Anda di halaman 1dari 4

QUALIA

I. KUTUKAN QUALIA
Kalimat yang paling sering digunakan oleh filosof dalam menerjemahkan tema sentral qualia
adalah “how it feels like”, atau “bagaimana rasanya”. Qualia seringkali menjadi ujung buntu
dalam perang gagasan dalam diskursus Philosophy of Mind yang berusaha menjelaskan
bagaimana dualisme mind dan body bekerja. Qualia terkesan elusif untuk dijelaskan karena
sifatnya yang sangat kualitatif-subjektif dan privat dalam kesadaran manusia.
Karena hal tersebut, teori-teori berbasis fisikalisme dalam diskursus Philosophy of Mind
menolak untuk membicarakan qualia. Kubu Teori Identitas misalnya, meninggalkan persoalan
qualia begitu saja karena qualia tidak dapat dijelaskan melalui mekanisme berbasis neural (fisik).
Di tempat lain, Eliminativisme bukan hanya meninggalkan qualia, tetapi juga menghapus qualia
sama sekali dari diskursusnya. Meskipun kedua kubu ini bisa saja menjelaskan kapasitas mind
dengan bahasa yang ilmiah, dan rasanya dapat dimengerti mengapa pembahasan qualia
dikeluarkan dari diskursus mereka, celakanya qualia tidak bisa dilenyapkan begitu saja.

II. QUALIA DAN DILEMA METAFISIKA DUALISME


Terdapat perdebatan panjang dalam dualisme properti mengenai status ontologis qualia,
yaitu antara merupakan “entitas” yang spasial atau nonspasial. Persoalannya, jika qualia bersifat
non-fisikal serta bukan merupakan entitas spasial, akan sulitlah untuk melihat hubungan
kausalitas dengan otak dalam menjelaskan terjadinya qualia. Tetapi jika qualia bersifat non-
fisikal serta merupakan entitas spasial, maka persoalan yang timbul adalah hilangnya akses
orang pertama atau tidak relevannya phenomenal consciousness pada qualia. Singkatnya, ibarat
makan buah simalakama klaim dualisme manapun merupakan hal yang problematis.
II.1 Qualia non-spasial
Dalam pandangan dualisme, qualia haruslah merupakan entitas yang non-spasial.
Dengan kata lain, tidak ada lokasi khusus secara spasial yang bisa ditunjuk pada body. Namun
sebagaimana yang telah dijelaskan, qualia⎯atau quale token⎯jelas merupakan entitas yang
temporal atau sesuatu yang bersifat “in time” dan memiliki durasi, atau dengan kata lain qualia
merupakan sesuatu yang datang dan pergi. Klaim ini setidaknya menimbulkan tiga persoalan,
yaitu persoalan fisika kontemporer, atribusi properti, dan individuasi (individuation).
Fisika Kontemporer: Qualia atau quale token merupakan sensasi yang bersifat temporal.
Dengan kata lain, dalam fisika kontemporer qualia tidaklah berdiri di luar waktu ( do not stand
wholly outside of time). Teori relativitas Einstein menyatakan bahwa realitas dibangun dari three-
dimensional space dan one-dimensional time; poin yang hendak disampaikan adalah, kita tidak
dapat memisahkan dimensi ruang dan waktu karena keduanya merupakan sebuah jalinan
kesatuan realitas. Dengan demikian akan sangat masuk akal ketika saya mengatakan bahwa
saya merasa sakit kepala (rasa X) pada t1, yang secara tidak langsung menyaratkan bahwa hal
yang temporal pastilah bersifat spasial.
Atribusi Properti: Sulit untuk menunjuk quale token dalam klaim dualisme berbasis non-
spasial dengan merujuk pada counter argument bahwa jika rasa X memiliki t1, maka X pastilah
bersifat spasial. Klaim tentang status ontologis qualia yang diusung oleh dualis kontemporer
adalah bahwa quale token merupakan entitas non-spasial dari objek fisikal, yaitu otak. Jika klaim
ini benar, maka qualia sebagai “properti” entitas fisik (otak), maka wilayah ontologi qualia
haruslah berada “dekat” dengan otak. Jika kita mengatribusikan qualia sebagai properti objek
fisikal—yaitu otak, dan spatial location tersebut menentukan objek apa yang memiliki properti
apa, maka qualia haruslah berada pada lokasi spasial tertentu pada/ dalam/ di objek fisikal.

