Anda di halaman 1dari 4

BAB I

PENDAHULUAN

Human Immunodeficiency virus (HIV) termasuk golongan retrovirus yang menyerang

sistem imun tubuh manusia. Virus ini tidak menyebabkan kematian secara langsung pada

penderitanya melainkan menyebabkan menurunnya fungsi sistem imun sehingga

mengakibatkan penderitanya mudah terserak infeksi oportunistik. Kumpulan infeksi atau

gejala yang diakibatkan oleh HIV disebut sebagai Acquired Immune Deficiency

Syndrome (AIDS). Sampai saat ini infeksi HIV/AIDS masih menjadi momok besar dalam

dunia kesehatan. Jumlah kasus baru infeksi HIV terus mengalami peningkatan setiap

tahunnya. World Health Organization (WHO) mencatat sekitar 35 juta penduduk dunia

terjangkit virus HIV pada tahun 2013. Pada tahun yang sama juga tercatat sebanyak 1,5

juta penduduk dunia meninggal akibat virus HIV. Data yang dilaporkan oleh United

Nations Programme on HIV and AIDS (UNAIDS) pada tahun 2015 tercatat 36,7 juta

penduduk dunia terjangkit virus HIV dan 2,1 juta kasus diantaranya merupakan kasus

baru (UNAIDS, 2015). Indonesia dimasukkan sebagai negara tingkat endemi

terkonsentrasi dimana insiden AIDS tertinggi pada subpopulasi tertentu, seperti PSK,

kelompok pengguna NAPZA, dan anak jalanan. Menurut data Direktorat Jendral

Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kementerian Kesehatan Republik

Indonesia dalam triwulan Juli sampai September 2014 mencatat terdapat penambahan

kasus infeksi HIV sebanyak 7.335 kasus dan yang telah memasuki stadium AIDS

mencapai 176 kasus (Ditjen PP & Kemenkes RI, 2014). Pusat Data dan Informasi

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia mencatat jumlah kasus kumulatif penderita

HIV sampai Maret 2017 tercatat sebanyak 242.699 kasus dengan 87.453 kasus telah

berkembang menjadi AIDS (Anggina dkk., 2019).


Paradigma baru yang menjadi salah satu program Milenium Development Goals (MDGs)

2010 poin ke-6 terkait pengendalian penyakit infeksi salah satunya HIV/AIDS. Selain itu

UNAIDS juga menyatakan tujuan global adalah untuk menciptakan zero AIDS - related

death. Dimana hal tersebut dapat tercapai dengan penatalaksanaan kasus HIV yang tepat

(UNICEF, 2012). Sampai saat ini pengobatan antiretroviral (ARV) kombinasi merupakan

terapi terbaik bagi pasien yang terinfeksi HIV. ARV dipercaya mampu menekan jumlah

virus (viral load) sehingga memungkinkan terjadinya peningkatan sistem imun pada

penderita HIV. Data yang dicatat oleh World Health Organization (WHO) pada tahun

2015 menunjukkan tingkat keberhasilan ARV dalam menurunkan angka kematian akibat

HIV/AIDS dari 1,5 juta penduduk dunia pada tahun 2010 menjadi 1,1 juta penduduk

dunia pada tahun 2015. Tingkat kepatuhan (adherence) merupakan faktor utama penentu

keberhasilan pengobatan infeksi HIV dengan ARV. Penekanan jumlah virus (viral load)

dalam jangka waktu yang lama dan stabil berperan penting dalam mempertahankan

efektivitas sistem imun. Dengan demikian, diharapkan dapat menurunkan angka

mortalitas pada pasien positif HIV (Karyadi, 2017).

Saat ini stigma menjadi hambatan terbesar dalam penatalaksanaan kasus HIV/AIDS.

Stigma merupakan prasangka buruk yang memberikan label seseorang yang terpisahkan

dari kelompok tertentu. Stigma menghasilkan tindakan diskriminasi yaitu tindakan tidak

mengakui atau tidak mengupayakan pemenuhan hak-hak dasar individu sebagaimana

mestinya. Stigma dan diskriminasi terhadap pasien HIV/AIDS seringkali dijumpai dalam

kehidupans sehari-hari tidak terkecuali pada praktik-praktik pelayanan kesehatan.

