkulasikan kembali, dalam setahunnya perempuan dapat menghasilkan
sekitar 200 hingga 300 ton sampah pembalut selama hidupnya dengan perkiraan masa
menstruasi selama 38 tahun.6 Perusahaan-perusahaan mulai mencari untung melalui iklan-
iklan produk yang secara halus memberi gambaran mengenai bentuk kenyamanan yang
seharusnya didapat oleh perempuan selama masa menstruasinya berlangsung.
Salah satu bentuk dari kapitalisme industri menstruasi ini adalah banyaknya merk
pembalut plastik yang kita temukan di sekitar kita. Harganya yang dibilang masih cukup
terjangkau dan citranya yang dianggap praktis, bersih, dan nyaman membuat para
perempuan menyenangi produk ini. Jenisnya yang bermacam-macam mulai dari bentuk,
ukuran, dan warna dapat disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing yang
mana.membuat para perempuan lebih leluasa memilih jenis produk yang paling sesuai
dengan dirinya, sehingga memberi lebih banyak kemudahan dan menjadikan produk ini
sebagai primadona industri menstruasi. Budaya patriarki yang menggambarkan citra
perempuan cantik yang ideal dengan menambah unsur keperawanan menjadi salah satu
faktor sulitnya bagi para perempuan beralih menggunakan pembalut jenis lain yang lebih
ramah lingkungan, contohnya yakni menstrual cup. Tak dapat dipungkiri bahwa pembalut
plastik memiliki banyak nilai positif, namun kita tidak bisa menutup mata atas dampak
yang dihasilkannya untuk alam. Dengan kandungan 90% plastik dalam pembalut plastik
menghasilkan mikroplastik yang akan membahayakan alam. Diperkirakan plastik yang
terdapat pada pembalut plastik membutuhkan waktu sekitar 500 hingga 800 tahun agar
dapat hancur7, dan dengan banyaknya pembalut plastik yang digunakan perempuan tentu
akan berdampak besar pada lingkungan.
Pada umumnya, industri kapitalisme mengutamakan rasionalisasi nilai efisiensi dan
profit sehingga dampak pada alam dihiraukan, akibatnya banyak kekayaan alam yang
mengalami kerusakan bahkan kepunahan. Seperti dengan adanya teknologi pembalut yang
memberi dampak besar pada lingkungan dan perempuan itu sendiri. Vandana Shiva dalam

6
Berdasarkan data yang didapat melalui situs Knowaste.com
7
Dihitung oleh Natracare pada tahun 2018

5
bukunya yang berjudul Staying Alive: Women, Ecology, and Development beranggapan
bahwa bisnis dari ilmu pengetahuan adalah pengaplikasian teorinya, yakni produksi
teknologi yang bertujuan sebagai aplikasi praktikal dan ekploitasi komersial. Shiva
mengangkat poin hubungan antara pengetahuan modern dengan kepentingan ekonomi
kapitalisme industri modern. Ilmu pengetahuan modern memberi ideologi naturalisasi
untuk kaum kapitalis mengembangkan industrinya (Shiva 1988, 234). Melihat kondisi ini,
ekofeminsime memandang dikotomi telah menempatkan laki-laki dan kebudayaan pada
posisi superior, sedangkan perempuan dan alam berada pada posisi inferior. Susan Griffin
memandang bahwa opresi yang dilakukan manusia terhadap alam setara dengan opresi
yang dilakukan laki-laki kepada perempuan. Sifat perempuan yang dinarasikan bertugas
merawat dan dalam konteks tertentu bereproduksi, disamakan dengan alam. Sehingga
perempuan dianggap sangat dekat dengan alam. Para ekofeminis menunjukkan adanya
keterkaitan antara opresi terhadap perempuan dan alam secara konseptual, simbolik, dan
linguistik.8 Oleh sebab itu, opresi terhadap alam dan posisi perempuan yang tampaknya
justru berperan sebagai pengrusak alam perlu dikaji kembali.

1.1 RUMUSAN MASALAH

Superioritas laki-laki dan kaum kapitalis (man) mendorong keinginan mereka untuk
menguasai alam untuk kepentingan hidupnya. Posisi perempuan dan alam yang dipandang
inferior dan keberadaannya dikuasai oleh sistem patriarki sehingga baik perempuan
maupun alam dijadikan objek untuk mencapai suatu tujuan yang diinginkan. Dalam
masyarakat patriarkal, industri kapitalis mengalami kemajuan yang pesat dengan
memanfaatkan domestikasi peran perempuan. Industri kapitalis telah menghilangkan
prinsip feminitas yang ramah lingkungan, dan menggunakan perempuan sebagai objek
mencapai tujuannya. Berikut ini permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini:

8
Rosemarie Putnam Tong. Feminist Thought: A More Comprehensive Introduction, (Westview Press:
Colorado, 1988)

6
1. Mengapa menstruasi dianggap sebagai hal tabu dan kotor kendati menstruasi
merupakan hal kodrati yang terjadi pada perempuan?

2. Mengapa sulit bagi perempuan untuk beralih dari penggunaan pembalut sekali pakai
ke pembalut jenis lain yang lebih ramah lingkungan seperti menstrual cup?