1
Individuasi: Persoalan qualia lainnya ada pada type dan token, dan untuk menempatkan
qualia pada tataran ontologis diperlukan individuasi atau pembeda antara qualia X dan qualia Y
(type), dan qualia merah A dan qualia merah B (token). Jaegwon Kim menyebut masalah ini
sebagai “pairing problem”. Pairing problem adalah bagaimana kita melihat entitas fisik A
menyebabkan qualia A dan entitas fisik B menyebabkan qualia B, tetapi tidak ada entitas fisik A
yang menyebabkan qualia B. Untuk itu menurut Kim diperlukan individuasi untuk membedakan
kedua qualia tersebut. Sebab, tanpa adanya individuasi tersebut, dualisme akan jatuh kepada
klaim absurd seperti qualia merah saya secara numerik (ingat prinsip Teori Identitas) sama
seperti qualia merah Anda, atau rasa senang sama seperti rasa sedih, atau ekstrimnya, qualia
tipe merah sama dengan entitas meja.
Kesimpulan: Kubu dualis yang percaya bahwa qualia merupakan qualia merupakan
entitas yang non-spasial; dengan demikian tidak ada lokasi spasial yang dapat ditunjuk. Klaim
ini problematis mengingat qualia bersifat temporal, dan menurut hukum fisika, jika entitas
bersifat temporal maka ia harus bersifat spasial karena dimensi ruang dan waktu tidak dapat
dipisahkan. Jika qualia tidak bersifat spasial, maka bagaimana dualis dapat menyelesaikan
masalah atribut quale terhadap entitas fisik otak? Dan bagaimana menyelesaikan masalah
individuasi dan pairing problem yang dikemukakan oleh Kim? Kubu dualis juga akan kesulitan
untuk menjawab hubungan dependen antara mengapa entitas fisik A menimbulkan qualia A dan
entitas fisik B menimbulkan qualia B, tetapi tidak pernah entitas fisik A menimbulkan qualia B
dan sebaliknya.
II.2 Qualia spasial
Klaim bahwa qualia merupakan entitas yang spasial bukan berarti klaim yang bebas
dari masalah dan merupakan the ultimate truth mengenai masalah ontologi qualia. Jika qualia
bersifat spasial, maka qualia pasti berada di suatu tempat tertentu di otak. Para fisikalis
seharusnya dapat dengan mudah menunjuk jika qualia berada di otak kanan atau otak kiri, atau
di otak kecil. Namun, para pendukung Teori Identitas yang mengklaim bahwa mind—atau
mental—identik dengan brain tidak bisa menunjuk lokasi qualia pada otak.
Masalah lain yang ditemui oleh klaim bahwa qualia bersifat spasial tidak jauh berbeda
dengan klaim bahwa qualia bersifat non-spasial, yaitu masalah individuasi. Qualia type rasa
manis dan rasa bahagia tampaknya dapat berinteraksi satu sama lain, tetapi bagaimana dengan
interaksi kausal qualia dengan objek fisikal? Klaim dualis akan mengatakan bahwa dua token
qualia yang sama secara numerik tidak akan bisa berada pada ruang yang sama. Hanya satu
token qualia yang bisa menempati satu lokasi spesifik, atau istilah lainnya adalah bahwa qualia
merupakan impenetrable matter yang memiliki daya dorong kausal.

