Anda di halaman 1dari 11

BAB III

PEMBAHASAN

Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan virus golongan retrovirus yang

menyerang sel-sel sistem kekebalan tubuh manusia terutama sel CD4 + dengan cara

menghancurkan sel-sel tersebut atau mengganggu fungsi kerjanya. Hal tersebut

mengakibatkan terjadinya penurunan sistem imun sehingga menjadi lebih rentan terhadap

berbagai macam infeksi lainnya. Mekanisme infeksi HIV dimulai dengan masuknya virus

kedalam tubuh pejamu. Kemudian virus akan menginfeksi sel limfosit CD4 kemudian

menginfeksi makrofag, sel dendritik, dan mikroglia. Selubung protein gp120 akan

menggunakan antigen CD4 sebagai reseptor untuk perlekatan awal. Selanjutnya selubung

protein gp120 akan membutuhkan chemokine CCR5 sebagai koreseptor untuk selubung

protein kedua yaitu gp41 berinteraksi dengan membran sel penjamu dan memungkinkan HIV

masuk kedalam sel penjamu. Pembentukan DNA dilakukan oleh enzim reverse transcriptase.

DNA virus akan terintegrasi didalam genom sel penjamu untuk replikasi protein virus

sehingga dapat menghasilkan virus baru. Proses tersebut menyebabkan kerusakan pada sel

CD4 sehingga fungsinya sebagai sel imun tidak dapat berjalan (Freed dkk., 1995; Lackner

dkk., 2007).

Replikasi virus akan terus terjadi sejak hari pertama infeksi HIV. Replikasi HIV tersebut

menyababkan terjadinya viremia disertai dengan sindrom HIV akut. Virus akan semakin

menyebar ke seluruh tubuh dan menginfeksi sel CD4, makrofag, sel dendritik, dan mikroglia

pada bagian tubuh yang lain. Setelah infeksi akut akan terjadi masa laten (clinical latency

period) dimana pada fase ini kelenjar getah bening dan limpa menjadi tempat replikasi virus

HIV dan destruksi sel penjamu. Pada fase ini sistem imun masih kompeten dalam
mengeliminasi infeksi mikroorganisme dan belum muncul manifestasi klinis infeksi HIV.

Apabila tidak dilakukan perawatan sedini mungkin maka replikasi HIV dan penghancuran sel

penjamu akan terus berjalan sampai memasuki fase akhir dan letal yang disebut sebagai

Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS). AIDS merupakan sekumpulan infeksi,

gejala, ataupun sindrom yang timbul akibat melemahnya fungsi imunitas tubuh akibat HIV

(Schmidtz dkk., 1999). Pada fase ini berbagai macam infeksi oportunistik. Infeksi

oportunistik disebabkan oleh patogen yang tidak bersifat invasif pada orang sehat namun

dapat menyerang secara invasif pada orang yang mengalami penurunan sistem imun. Data

Departemen Kesehatan RI tahun 2007 menunjukkan kandidiasis oral (80,8%) sebagai infeksi

oportunistik yang paling banyak terjadi pada pasien HIV/AIDS. Kandidiasis oral merupakan

infeksi oportunistik yang diakibatkan oleh pertumbuhan Candida spp. yang berlebih dalam

rongga mulut. Jenis kandida yang paling sering mengakibatkan kandidiasis oral adalah

candida albicans, candida glabarata, candida krusei, dan candida tropicalis. Oropharyngeal

candidiasis (OPC) merupakan jenis kandidiasis oral yang paling sering terjadi. OPC

seringkali muncul sebagai manifestasi awal infeksi HIV. Silverman (1996) menyatakan

sekitar 80-90% pasien dengan AIDS mengalami OPC. Pada kasus OPC spesies candida

albicans ditemukan dalam jumlah yang tinggi. Kemampuan candida albicans untuk melekat

pada sel-sel epitel berperan penting dalam membentuk kolonisasi oral yang menyebabkan

mikroorganisme tersebut dapat bertahan hidup. Invasi candida albicans pada sel-sel epitel

dibedakan menjadi dua mekanisme yaitu endocytosis dan active penetration. Hifa candida

albicans pada mekanisme endocytosis akan mengekspresikan invasin Als3 dan Ssa1 yang

akan melekat pada E-cadherin dan heterodimer yang tersusun dari epidermal growth factor

receptor (EGFR) dan HER2 pada permukaan epitel (Sun dkk., 2010; Swidergall dkk., 2017;

