Anda di halaman 1dari 11

ANALISIS KODE ETIK HAKIM TERHADAP KEKELIRUAN PUTUSAN HAKIM

DALAM PERKRA TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA

Yusuf Apriyanto Bantu

Fakultas hukum universitas negeri gorontalo

Email: yusufapriyanto@gmail.com

Abstrak

Indonesia merupakan negara yang mengidentitaskan hukum sebagai


panglima tertinggi, sehingga tujuan dari hukum dapat dikonsumsi oleh
seluruh rakyat tanpa adanya perbedaan, yang dapat memberikan tujuan
hukum seperti kepastian, keadilan dan kemanfaatan. Sebagaimana yang kita
ketahui secara eksplisit negara hukum Indonesia telah disebutkan dalam
Pasal 1 ayat (3) Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.1

Konstitusi sebagai hukum tertinggi mengatur penyelenggaraan Negara


berdasarkan prinsip demokrasi, dan salah satu fungsi konstitusi adalah
melindungi hak asasi manusia yang dijamin dalam konstitusi, sehingga
menjadi hak konstitusional warga Negara.2

Pengambilan keputusan sangat diperlukan oleh hakim dalam


menetukan putusan yang akan dijatuhkan kepada terdakwa. Hakim harus
mengolah dan memproses data-data yang diperoleh selama proses
persidangan dalam hal ini bukti-bukti, keterangan saksi, pembelaan terdakwa,
serta tuntututan jaksa maupun muatan psikologis. Sehingga keputusan yang
akan dijatuhkan kepada terdakwa dapat didasari oleh rasa tanggung jawab,
keadilan, kebijaksanaan, profesionalisme dan bersifat obyektif.

1Usman Rasyid, Fence M. Wantu, Novendri M. “wajah kekuasaan kehakiman Indonesia”, 2020,Universitas Negeri
Gorontalo, halm. 15

2Ahmad, A., & Nggilu, N. M. (2020). “Denyut Nadi Amandemen Kelima UUD 1945 Melalui Pelibatan Mahkamah
Konstitusi Sebagai Prinsip the Guardian Of The Contitution”. Jurnal Konstitusi,16 (4), 758-808`
Kata kunci : Etika; Hakim; Perkara; Pidana; Korupsi.

Pendahuluan

A. Latar Belakang

Kekuasaan Kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka


sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar
1945 bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.3

Proses peradilan di Indonesia berlandaskan Pancasila, yang


menempatkan harkat dan martabat manusia pada tempatnya dan
melaksanakan perlindungan serta jaminan hak-hak asasi manusia. Hal
tersebut tertuang dalam Undang-undang No. 8 tahun 1981 yang memuat
Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) (Helmi, 1997) 4

Pengambilan keputusan adalah suatu proses untuk menyelesaikan


suatu permasalahan dengan cara memilih salah satu dari berbagai alternatif
yang ada untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan yaitu menghasilkan
suatu keputusan yang baik untuk mengatasi suatu masalah. Readford dalam
(Asiyarfitriadi, 2005) mengungkapkan definisi pengambilan keputusan sebagai
suatu perumusan berbagai macam alternatif tindakan dalam menghadapi
situasi serta menetapkan pilihan yang tepat dari berbagai alternatif. 5

Perang terhadap korupsi merupakan fokus yang sangat signifikan


dalam suatu Negara hukum, bahkan merupakan tolak ukur keberhasilan
suatu pemerintahan. Salah satu kekeliruan putusan hakim unsur yang sangat

3Anwar Husain, “kekuasaan kehakiman”, https://www.jogloabang.com, 28/03/2021, Halm.3


4Suryantto, “Proses peradilan Indonesia kitab undang-undang hokum acara pidana Uu no 8 tahun 1981”,
https://www.ejounal hokum.ac.id
5 Readford, “pengambilan kekuasaan” asiyarfitriyadi,2005; https://www.eprints.ums.ac.id 28/03/2021, Halm.16
penting dari penegakan hukum dalam suatu negara adalah perang terhadap
korupsi, karena korupsi merupakan salah satu penyakit kanker yang imun,
meluas, permanan bahkan meruak semua sendi kehidupan berbangsa dan
bernegara termasuk perekonomian.

Penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang operasionalnya dilakukan


oleh institusi pengadilan, perlu kekeliruan putusan hakim memperhatikan
asas-asas umum peradilan yang baik (Algemene Rechtsbeginsellen van
Behoorlijik rechtspraak) terutama putusan disertai alasan (Motiverings Plicht),
agar dapat tercipta putusan pengadilan yang adil dan bertanggung jawab serta
mewujudkan partisipasi masyarakat, hal ini sesuai dengan yang diatur dalam
pasal 25 ayat (1) undang-undang (uu) nomor 48 tahun 2009 tentang
kekuasaan kehakiman, yang menegaskan bahwa segala putusan pengadilan
harus memuat alasan dan dasar putusan yang memuat pasal tertentu dari
peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hokum tidak
tertulis yang dijadikan dasar mengadili. 6

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, maka penulis membuat suatu


rumusan masalah yang menjadi bahan analisis, diantaranya adalah:
1. Bagaimanakah dasar pertimbangan hakim dalam penjatuhan putusan
hakim pada perkara tindak pidana korupsi di Indonesia?
2. Sejauh manakah factor yang mempengaruhi lahirnya kekeliruan
putusan hakim dalam perkara tindak pidana korupsi di Indonesia?

C. Metode Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan oleh penulis adalah metode secara


teoritis dan praktis. Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi
perkembangan ilmu pengetahuan secara umum, dan ilmu hokum secara
khusus, dan sebagai bahan referensi dan perbandingan bagi peneliti lain yang
berminat untuk meneliti lebih lanjut menegenai kekeliruan putusan
hakim,serta diharpkan dapat memberikan masukan kepada semua pihak
terkait terutama hakim dalam mempertimbangkan putusan terhadap perkara
tindak pidana korupsi.

6Hartanto, “Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman Pasal 25 ayat 1 uu no. 48 thun 2009”,


https://ejournal.undip.ac.id, 28/03/2021, halm.13
Pembahasan

A. Kekuasaan Kehakiman Dan Tugas Hakim

Salah satu unsur yang sangat mendasar dalam kekuasaan kehakiman


yaitu perkembangan kekuasaan. Maka keberadaan teori Montesquieu menjadi
sangat krusial sebab hampir semua konsep pembatasaan kekuasaan dalam
struktur ketatanegaraan suatu Negara berpijak pada teorinya. Di Indonesia
sendiri Trias Politica menjadi inspirasi pembagian kekuasaan dalam UUD NRI
1945, namun sebagaimana telah dijelaskan di atas UUD NRI 1945 tidak
menganut pemisahan kekuasaan secara tegas.7

Mewujudkan penegakan hukum di bidang kekuasaan kehakiman yang


bebas, merdeka dan mandiri merupakan salah satu tujuan yang ingin dicapai
dalam kerangka negara hukum dan demokrasi. Hal tersebut secara universal
ditegaskan dalam “Basic Principles On The Independence Of Judiciary” yang
diajukan sebagai Resolusi Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Nomor
40 tanggal 29 November 1985. Resolusi tersebut menegaskan bahwa
“kekuasaan kehakiman yang bebas, merdeka dan mandiri adalah suatu proses
peradilan yang bebas dari setiap pembatasan, pengaruh yang tidak pada
tempatnya, hasutan dan tekanan atau campur tangan langsung dan tidak
langsung terhadap proses peradilan.8

Kekuasaan kehakiman dalam amandemen terakhir UUD NRI 1945 tetap


ditempatkan sebagai kekuasaan fundamental yang memiliki fungsi
menegakkan keadilan. Resolusi PBB dan ketentuan dasar (UUD NRI 1945)
serta hukum positif (UU No. 4 tahun 2004 jo UU No. 48 tahun 2009) yang ada
di Indonesia telah memberikan dasar pijakan bagi kekuasaan kehakiman
untuk menegakkan keadilan. Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan
negara. Hal ini ditegaskan pada pasal 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004,
bahwa kekuasaan kehakiman (judicial power) adalah kekuasaan negara,
seperti halnya kekuasaan negara lainnya. Kekuasaan kehakiman memegang