3. Mengapa perempuan tampak mengafirmasi dirinya sebagai konsumen perusak


alam?

4. Apakah setiap perempuan sudah terkikis kepeduliannya terhadap alam sehingga


mementingkan kemudahan yang ditawarkan teknologi pembalut sekali pakai
dibanding kelestarian alam?

1.2 KERANGKA TEORI

Ekofeminisme pertama kali diperkenalkan oleh Francoise d’Eaubonne dalam


bukunya yang berjudul Le Feminisme ou La Mort yang muncul pada tahun 1974. Dalam
bukunya, ia menulis bahwa terdapat hubungan langsung antara opresi terhadap alam
dengan opresi yang terjadi pada perempuan, sehingga pembelaan keduanya tidak dapat
dipisahkan.9 Mitos-mitos tentang perempuan dan alam merupakan bentuk seksisme dan
naturalisme yang terjadi akibat hubungan alam dengan perempuan. Ekofeminisme tidak
menyetujui gagasan alam dan perempuan hanya memiliki keterkaitas fungsi biologis dan
psikologis, seperti reproduksi. Dan sifat tradisional perempuan seperti merawat, dan
menciptakan semata-mata hanya bentuk dari konstruksi sosial sebagai bentuk pengalaman
aktual biologis dan psikologis perempuan. Karren J. Warren berpendapat bahwa dualisme
yang merupakan ancaman yang menghancurkan manusia adalah konstruksi sosial.
Menurutnya, seorang feminis haruslah ekofeminis karena keduanya bersama-sama berjuang
9
Ibid., hlm. 366.

7
melawan opresi yang terjadi pada perempuan dan alam atas dasar konstruksi patriarki yang
bersifat dominatif. Lebih jauh lagi, Vandana Shiva dan Maria Mies mengatakan bahwa
perempuan memiliki kemampuan hidup yang lebih baik dibanding laki-laki karena
kedekatannya dengan elemen alam. Mereka juga menolak gagasan ‘universalisme identitas’
yang dianut oleh dunia barat, patriarki dan kapitalisme telah menghapuskan segala
perbedaan dan tidak dekat dengan alam. Patriarki dan kapitalisme hanya mencari alam yang
dapat dieksploitasi dan dijajah untuk kepentingannya. Begitu pula yang terjadi pada
perempuan, mereka hanya mencari perempuan yang dianggap bodoh dan terbelakang agar
dapat dijadikan objek komersialisme penjualan produk industri.
Ekofeminisme merupakan varian dalam aliran feminis yang menyatukan pemikiran
ekologi dengan feminisme. Ekofeminisme merupakan bagian baru dalam etika ekologis.
Etika ekologis menawarkan alternatif baru sebagai solusi atas berbagai bentuk opresi yang
terjadi pada alam dan juga perempuan. Ekofeminisme lahir sebagai bentuk keprihatinan
atas meningkatnya jumlah kerusakan ekologis yang berbahaya bagi bumi, binatang,
tumbuhan, serta manusia. Banyak kelompok yang mengatakan dirinya sebagai
environmentalist yang peduli terhadap keberlangsungan alam, namun nyatanya kelompok
tersebut tetap menaruh kepentingan manusia sebagai sentralnya. Meski perempuan secara
natural telah mewarisi nilai yang lebih dekat dengan alam, namun dengan adanya budaya
patriarki nilai tersebut tidak diakui. Patriarki menghapus nilai perempuan dan
mengubahnya menjadi objek untuk mencapai kepentingan kapitalisme yang berakibat pada
kerusakan alam. Kebutuhan dan kondisi setiap perempuan dan alam berbeda sehingga
konsep universal tidak dapat digunakan. Para ekofeminis menawarkan etika
kepeduliannatas permasalahan ini. Etika kepedulian merupakan varian etika yang melihat
setiap manusia sebagai manusia yang khas dan memiliki karakter, perbedaan tersebut bukan
dipandang sebagai perpecahan melainkan kekayaan karakter yang dapat digunakan sebagai
sarana memelihara dan melindungi alam. Dalam etika ini, perempuan dan laki-laki
merupakan rekan yang sejajar dan harus dihargai keberadaannya. Perempuan harus
menyadari budaya patriarki yang membelenggu kehidupan untuk menciptakan kehidupan
yang bebas diskriminasi dan pro kesetaraan.

8
1.3 METODE PENELITIAN
Metode yang digunakan penulis adalah metode analisis dekriptif dengan
memrokuskan elaborasi dan analisa teks dengan bantuan pustaka rujukan yang sesuai
dengan masalah yang diangkat, yakni teori-teori ekofeminisme deginakan untuk
menjelaskan adanya relasi opresi terhadap alam dan opresi terhadap perempuan dalam
kuasa budaya patriarki dan kapitalisme.

1.4 KAJIAN TERDAHULU

A. Penelitian I – Ketty Stefani (2009)


Penelitian berjudul “Kritik Ekofemisme Terhadap Pelabelan Citra Perempuan
Sebagai Konsumen Perusak Alam”. Penelitian ini mengkaji pelabelan citra
perempuan sebagai konsumen perusak alam yang dibentuk secara kultural dalam
masyarakat patriarkal dengan menggunakan etika ekofeminisme.

