Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH PERILAKU KEORGANISASIAN

“Kekuasaan dan Politik”

Dosen Pengampu : Ihsan Guntur, SS,. M. Si

Disusun Oleh :

1. Derla Febrianti Putri (19 110 038)


2. Ririn Novianti Rajab M (19 110 028)
3. Oktovianus Yem Seran (19 110 033)
4. Fadila La Jere (19 110 031)

SEKOLAH TINGGI ILMU MANAJEMEN LEMBAGA PENDIDIKAN


INDONESIA

2021/2022
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, kita sering
mendengar kata kekuasaan dan politik, kedua kata ini sering dihubungkan
satu sama lain. Namun, untuk memahami tentang apa itu kekuasaan dan
politik, serta apa hubungan di antara keduanya, memerlukan pembahasan
yang luas dan terperinci. Hal ini dilakukan agar tidak terjadi kesalahan dalam
mengartikan dan menggunakannya. Jika kita melakukan sesuatu tanpa ilmu,
kita bisa mencelakakan diri kita sendiri, bahkan orang lain.
Begitu pula dengan kekuasaan dan politik, di Indonesia tidak sedikit
yang memandang bahwa kekuasaan dapat diperoleh melalui politik. Atau
dengan kata lain, politik adalah jalan untuk mencapai kekuasaan. Pandangan
seperti itulah yang menyebabkan begitu banyak orang mendalami dunia
politik hanya demi mendapatkan kekuasaan. Banyak orang yang mengejar
kekuasaan tanpa memahami apa sesungguhnya dan bagaimana cara
menggunakan kekuasaan yang dimilikinya. Banyak orang pula yang akhirnya
menganggap bahwa politik itu sesuatu yang tidak baik. Untuk itu, pemahaman
yang benar mengenai kekuasaan dan politik sangatlah penting.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan di atas,
timbul permasalah-permasalah yang dirumuskan dalam makalah ini, di
antaranya sebagai berikut:
1. Apa hakekat dari kekuasaan?
2. Apa hakekat dari politik?
3. Seperti apakah hubungan antara kekuasaan dan politik?

C. Tujuan
1. Mengetahui hakekat dari kekuasaan.
2. Mengetahui hakekat dari politik.
3. Mengetahui hubungan antara kekuasaan dan politik.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Defenisi Kekuasaan dalam Organisasi


Gilbert W. Fairholm mendefinisikan kekuasaan sebagai “kemampuan
individu untuk mencapai tujuannya saat berhubungan dengan orang lain,
bahkan ketika dihadapkan pada penolakan mereka.”[1] Fairholm lalu merinci
sejumlah gagasan penting dalam penggunaan kekuasaan secara sistematik
dengan menakankan bahwa kapasitas personal-lah yang membuat pengguna
kekuasaan bisa melakukan persaingan dengan orang lain.
Kekuasaan adalah gagasan politik yang berkisar pada sejumlah
karakteristik. Karakteristik tersebut mengelaborasi kekuasaan selaku alat
yang digunakan seseorang, yaitu pemimpin (juga pengikut) gunakan dalam
hubungan interpersonalnya. Karakter kekuasaan, menurut Fairholm adalah:
1) Kekuasaan bersifat sengaja, karena meliputi kehendak, bukan sekadar
tindakan acak;
2) Kekuasaan adalah alat (instrumen), ia adalah alat guna mencapai
tujuan;
3) Kekuasaan bersifat terbatas, ia diukur dan diperbandingkan di aneka
situasi atau dideteksi kemunculannya;
4) Kekuasaan melibatkan kebergantungan, terdapat kebebasan atau
faktor kebergantungan-ketidakbergantungan yang melekat pada
penggunaan kekuasaan.
5) Kekuasaan adalah gagasan bertindak, ia bersifat samar dan tidak
selalu dimiliki;
6) Kekuasaan ditentukan dalam istilah hasil, hasil menentukan kekuasaan
yang kita miliki;
7) Kekuasaan bersifat situasional, taktik kekuasaan tertentu efektif di
suatu hubungan tertentu, bukan seluruh hubungan; dan
8) Kekuasaan didasarkan pada oposisi atau perbedaan, partai harus
berbeda sebelum mereka bisa menggunakan kekuasaan-nya.

