PEMBAHASAN
menyerang sel-sel sistem kekebalan tubuh manusia terutama sel CD4 + dengan cara
mengakibatkan terjadinya penurunan sistem imun sehingga menjadi lebih rentan terhadap
berbagai macam infeksi lainnya. Mekanisme infeksi HIV dimulai dengan masuknya virus
kedalam tubuh pejamu. Kemudian virus akan menginfeksi sel limfosit CD4 kemudian
menginfeksi makrofag, sel dendritik, dan mikroglia. Selubung protein gp120 akan
menggunakan antigen CD4 sebagai reseptor untuk perlekatan awal. Selanjutnya selubung
protein gp120 akan membutuhkan chemokine CCR5 sebagai koreseptor untuk selubung
protein kedua yaitu gp41 berinteraksi dengan membran sel penjamu dan memungkinkan HIV
masuk kedalam sel penjamu. Pembentukan DNA dilakukan oleh enzim reverse transcriptase.
DNA virus akan terintegrasi didalam genom sel penjamu untuk replikasi protein virus
sehingga dapat menghasilkan virus baru. Proses tersebut menyebabkan kerusakan pada sel
CD4 sehingga fungsinya sebagai sel imun tidak dapat berjalan (Freed dkk., 1995; Lackner
dkk., 2007).
Replikasi virus akan terus terjadi sejak hari pertama infeksi HIV. Replikasi HIV tersebut
menyababkan terjadinya viremia disertai dengan sindrom HIV akut. Virus akan semakin
menyebar ke seluruh tubuh dan menginfeksi sel CD4, makrofag, sel dendritik, dan mikroglia
pada bagian tubuh yang lain. Setelah infeksi akut akan terjadi masa laten (clinical latency
period) dimana pada fase ini kelenjar getah bening dan limpa menjadi tempat replikasi virus
HIV dan destruksi sel penjamu. Pada fase ini sistem imun masih kompeten dalam
mengeliminasi infeksi mikroorganisme dan belum muncul manifestasi klinis infeksi HIV.
Apabila tidak dilakukan perawatan sedini mungkin maka replikasi HIV dan penghancuran sel
penjamu akan terus berjalan sampai memasuki fase akhir dan letal yang disebut sebagai
gejala, ataupun sindrom yang timbul akibat melemahnya fungsi imunitas tubuh akibat HIV
(Schmidtz dkk., 1999). Pada fase ini berbagai macam infeksi oportunistik. Infeksi
oportunistik disebabkan oleh patogen yang tidak bersifat invasif pada orang sehat namun
dapat menyerang secara invasif pada orang yang mengalami penurunan sistem imun. Data
Departemen Kesehatan RI tahun 2007 menunjukkan kandidiasis oral (80,8%) sebagai infeksi
oportunistik yang paling banyak terjadi pada pasien HIV/AIDS. Kandidiasis oral merupakan
infeksi oportunistik yang diakibatkan oleh pertumbuhan Candida spp. yang berlebih dalam
rongga mulut. Jenis kandida yang paling sering mengakibatkan kandidiasis oral adalah
candida albicans, candida glabarata, candida krusei, dan candida tropicalis. Oropharyngeal
candidiasis (OPC) merupakan jenis kandidiasis oral yang paling sering terjadi. OPC
seringkali muncul sebagai manifestasi awal infeksi HIV. Silverman (1996) menyatakan
sekitar 80-90% pasien dengan AIDS mengalami OPC. Pada kasus OPC spesies candida
albicans ditemukan dalam jumlah yang tinggi. Kemampuan candida albicans untuk melekat
pada sel-sel epitel berperan penting dalam membentuk kolonisasi oral yang menyebabkan
mikroorganisme tersebut dapat bertahan hidup. Invasi candida albicans pada sel-sel epitel
dibedakan menjadi dua mekanisme yaitu endocytosis dan active penetration. Hifa candida
albicans pada mekanisme endocytosis akan mengekspresikan invasin Als3 dan Ssa1 yang
akan melekat pada E-cadherin dan heterodimer yang tersusun dari epidermal growth factor
receptor (EGFR) dan HER2 pada permukaan epitel (Sun dkk., 2010; Swidergall dkk., 2017;
Zhu dkk., 2012). Perlekatan tersebut kemudian akan mendorong aktivitas clathrin-dependent
endocytosis dan menginduksi sel-sel epitel untuk menghasilkan pseupoda yang akan
membawa jamur kedalam sel. Selain itu epithelial cell signaling pathways yang meliputi
candida albicans untuk masuk kedalam sel epitel. Selain itu candida albicans dapat
berpenetrasi kedalam sel epitel melalui rute paraseluler dengan mensekresikan enzim
secreted aspartyl proteinase. Enzim tersebut akan mendegredasi E-cadherin dan protein
kedalam sel. Infeksi candida albicans juga akan menstimulasi aktivitas epithelial cell
calpain, cysteine protease yang akan mendegredasi E-cadherin. Aktivitas calpain akan
meningkat secara drastis ketika terjadi ko-infeksi candida albicans dan streptococcus oralis
Invasi candida albicans kedalam sel epitel akan mengakibatkan kerusakan pada sel tersebut.