B. Penelitian II – Irwan Abdullah (2002)


Penelitian berjudul “Mitos Menstruasi: Konstruksi Budaya atas Realitas
Gender”. Penulisan ini mengkaji bagaimana mitos tentang menstruasi yang terkait
dengan kultur suatu masyarakat memiliki implikasi yang luas dalam penataan
sosial.

1) Persamaan penelitian dengan penelitian terdahulu


Persamaan penelitian pertama dengan penelitian ini yaitu sama-sama mencoba
membahas peran budaya patriarki dan kapitalisme terhadap opresi yang terjadi
pada perempuan dan alam.
Persamaan penelitian kedua dengan penelitian ini yakni sama-sama membahas
budaya yang mengenai budaya patriarki yang lekat kaitannya dengan mitos
menstruasi

9
2) Perbedaan penelitian dengan penelitian terdahulu
Perbedaan penelitian ini dengan penelitian I dan II yakni contoh kasus yang
digunakan, serta mencoba mengkolaborasikan kedua penelitian tersebut.

1.5. TUJUAN PENELITIAN


Penelitian ini bertujuan untuk membongkar budaya patriarki yang mengatakan
bahwa menstruasi merupakan hal yang tabu dan kotor, hingga anggapan bahwa rahim
adalah penyakit bawaan yang ada pada perempuan. Selain itu, penelitian ini bertujuan
untuk membongkar konstruksi patriarki yang mengopresi perempuan dan alam. Untuk
selanjutkan perempuan mampu merekognisi opresi yang menimpa dirinya dan
menyejajarkan kembali kedudukan perempuan dan alam sehingga perempuan mendapat
kembali jati dirinya sebagai sumber kehidupan dan pelindung alam.

PEMBAHASAN

1. Seksualitas Perempuan dalam Budaya Patriarki


Ketika seorang anak perempuan pertama kali mengalami siklus menstruasi
umumnya komentar yang muncul adalah mengenai kedewasaannya dan rahimnya
yang kini mampu mengandung seorang anak. Keadaan rahim ini merupakan sumber
dari berbagai persoalan yang dihadapi perempuan yang memiliki implikasi luas
dalam penataan sosial. Adanya rahim menyebabkan perempuan memiliki cacat
bawaan karena ia membawa berbagai “penyakit” yang harus diderita oleh kaum
perempuan10. Penyakit ini disebut menstruasi karena ketika siklus ini datang
perempuan memiliki banyak batasan dalam kegiatan sehari-harinya. Sehingga
dianggap sebagai periode abnormal, padahal keadaan siklus ini untuk menunjukkan

10
Konstruksi budaya membuat adanya anggapan bahwa perempuan merupakan mahkluk yang emosional,
dengan adanya rahim, perempuan akan mengalami menstuasi yang membuatnya memiliki batasan dalam
melakukan kegiatan, seperti perasaan yang cenderung lebih sensitif, keram perut, keputihan, dan lainnya.
Akibat dari efek menstruasi ini dianggap sebagai penyakit perempuan.

10
kesehatan telur dan uterus serta kesehatan sistem reproduksi. Menstruasi sebagai
gangguan merupakan fakta sosial yang diterima berbagai proses sosial.
Mitos mengenai menstruasi yang seringkali dijumpai adalah seperti sesuatu
yang kotor, membahayakan hubungan seks, kutukan Tuhan, membahayakan
kesehatan, tanda dari inferioritas seorang perempuan, mengganggu keteraturan
sosial, dll. Mitos sendiri menurut Freud adalah cerminan dari sikap masyarakat yang
ambivalen terhadap perempuan yang mengalami menstruasi dianggap kotor dan
terkena kekuatan jahat sehingga perlu dijauhi dan karenanya dapat dimanfaatkan
untuk kekuasaan politik11. Tabu sendiri menempatkan perempuan sebagai posisi
yang “tersingkirkan”.
Darah menstruasi dijadikan objek dengan alasan emosional bahwa citra dari
darah adalah ide mengenai kematian, pembunuhan, kekerasan, dan lain sebagainya.
Berbagai proses sosial terjadi akibat adanya mitos menstruasi yang dienkulturasikan
dalam kehidupan sosial yang luas. Para perempuan yang sedang pada masa siklus
diharuskan untuk diet ketat yang mana hal tersebut berlawanan dengan hukum
medis yang megatakan perempuan harus makan makanan sehat selama masa
siklusnya. Hal ini menunjukkan kesalahan persepsi yang meluas mengenai
menstruasi dalam masyarakat.
Menstruasi karenanya menjadi bentuk eksklusi kaum perempuan.
Dengan“penyakit”nya ini perempuan harus dipisahkan dari relasi sosial yang
“normal”. Lebih lanjut, fenomena biologis menstruasi menjadi penegas perbedaan
antara laki-laki dan perempuan karena mendapat pemaknan secara sosial. Dilihat
dari sudut pandang lain,menstruasi merupakan tanda kedewasaan seorang
perempuan. Mitos mengenai penyakit, kutuan, dan darah kotor ini diadakan untuk
mencegah dan membatasi ruang gerak dan otoritas perempuan. Keterlibatan
perempuan merupakan ancaman bagi para lelaki, sehingga adanya mitos tersebut
membatasi otorits perempuan.