Gareth Morgan dalam karya penelitiannya Images of Organization,


mendefinisikan kekuasaan sebagai “medium lewat mana konflik kepentingan
diselesaikan, kekuasaan mempengaruhi siapa dapat apa, kapan dan
bagaimana, kekuasaan melibatkan kemampuan mempengaruhi orang lain
untuk melakukan sesuatu yang kita kehendaki.”

Stephen P. Robbins mendefinisikan kekuasaan sebagai “kapasitas


bahwa A harus mempengaruhi perilaku B sehingga B bertindak sesuai
dengan apa yang diharapkan oleh A. Definisi Robbins menyebut suatu
“potensi” sehingga kekuasaan bisa jadi ada tetapi tidak dipergunakan. Sebab
itu, kekuasaan disebut sebagai “kapasitas” atau “potensi”.

Definisi-definisi kekuasaan yang telah disebutkan – kendati definisi itu


sendiri tidak ada yang mencukupi menurut March – mengindikasikan
pentingnya posisi kekuasaan dalam suatu organisasi. Tanpa kekuasaan,
individu akan anarkis, pemimpin tidak bergigi, sanksi tidak dipatuhi, dan
sebab itu ketiadaan kekuasaan kerap dianggap situasi chaos (kekacauan).
Ketiadaan kekuasaan dalam organisasi membuat organisasi kehilangan
konsep pengendalian dan berujung pada ketidaktercapaian tujuan organisasi,
bhkan chaos dalam organisasi.

B. Jenis Kekuasaan
Ada baiknya kita tinjau pendapat Gareth Morgan tentang sumber
kekuasaan dalam organisasi, yang menurutnya berasal dari:
1) Otoritas formal;
2) Kendali sumber daya langka;
3) Penggunaan struktur, aturan, dan kebijakan organisasi;
4) Kendali proses pembuatan keputusan;
5) Kendali pengetahuan dan informasi’
6) Kendali batasan (boundary) organisasi;
7) Kendali teknologi;
8) Aliansi interpersonal, jaringan, dan kendali atas “organisasi informal”;
9) Simbolisme dan manajemen makna (filosofi organisasi);
10)Gender dan manajemen hubungan berbasis gender;
11)Faktor-faktor struktural yang menentukan tahap-tahap tindakan; dan
12)Kekuasaan yang telah seorang miliki.

Bagi Morgan, sumber-sumber kekuasaan menyediakan para anggota


organisasi sejumlah makna berbeda untuk menggapai kepentingan mereka
serta memecahkan sekaligus melestarikan konflik dalam organisasi.

Dalam tanggapannya atas taksonomi jenis kekuasaan French and


Raven, Douglas Fairholm mengklasifikasi 10 jenis kekuasaan yang banyak
diaplikasikan hingga saat ini, yang menurutnya adalah:

1. Reward Power
Reward Power adalah kekuasaan yang didasarkan kemampuan
seseorang menyediakan keuntungan bagi sesuatu atau orang lain.
Kekuasaan mengalir dari individu yang mampu menyediakan reward yang
dibutuhkan orang lain. Kemampuan ini memungkinkan pemilik kekuasaan
mengendalikan perilaku orang lain dan mencapai hasil yang diharapkan
sejauh adanya kebutuhan orang lain tersebut akan reward yang
disediakan olehnya.
2. Coercive Power
Coercive Power adalah kekuasaan yang didasarkan atas kemampuan
seseorang menyediakan dampak hukuman pada target akibat
ketidakpatuhannya. Kekuasaan ini terletak pada kemampuan seseroang
untuk memerintahkan kepatuhan lewat cara fisik. Seperti reward,
kekuasaan jenis ini memungkinkan pemimpin mempengaruhi perilaku
orang lain akibat kemampuannya menerapkan hasil yang tidak diinginkan.
Ketidakpatuhan atas orang yang punya jenis kekuasaan koersif
menghasilkan penerapan hukuman dalam bentuk menahan reward yang
diinginkan. Ini merupakan situasi kekuasaan koersif, kekuasaan yang
mengikuti model militer.
3. Expert Power
Expert Power adalah kekuasaan yang didasarkan kemampuan dan
pengetahuan khusus yang dimiliki seseorang di mana target atau orang
lain kerap menggunakan atau bergantung kepadanya. Orang selalu
menghargai kompetensi, dan sebab itu Expert Power merupakan sumber
kekuasaan yang penting untuk diterapkan. Kekuasaan mengalir dari
orang yang punya skill, pengetahuan, dan kemampuan yang dibutuhkan
dan dihargai oleh orang lain. Jika orang merengek agar seorang pekerja
mau menggunakan skill yang ia miliki untuk membantu mereka, maka
pekerja tersebut punya kekuasaan.
4. Legitimate Power
Legitimate Power adalah kekuasaan yang didasarkan atas perasaan
orang lain bahwa pelaku kekuasaan punya otoritas dan hak untuk
mempengaruhi tindakan mereka. Perasaan ini merupakan hasil yang
diterima dari organisasi formal atau warisan historis. Kekuasaan hadir
pada mereka yang ditunjuk oleh organisasi untuk memberi perintah.
Delegasi otoritas melegitimasikan hak seseorang memaksakan
kepatuhan pada mereka yang menyatakan wajib untuk mentaati sumber
kekuasaan (organisasi). Persepsi legitimasi di benak target kekuasaan
bersifat kritis. Baru setelah target ini yakin bahwa pemberi perintah punya
hak yang legitimate untuk memerintah sajalah mereka akan patuh.
5. Identification Power with Other
Hubungan seseorang dengan orang lain yang punya kekuasaan
menular pada orang yang berhubungan tersebut. Sebab itu, kekuasaan
yang ada merujuk pada penguasa lain. Jenis kekuasaan ini bisa datang
lewat hubungan personal seperti sekretaris atau asisten administrasi yang
kerap kerja bareng boss eksekutif. Jika orang yang mendekatkan diri
dengan kekuasaan tersebut juga meniru gagasan, norma, metode, dan
tujuan dari orang berkuasa, kekuasaan orang tersebut akan bertambah.
6. Critical Power
Pada tingkat lain, seseorang berkuasa hingga derajat mana kontribusi
orang tersebut bersifat kritis bagi individu lain atau bagi organisasi.
Bilamana orang lain berhasrat pada energi, sumberdaya, dan keahlian
seseorang, hingga derajat tersebut pula ia punya kekuasaan atas mereka.
Seseorang juga menerapkan kekuasaan sejauh orang tersebut terhubung
dengan sumber daya yang mereka kuasai.
7. Social Organization Power
Sumber kekuasaan lainnya adalah organisasi sosial. Kekuasaan juga
diturunkan lewat hubungan terstruktur di mana seseorang
mengkombinasikan kekuatan individual mereka guna memenuhi tujuan
kelompok. James MacGregor Burns menyatakannya dalam kata-kata
“kekuasaan seorang pemimpin mengalir dari kekuasaan pengikut.”
Pencapaian tujuan hanya dapat terselenggara ketika satu individu
berhasil memobilisasi dan mentransformasi pengikut, yang pada
gilirannya mentransformasikan kekuasaan tersebut kepada pemimpin.
8. Power Using Power
Kekuasaan juga bisa bersumber tatkala seseorang menggunakan
kekuasaan-nya. Kekeliruan menerapkan kekuasaan dapat berakibat
hilangnya kekuasaan. Sebaliknya, penggunaan kekuasaan cenderung
meningkatkan kekuasaan itu sendiri. Persepsi dari orang lain seputar
kekeliruan seorang pengguna kekuasaan bisa menghasilkan
berkurangnya dukungan. Kekeliruan bertindak atau sering melakukan
kekuasaan secara sembrono bisa mengikis kekuasaan dan dukungan dari
orang lain yang kita butuhkan agar kekuasaan kita langgeng. Kekuasaan,
pada dirinya sendiri, adalah sumber bagi kekuasaan lainnya.
9. Charismatic Power
Karisma yang digambarkan Max Weber dan Referent Power
diidentifikasi menyediakan dasar teoretis bagi dasar kekuasaan. Orang
yang punya karisma biasanya punya personalitas menyenangkan,
menarik, dan mendorong orang mau mematuhi si pemilik karisma. Orang
yang punya kharisma biasanya ada di lingkar tengah klik-klik berpengaruh
dan punya akses pada orang-orang berpengaruh di dalam komunitas.
10. Centrality Power
Penempatan strategis individu ke dalam organisasi juga merupakan
sumber kekuasaan. Lokasi fisik di jantung kegiatan atau interaksi dengan
orang-orang berkuasa menambah perkembangan dan penggunaan efektif
dari kekuasaan. Sentralitas kekuasaan ini penting dalam konteks
kekuasaan, baik secara fisik ataupun sosial.