Sel epitel akan berespon terhadap invasi candida albicans dengan mensekresukan sitokin
proinflamasi dan peptida antimikrobial. Penghancuran sel epitel diakibatkan oleh aktivitas
candidalysin. Candidalysin merupakan suatu toksin yang disekresikan oleh candida albicans
Terdapat sejumlah pilihan agen antijamur yang dapat digunakan dalam manajemen OPC pada
pasien HIV. Centers for Disease Control, National Institus of Health, dan HIV Medicine
Association of the Infectious Disease Society of America menyarakan terdapat beberapa hal
yang harus dipertimbangkan dalam pemilihan agen antijamur dalam manajemen OPC pada
pasien HIV. Pada pasien positif HIV, efektivitas antijamur akan lebih rendah dibandingkan
antijamur pada manajemen OPC pada pasien HIV yang disajikan dalam tabel 1 serta
Tabel 1. Rekomendasi Agen Antijamur dalam Manajemen OPC pada Pasien HIV (Vazquez
J., 2010).
Tabel 2. Tingkat Keberhasilan Agen Antijamur dalam Manajemen OPC pada Pasien HIV
Penelitian yang dilakukan oleh Schmidt dkk. (2012) terkait NDV-3 sebagai vaksin candida
tingkat toleransi, dan imunogenitas NDV-3 pada dua level antigen yang berbeda yang
dibandingkan dengan plasebo salin. Sebanyak 40 sampel di pilih secara acak untuk menerima
NDV-3 30 μg AIsp3, 300 μg AIsp3, atau plasebo. Hasil menunjukkan level total IgG dan
IgA1 pada kelompok yang menerima NDV-3 mengalami level puncak pada hari ke-14
vaksinasi. NDV-3 menstimulasi produksi peripheral blood mononuclear cell (PBMC) yang
mencapai puncak pada hari ke-7 pada sampel yang menerima dosis 300 μg dan hari ke-28
Selain kandidiasis oral, pada pasien pasien positif HIV juga berpotensi mengalami infeksi
oportunistik Human Papilloma Virus (HPV). HPV merupakan virus DNA epitheliotropic sehinga
menginfeksi kulit dan mukosa. Data epidemiologi menunjukkan pasien HIV memiliki risiko HPV-
induced cancers terutama head and neck cancers (HNC). Pada pasien positif HIV, defisiensi sel
CD4+T menyebabkan respon imun cell-mediated CD4+T melemah yang mengakibatkan mudahnya
invasi HPV.
Penurunan ketersediaan populasi sel CD4 +T menyebabkan hilangnya respon HPV-specific CTL.
