Anda di halaman 1dari 21

BAB I

STATUS MEDIS PASIEN

1.1 IDENTITAS PASIEN


Nama : Tn. F.R
Tanggal Lahir : 22.02.1982
Umur : 38 Tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Jl.Utarum Bantemi
Agama : Islam
Ruangan : Bedah
Masuk RS : 25.02.2020
No. RM : 04 17 46

1.2 ANAMNESIS
Alloanamnesis ( Kamis, 26 Februari 2020 ):
 Keluhan utama :
Muntah - Muntah
 Riwayat penyakit sekarang 
Pasien datang ke IGD dengan keluhan muntah-muntah, pasien muntah
sebanyak 2 kali di IGD, muntah berisi ampas makanan. Pasien muntah-
muntah sudah 1 hari yang lalu SMRS, muntah dirumah 3 kali dan pasien
meminum obat ranitidine namun tidak membaik.
Pasien juga merasakan nyeri perut dibagian ulu hati, nyeri ulu hati yang
dirasakan terus menerus semakin sakit. setiap kali makan pasien
mengatakan merasa ingin mual. Pasien tidak demam, nyeri perut yang hilang
timbul dan ada keluhan sulit buang air besar 2 hari. pasien tidak bekerja
pasien merupakan seorang tuna runggu sejak lahir ,Pasien mengatakan
sebelumnya tidak pernah menderita sakit seperti ini.
 Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat sakit berat tidak pernah, riwayat Kejang : (-),riwayat asma :(-),
Riwayat hipertenasi : (-), Riwayat Alergi : (-), Riwayat Operasi : (-).

 Riwayat Penyakit Keluarga


Tidak ada keluarga yang mengalami hal serupa dengan pasien.

 Riwayat Penyakit Sosial


Pasien tidak bekerja, riwayat konsumsi pinang (-), riwayat merokok (+),
minum alkohol (-),pasien tidak bias bicara (Tuna Runggu)

1.3 PEMRIKSAAN FISIK


Status Pasien
- Keadaan Umum : Tampak sakit Sedang

- Kesadaran : Compos mentis


- TD : 130/80 mmHg

- Nadi : 82 x/m
- Suhu : 37,2 0C
Status Generalis :

Kepala Normosefali, tidak ada tanda trauma atau benjolan, muka


simetris, rambut warna hitam, ikal dan tidak mudah dicabut.

Kedua alis mata tampak simetris kiri dan kanan.

Mata Pupil isokor (+/+), Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik


(+/+), reflex cahaya (+/+).

Telinga Bentuk normal, sekret (-/-), fungsi pendengaran baik.

Hidung Bentuk normal, deviasi septum (-), secret (-/-)

Mulut dan Sudut kedua bibir kanan dan kiri simetris.


Tenggoroka
n
Bibir tidak kering dan tidak sianosis, tonsil T0/T0, hiperemis
(-)

Leher Pembesaran KGB (-)

Thoraks Inspeksi :

Pada keadaan statis dan dinamis pergerakan dinding dada


terlihat simetris kanan dan kiri, tidak ada yang tertinggal,
tidak retraksi. Pulsasi ictus cordis tidak terlihat.

Palpasi :

Vocal fremitus dextra = sinistra.

Perkusi :

Pada lapangan paru didapatkan bunyi sonor kiri dan kanan.


Batas paru belakang kiri Th XI, batas paru belakang kanan
TH X, batas paru hepar di ICS V kanan.

Auskultasi :

Bunyi pernapasan vesicular, bunyi tambahan Wh -/- , Rh -/-,


Bunyi jantung I / II murni regular, bising (-),

Abdomen Inspeksi : Abdomen tampak datar, tidak tampak adanya


masa.