C. Sumber Kekuasaan
1. Kekuasaan Formal

Kekuasaan formal didasarkan pada posisi individu dalam


organisasi meliputi:
Kekuasaan paksaan (coercive power), didasarkan pada rasa
takut.Kekuasaan imbalan (reward power), adanya pemberian imbalan
yang bermanfaat.Kekuasaan hukum (legitimate power), lebih luas
daripada kekuasaan paksaan dan imbalan karena dapat mengendalikan
sumber daya organisasi.Kekuasaan informasi (information power),
berasal dari akses dan pengendalian atas informasi.

2. Kekuasaan Personal
Ada tiga dasar atau sumber dari kekuasaan personal, yaitu:
Kekuasaan pakar (expert power), didasarkan pada keahlian atau
keterampilan istimewa, dan pengetahuan.Kekuasaan rujukan (referent
power), didasarkan pada identifikasi orang yang mempunyai sumber daya
atau ciri pribadi yang diinginkan orang lain.Kekuasaan kharismatik
(charismatic power), merupakan perluasan dari kekuasaan rujukan yang
berasal dari kepribadian dan gaya interpersonal.

D. Defenisi Politik dalam Organisasi


Politik dalam organisasi adalah sesuatu yang sulit dihindarkan tatkala
organisasi terdiri atas 2 orang atau lebih. Terdapat banyak kepentingan di
dalam organisasi, langkanya sumber daya, dan tarik-menarik gagasan.
Seluruhnya membuat politik dalam organisasi menjadi konsekuensi logis
aktivitas di dalam organisasi. Bagi Robert Morgan, organisasi serupa dengan
sistem politik.[16] Politik di dalam organisasi (organizational politics) dengan
memfokuskan perhatian pada tiga konsep yaitu interest (kepentingan), konflik,
dan kekuasaan (power). Interest (kepentingan) adalah kecenderungan meraih
sasaran, nilai, kehendak, harapan, dan kecenderungan lainnya yang
membuat orang bertindak dengan satu cara ketimbang lainnya.
Politik keorganisasian muncul tatkala orang berpikir secara berbeda dan
bertindak berbeda.Perbedaan ini menciptakan ketegangan (tension) yang
harus diselesaikan lewat cara-cara politik. Cara-cara politik tersebut adalah:
a) Autocratically (secara otokratik) – > “kita lakukan dengan cara ini.”
b) Bureaucratically (secara birokratis) – > “kita disarankan melakukan
cara ini.”
c) Technocratically (secara teknokratis) – > “yang terbaik dengan cara
ini.”
d) Democratically (secara demokratis) – > “bagaimana kita
melakukannya.”

E. Defenisi Politik dan Politik Organisasi


Politik tidak sama dengan kekuasaan dan pengaruh (influence).
Ketiganya adalah konsep berbeda dan berdiri sendiri. Power atau kekuasaan
mengekspresikan kapasitas individu untuk secara sengaja menimbulkan
dampak pada orang lain. Pengaruh (influence) adalah kemampuan membuat
orang menuruti kehendak pemberi pengaruh. Politik mendasarkan diri pada
kekuasaan (kekuasaan), dan kekuasaan ini tidak terdistribusi secara merata
di dalam organisasi.
Politik adalah penggunaan power (kekuasaan) agar sesuatu tercapai.
Ketidakmenentuan dan konflik adalah alamiah dan tidak terelakkan. Politik
adalah mekanisme guna mencapai persetujuan. Politik melibatkan diskusi-
diskusi informal yang memungkinkan orang mencapai kesepakatan dan
membuat keputusan yang mungkin bisa menyelesaikan masalah ataupun
tidak.
Richard L. Daft mendefinisikan politik organisasi sebagai “ [kegiatan yang]
melibatkan kegiatan memperoleh, mengembangkan dan menggunakan
kekuasaan (power) dan sumber daya lainnya guna mempengaruhi pihak lain
serta menambah hasil yang diharapkan tatkala terdapat ketidakmenentuan
ataupun ketidaksetujuan seputar pilihan-pilihan yang tersedia.” [20] Dengan
definisi ini, perilaku politik dapat menjadi kekuatan positif ataupun negatif.
Akhirnya, Fairholm mendefinisikan politik keorganisasian sebagai “ ...
meliputi tindakan-tindakan yang diambil untuk memperoleh dan
menggunakan power (kekuasaan) dalam hal pengendalian sumber daya
organisasi demi mencapai hasil yang diharapkan oleh satu pihak
diperhadapkan dengan pihak lainnya.” Jeffrey Pfeffer, perintis riset politik
dalam organisasi, mendefinisikan politik keorganisasian sebagai “ ...
penerapan atau penggunaan power (kekuasaan), dengan mana kekuasaan
sendiri didefinisikan sebagai kekuatan potensial.”
Definisi politik dan politik organisasi kiranya saling bersinggungan.
Konsep-konsep kekuasaan, influence (pengaruh), resources (sumberdaya),
interest (kepentingan), merupakan sejumlah konsep inheren (melekat) di
dalam definisi politik maupun politik organisasi. Juga telah dikatakan bahwa
politik tidak selalu berarti buruk. Politik adalah media kompetisi gagasan antar
sejumlah pihak yang berbeda guna mencapai tujuan masing-masing.