III. QUALIA DAN PHENOMENAL CONCEPT


Seperti yang telah disinggung sebelumnya, salah satu permasalahan terbesar qualia adalah
sifatnya yang elusif bahkan hampir mustahil untuk dibuktikan secara ontologis. Qualia, layaknya
hantu, keberadaannya hanya kita percayai secara intuitif begitu saja. Seiring dengan makin
populernya ilmu fisikal seperti neurosains dan sains kognitif, Philosophy of Mind pun makin
mengarah kepada upaya pembuktian qualia. Salah satu upaya tersebut dengan melalui
argumentasi phenomenal concept.
Thought experiment Frank Jackson tentang Mary “Sang Ahli Warna” menunjukkan bahwa
konsep fisikal mengenai warna merah sebagai knowledge tidak sama dengan phenomenal concept
mengenai warna merah sebagai pengalaman sadar ketika Mary melihat langsung warna merah
pada mawar untuk pertama kalinya. Singkatnya, percobaan Jackson tersebut menunjukkan ada
sesuatu yang salah pada fisikalisme. Dengan kata lain phenomenal truth tidak bersifat a priori
prior to physical truth.
Membicarakan qualia berarti membicarakan pengalaman sadar, dan tampaknya epistemic
gap antara konsep fisikal dan phenomenal concept dapat dibahas melalui persoalan kesadaran.

2
Mary yang mendapatkan pengetahuan yang diikuti oleh raw feeling (qualia) berwarna merah
disebut sebagai phenomenal knowledge. Phenomenal knowledge ini hanya bisa dirasakan melalui
experience of being in the relevant phenomenal, yaitu melalui kesadaran.
Ketika seseorang tahu bahwa ia sedang mengalami qualia merah, artinya ia sadar (aware)
dan melakukan introspeksi atas pengalaman tersebut. Selain aware dan introspeksi, mengalami
qualia merah juga melibatkan belief; yaitu percaya bahwa ia sedang mengalami qualia merah.
Mengalami qualia adalah satu-satunya cara untuk mendapatkan pengetahuan mengenai qualia,
dan inilah distingsi krusial yang membedakan antara phenomenal truth dan physical truth.
Karena objek dari phenomenal truth bersifat intrinsik dan subjektif, serta merupakan
phenomenal property dari kesadaran, maka segala bentuk informasi deskriptif yang cukup untuk
memberikan pengetahuan baru tentang physical knowledge pada akhirnya dapat memberikan
phenomenal knowledge. Dengan demikian, dari situ kita dapat menyimpulkan bahwa phenomenal
knowledge hanya dan harus diperoleh melalui cara introspeksi.
Kembali kepada kasus Mary, kita tentu dengan mudahnya membedakan qualia sebagai
phenomenal meaning yang didapatkan dari pengalaman sadar mempersepsi mawar merah dan
non-phenomenal concept mengenai warna merah yang diketahui Mary (teori warna merah seperti
gelombang, efek neural pada otak, dst.). Sebelum keluar dari ruangannya yang hanya berwarna
hitam putih, Mary memiliki semua fakta-fakta non-phenomenal mengenai warna merah. Hanya
ketika Mary bersentuhan langsung dengan objek mawar merah dan mempersepsinya secara
sadar, Mary mendapatkan pengetahuan baru mengenai properti objek tersebut yaitu qualia
merah.
Poin utama yang hendak disampaikan adalah, perdebatan mengenai pembuktian qualia
secara fisikal hingga saat ini memang belum menemukan titik terang. Namun pada kasus Mary,
sebagian filsuf merasa bahwa mendapati pengetahuan atas phenomenal concept mengenai raw
feeling atau qualia merah cukup membuktikan bahwa qualia memang ada. Argumentasi ini
meskipun sulit untuk dibuktikan, tetapi sangat sulit juga untuk dibantah. Dan seperti yang
sudah-sudah, dalam Philosophy of Mind khususnya, tidak pernah ada persoalan yang benar-benar
selesai.