Auskultasi : Peristaltik usus normal

Perkusi : Tympani (+)

Palpasi : Nyeri tekan pada region hipokondrium kanan


(+)

Punggung Tidak terlihat kelainan bentuk tulang belakang, scoliosis (-),


dan gibbus (-)

Ekstremitas Tidak ada kelainan

Alat kelamin Tidak dilakukan pemeriksaan

Status Lokalis Regio Abdomen:


Inspeksi : Datar, tidak didapatkan massa dan jejas.

Palpasi : Terdapat nyeri tekan pada regio hipokondrium kanan (+).

1.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG


- Laboratorium (25-02-2020)
Range

HGB 14,1 (12.0-16.0)

WBC 13,59 (4.00-10.00)

MCV 80.0 (80,0 – 100,0)

MCH 27,2 (27.0 – 36.0)

MCHC 34,0 (32,0 -36,0)

RBC 4,75 (3.8x106-5.8x106)

HCT 37,9 (35.0-50.0)

PLT 324 (150-500)

MPV 7,8 (6,5-12,0)

PDW 15,3 (9,0-17,0)

PT 10,4 (10,2 – 12,1)

APTT 27,7 (24,8 – 34,4)

HBsAg Non reaktif Non reaktif


- USG ABDOMEN

Kesan : Kolesistitis (ukuran 14-29 cm)

1.5 RESUME
I. Anamnesis
Pasien datang ke IGD dengan keluhan muntah-muntah, pasien muntah
sebanyak 2 kali di IGD, muntah berisi ampas makanan. Pasien muntah-muntah
sudah 1 hari yang lalu SMRS, muntah dirumah 3 kali dan pasien meminum obat
ranitidine namun tidak membaik. Pasien merasakan nyeri perut kanan atas dan
sulit BAB 2 hari. Pasien tidak biasa bicara (tuna runggu).

II. Pemeriksaan Fisik


 Keadaan umum : tampak sakit sedang
 Kesadaran : compos mentis
 Nadi : 130/80 mmHg
 Respirasi : 82 x/m
 Suhu : : 37,5 0C
 Mata : Anemis (+/+), Sklera ikteri (+/+)
 Mulu : Bibir Kering (-)
 Abdomen : Datar, Supel ,Bising usus (+), Nyeri tekan hipokondrium (+)
 Ektremitas : Akral hangat

III. Laboratorium
WBC : 13.900 mg/l ( Leukositosis )

IV. Diagnosis Kerja


- Kolesistitis

V. Diagnosis Banding
- Kolelitiasis

- Kolangitis
- Pankreastitis akut

VI. Penatalaksanaan
 Non Medikamentosa
- Rawat Inap

- Bed Rest

 Medikamentosa
- IVFD RL 20 tpm
- Inj. Ampicilin 1 gr / 12jam/i.v
- Inj. Ranitidin 2 x 50 mg / 12 jam/ i.v
- Inj. Antrain 3x 1amp / 8 jam/i.v (KP)
- Puasa
Progress Report
Ruang Bedah
Subjective Nyeri perut berkurang
Objective KU: Tampak sakit sedang, Kesadaran: Compos Mentis
TD: 110/70mmHg, N: 81x/m, R: 22x/m, SB: 36,8 0 C, Sp02:
98% . K/L: CA (+/+), SI (-/-), OC (-), P>KG(-),
Paru  I : Simetris, Ikut gerak napas
P : Vokal Fremitus (+) D=S
P : Sonor
A : Suara Napas vesikuler (+/+), Rhonki (-/-),
Wheezing (-)
Jantung  I : Ictus cordis tidak tampak
P : Ictus cordis tidak teraba
P : Pekat
A : Bunyi Jantung I-II reguler, murmur (-),
gallop (-)
Abdomen  I : Datar
A : Bising Usus (+) Normal
P : Supel, NT: (-)
P : Timpani
H/L: tidak teraba
Ekstremitas  : akral hangat, CRT<2”,
Vegetatif  Ma/Mi(+/+), BAB/BAK(+/+).
Assessment  Kolesistitis dd kolelitiasis