7Usman Rasyid, Fence M. Wantu, Novendri M. Nggilu, “wajah kekuasaan kehakiman Indonesia”, 2020,universitas
negeri gorontalo, halm. 17
8
Fence M Wantu, Idee Des..., Op.cit. hlm. 6. Dalam resolusi Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Nomor 40
tanggal 29 November 1985.
peranan penting dalam pilar kekuasaan negara modern. Fungsi kekuasaan ini
sering disebut sebagai cabang kekuasaan yudikatif. 9

The Bangalore Principles mencantumkan adanya enam prinsip penting


yang harus dijadikan pegangan bagi para hakim di dunia, yaitu prinsip-
prinsip:10

1. Independensi (Independence Principle).


2. Ketidakberpihakan (Impartiality Principle).
3. Integritas (Integrity Principle).
4. Kepantasan dan Kesopanan (Propriety Principle).
5. Kesetaraan (Equality Principle).
6. Kecakapan dan Kesaksamaan (Competence and Diligence Principle).

Keenam prinsip etika hakim itu menjadikan hakim Indonesia untuk


merumuskan sendiri kode etik yang berlaku di Indonesia. Dalam hubungan
ini, Mahkamah Konstitusi telah menetapkan Kode Etik Hakim Konstitusi
sebagaimana tertuang dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi
No.07/PMK/2005. Maka dapat disebutkan bahwa lembaga yudikatif di
Indonesia adalah Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya,
Mahkamah Konstitusi, serta Komisi Yudisial sebagai pengusul, pengangkat
dan pengjaga kehormatan perilaku hakim.11

B. Pengertian Korupsi

Menurut Victor M. Situmorang (1990:1), korupsi secara umum dapat


dikatakan sebagai perbuatan dengan maksud untuk memperkaya diri sendiri
atau orang lain atau suatu badan, yang langsung atau tidak langsung
merugikan keuangan negara atau daerah atau keuangan suatu badan yang
menerima bantuan keuangan negara, yang mana perbuatan tersebut
dilakukan dengan menyalahgunakan jabatan/wewenang yang ada padanya 12

Definisi lain dikemukakakn oleh Adami Chazawi (2002:2)bahwa ”secara


harfiah korupsi adalah kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran,
dapat disuap, tidak bermoral, Kekeliruan putusan hakim 29 penyimpangan

9Usman rasyid, fence m. wantu, novendri m. nggilu dikutip dalam jurnal wajah kekuasaan kehakiman Indonesia,
2020,universitas negeri gorontalo, halm. 18

10 Dikutip dalam Jimly Asshiddiqie,Pengantar Ilmu..., Op.cit hlm. 317

11Usman rasyid, fence m. wantu, novendri m. nggilu dikutip dalam jurnal wajah kekuasaan kehakiman Indonesia,
2020,universitas negeri gorontalo, halm. 18 dan 19

12Victory M. Situmorang 1990, “Pengertian Korupsi”, Dikutip dalam internet https://www.blog spot.ac.id
28/03/2021, halm.3
dari kesucian, kata-kata atau ucapan yang menghina atau memfitnah
penyuapan”13

Evi Hartanti (2007:8-9) bahwa dalam Ensiklopedia Indonesia disebut


korupsi (dari bahasa latin: corruption penyuapan; corruptore merusak) gejala
dimana para pejabat, badan-badan Negara menyalahgunakan wewenang
dengan terjadinya penyuapan, pemalsuan serta ketidakberesan lainnya.
Adapun arti harfiah dari korupsi dapat berupa (Muhammad Ali, Kamus
Lengkap Bahasa Indonesia Modern, Penerbit Pustaka Amani Jakarta):

a). Kejahatan, kebusukan, dapat disuap, tidak bermoral, kebejatan, dan


ketidakjujuran (S. Wojowasito-W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Lengkap Inggris
-Indonesia, Indonesia-Inggris, Penerbit:Hasta, Bandung).

b). Perbuatan yang buruk seperti penggelapanuang, penerimaan


uang sogok, dan sebagainya (W.J.S. Poerwadarminta, Kamus
Umum Bahasa Indonesia, Penerbit: Balai Pustaka, 1976).