11
Abdullah, Irwan. (2002). Mitos Menstruasi: Konstruksi Budaya Atas Realitas Gender. Humaniora, Vol. 14, h.
35

11
Penolakan perempuan terjadi dalam perlawanan mereka terhadap berbagai
ide tentang sifat labil emosi perempuan saat menstruasi berlangsung atau berbagai
bentuk sindrom, baik yang dirasakan langsung oleh perempuan maupun yang
dipersepsikan pihak lain terhadap apa yang dinilai dialami oleh perempuan.
Perlawanan telah dilakukan dengan konsepsi obat-obatan untuk menghindari sakit
yang berpengaruh pada aktivitas tubuh dan sosial. Revolusi dalam format dan
substansi pembalut wanita dari tampon ke softex dan sebangsanya merupakan tanda
penting dari pergulatan hubungan kekuasaan. Iklan-iklan tentang pembalut
menegaskan adanya penolakan terhadap ide bahwa perempuan yang sedang
menstruasi tidak mampu bergerak aktif dan tidak berprestasi. Hal ini sekaligus
menunjukkan adanya lapis-lapis realitas sosial berdasarkan strata sosial dan
perbedaan implikasi sosial yang dialami perempuan atas mitos menstruasi.
Persoalan yang mendasar di sini adalah realitas biologis menstruasi telah
disalah- gunakan oleh pihak lain dalam suatu struktur kekuasaan yang rumit.
Kepentingan- kepentingan pihak lain menyebabkan terbentuknya realitas yang
berlapis-lapis yang menjauhkan pemahaman terhadap subjektivitas perempuan
(Abdullah, 2000). Nilai seksualitas yang disebarluaskan oleh berbagai pihak yang
terkait dengan tabu menstruasi ini kemudian menjadi rambu yang dipelajari. Mitos
tentang seksualitas perempuan cenderung direproduksi dengan menegaskan
perbedaan-perbedaan laki-laki dan perempuan dalam bentuk aturan-aturan yang
mendapatkan pengesahan sosial secara meluas.
Cara menstruasi dipersoalkan sesungguhnya memperlihatkan adanya suatu
pemaksaan dari suatu realitas bahasa yang dalam bahasa Foucault merupakan fakta
diskursif yang menyangkut the way in which sex is put into discourse (Foucault,
1990: 11). Siapa yang membicarakan, dari sudut pandang apa, dan untuk
kepentingan apa merupakan isu penting yang harus dikaji secara seksama. Jika
menstruasi kemudian dianggap sebagai penyakit, kotoran, atau sesuatu yang harus
dihindari anggapan tersebut di satu pihak merupakan kejahatan dan pihak yang
membangun citra tersebut sebagai pelaku kejahatan kalau anggapan itu kemudian

12
merugikan kaum perempuan. Di lain pihak, citra dan pencitraan itu harus diakui
memiliki rasionalisasi dan kebenarannya sendiri.
Inti analisis feminis pada peran perempuan adalah kritiknya terhadap sistem
patriarki. Patriarki telah membatasi lesempatan perempuan untuk berpartisipasi
penuh dalam ranah sosial dan lebih spesifiknya, dalam sektor institusional,
ekonomi, psikologi, dan sejarah. Stereotip yang tercipta, membuat perempuan harus
bertingkah sesuai “kodratnya”, yaitu bagaimana perempuan semestinya.
Konsekuensi atas kondisi biologis perempuan untuk bereproduksi dan peran
perempuan dalam budaya patriarki sebagai merawat dan memelihara keluarga,
perempuan dinilai dekat dengan alam. Sherryn Ortner berargumentasi “female is to
male as nature is to culture”12. Bahkan jika perempuan didesain sedemikian rupa
akan terikat dengan kondisi biologis yang telah diciptakan oleh budaya patriarki.
Budaya patriarki yang telah mengejawantah dalam pola pikir masyarakat
menyebabkan realitas hak atas tubuh perempuan yang selama ini tidak pernah
dimiliki secara utuh oleh perempuan sendiri. Di Jawa, terkenal budaya “tabu, ora
ilok” yang sebenarnya merupakan konstruksi budaya patriarkhi yang memang
dengan sengaja dijadikan sarana untuk mendeskriminasikan kaum perempuan.
Patriarki mendeskriminasi tubuh perempuan agar tunduk dan patuh pada norma
yang ada, sehingga pembicaraan mengenai tubuh perempuan merupakan tabu.
Kaitan patriarki yang begitu dalam pada tubuh perempuan menjadikan perempuan
sebagai sumber masalah ketika terjadi suatu hal yang berhubungan dengan tubuh
perempuan. Hal ini menjadi alasan mengapa patriarki justru menyalahkan
perempuan jika mereka mengalami peristiwa pada tubuhnya. Jika bagi perempuan
seksualitas adalah eksistensi dan harga diri, terutama dalam narasi keperawanan;
maka bagi laki-laki, seksualitas adalah medan permainan dan kekuasaan. Disinilah
letak dimana perempuan tidak memiliki hak atas otonomi dirinya, karena budaya
patriarki yang tidak pernah berpihak pada kaum perempuan.13