Planning  IVFD Ringer laktat 500 cc 20 tpm


 Injeksi ceftriaxone 2x1 gr/12 jam/i.v
 Injeksi ranitidine 2x50mg/12 jam/i.v
 Curcuma tablet 1x1 (P.O)
 Pro USG Abdomen

Ruang Bedah
Subjective Nyeri Perut berkurang (-)
Objective KU: Tampak sakit sedang, Kesadaran: Compos Mentis
TD: 110/70mmHg, N: 81x/m, R: 22x/m, SB: 36,8 0C,
Sp02: 98%
K/L: CA (+/+), SI (-/-), OC (-), P>KG(-),
Paru  I : Simetris, Ikut gerak napas
P : Vokal Fremitus (+) D=S
P : Sonor
A: Suara Napas vesikuler (+/+), Rhonki (-/-),
Wheezing (-)
Jantung  I : Ictus cordis tidak tampak
P : Ictus cordis tidak teraba
P : Pekat
A : Bunyi Jantung I-II reguler , murmur (-),
gallop (-)
Abdomen  I : Datar
A : Bising Usus (+) Normal
P : Supel, NT: (-)
P : Timpani
H/L: tidak teraba
Ekstremitas  : akral hangat, CRT<2”,
Vegetatif  Ma/Mi(+/+), BAB/BAK(+/+).
Assessment  Kolesistitis

Planning  IVFD Ringer laktat 500 ml 20 tpm


 Injeksi ceftriaxone 2x1 gr/12 jam/i.v
 Injeksi ranitidine 2x50mg/12 jam/i.v
 Curcuma tablet 1x1 (P.O)
 Hari ini Boleh pulang dan kontrol ke poli bedah,

BAB II

PENDAHULUAN
2.1 Latar Belakang

Kolesistitis adalah reaksi inflamsi akut atau kronis atau dinding kandung empedu.
Faktor yang mempengaruhi timbulnya serangan kolesistitis adalah statis cairan
empedu.

Peradangan akut dinding kandung empedu atau disebut juga dengan kolesistitis
biasanya terjadi akibat sumbatan duktus sistikus oleh batu. Sekitar 10 – 20% warga
Amerika menderita kolelitiasis (batu empedu) dan sepertiganya juga menderita
kolesistitis akut. Penyakit ini lebih sering terjadi pada wanita, usia tua dan lebih sering
terjadi pada orang kulit putih. Pada wanita, terutama pada wanita – wanita hamil dan
yang mengkonsumsi obat – obat hormonal, insidensi kolesistitis akut lebih sering
terjadi. Beberapa teori mengatakan hal ini berkaitan dengan kadar progesteron yang
tinggi yang menyebabkan statis aliran kandung empedu. Di Indonesia, walaupun belum
ada data epidemiologis penduduk, insidens kolesistitis dan kolelitiasis di negara kita
relatif lebih rendah dibandingkan dengan negara – negara barat. Meskipun dikatakan
bahwa pasien kolesistitis akut umumnya perempuan, gemuk dan berusia di atas 40
tahun, tetapi menuruit Lesman LA, dkk, hal ini sering tidak sesuai untuk pasien – pasien
di negara kita. (Sudoyo W. Aru, et al, 2009)

Kolesistitis sering berawal sebagai serangan kolik biliaris yang memburuk


secara progresif. Sekitar 60 – 70% pasien melaporkan adanya riwayat serangan yang
sembuh spontan. Namun, seiring dengan makin parahnya serangan, nyeri kolesistitis
akut makin menjadi generalisata di abdomen kanan atas. Seperti kolik biliaris, nyeri
kolesistitis dapat menyebar ke daerah antarskapula, skapula kanan atau bahu. Tanda
peradangan peritoneum seperti peningkatan nyeri dengan penggetaran atau pada
pernapasan dalam dapat ditemukan. Pasien juga mengalami anoreksia dan sering
mual. Kolesistitis akut merupakan suatu penyakit yang dapat mengganggu kualitas
hidup pasien. (Sudoyo W. Aru, et al, 2009)
Oleh karena itu dalam kesempatan ini akan dibahas mengenai beberapa hal
berkaitan dengan penyakit peradangan pada dinding kandung empedu ini serta terapi
yang sesuai.