Zhu dkk., 2012). Perlekatan tersebut kemudian akan mendorong aktivitas clathrin-dependent

endocytosis dan menginduksi sel-sel epitel untuk menghasilkan pseupoda yang akan
membawa jamur kedalam sel. Selain itu epithelial cell signaling pathways yang meliputi

platelet-derived factor BB (PDGF BB) dan neural precursor-cell-expressed developmentally

down regulated protein 9 (NEDD9) pathways dibutuhkan untuk memaksimalkan mekanisme

endocytosis. Sedangkan mekanisme active penetration melibatkan proses pemanjangan hifa

candida albicans untuk masuk kedalam sel epitel. Selain itu candida albicans dapat

berpenetrasi kedalam sel epitel melalui rute paraseluler dengan mensekresikan enzim

secreted aspartyl proteinase. Enzim tersebut akan mendegredasi E-cadherin dan protein

interepithelial cell junctional sehingga memungkinkan candida albicans berpenetrasi

kedalam sel. Infeksi candida albicans juga akan menstimulasi aktivitas epithelial cell

calpain, cysteine protease yang akan mendegredasi E-cadherin. Aktivitas calpain akan

meningkat secara drastis ketika terjadi ko-infeksi candida albicans dan streptococcus oralis

(Swidergall dkk., 2017)

Invasi candida albicans kedalam sel epitel akan mengakibatkan kerusakan pada sel tersebut.

Sel epitel akan berespon terhadap invasi candida albicans dengan mensekresukan sitokin

proinflamasi dan peptida antimikrobial. Penghancuran sel epitel diakibatkan oleh aktivitas

candidalysin. Candidalysin merupakan suatu toksin yang disekresikan oleh candida albicans

yang dikodekan dalam hypal-specific gene ECE1 (Swidergall dkk., 2017).


Gambar 1. Diagram Interaksi Candida albicans dengan Sel Epitel, Host-Defense Peptide

(HDPs), dan mikroogranisme rongga mulut (Swidergall dkk., 2017).

Terdapat sejumlah pilihan agen antijamur yang dapat digunakan dalam manajemen OPC pada

pasien HIV. Centers for Disease Control, National Institus of Health, dan HIV Medicine

Association of the Infectious Disease Society of America menyarakan terdapat beberapa hal

yang harus dipertimbangkan dalam pemilihan agen antijamur dalam manajemen OPC pada

pasien HIV. Pada pasien positif HIV, efektivitas antijamur akan lebih rendah dibandingkan

penyakit immunodefisiensi lainnya. Vazquez (2010) merekomendasikan penggunaan agen

antijamur pada manajemen OPC pada pasien HIV yang disajikan dalam tabel 1 serta

beberapa penelitian pendukung yang menyajikan tingkat keberhasilan masing-masing agen

antijamur (Vazquez J., 2010).

Tabel 1. Rekomendasi Agen Antijamur dalam Manajemen OPC pada Pasien HIV (Vazquez

J., 2010).
Tabel 2. Tingkat Keberhasilan Agen Antijamur dalam Manajemen OPC pada Pasien HIV

(Vazquez J., 2010).