12
Sherry B. Ortner. “Is Female to Male as Nature is to Culture?”. Feminist Studies2 (Fall 1972): 5-31
13
Fujianti, Manik. 2016. Seksualitas Perempuan dalam Budaya Patriarki”. Muwazah, Vol.8, No.1, h.26-27

13
Menurut Irwan Abdullah, seksualitas secara etimologis memiliki beberapa
makna, yang terkait dengan jenis kelamin, kesenangan, dan gender. Makna
seksualitas yang berhubungan dengan jenis kelamin biologis seperti pada
perempuan adalah vagina, payudara, dan rahim. Sedangkan makna seksualitas
sebagai identitas gender merupakan konstruksi sosial.

2. Kapitalisasi Isu Kesehatan Seksual dan Reproduksi Perempuan

Menurut Deklarasi Kairo, kesehatan reproduksi adalah kondisi fisik, mengal,


dan sosial secara menyeluruh yang berhubungan dengan sistem reproduksi berikut
fungsi dan prosesnya14. Untuk mencapai kesehatan reproduksi, setidaknya ada 12
indikator yang harus dipenuhi, yakni: a. Hak untuk mendapat informasi dan
pendidikan kesehatan reproduksi, b. Hak untuk mendapat pelayanan dan
perlindungan kesehatan reproduksi, c. Hak untuk kebebasan berpikir tentang hak
reproduksi, d. Hak untuk menentukan jumlah anak dan jarak kelahiran, e. Hak untuk
hidup, yaitu hak untuk dilindungi dari kematian karena kehamilan dan proses
melahirkan, f. Hak atas kebebasan dan keamanan berkaitan dengan kehidupan
reproduksi, g. Hak untuk bebas dari penganiayaan dan perlakuan buruk, termasuk
perlindungan dari perkosaan, kekerasan, penyiksaan, dan pelecehan seksual, h. Hak
untuk mendapatkan manfaat dari kemajuan ilmu pengetahuan yang terkait dengan
kesehatan reproduksi, i. Hak atas kerahasiaan pribadi dengan kehidupan
reproduksinya, j. Hak untuk membangun dan merencanakan keluarga, k. Hak atas
kebebasan berkumpul dan berpartisipasi dalam politik yang berkaitan dengan
kesehatan reproduksi, dan l. Hak untuk bebas dari segala diskriminasi dalam
kehidupan berkeluarga dan kehidupan reproduksi.
Berdasarkan syarat-syarat tersebut, seharusnya perempuan memiliki hak atas
otoritas dirinya sendiri. Namun patriarki membuat perempuan kehilangan otoritas
atas dirinya sendiri. Foucault menciptakan sebuah kosa kata untuk mendeskripsikan
14
Konferensi Internasional Kependudukan dan Pembangunan/ ICPD, Kairo 1994

14
kondisi eksistensi perempuan dan minoritas seksual sebagai docile body atau tubuh
yang dijinakkan. Untuk menguasai perempuan, tubuh perempuan harus dijinakkan
dalam “diam”, ketidakberdayaan, ang terus menerus dipaksakan hingga perempuan
itu sendiri tidak menyadarinya dan menerima hal tersebut sebagai status. Hal ini
terlihat dalam hingar bingar iklan-iklan yang muncul, sang penindas sulit untuk
dijumpai karena mereka tampil dalam identitas semu dengan idealitas kebohongan
yang dinarasikan dan divisualisasikan dalam media via iklan-iklan. Meski
perempuan bebas pergi kemana-mana namun mereka tak lepas dari bentuk idealisasi
seperti putih, langsing, rambut lurus, wangi, dan juga pembalut.
Produk yang paling cenderung digunakan oleh perempuan adalah pembalut
sekali pakai. Pembalut sekali pakai atau disebut juga dengan disposable menstrual
pad adalah produk penyerap darah menstruasi yang terbuat dari bantalan kapas
dengan bentuk persegi panjang yang biasanya digunakan dengan cara ditempelkan
pada bagian dalam celana dalam wanita (Swari, 2020). Berdasarkan survey online
yang dilakukan dalam penelitian tentang A Study into Public Awareness of the
Environmental Impact of Menstrual Products and Product Choice (2019), dari 289
responden dari UK sebanyak 30,8% menggunakan pembalut sekali pakai yang
berbahan non- organic dan 3,7% menggunakan pembalut sekali pakai yang bersifat
organik dimana pembalut ini
memiliki proporsi penggunaan yang paling banyak digunakan oleh responden
dibanding produk menstruasi lainnya.
Begitupun di Indonesia, pembalut sekali pakai masih menjadi pembalut
primadona yang cenderung digunakan oleh perempuan di Indonesia karena
harganya yang cenderung terjangkau dan mudah ditemukan. Jeanny Primasari
selaku Founder dari Zero Waste Nusantara dalam acara #NewPeriodIndonesia :
Introduction To a Menstrual Cup yang diadakan di ConClave, Jakarta Selatan pada
tanggal 23 Februari 2019 yang lalu mengungkapkan lebih lanjut alasan mengapa
pembalut menjadi pilihan produk menstruasi yang paling banyak dipakai karena
pembalut sekali pakai itu cukup praktis penggunaannya, memiliki daya serap yang