F. Munculnya Politik dalam Organisasi


Richard L. Daft mengidentifikasi 3 wilayah dimana politik organisasi
terangsang untuk muncul. Wilayah-wilayah tersebut adalah : (1) Perubahan
Struktural; (2) Suksesi Manajemen; dan (3) Alokasi Sumber Daya.
1) Perubahan Struktural
Perubahan struktural, misalnya reorganisasi jabatan, langsung
menohok ke dalam “jantung” hubungan otoritas dan kekuasaan.
Reorganisasi seperti perubahan tugas dan wewenang, juga
berdampak atas dasar kekuasaan akibat ketidakmenentuan strategis.
Untuk alasan ini, reorganisasi membawa ke arah maraknya kegiatan
politik dalam organisasi. Para manajer secara aktif menawar dan
menegosiasi guna memelihara wewenang dan kekuasaan yang
mereka miliki. Merger dan akuisisi juga kerap membawa kegiatan
politik yang eksplosif.
2) Suksesi Manajemen
Perubahan keorganisasian seperti rekrutmen eksekutif baru,
promosi, dan transfer pegawai punya signifikansi politik yang besar,
khususnya pada level organisasi puncak dimana ketidakmenentuan
demikian tinggi dan jaringan kepercayaan, kerjasama, dan komunikasi
di antara eksekutif adalah penting. Keputusan rekrutmen dapat
melahirkan ketidakmenentuan, pertentangan wacana, dan
ketidaksetujuan. Manajer dapat menggunakan perekrutan dan promosi
guna memperkuat jaringan aliansi dan koalisi dengan menempatkan
orang-orangnya sendiri dalam posisi kunci.
3) Alokasi Sumberdaya
Alokasi sumber daya adalah arena politik ketiga. Alokasi
sumberdaya memotong seluruh sumberdaya yang dibutuhkan bagi
kinerja organisasi, termasuk gaji, anggaran, pekerja, fasilitas kantor,
perlengkapan, penggunaan transportasi kantor, dan sebagainya.
Sumber daya adalah vital sehingga bahwa ketidaksetujuan untuk
memprioritaskan salah satu sumber daya mungkin mengemuka. Dalam
konteks ini, proses-proses politik membantu menyelesaikan dilema ini.
4) Personalitas Individu
Karakteristik kepribadian tertentu memungkinkan orang
menunjukkan perilaku politik. Contohnya, orang yang punya kebutuhan
kekuasaan (nPow) tinggi dalam istilah Charles McClelland. Orang ini
terdorong hasrat politik dari dalam dirinya sendiri guna mencari
pengaruh atas orang lain, yang juga memotivasinya untuk
menggunakan kekuasaan demi hasil-hasil politik.
Riset lain juga menunjukkan orang yang menunjukkan
karakteristik Machiavellianisme cenderung mengendalikan orang lain
lewat tindak oportunistik dan perilaku yang manipulatif. Mereka
cenderung terbuka untuk terlibat dalam politik. Sebagai tambahan, riset
mengindikasikan bahwa kesadaran-diri orang tidak sama dengan
lainnya untuk terlibat dalam politik kantor karena mereka takut menjadi
perhatian publik dan dinilai negatif karena terlibat dalam politik.
5) Ketidakmenentuan
Ketidakmenentuan menjadi alasan munculnya nuansa politik di
dalam organisasi, yang jenis-jenisnya sebagai berikut :
a) Keberatan-keberatan dalam ketersediaan sumberdaya langka
atau informasi seputar sumber daya tersebut;
b) Informasi yang beredar bersifat ambigu (tidak jelas) atau lebih
dari satu versi;
c) Sasaran, tujuan, peran pekerjaan, atau ukuran kinerja yang
tidak didefinisikan secara baik;
d) Ketidakjelasan peraturan mengenai hal-hal yang berkaitan
dengan siapa yang harus buat keputusan, bagaimana
keputusan dicapai, atau bilamana pembuatan keputusan harus
dilakukan;
e) Perubahan reorganiasi, realokasi anggaran, atau modifikasi
prosedur dalam aneka bentuknya; dan
f) Pihak yang yang menjadi gantungan (tumpuan
harapan/backing) individu atau kelompok memiliki pesaing atau
musuh.
g) Ukuran Organisasi. Politicking lebih sering muncul pada
organisasi skala besar ketimbang skala kecil. Adanya orang
dalam jumlah besar cenderung menyembunyikan perilaku
seseorang, memungkinkan mereka terlibat dalam politik tanpa
takut diketahui (konspirasi).
6) Level Hirarki
Politik juga kerap ditemukan dalam manajer tingkat atas, karena
kekuasaan yang dibutuhkan untuk terlibat dalam politik biasanya
terkonsentrasi diantara para manajer tingkat atas tersebut.
7) Heterogenitas Anggota
Anggota dalam organisasi yang heterogen biasanya saling
berbagi kepentingan dan nilai yang sedikit dan lebih lanjut mencari
sesuatu yang berbeda. Dalam kondisi ini, proses-proses politik
cenderung muncul dimana setiap anggota bersaing untuk memutuskan
kepentingan siapa yang terpuaskan dan siapa yang tidak.
8) Pentingnya Keputusan
Keputusan yang sifatnya penting lebih memancing aktivitas
politik organisasi ketimbang keputusan yang biasa-biasa saja. Ini
diakibatkan sebuah keputusan penting punya dampak besar dalam
menarik perhatian para anggota organisasi.