c). 1.Korup (busuk; suka menerima uang suap/uang sogok; memakai


kekuasaan untuk kepentingan sendiri dan sebagainya);

2.Korupsi (perbuatan busuk seperti penggelapan uang, penerimaan


uang sogok, dan sebagainya);

3.Koruptor (orang yang korupsi). Kemudian arti kata korupsi menurut


Kamus Besar Bahasa Indonesia dalam Laden Marpaung (2001: 5) memuat
pengertian korupsi sebagai penyelewengan atau penggelapan uang negara atau
perusahaan dan sebagainya untuk keuntungan pribadi atau orang lain.14

C. Kekeliruan Putusan Hakim

Putusan hakim/pengadilan merupakan out put dari keseluruhan rangkaian


penanganan perkara pidana, sehingga berhasil tidaknya penanganan perkara
pidana sangat tergantung dari putusan hakim. Apabila putusan hakim jauh
dari rasa keadilan masyarakat, maka tentunya penanganan perkara pidana
dipandang tidak berhasil, begitu juga sebaliknya apabila putusan hakim
sesuai dengan rasa keadilan masyarakat, maka penanganan perkara pidana
dipandang berhasil.
Berdasarkan hal tersebut, maka adanya kekeliruan putusan hakim
dalam perkara tindak pidana korupsi menimbulkan pertanyaan di
masyarakat, mengenai dasar pertimbangan hakim dan faktor yang
mempengaruhi adanya kekeliruan putusan hakim. Hal tersebut yang menjadi
fokus kajian dan analisis penulis dalam artikel ini.

13 Adami Chazawi (2002:2)”Pengertian korupsi” Dikutip diinternet https;//bog spot.ac.id


14 Evi Hartanti (2007:8-9)”Pengertian Korupsi” Dikutip diinternet https;//bog spot.ac.id
Dalam mengkaji dan menganalisis permasalahan kekeliruan putusan
hakim dalam perkara tindak pidana korupsi, maka penulis menggunakan
peraturan perundang-undang yaitu: Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman,15 Undang-Undang nomor 3 Tahun 1971
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, jo. Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana
diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi serta Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.16

Fakor yang mempengaruhi kekeliruan putusan hakim adalah dengan


indikator: Minimnya fakta di Persidangan, Unsur-Unsur Delik, dan Dakwaan
JPU, Pembuktian serta Substansi hukum, Pengetahuan/Pemahaman Hukum,
serta Integritas Moral yang kurang.17

Indicator variable dalam mengkaji dan menganalisis dasar pertimbangan


hakim karena fakta persidangan merupakan dasar pertimbangan hakim dalam
penjatuhan putusan, sehingga penulis ingin melihat seberapa besar pengaruh
fakta hukum dalam penjatuhan putusan terhadap perkara tindak pidana
korupsi di indonesia.18

Unsur-Unsur delik penulis jadikan sebagai indicator variabel dalam


mengkaji dan menganalisis variabel dasar pertimbangan hakim karena unsur-
unsur delik merupakan hal yang paling berpengaruh dalam merumuskan
apakah perbuatan terdakwa bersalah atau tidak, artinya kalau perbuatan
terdakwa sesuai dengan rumusan unsur-unsur delik, maka perbuatan
tersebut termasuk dalam perbuatan yang bersalah, begitu juga sebaliknya
apabila perbuatan terdakwa tidak sesuai dengan unsur-unsur delik, maka
perbuatan tersebut tidak dapat dikatakan perbuatan yang bersalah, sehingga
penulis ingin melihat seberapa besar pengaruh unsur-unsur delik dalam

15 UU no. 48 tahun 2009 tentang “Kekuasaan Kehakiman”, https://www.ejournal.ac.id


16 UU no. 3 Tahun 1971 jo UU no. 31 Tahun 1999 diubah uu no. 20 tahun 2001 “tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi, serta uu no. 8 tahun 1981 tentang kuhap”, https://www.ejournal.ac.id
17 Rusdin, “factor yang mempengaruhi putusn hakim”, https://www.diglib.unhas.ac.id
18 Riski Rahman “tesis analisis terhadap kekeliruan putusan hakim”, https://www.diglibing.unhas.ac.id
merumuskan pertimbangan putusan hakim terhadap perkara tindak pidana
korupsi di Indonesia.19