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Definisi
Kolesistitis (radang kandung empedu) adalah reaksi inflamasi akut dinding
kandung empedu yang disertai keluhan nyeri perut kanan atas, nyeri tekan dan
demam. Hingga kini patogenesis penyakit yang cukup sering dijumpai ini masih
belum jelas.

3.2 Etiologi
Etiologi kolesistitis kebanyakan adalah disebabkan oleh batu empedu. Sumbatan
batu empedu pada duktus sistikus menyebabkan distensi kandung empedu dan
gangguan aliran darah darah dan limfe, bakteri komensal kemudian berkembang
biak. Penyebab lain adalah kuman E. Coli, salmonella typhosa, cacing askaris, atau
karena pengaruh enzim – enzim pankreas.
Peradangan yang disebabkan oleh bakteri mungkin berperan pada 50 sampai 85
persen pasien kolesistitis akut. Organisme yang paling sering dibiak dari kandung
empedu para pasien ini adalah E. Coli, spesies Klebsiella, Streptococcus grup D,
spesies Staphylococcus dan spesies Clostridium. Endotoxin yang dihasilkan oleh
organisme – organisme tersebut dapat menyebabkan hilangnya lapisan mukosa,
perdarahan, perlekatan fibrin, yang akhirnya menyebabkan iskemia dan selanjutnya
nekrosis dinding kandung empedu (Cullen JJ, et al, 2009)

3.3 Manifestasi Klinis


Keluhan yang agak khas untuk serangan kolesistitis adalah kolik perut di
sebelah kanan atas epigastrium dan nyeri tekan, takikardia serta kenaikan suhu
tubuh. Keluhan tersebut dapat memburuk secara progresif. Kadang – kadang rasa
sakit menjalar ke pundak atau skapula kanan dan dapat berlangsung sampai 60
menit tanpa reda. Berat ringannya keluhan sangat bervariasi tergantung dari adanya
kelainan inflamasi yang ringan sampai dengan gangren atau perforasi kandung
empedu. Sekitar 60 – 70% pasien melaporkan adanya riwayat serangan yang
sembuh spontan (Sudoyo W. Aru, et al, 2009).
Tanda peradangan peritoneum seperti peningkatan nyeri dengan penggetaran
atau pada pernapasan dalam dapat ditemukan. Pasien mengalami anoreksia dan
sering mual. Muntah relatif sering terjadi dan dapat menimbulkan gejala dan tanda
deplesi volume vaskuler dan ekstraseluler. Pada pemeriksaan fisis, kuadran kanan
atas abdomen hampir selalu nyeri bila dipalpasi. Pada seperempat sampai separuh
pasien dapat diraba kandung empedu yang tegang dan membesar. Inspirasi dalam
atau batuk sewaktu palpasi subkosta kudaran kanan atas biasanya menambah nyeri
dan menyebabkan inspirasi terhenti (tanda Murphy) (Sudoyo W. Aru, et al, 2009).
Ketokan ringan pada daerah subkosta kanan dapat menyebabkan peningkatan
nyeri secara mencolok. Nyeri lepas lokal di kuadran kanan atas sering ditemukan,
juga distensi abdomen dan penurunan bising usus akibat ileus paralitik, tetapi tanda
rangsangan peritoneum generalisata dan rigiditas abdomen biasanya tidak
ditemukan, asalkan tidak ada perforasi. Ikterus dijumpai pada 20% kasus, umumnya
derajat ringan (bilirubin < 4,0 mg/dl). Apabila konsentrasi bilirubin tinggi, perlu
dipikirkan adanya batu di saluran empedu ekstra hepatik. Pada pasien – pasien
yang sudah tua dan dengan diabetes mellitus, tanda dan gejala yang ada tidak
terlalu spesifik dan kadang hanya berupa mual saja (Sudoyo W. Aru, et al, 2009).
Walaupun manifestasi klinis kolesistitis akalkulus tidak dapat dibedakan dengan
kolesistitis kalkulus, biasanya kolesistitis akalkulus terjadi pada pasien dengan
keadaan inflamasi kandung empedu akut yang sudah parah walaupun sebelumnya
tidak terdapat tanda – tanda kolik kandung empedu. Biasanya pasien sudah jatuh ke
dalam kondisi sepsis tanpa terdapat tanda – tanda kolesistitis akut yang jelas
sebelumnya (Isselbacher, K.J, et al, 2009).

