:
Perencanaan Kota Dan Kontradiksi Pembangunan Berkelanjutan
Dimasa depan para perencana akan menghadapi keputusan yang sulit tentang dalam
mendirikan dan melindungi kota hijau, mempromosikan kota yang tumbuh secara ekonomi, dan
menciptakan keadilan sosial. Konflik di antara tujuan-tujuan ini bukanlah konflik dasar yang
muncul hanya dari perspektif pribadi. Dan tidak hanya secara konseptual, namun diantaranya
seperti gagasan logika ekologi, ekonomi, dan politik atau masalah sementara yang disebabkan
oleh kesadaran lingkungan dan resesi ekonomi yang terlalu dini. Sebaliknya konflik-konflik ini
masuk ke dalam inti sejarah perencanaan, dan merupakan motif utama dalam pertempuran
kontemporer di kota-kota dan daerah pedesaan. Pada pembahasan ini saya akan membahas
mengenai model segitiga sederhana untuk memahami perbedaam prioritas perencanaan.
A. Segitiga Perencana: Tiga Prioritas, Tiga Konflik
Perencanaan harus mendamaikan bukan dua, tetapi setidaknya tiga kepentingan yang saling
bertentangan. Seperti pertumbuhan ekonomi, mendistribusikam pertumbuhan secara adil, dan
dalam prosesnya tidak merusak ekosistem. Dalam dunia yang ideal, para perencana akan
berusaha untuk mencapai keseimbangan dari ketiga tujuan tersebut. Namun dalam praktiknya,
kendala profesional dan fiskal secara drastis membatasai kelonggaran sebagai besar perencana.
Melayani kepentingan publik yang lebih luas dengan menyeleraskan pertumbuhan, pelestarian,
dan kesetaraan secara holistik tetap ideal. Kenyataannya dalam praktik perencana dibatasi
untuk melayani kepentingan otoritas dan birokrasi. Pada akhirnya, para perencana biasanya
mewakili satu tujuan tertentu, mungkin untuk meningkatkan pendapatan pajak properti, atau
pelestarian ruang terbuka, serta perumahan yang lebih baik bagi masayarakat miskin.
Titik (sudut) segitiga: Ekonomi, Lingkungan dan Pemerataan
Tiga jenis prioritas tersebut mengarah pada tiga perspektif tentang kota: perencanaan
pembangunan ekonomi melihat kota sebagai lokasi dimana produksi, konsumsi, distribusi, dan
inovasi berlangsung. Kota ini bersaing dengan kota-kota lain untuk pasar dan industri baru.
Perencana lingkungan melihat kota sebagai konsumen sumber daya dan penghasil limbah. Kota
bersaing dengan alam untuk sumber daya dan tanah yang langka, dan menjadi ancaman bagi
alam.
Perencana ekuitas melihat kota sebagai konflik atas distribusi sumber daya, layanan, dan
peluang. Dimana persaingan ada di dalam kota itu sendiri, diantara kelompok-kelompok sosial
yang berbeda. Ruang adalah sosial komunitas, organisasi lingkungan, dan lain sebagainya.
Sumbu segitiga 1: konflik properti
Konflik pertama, antara pertumbuhan ekonomi dan pemerataan, muncul dari persaingan klaim
dan penggunaan properti, seperti antara manajemen dan tenaga kerja, tuan tanah dan
penyewa. Konflik pertumbuhan keadilan ini semakin rumit karena masung-masing pihak tidak
hanya menentang yang lain, tetapi juga membutuhkan yang lain untuk kelangsungan hidupnya.
Sumbu segitiga 2: konflik sumber daya
Konflik sumber daya yang dimaksud disini adalah dalam regulasi menolak adanya eksploitasi
alam, tetapi pada saat yang sama membutuhkan regulasi untuk melestarikan sumber daya alam
tersebut.
Sumbu segitiga 3: konflik pembangunan
Sumbu yang segitiga yang paling sulit dipahami adalah konflik pembangunan yang terletak
diantara kutub keadilan sosial dan pelestarian lingkungan. Jika konflik properti dicirikan dalam
menyediakan setidaknya kehidupan subsisten bagi orang-orang yang bekerja, dan konflik
sumber daya dalam menyediakan kondisi yang berkelanjutan bagi lingkungan alam, sedangkan
konflik pembangunan berasal dari kesulitan melakukan keduanya.