Dakwaan Jaksa Penuntut Umum, penulis jadikan indicator variabel


dalam mengkaji dan menganalisis variabel dasar pertimbangan Hakim karena
dakwaan Jaksa Penuntut Umum merupakan hal yang harus dibuktikan dalam
persidangan, apakah perbuatan terdakwa sesuai dengan dakwaan yang
diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum atau tidak, sehingga penulis ingin
melihat seberapa besar pengaruh dakwaan Jaksa Penuntut Umum dalam
merumuskan dasar pertimbangan Hakim dalam perkara tindak pidana
korupsi.

Pembuktian penulis jadikan indikator variabel dalam mengkaji dan


menganalisis variabel dasar pertimbangan Hakim dalam penjatuhan putusan
karena pembuktian merupakan hal yang sangat fundamental dalam
menentukan bersalah tidaknya seseorang karena dalam pembuktian akan
terurai perbuatan terdakwa, apakah terdapat Kekeliruan putusan hakim
dikatakan bersalah atau tidak, sehingga penulis ingin melihat seberapa besar
pengaruh pembuktian dalam merumuskan dasar pertimbangan Hakim dalam
penjatuhan putusan terhadap perkara tindak pidana korupsi.

Substansi hukum penulis jadikan indikator variabel dalam mengkaji dan


menganalisis faktor yang mempengaruhi kekeliruan putusan hakim dalam
perkara tindak pidana korupsi, karena untuk mengetahui sejauh mana
substansi hukum telah memberikan landasan yang kuat terhadap lahirnya
putusan hakim yang berkeadilan.

Pengetahuan/pemahaman hokum hakim penulis jadikan indicator


variabel dalam mengkaji dan menganalisis faktor yang mempengaruhi
kekeliruan putusan hakim, karena pengetahuan/pemahaman hukum dari
Hakim sangat berpengaruh dalam menentukan bersalah tidaknya Terdakwa di
depan persidangan, sehingga penulis ingin melihat seberapa besar pengaruh

19 Riski Rahman, “tesis analisis terhadap kekeliruan putusan hakim”, https://www.diglibing.unhas.ac.id


pengetahuan dan pemahaman hukum dari Hakim dalam penjatuhan putusan
terhadap perkara tindak pidana korupsi.

Integritas moral penulis jadikan indikator variabel dalam mengkaji dan


menganalisis faktor yang mempengaruhi penjatuhan kekeliruan putusan
hakim, karena penulis ingin melihat seberapa besar pengaruh integritas moral
dari Hakim dalam penjatuhan putusan terhadap perkara tindak pidana
korupsi.

Apabila kedua variabel bebas tersebut di atas berfungsi sebagaimana


mestinya, maka akan terwujud variabel terikat (Dependen Variabel), yaitu:
Terwujudnya optimalisasi putusan pengadilan perkara tindak pidana korupsi
yang berkeadilan.20

Contoh-contoh perkara kasus korupsi yang dipidana dengan kurungan


penjara yang singkat.

1. Kasus korupsi, 3 pejabat PUPR divonis kurungan penjara 6 tahun dan


denda Rp.250 juta serta subsidi 2 bulan kurungan.
2. Kasus Sofyan Basir dituntut hkuman 5 tahun penjara denda Rp.200
juta subsidi pidana selama 3 bulan.
3. Kasus korupsi 31M, ketua DPRD Bengkalis divonis 1,5 tahun penjara
denda Rp.50 juta serta subsidi 2 bulan.
4. Kasus Dony Witono direktur PT Menara Agung Pusaka vonis 2 tahun
penjara, denda Rp.50 juta serta subsidi 1g bulan kurungan.
5. Kasus kepala dinas bina marga lampung tengah, Taufik Rahman, vonis
2 tahun penjara, denda Rp.100 juta serta subsidi 2 bulan kurungan.21