3.4 Patofisiologi

Lebih dari 90% pasien kolesistitis mempunyai batu empedu. Batu empedu
memainkan peranan besar dalam menimbulkan kolesistitis akut mencakup (1)
obstruksi duktus sistikus dengan distensi dan iskemia vesika biliaris, (2) cedera
kimia (empedu) atau mekanik (batu empedu) pada mukosa dan (3) infeksi bakteri.
Keadaan ini dimulai dengan tersangkutnya batu empedu dalam duktus sistikus dan
gangguan pengosongan vesika biliaris yang serupa dengan etiologi kolik bilier.
Nekrosis tekanan lokal dari batu menginduksi ulserasi dan peradangan. Dengan
obstruksi, maka tekanan intralumen dalam vesiika biliar meningkat, terbentuk
oedem, aliran keluar vena terganggu dan timbul iskemia lebih lanjut. Secara
makroskopik, dinding vesika biliaris meradang akut, edematosa dan berindurasi.
Derajat distensi vesika biliaris tergantung pada jumlah fibrosis sebelumnya. Daerah
perdarahan bercak-bercak terbukti di luar dan disertai dengan daerah perlekatan
fibrinosa lokal ke struktur sekelilingnya.

Ulserasi mukosa dan nekrosis bercak-bercak di dalam vesika biliaris


merangsang lebih lanjut dan mengeksaserbasi peradangan akut. Etiologi cedera
mukosa ini belum sepenuhnya dipahami. Enzim pankreas atau enzim lisozom yang
delepaskan oleh mukosa yang cidera (seperti fosfolipase A) bisa lebih
mengeksaserbasi perubahan peradangan dengan pelepasan lisolesitin toksis lokal.

3.5 Faktor Resiko


Faktor Resiko yang mempengaruhi timbulnya serangan kolesistitis akut adalah
stasis cairan empedu, infeksi kuman dan iskemia dinding kandung empedu.
Penyebab utama kolesistitis akut adalah batu kandung empedu (90%) sedangkan
sebagian kecil kasus (10%) timbul tanpa adanya batu empedu (kolesistitis akut
akalkulus) (Huffman JL, et al, 2009).

3.6 Diagnosis
Diagnosis kolesistitis biasanya dibuat beradasarkan riwayat yang khas dan
pemeriksaan fisis. Trias yang terdiri dari nyeri akut kuadran kanan atas, demam dan
leukositosis sangat sugestif. Biasanya terjadi leukositosis yang berkisar antara
10.000 sampai dengan 15.000 sel per mikroliter dengan pergeseran ke kiri pada
hitung jenis. Bilirubin serum sedikit meningkat [kurang dari 85,5 µmol/L (5mg/dl)]
pada 45 % pasien, sementara 25 % pasien mengalami peningkatan
aminotransferase serum (biasanya kurang dari lima kali lipat). Pemeriksaan alkali
phospatase biasanya meningkat pada 25 % pasien dengan kolesistitis.
Pemeriksaan enzim amilase dan lipase diperlukan untuk menyingkirkan
kemungkinan pankreatitis, namun amilase dapat meningkat pada kolesistitis.
Urinalisis diperlukan untuk menyingkirkan kemungkinan pielonefritis. Apabila
keluhan bertambah berat disertai suhu tinggi dan menggigil serta leukositosis berat,
kemungkinan terjadi empiema dan perforasi kandung empedu dipertimbangkan
(Isselbacher, K.J, et al, 2009).
Pemindaian saluran empedu dengan radionuklida (mis. HDA) dapat memberikan
konfirmasi bila pada pemeriksaan pencitraan hanya tampak duktus kandung
empedu tanpa visualisasi kandung empedu (Isselbacher, K.J, et al, 2009).