(UNAIDS, 2013). Menurut Nyblade dkk (2009), terdapat faktor utama penyebab

munculnya stigma pada praktik-praktik pelayanan kesehatan yaitu ketakutan akan tertular

HIV. Stigma yang berkembang dalam praktik pelayanan kesehatan akan memunculkan

sikap diskriminasi dalam menangani pasien HIV meliputi penolakan dalam merawat

pasien positif HIV, penundaan perawatan, dan kualitas perawatan yang buruk.
Penatalaksaan kasus HIV yang terlambat dan kurang tepat seringkali mengakibatkan

munculnya berbagai infeksi oportunistik yang menandakan terjadinya AIDS. Infeksi

oportunistik didefinisikan sebagai infeksi yang menyebabkan peningkatan frekuensi dan

keparahan bagi penderita HIV. Infeksi ini dapat disebabkan oleh patogen yang tidak

bersifat invasif pada orang sehat namun dapat menyerang secara invasif pada orang yang

mengalami penurunan sistem imun. Data Departemen Kesehatan RI tahun 2007

menunjukkan kandidiasis oral (80,8%) sebagai infeksi oportunistik yang paling banyak

terjadi pada pasien HIV/AIDS. Kandidiasis oral merupakan infeksi oportunistik yang

diakibatkan oleh pertumbuhan Candida spp. yang berlebih dalam rongga mulut. Jenis

kandida yang paling sering mengakibatkan kandidiasis oral adalah candida albicans,

candida glabarata, candida krusei, dan candida tropicalis. Pasien HIV/AIDS memiliki

risiko 2,5 kali lebih tinggi untuk mengalami kandidiasis oral (Regezi, 2012; Scully,

2013). Selain itu pasien positif HIV juga berpotensi mengalami infeksi Human Papilloma

Virus (HPV). Penelitian yang dilakukan oleh Mitchel dkk. (2012) menyatakan sebanyak

25-40% penderita HIV/AIDS yang tidak diterapi dapat mengalami neoplasma terkait

HPV. HPV merupakan virus DNA epitheliotropic sehinga menginfeksi kulit dan mukosa.

Prevalensi HPV yang paling sering ditemukan pada penderita HIV adalah tipe 16 dan 18.

Berdasarkan hal tersebut mendorong penulis untuk membahas mengenai telaah lebih

lanjut terkait kandidiasi oral pada pasien HIV, interaksi HIV-HPV, dan stigma yang

terjadi pada pelayanan kesehatan secara umum dan praktik kedokteran gigi secara khusus.

Daftar Pustaka

Mitchel RN, Kummar V, Abbas AB, Fausto N, Aster JC. Disease of the immune system. In:

Pocket Companion to Robbins and Cotran Pathologic Basis of Disease. 8 th ed,

International Edition. Philadelphia: Elsevier; 2012.


Nyblade, L., Stangl, A., Weiss, E., & Ashburn, K. (2009). Combating HIV stigma in health

care settings: what works? Journal of the international AIDS Society, 12(1), 15.

The Joint United Nations Programme on HIV/AIDS. Global AIDS statistic 2014. World

Health Organization; 2015. p. 1-8.

Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kementerian

Kesehatan Republik Indonesia. Situasi dan analisis HIV/AIDS. Pusat Data dan Informasi

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia; 2014. p. 1-8

Anggina, Y., Lestari, Y. Zairl. Analisis Faktor yang Mempengaruhi Penanggulangan

HIV/AIDS di Wilayah Kerja Dinas Kesehatan Kabupaten Padang Pariaman Tahun 2018.

Jurnal Kesehatan Andalas. 2019:8;2.

Scully C. Oral and maxillofacial medicine-the basis of diagnosis and treatment. 3 rd Ed.

London: Elsevier 2013: 346-54

UNAIDS, (2013b).Global report: UNAIDS report on the global AIDS epidemic 2013. WHO

Library Cataloguing-in-Publication Data, (online) diakses 4 Februari 2014.

Regezi JA, Sciubba JJ, Jordan RCK. Oral pathology clinical pathologic correlations. 6 th

Ed. St Louis: Elsevier 2012:104-8

UNICEF, Multiple Indicator Cluster Survey Kabupaten Terpilih di Papua dan Papua Barat,

in Temuan Kunci Awal. 2012, Badan Pusat Statistik: Propinsi Papua & Papua Barat

Anda mungkin juga menyukai