Kesimpulan

Dasar pertimbangan hakim dalam penjatuhkan putusan yang


diskriminatif tidak sepenuhnya didasarkan pada fakta hukum yang terungkap
di persidangan, unsur-unsur tindak pidana yang didakwakan oleh jaksa

20Riski Rahman, “tesis analisis terhadap kekeliruan putusan hakim”, https://www.diglibing.unhas.ac.id


21 Burhanudin, “contoh-contoh perkara kasus korupsi”, https://www.m.cnnindonesia.com
penuntut umum yang kurang dipertimbangkan oleh Hakimdalam persidangan
dan sistem pembuktian terbalik, terbatas dan berimbang yang dianut dalam
perkara tindak pidana korupsi, yang tidak diterapkandengan baik.

Daftar Pustaka

1 Usman Rasyid, Fence M. Wantu, Novendri M. “wajah kekuasaan kehakiman


Indonesia”, 2020,Universitas Negeri Gorontalo, halm. 15

1Ahmad, A., & Nggilu, N. M. (2020). “Denyut Nadi Amandemen Kelima UUD 1945
Melalui Pelibatan Mahkamah Konstitusi Sebagai Prinsip the Guardian Of The
Contitution”. Jurnal Konstitusi,16 (4), 758-808`

1Anwar Husain, “kekuasaan kehakiman”, https://www.jogloabang.com, 28/03/2021,


Halm.3

1Suryantto, “Proses peradilan Indonesia kitab undang-undang hokum acara pidana Uu


no 8 tahun 1981”, https://www.ejounal hokum.ac.id

1Readford, “pengambilan kekuasaan” asiyarfitriyadi,2005;


https://www.eprints.ums.ac.id 28/03/2021, Halm.16

1 Hartanto, “Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman Pasal 25 ayat 1 uu no. 48 thun


2009”, https://ejournal.undip.ac.id, 28/03/2021, halm.13
Usman Rasyid, Fence M. Wantu, Novendri M. Nggilu, “wajah kekuasaan kehakiman
Indonesia”, 2020,universitas negeri gorontalo, halm. 17

1Fence M Wantu, Idee Des..., Op.cit. hlm. 6. Dalam resolusi Umum Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB) Nomor 40 tanggal 29 November 1985.
1Usman rasyid, fence m. wantu, novendri m. nggilu dikutip dalam jurnal wajah
kekuasaan kehakiman Indonesia, 2020,universitas negeri gorontalo, halm. 18

1 Dikutip dalam Jimly Asshiddiqie,Pengantar Ilmu..., Op.cit hlm. 317

1Usman rasyid, fence m. wantu, novendri m. nggilu dikutip dalam jurnal wajah
kekuasaan kehakiman Indonesia, 2020,universitas negeri gorontalo, halm. 18 dan 19

1Victory M. Situmorang 1990, “Pengertian Korupsi”, Dikutip dalam internet


https://www.blog spot.ac.id 28/03/2021, halm.3

1Adami Chazawi (2002:2)”Pengertian korupsi” Dikutip diinternet https;//bog


spot.ac.id

1 Evi Hartanti (2007:8-9)”Pengertian Korupsi” Dikutip diinternet https;//bog spot.ac.id

1 UU no. 48 tahun 2009 tentang “Kekuasaan Kehakiman”, https://www.ejournal.ac.id

1 UU no. 3 Tahun 1971 jo UU no. 31 Tahun 1999 diubah uu no. 20 tahun 2001
“tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, serta uu no. 8 tahun 1981 tentang
kuhap”, https://www.ejournal.ac.id

1 Rusdin, “factor yang mempengaruhi putusn hakim”, https://www.diglib.unhas.ac.id

1Riski Rahman “tesis analisis terhadap kekeliruan putusan hakim”,


https://www.diglibing.unhas.ac.id

1Riski Rahman, “tesis analisis terhadap kekeliruan putusan hakim”,


https://www.diglibing.unhas.ac.id

1RiskiRahman, “tesis analisis terhadap kekeliruan putusan hakim”,


https://www.diglibing.unhas.ac.id

1Burhanudin, “contoh-contoh perkara kasus korupsi”,


https://www.m.cnnindonesia.com

Anda mungkin juga menyukai