3.7 Pemeriksaan Penunjang


 Laboratorium
Apabila terjadi peradangan akut, dapat terjadi leukositosis. Apabila terjadi
sindroma mirizzi, akan ditemukan kenaikan ringan bilirubin serum akibat
penekanan duktus koledukus oleh batu. Kadar bilirubin serum yang tinggi
mungkin disebabkan oleh batu di dalam duktus koledukus. Kadar fosfatase
alkali serum dan mungkin juga kadar amilase serum biasanya meningkat
sedang setiap setiap kali terjadi serangan akut.

 Pemeriksaan Radiologis
Foto polos abdomen biasanya tidak memberikan gambaran yang khas
karena hanya sekitar 10-15% batu kandung empedu yang bersifat radioopak
Foto polos abdomen tidak dapat memperlihatkan gambaran kolesistitis
akut. Hanya pada 15 % pasien kemungkinan dapat terlihat batu tidak tembus
pandang (radiopak) oleh karena mengandung kalsium cukup banyak
 USG
Ultrasonografi mempunyai derajat spesifisitas dan sensitifitas yang tinggi
untuk mendeteksi batu kandung empedu dan pelebaran saluran empedu
intrahepatik maupun ekstra hepatik. Dengan USG juga dapat dilihat dinding
kandung empedu yang menebal karena fibrosis atau udem yang diakibatkan
oleh peradangan maupun sebab lain. Pada pemeriksaan ultrasonografi
(USG) sebaiknya dikerjakan secara rutin dan sangat bermanfaat untuk
memprlihatkan besar, bentuk, penebalan dinding kandung empedu, batu dan
saluran empedu ekstra hepatik. Nilai kepekaan dan ketepatan USG mencapai
90 – 95%. Adapun gambaran di USG yang pada kolesistitis akut diantaranya
adalah cairan perikolestik, penebalan dinding kandung empedu lebih dari 4
mm dan tanda sonographic Murphy. Adanya batu empedu membantu
penegakkan diagnosis (Roe J, 2009)

 Kolesistografi
Dilakukan Untuk penderita tertentu, kolesistografi dengan kontras cukup
baik karena relatif murah, sederhana, dan cukup akurat untuk melihat batu
radiolusen sehingga dapat dihitung jumlah dan ukuran batu. Kolesistografi oral
akan gagal pada keadaan ileus paralitik, muntah, kadar bilirubun serum diatas 2
mg/dl, okstruksi pilorus, dan hepatitis karena pada keadaan-keadaan tersebut
kontras tidak dapat mencapai hati. Pemeriksaan kolesitografi oral lebih
bermakna pada penilaian fungsi kandung empedu.

3.8 Komplikasi
Komplikasi kolesistitis adalah empiema dan perforasi. Perforasi dapat berupa
perforasi bebas di rongga perut atau perforasi yang dibatasi oleh perlekatan
perikolesistitis yang membentuk massa radang kanan diatas. Akhirnya dapat terjadi
fistel ke usus, kebanyakan di duodenum.