IV. ANTI QUALIA


Daniel Dennett dan Henri Bergson merupakan dua filsuf mind yang banyak menghabiskan
energi mereka untuk memperdebatkan persoalan qualia. Perlu diluruskan bahwa Dennett
bukannya tidak percaya pada qualia, tetapi keberatan terbesar Dennett pada diskursus qualia
adalah bahwa qualia merupakan hal yang tidak ilmiah. Qualia adalah sebuah term yang dibuat-
buat oleh para filsuf untuk membicarakan sesuatu yang mustahil untuk dibuktikan; dan hal ini
merupakan suatu hal yang sia-sia,
Bergson melihat bahwa persepsi sebagai entitas epistemik intelek. Dengan kata lain,
informasi yang kita terima melalui panca indera memberikan kita atom-atom epistemik yang
membentuk jalinan propositional knowledge. Dennett dan sejumlah percobaan yang dilakukan
oleh ilmu kognitif membuktikan bahwa makhluk, bahkan robot, dapat memiliki pengetahuan
melalui “panca indera” mereka.
Universitas Stanford, misalnya, pada tahun 1960-an menciptakan robot yang diprogram
untuk mengenali bentuk-bentuk geometrikal. Dari percobaan itu, robot tersebut dapat berjalan
dan mengorientasikan gerakannya mengelilingi ruangan. Robot tersebut bahkan dapat
menghindari dan mengeliminir objek-objek yang menghalangi mobilitasnya. Selain itu, penelitian
ilmu kognitif juga melihat bagaimana perilaku semut yang dapat menavigasi mobilitas mereka
dari lubang satu ke lubang lainnya dengan melacak senyawa kimia yang ditinggalkan semut di
depannya. Senyawa kimia tersebut menunjukkan arah bagi semut di belakangnya kemana
mereka harus pergi.

3
Persoalan pada qualia menurut kubu pemikir seperti Dennett dan Bergson adalah bahwa
pembahasannya yang berbelit-belit, sementara senses perception dapat dijelaskan secara ilmiah
tanpa harus diperkeruh oleh variabel phenomenal. Melihat cahaya, misalnya, adalah sebuah
kejadian dimana photon masuk ke sel-sel di dalam mata yang menyebabkan reaksi elektrik dan
kimia. informasi tersebut diteruskan ke syaraf optik lalu kepada otak dan otak akan memroses
hal tersebut sebagai “kejadian melihat cahaya terang”. Photon sendiri bukanlah hal yang bersifat
ex-nihilo; ia berasal dari pijaran LED yang berasal dari energi baterai dan seterusnya.
Kejadian yang seharusnya mudah untuk dijelaskan secara fisikal ini diperkeruh oleh klaim-
klaim elusif seperti “phenomenal experience”. Padahal kejadian tersebut, menurut Bergson, dapat
disederhanakan sebagai “mata saya melihat cahaya”; tidak ada yang ajaib dan mistis dalam
kejadian ini selain kompleksitas kerja sistem neural, yang meskipun kompleks tetap lebih
menjanjikan. Maka bagi Dennett, ketika filsafat mengatakan bahwa “inilah qualia saya!”, secara
tidak sadar sebetulnya sedang menunjuk kepada kompleksitas mekanisme neural pada otak,
bukan pada sebuah sesuatu yang maha privat, warna merah yang homogen.

V. KESIMPULAN
Suka atau tidak suka, tampaknya qualia dan buntut permasalahannya yang panjang akan
tetap bercokol kuat dalam diskursus Philosophy of Mind, khususnya persoalan ontologinya.
Dualisme mind dan body pun hingga saat ini belum menemukan titik temu yang menjadikannya
sebagai sebuah singularitas mengenai bagaimana kesadaran dan dimensi-dimensi intrinsik
manusia bekerja. Mungkin untuk sementara waktu, paralelisme merupakan alternatif yang
paling aman dalam perdebatan antara pendukung mind dan para monisme fisikalis.
Berkaca pada perdebatan qualia, membuktikan adanya qualia sama sulitnya seperti
membuktikan adanya hantu; hanya orang-orang yang percaya bahwa mereka pernah
mengalaminya yang bisa berbicara, sementara yang tidak percaya akan menolak untuk
membicarakannya. Mungkin qualia memang sebuah impenetrable matter yang berada di luar
ruang spasial yang memiliki kekuatan kausal, mungkin juga qualia merupakan kompleksitas
mekanisme neural yang tidak berdiam pada satu titik spesifik, melainkan sesuatu yang holistik.
Namun apa pun itu, qualia tetap sebuah misteri yang hingga saat ini tidak kehilangan pamornya
dalam diskursus Philosopy of Mind.

*****

Anda mungkin juga menyukai