15
tinggi, memiliki harga yang terjangkau dan mudah ditemukan. Namun dibalik
kepraktisannya, ternyata ada beberapa hal yang menjadi perhatian terkait
penggunaan pembalut sekali pakai ini dari sisi biaya, lingkungan dan kesehatan.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Women’s Voices for the Earth
tahun2014 terdapat beberapa jenis kandungan kimia yang berbahaya bagi kesehatan
pada pembalut sekali pakai seperti kandungan Aseton, Styrene, Chloromethane,
Ethyl Chloride yang dapat menyebabkan resiko kanker, iritasi, gangguan sistem
reproduksi, dan gangguan kesehatan lainnya (Kartika, 2020). Alexandra Scraton
selaku Direktur Sains dan Riset dari Women Voices for the Earth menuturkan
bahwa produk pembalut sering kali tidak transparan terhadap kandungan pada
produknya (Kartika, 2020). Selain memiliki dampak negatif bagi kesehatan,
pembalut sekali pakai juga memiliki dampak negatif bagi lingkungan. Dengan rata-
rata penggunaannya per perempuan 4 lembar pembalut sehari dikali 6 hari rata- rata
periode menstruasi maka dalam sebulan akan terkumpul sebanyak 24 limbah
pembalut sekali pakai dan jika dikalikan dengan total penduduk perempuan di
Indonesia maka dalam sehari dapat terkumpul limbah pembalut mencapai 26 ton
(Elmira, 2019). Dengan tingkat limbah pembalut yang sangat besar yang bisa
dihasilkan dalam 1 hari, maka tentu hal ini mengkhawatirkan bagi lingkungan
karena limbah yang mengandung bahan kimia yang berbahaya bagi tubuh manusia
juga pasti akan membahayakan ekosistem lainnya (Sasetyaningtyas, 2018).
Penelitian menemukan gadis di wilayah pedalama masih memiliki akses
yang sedikit untuk membeli kebutuhannya pada saat siklus terjadi. Mereka masih
menggunakan kain bekas, tissue,katun, kain karpet, atau kombinasinya untuk
mengatasi siklus bulananya. Bagi gadis yang telah mengetahui mengenai pembalut
dan mampu untuk mebelinya, memilih untuk membeli pembalut conventional. Yang
mana yang sering dijumpai adalah pembalut plastik. Pembalut jenis ini, ketika
dibersihkan silikon tersebut akan membengkak dan menyebabkan penyumbatan
limbah. Produk sanitasi dengan darah perempuan yang memiliki penyait menular
seperti HIV dan Aids juga bisa bertahan di tanah atau air mengingat sifat

16
patogennya yang mampu bertahan hingga 6 bulan. Pembakaran merupakan cara lain
yang sering digunakan untuk mengatasi limbah pembalut, namun gas yang
dihasilkan dari pembakaran dapat mempengaruhi kesehatan dan juga lingkungan.
Secara historis, perempuan seringkali merasa malu mengenai siklusnya,hal
ini didasari oleh sistem patriarki yang masih sangat kuat. Dengan masih adanya tabu
dan mitos mengenai menstruasi, sulit bagi kita untuk membahas mengenai
alternatif lain untuk mengatasi pendarahan selama siklus menstruasi ini terjadi.
Feminis mengkritik klaim bahwa pembalut sekali pakai adalah hal yang
memalukan dan menstruasi merupakan permasalahan kebersihan yang seharusnya
ditutupi. Keberanian ini merupakan bentuk perlawanan terhadap patriarki dan
kebebasan perempuan.
Keinginan perusahaan untuk menaikkan keuntungan menjadi salah satu alasan
mengapa pembalut plastik masih marak digunakan hingga saat ini dibanding jenis
pembalut lainnya seperti menstrual cup dan reusable pads. Dengan maraknya
penjualan pembalut sekali pakai, kaum kapitalis akan mendapatkam keuntungan
yang lebih besar karena setiap bulannya perempuan harus membeli pembalut ketika
tiba siklusnya. Meski reusable menstrual pads dibuat tidak jauh dari penemuan
pembalut sekali pakai,namun penjualannya tidak semelejit pembalut sekali pakai.
Hal ini diperkirakan karena secara harga dan jumlah dipasaran, reusable pad dan
menstrual cup berjumlah lebih sedikit dibandingkan dengan pembalut sekali pakai.
Ketergantungan merupakan hal yang esensial dalam bisnis. Hal terpenting
adalah pengguna produk mentruasi haru yakin dengan produk yang mereka beli
dapat “bekerja” dengan baik. Bila dilihat dengan faktor sosial,produk tersebut harus
mampu menahan pendarahan dengan baik agar terhindar dari rasa malu ketika
pembalut bocor dan perasaan tidak nyaman. Jika sebuah produk dapat
membukktikan hal tersebut, maka pelanggan setia akan terus membeli produk
tersebut setiap kali siklusnya datang. Kemudahan mendapat produk juga hal yang
penting dalam keputusan seseorang membeli pembalut. Karena siklusnya yang
datang setiap sebulan sekali tentunya penting untuk dapat mendapatkan pembalut