Penelitian yang dilakukan oleh Schmidt dkk. (2012) terkait NDV-3 sebagai vaksin candida

spp. yang mengandung N-terminal portion of candida albicans agglutinin-like sequence 3

protein (Ais3p) yang diformulasukan dengan adjuvan aluminium oksida dalam

phosphate0buffered saline. Studi preklinik menunjukkan bahwa vaksi tersebut berhasil


memproteksi tikus dari OPC. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi tingkat keamanan,

tingkat toleransi, dan imunogenitas NDV-3 pada dua level antigen yang berbeda yang

dibandingkan dengan plasebo salin. Sebanyak 40 sampel di pilih secara acak untuk menerima

NDV-3 30 μg AIsp3, 300 μg AIsp3, atau plasebo. Hasil menunjukkan level total IgG dan

IgA1 pada kelompok yang menerima NDV-3 mengalami level puncak pada hari ke-14

vaksinasi. NDV-3 menstimulasi produksi peripheral blood mononuclear cell (PBMC) yang

mencapai puncak pada hari ke-7 pada sampel yang menerima dosis 300 μg dan hari ke-28

pada sampel yang menerima dosis 30 μg (Schmidt dkk., 2012).

Selain kandidiasis oral, pada pasien pasien positif HIV juga berpotensi mengalami infeksi

oportunistik Human Papilloma Virus (HPV). HPV merupakan virus DNA epitheliotropic sehinga

menginfeksi kulit dan mukosa. Data epidemiologi menunjukkan pasien HIV memiliki risiko HPV-

induced cancers terutama head and neck cancers (HNC). Pada pasien positif HIV, defisiensi sel

CD4+T menyebabkan respon imun cell-mediated CD4+T melemah yang mengakibatkan mudahnya

invasi HPV.

Penurunan ketersediaan populasi sel CD4 +T menyebabkan hilangnya respon HPV-specific CTL.

Beberapa studi menunjukkan hubungan HPV dan HIV melalui up-regulation dari ekspresi gen

onkogenik HPV (E6 dan E7) oleh tat. HIV-protein tat disekresikan dari HIV-infected intraepithelial

immune cells yang berperan dalam penghancuran epithelial tight junction yang akan memfasilitasi

HPV untuk masuk kedalam epitelium mukosa.


Gambar 3. Diagram Ko-Infeksi HIV-HPV

Beberapa studi melaporkan level CD4 +T yang sangat rendah pada pasien positif HIV yang termasuk

dalam golongan high-risk HPV (HR-HPV). Beachler dkk. (2013) bahwa pasien positif HIV memiliki

peluang 2-3 kali lebih besar untuk mengalami infeksi HPV persisten. Studi pembanding melaporkan

efektivitas antiretroviral therapy dalam jangka panjang menunjukkan adanya HIV-1 suppression

yang berkepanjangan dan level CD4 +T stabil sehingga angka HR-HPV semakin menurun. Hal

tersebut kontras dengan penelitian yang dilaporkan Verma dkk. (2017) terkait efek combined

antiretroviral therapy (cART) terhadap ko-infeksi HIV/HPV yang menunjukkan sebanyak 28% kasus

infeksi HPV persisten pada pasien positif HIV. Sebanyak 42% diantaranya ditemukan genotipe HPV

yang sama pada kasus infeksi HPV awal. Verma dkk. (2015) kemudian menggunakan model

matematika untuk menentukan efek tat pV, CTL numbers K (T), dan ekspresi onkogenik pada kasus

infeksi persisten HPV. Perhitungan menggunakan pasien memiliki T = 3,3x105 sel CD4 +T per ml dan

V= 4,8x104 virion per ml pada hari t=0 ketika cART baru dimulai. Efektivitas obat dianggap εRT =

0.95, εPI = 0.5 dan faktor onkogenik ε = 0.5. Apabila ko-infeksi dimasukkan dalam perhitungan model

maka pV=1 dan K(T) = 11,5 sel sehingga aktivitas HPV dapat diamati selama dilakukan cART.
HPV merupakan virus DNA epitheliotropic sehinga menginfeksi kulit dan mukosa. Data

epidemiologi menunjukkan pasien HIV memiliki risiko HPV-induced cancers terutama head and

neck cancers (HNC). HNC merupakan sekelompok kanker yang dapat terjadi pada rongga mulut,

faring, dan laring. HNC merupakan jenis kanker terbanyak yang dijumpai dengan insiden lebih dari