G. Hubungan Kekuasaan dan Politik


Dari konsep di atas, kekuasaan politik dapat dirumuskan sebagai
kemampuan menggunakan sumber-sumber pengaruh untuk mempengaruhi
proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan politik sehingga keputusan itu
menguntungkandirinya, kelompoknya ataupun masyarakat pada umumnya.
Bila seseorang, suatu organisasi, atau suatu partai politik bisa
mengorganisasi sehingga berbagai badan negara yang relevan misalnya
membuat aturan yang melarang atau mewajibkan suatu hal atau perkara,
maka mereka mempunyai kekuasaan politik. Variasi yang dekat dari
kekuasaan politik adalah kewenangan (authority), kemampuan untuk
membuat orang lain melakukan suatu hal dengan dasar hukum atau mandat
yang diperoleh dari suatu kuasa.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Kekuasaan adalah kekuatan yang kita gunakan agar sesuatu hal
terjadi dengan cara disengaja, di mana influence (pengaruh) adalah apa yang
kita gunakan saat kita menggunakan kekuasaan. Seorang manajer
membiakkan kekuasaan dari aneka sumber, baik dari organisasi yang disebut
sebagai “power position” ataupun dari personalitasnya sendiri yang disebut
“personal power.” Tanpa kekuasaan, individu akan anarkis, pemimpin tidak
bergigi, sanksi tidak dipatuhi, dan sebab itu ketiadaan kekuasaan kerap
dianggap situasi chaos (kekacauan). Ketiadaan kekuasaan dalam organisasi
membuat organisasi kehilangan konsep pengendalian dan berujung pada
ketidaktercapaian tujuan organisasi, bhkan chaos dalam organisasi.
Politik organisasi sebagai “ [kegiatan yang] melibatkan kegiatan
memperoleh, mengembangkan dan menggunakan kekuasaan (power) dan
sumber daya lainnya guna mempengaruhi pihak lain serta menambah hasil
yang diharapkan tatkala terdapat ketidakmenentuan ataupun ketidaksetujuan
seputar pilihan-pilihan yang tersedia.”

Anda mungkin juga menyukai