3.9 Penatalaksanaan
Pengobatan umum termasuk istirahat total, pemberian nutrisi parenteral, diet
ringan, obat penghilang rasa nyeri seperti petidin dan antispasmodic. Pemberian
antibiotic pada fase awal sangat penting untuk mencegah komplikasi peritonitis,
kolangitis, dan septicemia. Golongan ampisilin, sefalosporin dan metronidazol cukup
memadai untuk mematikan kuman-kuman yang umum terdapat pada koleisititis akut
seperti E.coli, strep. Faecalis dan klebsiela.
Kolesistektomi merupakan cara pengobatan terbaik untuk kolesistitis akut dan
umumnya dapat dilakukan dengan aman pada sekitar 90% penderita. Sekitar 60%
penderita akan sembuh spontan. Pembedahan dilakukan sesuai dengan
perkembangan penyakit. Apabila memburuk, segera dibedah; bila membaik,
pembedahan dilakukan secara elektif. Saat kapan dilaksanakan tindakan
kolesistektomi masih diperdebatkan, apakah sebaiknya dilakukan secepatnya (3
hari) atau ditunggu 6-8 minggu setelah terapi konservatif dan keadaan umum pasien
lebih baik. Ahli bedah yang pro operasi dini menyatakan, timbulnya gangrene dan
komplikasi kegagalan terapi lebih singkat dan biaya dapat ditekan. Sementara yang
tidak setuju menyatakan, operasi dini akan menyebabkan penyebaran penyebaran
infeksi ke rongga peritoneum dan teknik operasi lebih sulit karena proses inflamasi
akut di sekitar duktus akan mengaburkan anatomi.
Sejak diperkenalkan tindakan bedah kolesistektomi laparoskopik di Indonesia
pada awal 1991, hingga saat ini sudah sering dilakukan di pusat-pusat bedah
digestif. Di luar negeri tindakan ini hampir mencapai angka 90 % dari seluruh
kolesistektomi. Konservasi ke tindakan kolesistektomi konvensional menurut Ibrahim
A dkk, sebesar 1,9% kasus , terbanyak oleh karena sukar dalam mengenali duktus
sistikus yang disebabkan perlengketan luas (27%) , perdarahan dan keganasan
kandung empedu (7%), perdarahan dan kebocoran empedu. Menurut kebanyakan
ahli bedah tindakan kolesistektomi laparaskopi ini sekalipun invasive mempunyai
kelebihan seperti mengurangi rasa nyeri paska operasi, menurunkan angka
kematian, secara kosmetik lebih baik, memperpendek lama perawatan di rumah
sakit dan mempercepat aktifitas pasien.
Pada kolesistitis kronik dengan atau tanpa batu kandung empedu yang
simtomatik, dianjurkan untuk kolesistektomi. Keputusan untuk kolesistektomi agak
sulit untuk pasien dengan keluhan minimal atau disertai penyakit lain yang
mempertinggi resiko operasi.
3.10 Prognosis
Untuk penderita dengan ukuran batu yang kecil, pemeriksaan serial USG
diperlukan untuk mengetahui perkembangan dari batu tersebut. Batu bisa
menghilang secara spontan. Untuk batu besar masih merupakan masalah, karena
resiko terbentuknya karsinoma kandung empedu (ukuran batu > 2cm). Karena
resiko tersebut, dianjurkan untuk mengambil batu tersebut.
BAB IV
4.1 KESIMPULAN
Kolesistitis adalah reaksi inflamsi akut atau kronis atau dinding kandung
empedu. Faktor yang mempengaruhi timbulnya serangan kolesistitis adalah statis
cairan empedu. Tanda reaksi inflamasi akut dinding kandung empedu yang disertai
dengan keluhan nyeri perut kanan atas, nyeri tekan dan demam.
Umumnya kolesistitis disebabkan oleh adanya batu kandung empedu. Hingga
kini patogenesis penyakit yang cukup sering dijumpai ini masih belum jelas. Etiologi
pada kasus kolesistitis adalah batu empedu masih belum diketahui dengan
sempurna namun yang paling penting adalah gangguan metabolisme yang
disebabkan oleh perubahan susunan empedu, stasis empedu dan infeksi kandung
empedu.
Faktor resiko pada kasus kolesistitis usia diatas 40 tahun , wanita lebih sering
dua kali lipat dari pada pria, sering konsumsi makanan berlemak dan kurang
aktifitas fisik berolahraga.
Dalam menegakkan diagnosis kolelitiasis dilakukan anamnesis yaitu
menanyakan keluhan pasien muntah-muntah dan pemeriksaan fisik didapatkan
tampak sclera ikterik dan nyeri tekan pada perut hipokondrium kanan . dengan
pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan laboratium didapatkan peningkatan
leukosit , pemeriksaan USG abdomen didapatkan gambaran penebalan dinding
batu billier ukuran (14-29cm). Pemeriksaan ultrasonografi (USG) merupakan
modalitas diagnostik utama dan sangat dianjurkan. USG sebaiknya dikerjakan
secara rutin dan sangat bermanfaat untuk memperlihatkan besar, bentuk dan
penebalan dinding kandung empedu, batu dan saluran empedu ekstra hepatik.
Tatalaksana pada pasien kolelitiasis adalah istirahat total, diet, pemberian
nutrisi parental, diet ringan, diberikan anti mual, anti nyeri penghilang rasa sakit dan
antibiotik. Komplikasi pada kasus kolesistitis ini yaitu kolelitiasis, kolangitis dan
pancreastitis akut.
4.2 SARAN
Pada umumnya kasus kolelitiasis sangat berkatian dengan pola makan
berlemak, social ekonomi masyarakat suatu daerah. Oleh Karena itu pemberi
pelayanan kesehatan sepatutnya memberikan edukasi dan konseling guna
mengurangi morbiditas dan mortalitas yang dapat ditimbulkan penyakit tersebut.
Selain itu , tenaga medis juga perlu memahami secara benar mengenai cara
mendiagnosis serta memberikan tatalaksana yang tepat kepada pasien dengan
kasus ini bertujuan mengurangi angka mortalitas penyakit.
DAFTAR PUSTAKA