400.000 kasus di dunia. Sebanyak 25% dari total kasus HNC terkait dengan infeksi HPV. HPV-

associated HNC melibatkan ekspresi gen onkogen E6 dan E7 yang berfungsi menonaktifkan gen

tumor suppressor p53 dan pRB. Studi terbaru menunjukkan prevalensi oncogenic oral HPV DNA

pada pasien positif HIV sebesar 12%-45%. HPV-16 merupakan tipe HPV yang menyebabkan lebih

dari 80% kanker orofaring pada kasus ko-infeksi HIV/HPV. Selain itu kebiasaan merokok juga

menjadi faktor risiko HPV-associated HNC. Penggunaan tembakau dalam rokok memiliki efek

sebagai immunosupressive dengan melemahkan imunitas selular dan innate immunity pada level

sistemik dan lokal dalam rongga mulut.

Penatalaksaan kasus HIV beserta berbagai macam infeksi oportunistik penyerta seringkali

menemukan berbagai macam hambatan. Hambatan utama yang dijumpai adalah stigma negatif

yang tertanam dalam masyarakat terkait penderita HIV. Stigma merupakan prasangka buruk yang

memberikan label seseorang yang terpisahkan dari kelompok tertentu. Stigma menghasilkan tindakan

diskriminasi yaitu tindakan tidak mengakui atau tidak mengupayakan pemenuhan hak-hak dasar

individu sebagaimana mestinya. Stigma dan diskriminasi terhadap pasien HIV/AIDS seringkali
dijumpai dalam kehidupans sehari-hari tidak terkecuali pada praktik-praktik pelayanan kesehatan.

(UNAIDS, 2013). Menurut Nyblade dkk (2009), terdapat faktor utama penyebab munculnya stigma

pada praktik-praktik pelayanan kesehatan yaitu ketakutan akan tertular HIV. Stigma yang

berkembang dalam praktik pelayanan kesehatan akan memunculkan sikap diskriminasi dalam

menangani pasien. Berbagai macam bentuk stigma dan diskriminasi yang dilakukan oleh petugas

layanan kesehatan terhadap pasien HIV/AIDS meliputi:

1. “Labelling” buruk terhadap pasien HIV

2. Penggunaan alat perlindungan diri yang berlebihan dalam menangani pasien HIV

3. Penundaan perawatan pada pasien HIV

4. Kualitas perawatan yang buruk pada pasien HIV seperti pemeriksaan HIV yang tidak

dilakukan secara menyeluruh, konseling pre-post yang tidak adekuat, dan tidak ada jaminan

kerahasiaan hasil tes.

5. Penolakan dalam merawat pasien positif HIV (Nyblade dkk., 2009)

Di bidang kedokteran gigi sendiri, prosedur perawatan gigi dan mulut seringkali

melibatkan darah dan saliva yang memungkinkan mengandung banyak mikroorganisme

patogen, seperti HIV. Selain itu sebanyak 60-70% pasien positif HIV memiliki

manifestasi di rongga mulut pada fase awal yang dapat digunakan sebagai kriteria

diagnostik yang tepat untuk mendeteksi HIV/AIDS. Berdasarkan pertimbangan tersebut

menjadikan dokter gigi termasuk ke dalam kelompok profesi yang memiliki resiko yang

tinggi mengalami kontaminasi silang. Hal ini dapat menjadi salah satu penyebab banyak

dokter gigi yang enggan untuk memberikan pelayanan kesehatan gigi dan mulut kepada

pasien HIV/AIDS. Tersebut tentunya berdampak pada kesulitan pasien HIV/AIDS dalam

mencari akses perawatan gigi (Wibowo dkk, 2009).