Beberapa studi menunjukkan hubungan HPV dan HIV melalui up-regulation dari ekspresi gen
onkogenik HPV (E6 dan E7) oleh tat. HIV-protein tat disekresikan dari HIV-infected intraepithelial
immune cells yang berperan dalam penghancuran epithelial tight junction yang akan memfasilitasi
Beberapa studi melaporkan level CD4 +T yang sangat rendah pada pasien positif HIV yang termasuk
dalam golongan high-risk HPV (HR-HPV). Beachler dkk. (2013) bahwa pasien positif HIV memiliki
peluang 2-3 kali lebih besar untuk mengalami infeksi HPV persisten. Studi pembanding melaporkan
efektivitas antiretroviral therapy dalam jangka panjang menunjukkan adanya HIV-1 suppression
yang berkepanjangan dan level CD4 +T stabil sehingga angka HR-HPV semakin menurun. Hal
tersebut kontras dengan penelitian yang dilaporkan Verma dkk. (2017) terkait efek combined
antiretroviral therapy (cART) terhadap ko-infeksi HIV/HPV yang menunjukkan sebanyak 28% kasus
infeksi HPV persisten pada pasien positif HIV. Sebanyak 42% diantaranya ditemukan genotipe HPV
yang sama pada kasus infeksi HPV awal. Verma dkk. (2015) kemudian menggunakan model
matematika untuk menentukan efek tat pV, CTL numbers K (T), dan ekspresi onkogenik pada kasus
infeksi persisten HPV. Perhitungan menggunakan pasien memiliki T = 3,3x105 sel CD4 +T per ml dan
V= 4,8x104 virion per ml pada hari t=0 ketika cART baru dimulai. Efektivitas obat dianggap εRT =
0.95, εPI = 0.5 dan faktor onkogenik ε = 0.5. Apabila ko-infeksi dimasukkan dalam perhitungan model
maka pV=1 dan K(T) = 11,5 sel sehingga aktivitas HPV dapat diamati selama dilakukan cART.
HPV merupakan virus DNA epitheliotropic sehinga menginfeksi kulit dan mukosa. Data
epidemiologi menunjukkan pasien HIV memiliki risiko HPV-induced cancers terutama head and
neck cancers (HNC). HNC merupakan sekelompok kanker yang dapat terjadi pada rongga mulut,
faring, dan laring. HNC merupakan jenis kanker terbanyak yang dijumpai dengan insiden lebih dari
400.000 kasus di dunia. Sebanyak 25% dari total kasus HNC terkait dengan infeksi HPV. HPV-
associated HNC melibatkan ekspresi gen onkogen E6 dan E7 yang berfungsi menonaktifkan gen
tumor suppressor p53 dan pRB. Studi terbaru menunjukkan prevalensi oncogenic oral HPV DNA
pada pasien positif HIV sebesar 12%-45%. HPV-16 merupakan tipe HPV yang menyebabkan lebih
dari 80% kanker orofaring pada kasus ko-infeksi HIV/HPV. Selain itu kebiasaan merokok juga
menjadi faktor risiko HPV-associated HNC. Penggunaan tembakau dalam rokok memiliki efek
sebagai immunosupressive dengan melemahkan imunitas selular dan innate immunity pada level
Penatalaksaan kasus HIV beserta berbagai macam infeksi oportunistik penyerta seringkali
menemukan berbagai macam hambatan. Hambatan utama yang dijumpai adalah stigma negatif
yang tertanam dalam masyarakat terkait penderita HIV. Stigma merupakan prasangka buruk yang
memberikan label seseorang yang terpisahkan dari kelompok tertentu. Stigma menghasilkan tindakan
diskriminasi yaitu tindakan tidak mengakui atau tidak mengupayakan pemenuhan hak-hak dasar
individu sebagaimana mestinya. Stigma dan diskriminasi terhadap pasien HIV/AIDS seringkali
dijumpai dalam kehidupans sehari-hari tidak terkecuali pada praktik-praktik pelayanan kesehatan.