1. Sabiston, David C. 2004. Buku Ajar Bedah Edisi 2. Jakarta : Penerbit Buku
Kedokteran EGC : 130-131
2. (sumber: http://emedicine.medscape.com/article/365698-overview)
3. Pridady. 2006. Kolesistitis: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Ed IV. Jakarta: Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia
4. Sudoyo, Aru W, dkk. 2010. Buku Ajar : Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi Kelima.
Jakarta : InternaPublishing
5. Cullen JJ, Maes EB, Aggrawal S, et al. Effect of endotoxin on opossum
gallbladder motility: a model of acalculous cholecystitis. Ann Surg. Aug
2009;232(2):202-7.
6. Isselbacher, KJ, Braunwald E, Martin JB, Fauci AS, Kasper DL. Harrison: Prinsip
– Harrison. Prinsip – Prinsip Ilmu Penyakit Dalam. Editor Bahasa Indonesia: Prof.
Dr. H. Ahmad H. Asdie. Edisi 13. EGC. Jakarta. 2009
7. Huffman JL, Schenker S. Acute acalculous cholecystitis - a review. Clin
Gastroenterol Hepatol. Sep 9 2009.
8. Roe J. Evidence-based emergency medicine. Clinical assessment of acute
cholecystitis in adults. Ann Emerg Med. Jul 2009;48(1):101-3.
9. Bloom AA. 2011. Cholecystitis. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/171886-overview#showall [Accessed 15
November 2012].
10. Karnadihardja, Warko. 2006. Saluran Empedu dan Hati. Buku Ajar Ilmu Bedah.
Jakarta: EGC

Anda mungkin juga menyukai