Stigma dan diskriminasi yang muncul pada pelayanan gigi dan mulut

menyebabkan munculnya ketakutan (self-stigmatisation) pada penderita HIV untuk

mencari perawatan gigi dan mulut (Martiningsih dkk, 2015). Hal tersebut mendasari
berbagai macam upaya penting dilakukan untuk mengurangi stigma oleh petugas layanan

kesehatan termasuk dokter gigi terhadap pasien dengan HIV/AIDS. Peningkatan

pengetahuan terkait cara penularan dan pencegahan HIV dapat meningkatkan sikap

positif petugas kesehatan termasuk dokter gigi dalam menangani pasien positif HIV

sehingga dapay mengurangi stigma dan diskriminasi dalam lingkungan kesehatan dan

meningkatkan layanan tes sukarela dan rahasia (VCT) (Martiningsih dkk, 2015).

Sumber :

Martiningsih, Haris, A., Wulandari, A. 2015. Stigma Petugas Kesehatan Terhadap Pasien
HIV/AIDS dan Problem Solving. Jurnal Kesehatan Prima; 9(2): 1471-7
Wibowo, T., Parisihi, K., Haryanto, D. 2009. Proteksi Dokter Gigi sebagai Pemutus Rantai
Infeksi Silang. Jurnal PDGI; 58(2): 6-9
Oberoi, SS., Marya, CM., Sharma, N., Mohanty V., Marwah, M., Oberoi, A., Knowledge and
Attidute of Indian Clinical Dental Students towards the Dental Treatment of Patient with
Human Immunodeficiency Virus (HIV)/ Acquired Immuno-Deficiency Syndrome (AIDS).
International Dental Journal; 64: 324-332

Vazquez J. 2010. Optimal management of oropharyngeal and esophageal candidiasis in patients

living with HIV infection. HIV/AIDS - Research and Palliative Care. 89-101

Schmidt C., White C., Ibrahim, Filler S., Fu Y., Yeaman M., Edwards J., Hennessey J. 2012.

NDV-3, a Recombinant Alum-Adjuvanted Vaccine for Candida and Staphylococcus aureus is Safe and

Immunogenic in Healthy Adults. National Institute of Health Public Access; 30(52): 7594-7600

Silverman, S.J.r, Gallo J.W., McKnight M.L., Mayer P., de Sanz S., Tan M.M. Clinical

Characteristics and Management Responses in 85 HIVinfected Patients with Oral

Candidiasis. Oral Surg. Oral Med. Oral Pathol. Oral Radiol. Endod 1996. 82, 402—407.

Phan QT, Myers CL, Fu Y, Sheppard DC, Yeaman MR, et al. (2007) Als3 is a Candida albicans invasin

that binds to cadherins and induces endocytosis by host cells. PLoS Biology; 5(3): 0543-0557
Swidergall M., Filler S. 2017. Oropharyngeal Candidiasis: Fungal Invasion and Epithelial Cell

Responses. PLOS Pathogens; 13(1): 1-7

Sun JN, Solis NV, Phan QT, Bajwa JS, Kashleva H, et al. (2010) Host cell invasion and virulence

mediated by Candida albicans Ssa1. PLoS Pathogens; 6(11): 1-14

Zhu W, Phan QT, Boontheung P, Solis NV, Loo JA, et al. (2012) EGFR and HER2 receptor kinase

signaling mediate epithelial cell invasion by Candida albicans during oropharyngeal infection.

Proceedingss National Academy Sciences of The United States of America; 109(35): 14194-14199

Freed EO, Englund G, Martin MA. Role of the basic domain of human immunodeficiency virus type 1

matrix in macrophage infection. J Virol. 1995;69(6):3949-54.

Lackner AA, Veazey RS. Current concepts in AIDS pathogenesis: insights from the IV/ macaque

model. Annu Rev Med. 2007;58:461- 76.

Schmitz JE, Kuroda MJ, Santra S, Sasseville VG, Simon MA, Lifton MA, et al. Control of viremia in

simian immunodeficiency virus infection by CD8+ lymphocytes. Science. 1999; 283(5403):857-60.

Anda mungkin juga menyukai