17
dengan mudah. Dapat dilihat juga melalui strategi pengiklanannya. Jumlah iklan
pembalut sekali pakai lebih banyak kita temukan dibanding jenis pembalut lainya.
Hal ini memberi gambaran pada para penonton mengenai konsep bagaimana
seharusnya para perempuan bersikap selama masa menstruasi. Iklan ini
mengandung ambiguitas karena berusaha menabrak tabu mengenai pembalut namun
tetap. Mendukung hal-hal tabu lainnya seperti perasaan malu ketika pendarahan
tersebut terlihat. Hal-hal tersebutlah yang menjadi alasan tetap maraknya pembalut
sekali pakai meski sudah mengetahui dampaknya pada lingkungan.

3. Ekofeminsime dan Marginalisasi Perempuan Dunia Ketiga

Ekofeminisme merupakan suatu aliran baru, baik dalam filsafat lingkungan


maupun feminisme sebagai variasi etika ekologis. Ekofeminisme mulai diakui
sebagai suatu aliran yang tergabung dalam feminisme pada dekade 80-an. Istilah
ekofeminisme secara etimologi berasal darikata ekologi dan feminisme, yang berarti
pemikiran perempuan untuk menuntt persamaan posisi laki-laki dan perempuan
dengan berlandaskan permasalahan lingkungan. Ekofeminisme sama dengan
gerakan feminis lainnya yang mana tidak hanya merupakan suatu aliran namun juga
gerakan politik. Istilah ekofeminisme sendiri diperkenalkan oleh Francoise
d’Eaubonne pada tahun 1974. Tradisi patriarki dalam analisis feminisme melahirkan
tafsir bahwa alam memiliki gerak dan sifat mirip dengan perempuan. Alam
diibaratkan sebagai perempuan yang selalu memberi tanpa mengharapkan balasan,
melahirkan banyak makann bagi manusia, dan memiliki kekuatan tersembunyi
dibalik kelemahlembutannya. Sehingga berkembanglah konsep metafore ibu bumi.
Namun, harusnya pemikiran ini dihentikan karena seluruh penghuni bumi harusnya
merawat bumi bukan hanya perempuan.
Dalam menelaah permasalah pembalut sekali pakai meenggunakan teori
ekofeminisme adalah dengan membayangkan perasaan senasib antara bumi dengan
perempuan yang keduanya sama-sama direpresi oleh sistem patriarki. Manusia

18
(yang mana dianggap laki-laki) menganggap dirinya lebih superior dibanding bumi
karena bumi selalu menyediakan segal kebutuhannya, sehingga ia bertindak
semena-mena. Begitu pula dengan sistempatriarki yang menciptaka tabu dan mitos
mengenai menstruasi. Hal ini berakibat pada perempuan yang merasa malu terhadap
hal alamiah yang terjadi pada tubuhnya dan meyakini mitos yang beredar. Padahal
hal tersebut merupakan hal yang umum dan normal dialami oleh setiap perempuan.
Dalam bukunya yang berjudul Ecofeminism, Vandana Shiva menjelaskan
sejarah penjajahan yang dilakukan negara kulit putih terhadap negara Selatan.
Karena merasa dirinya superior, mereka merasa bertanggungjawab atas masa depan
bumi dan komunitas budaya lainnya. Namun faktanya, tanggungjawab tersebut
telah menghasilkan banyak kerusakan lingkungan dan menyebabkan kemiskinan.
Sedangkan di sisi lain, perempuan negara Selatan justru terlibat aktif dalam aksi
penyelamatan lingkungan
Kapitalisme merupakan. Salah satu bentuk dari patriarki. Dengan
kapitalisme produk menstruasi pemikiran perempuan semakin direpresi dengan
munculnya iklan-iklan pembalut sekali paka yang lebih marak ditemukan. Produksi
pembalut sekali pakai yang lebih banyak dan mudah ditemukan serta memiliki
berbagai macam ukuran, aroma,dan jenis sehingga membuat perempuan merasa
lebih fleksibel dan nyaman dengan pembalut sekali pakai meski mereka tau
mengenai dampak dari pembalut sekali pakai terhadap alam. Namun, masyarakat
dunia ketiga (masyarakat lokal, masyarakat miskin, dan kaum perempuan) yang
justru menjadi korban dari kerusakan lingkungan dan yang harus menanggung
beban sebagai kelompok yang dipersalahkan.
Perempuan seharusnya memilih pembalut berdasarkan kenyamanannya,
bukan karena faktor nilai patriarki dan itos-mitos yang beredar karena
perempuanlah yang memiliki pengalaman menstruasi. Perempuan lah yang
memiliki kendali atas tubuhnya sehingga seharusnya perempuanlah yang
menentukan pembalut jenis apa yang terbaik untuknya. Kedekatann perempuan
dengan alam seharusnya dapat dijadikan salah satu faktor pertimbangan dalam

19
memilih pembalut. Kedekatan perempuan dengan alam seharusnya membuat
perempuan merasa lebih ingin melindungi alam dan bukan malah menambah
kerusakan yang ada di alam. Segala bentuk patriarki haruslah dilawan, pada kali ini
konteksnya adalah mengenai mitos mengenai darah menstruasi yang merupakan
bentuk opresi terhadap perempuan dan opresi terhadap alam.