(UNAIDS, 2013). Menurut Nyblade dkk (2009), terdapat faktor utama penyebab munculnya stigma
pada praktik-praktik pelayanan kesehatan yaitu ketakutan akan tertular HIV. Stigma yang
berkembang dalam praktik pelayanan kesehatan akan memunculkan sikap diskriminasi dalam
menangani pasien. Berbagai macam bentuk stigma dan diskriminasi yang dilakukan oleh petugas
2. Penggunaan alat perlindungan diri yang berlebihan dalam menangani pasien HIV
4. Kualitas perawatan yang buruk pada pasien HIV seperti pemeriksaan HIV yang tidak
dilakukan secara menyeluruh, konseling pre-post yang tidak adekuat, dan tidak ada jaminan
Di bidang kedokteran gigi sendiri, prosedur perawatan gigi dan mulut seringkali
patogen, seperti HIV. Selain itu sebanyak 60-70% pasien positif HIV memiliki
manifestasi di rongga mulut pada fase awal yang dapat digunakan sebagai kriteria
menjadikan dokter gigi termasuk ke dalam kelompok profesi yang memiliki resiko yang
tinggi mengalami kontaminasi silang. Hal ini dapat menjadi salah satu penyebab banyak
dokter gigi yang enggan untuk memberikan pelayanan kesehatan gigi dan mulut kepada
pasien HIV/AIDS. Tersebut tentunya berdampak pada kesulitan pasien HIV/AIDS dalam
Stigma dan diskriminasi yang muncul pada pelayanan gigi dan mulut
mencari perawatan gigi dan mulut (Martiningsih dkk, 2015). Hal tersebut mendasari
berbagai macam upaya penting dilakukan untuk mengurangi stigma oleh petugas layanan
pengetahuan terkait cara penularan dan pencegahan HIV dapat meningkatkan sikap
positif petugas kesehatan termasuk dokter gigi dalam menangani pasien positif HIV
sehingga dapay mengurangi stigma dan diskriminasi dalam lingkungan kesehatan dan
meningkatkan layanan tes sukarela dan rahasia (VCT) (Martiningsih dkk, 2015).
Sumber :
Martiningsih, Haris, A., Wulandari, A. 2015. Stigma Petugas Kesehatan Terhadap Pasien
HIV/AIDS dan Problem Solving. Jurnal Kesehatan Prima; 9(2): 1471-7
Wibowo, T., Parisihi, K., Haryanto, D. 2009. Proteksi Dokter Gigi sebagai Pemutus Rantai
Infeksi Silang. Jurnal PDGI; 58(2): 6-9
Oberoi, SS., Marya, CM., Sharma, N., Mohanty V., Marwah, M., Oberoi, A., Knowledge and
Attidute of Indian Clinical Dental Students towards the Dental Treatment of Patient with
Human Immunodeficiency Virus (HIV)/ Acquired Immuno-Deficiency Syndrome (AIDS).
International Dental Journal; 64: 324-332
living with HIV infection. HIV/AIDS - Research and Palliative Care. 89-101
Schmidt C., White C., Ibrahim, Filler S., Fu Y., Yeaman M., Edwards J., Hennessey J. 2012.
NDV-3, a Recombinant Alum-Adjuvanted Vaccine for Candida and Staphylococcus aureus is Safe and
Immunogenic in Healthy Adults. National Institute of Health Public Access; 30(52): 7594-7600
Silverman, S.J.r, Gallo J.W., McKnight M.L., Mayer P., de Sanz S., Tan M.M. Clinical
Candidiasis. Oral Surg. Oral Med. Oral Pathol. Oral Radiol. Endod 1996. 82, 402—407.
Phan QT, Myers CL, Fu Y, Sheppard DC, Yeaman MR, et al. (2007) Als3 is a Candida albicans invasin
that binds to cadherins and induces endocytosis by host cells. PLoS Biology; 5(3): 0543-0557
Swidergall M., Filler S. 2017. Oropharyngeal Candidiasis: Fungal Invasion and Epithelial Cell
Sun JN, Solis NV, Phan QT, Bajwa JS, Kashleva H, et al. (2010) Host cell invasion and virulence
Zhu W, Phan QT, Boontheung P, Solis NV, Loo JA, et al. (2012) EGFR and HER2 receptor kinase
signaling mediate epithelial cell invasion by Candida albicans during oropharyngeal infection.
Proceedingss National Academy Sciences of The United States of America; 109(35): 14194-14199
Freed EO, Englund G, Martin MA. Role of the basic domain of human immunodeficiency virus type 1
Lackner AA, Veazey RS. Current concepts in AIDS pathogenesis: insights from the IV/ macaque
Schmitz JE, Kuroda MJ, Santra S, Sasseville VG, Simon MA, Lifton MA, et al. Control of viremia in