KESIMPULAN
Menstruasi merupakan hal biologis yang terjadi pada perempuan dan hal ini
normal serta wajar. Namun, mitos mengenai menstruasi dan perasaan sentimental
terhadap darah membuat mitos mengenai menstruasi sulit untuk dihilangkan. Mitos-
mitos tersebut antara lain adalah darah yang kotor, kutukan dari Tuhan, penyakit,
dan lain sebagainya. Perasaan sentimental bahwa darah identik dengann kematian
dan kutukan melatarbelakangi mitos ini. Selain itu, terdapat pandangan lain
mengapa menstruasi dianggap tabu. Patriarki membuat mitos-mitos ini terus
berlanjut karena lelaki ingin terus mengopresi. Dan membatasi ruang untuk
perempuan. Akibat dari mitos ini adalah maraknya peggunaan pembalut plastik
yang sangat populer. Kapitalisme membuat maraknya penjualan pembalut plastik
dan pengiklanan pembaut yang menampilkan citra bahwa pembalut plastik adalah
yang paling terbaik. Sehingga pemakaian pembalut plastik masih marah dilakukan
kaum perempuan meski membawa banyak dampak buruk pada alam. Reproduksi
pengetahuan tidak pernah bebas nilai, namun selalu dikonstruksi oleh kelompok
yang berkuasa, sehingga kajian feminisme pascakolonial menemukan relevansi
untukmendekonstruksi reproduksi pengetahuan bagi kelompok subordinat (lokal,
miskin, dan perempuan) di dunia ketiga. Shiva yang menyatakan bahwa relasi
sejajar antara ilmu pengetahuan, teknologi, dan masyarakat tidak akan lagi simetris
akibat adanya satu bagian dari masyarakat yang memonopoli keuntungan dan
pengetahuan. Sedangkan kaum ketiga justru harus menanggung bebas kerusakan
ekologis yang disebabkan oleh industri kapitalisme.

20
Daftar Pustaka
Abdullah, Irwan. 2002. Mitos Menstruasi : Konstruksi Budaya Atas Realitas Gender.
Humaniora. Vol. 14, No.1 Februari 2002, h. 35
Davies, Shelby dan Grace Clarke. 2021. Period Poverty: The Public Health Crisis We
Don’t Talk About diakses melalui https://policylab.chop.edu/blog/period-poverty-public-
health-crisis-we-dont-talk-about .
Fujianti, Manik. 2016. Seksualitas Perempuan dalam Budaya Patriarki”. Muwazah, Vol.8,
No.1

21
Ghosh, Isita. 2020. Environmental Perspective on Menstrual Hygiene Management Along
with the Movement towards Biodegradability: A mini-Review.. 1(5): 122-126
Haneman, Victoria. 2019 Menstrual Capitalism, Period Poverty, and The Role Of The B
Corporration.
https://poseidon01.ssrn.com/delivery.php?ID=891007123000&EXT=pdf&INDEX=TRUE
Indriastuti, Putri 2009. Hubungan ANtara Pengetahuan Kesehatan Reproduksi dengan
Perilaku Higienis pada remaja puteri. Muhammadiyah Surakarta
Peberdy, Alezabeth; Jones, Aled; Green, Danielle. 2019. A Study into Public Awareness of
the Environmntal Impact of Menstrual Products and Product Choice. Cambridge.
Ponda, Aurora. 2021. Asal-usul Ekofeminisme : Budaya Patriarki dan Sejarah Feminisasi
Alam. Hal .41-42, 54
Warashinta, DL 2021.. Analysisi of The Use of Menstrual Pad, Tampons, and Menstrual
Cup During Menarche. Diakses via
https://jochapm.ub.ac.id/index.php/jochapm/article/view/15
Widyastuti, Yani. Kesehatan Reproduksi. Yogyakarta:Fitramaya. 2009
Rapp, Ashley. Kilpatrick, Sidonie. 2020. Changing The Cycle: Period Poverty as a Public
Health Crisis. diaksesvia https://sph.umich.edu/pursuit/2020posts/period-poverty.html
pada 21 Novmber 2021.
Sherry B. Ortner. “Is Female to Male as Nature is to Culture?”. Feminist Studies2 (Fall
1972): 5-31
Woro, Stephanie. 2016. Sejarah Iklan. Pembalut dalam Majalah Femina dan Gadis : Studi
Citra Perempuuan Periode 1977-2000. Hal 18-22

22

Anda mungkin juga menyukai