Anda di halaman 1dari 18

FARMAKOLOGI OBAT PELUMPUH OTOT

Anthony Kurniawan* Donni Indra Kusuma **

ABSTRACT

Since muscle relaxant reverse and opioids reverse have been found, the use of muscle
relaxant become increasingly routine. Anesthetics are not necessary in, so just unconscious,
anelgesi be given high doses of opioids, and relaxation of striated muscle to muscle paralytic
effect delivery. The third combination is known as "the triad of anesthesia". Muscle paralytic
drug itself is divided roughly into two major groups based on mechanism, which groups non-
depolarization and depolarization. Each group has advantages and disadvantages of each for
different way of working.
id UTF-8 Sejak ditemukan o id|en Since found medi
ABSTRAK
Sejak ditemukan obat penawar pelumpuh otot dan penawar opioid, maka penggunaan
obat pelumpuh otot jadi semakin rutin. Anestesia tidak perlu dalam, hanya sekedar supaya tidak
sadar, anelgesi dapat diberikan opioid dosis tinggi, dan otot lurik dapat relaksasi akibat
pemberian pelumpuh otot. Ketiga kombinasi ini dikenal sebagai “the triad of anesthesia”. Obat
pelumpuh otot sendiri secara garis besar dibagi menjadi dua golongan besar berdasarkan
mekanisme kerjanya, yaitu golongan depolarisasi dan non-depolarisasi. Masing-masing golongan
mempunyai kelebihan dan kekurangan masing-masing karena berbedanya cara kerja

Kata Kunci : Obat pelumpuh otot, depolarisasi, non depolarisasi

PENDAHULUAN

Relaksasi otot lurik dapat dicapai dengan mendalamkan anestesia umum inhalasi,
melakukan blokade saraf regional, dan memberikan pelumpuh otot. Pendalaman anestesia
beresiko depresi napas dan depresi jantung, blokade saraf terbatas penggunaannya.1.

*Co assisten FK Universitas Tarumanagara


**Dokter Spesialis Anestesiologi BLU RSUD Kota Semarang
Sebelum dikenal obat penawar pelumpuh otot, penggunaan pelumpuh otot sangat
terbatas. Tetapi sejak ditemukan obat penawar pelumpuh otot dan penawar opioid, maka
penggunaanya jadi semakin rutin. Anestesia tidak perlu dalam, hanya sekedar supaya tidak sadar,
anelgesi dapat diberikan opioid dosis tinggi, dan otot lurik dapat relaksasi akibat pemberian
pelumpuh otot. Ketiga kombinasi ini dikenal sebagai “the triad of anesthesia” dan ada yang
memasukkan ventilasi kendali.1.

Setiap serabut saraf motorik mensarafi beberapa serabut otot lurik dan sambungan ujung
saraf dengan otot lurik disebut sambungan saraf otot. Maka pelumpuh otot disebut juga sebagai
obat blockade neuro-muskular.1.

Walaupun obat pelumpuh otot bukan merupakan obat anestetik, tetapi obat ini sangat
membantu pelaksanaan anestesia umum, antara lain memudahkan dan mengurangi cidera
tindakan laringoskopi dan intubasi trakea, serta memberi relaksasi otot yang dibutuhkan dalam
pembedahan dan ventilasi kendali.2.

SEJARAH 3

 Tahun 1932 d-tubokurarin digunakan untuk mengontrol spasme otot pada tetanus
 Tahun 1940 d-tubokurarin dipakai sebagai ajuvans pada terapi elektroshock
 Tahun 1942 pertama kali d-tubokurarin digunakan untuk relaksasi otot selama
pembedahan
 Tahun 1906 penggunaan curare binatang pada percobaan untuk menentukan
parasimpatomimetik efek dari succinylcholine, efek hambatan neuromuskuler
succinylcholine tidak diketahui sampai tahun 1949

URUTAN TIMBULNYA HAMBATAN NEUROMUSKULER 3.

Otot yang pertama kali dihambat adalah otot-otot kecil dengan gerakan yang cepat seperti
otot mata dan jari, kemudian otot trunkus dan abdomen, kenudian otot interkostal dan ahirnya
diafragma. Pemulihan terjadi sebaliknya,sehingga diafragma akan kembali berfungsi pertama
kali
Injeksi intravena NBD non depol pada orang sadar pada awalnya menimbulkan kesulitan
memfokus dan kelemahan otot mandibula diikuti ptosis, diplopia dan disfagi. Relaksasi otot
telinga akan memperbaiki pendengaran. Kesadaran dan sensoris utuh.

FISIOLOGI TRANMISI SARAF OTOT

Transmisi rangsang saraf ke otot terjadi melalui hubungan saraf otot. Hubungan ini terdiri
atas bagian ujung saraf motor yang tidak berlapis myelin dan membrane otot yang dipisah oleh
celah sinap. Pada bagian ujung saraf motor terdapat gudang persediaan kalsium, vesikel, atau
gudang asetilkolin, mitokondria, dan reticulum endoplasmik. Pada bagian membran otot terdapat
receptor asetilkolin.2.

Asetilkolin merupakan bahan perangsang saraf (neuro transmitter) yang dibuat di dalam
ujung serabut saraf motor melalui proses asetilasi kolin ekstra sel dan koenzim A. Untuk itu
diperlukan enzim asetiltransferase. Asetilkolin disimpan dalam kantung atau gudang yang
disebut vesikel. Ada 3 bentuk asetilkolin, yaitu bentuk bebas, bentuk cadangan belum siap pakai
dan bentuk siap pakai. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi proses sintesis dan atau
pelepasan asetilkolin, antara lain kalsium, magnesium, nutrisi, oksigenisasi, suhu, anelgetik
local, dan antibiotic golongan aminoglikosida.2.

Potensial istirahat membran ujung saraf motor (resting mebran potensial) terjadi karena
membran lebih mudah ditembus ion kalium ekstrasel daripada ion natrium. Potensial yang
terukur umumnya sebesar 85-90mV. Pada saat pelepasan asetilkolin, membrane tersebut
sebaliknya akan lebih permiabel terhadap ion natrium sehingga terjadi depolarisasi otot. Influks
ion kalsium memicu keluarnya asetilkolin sebagai transmitter saraf. Asetilkolin saraf akan
menyeberang dan melekat pada reseptor nikotinik dan kolinergik di otot. Kalau jumlahnya cukup
banyak, maka akan terjadi depolarisasi dan lorong ion terbuka. Ion natrium dan kalsium masuk,
sedangkan ion kalium keluar, terjadilah kontraksi otot. Asetilkolin cepat dihidrolisa oleh
asetilkolin-esterase (kolin-esterase khusus atau murni) menjadi asetil dan kolin, sehingga lorong
tertutup kembali maka terjadilah repolarisasi.2.
PENGGOLONGAN MUSCLE RELAXANT

A. Muscle Relaxant Golongan Depolarizing

1. Cara Kerja

Obat pelumpuh otot depolarisasi ini bekerja sebagai agonis ACh. Terjadi hambatan penurunan
kepekaan membrane ujung motor. Obat tersebut menimbulkan depolarisasi persisten pada lempeng
akhir saraf. Terjadi karena serabut otot mendapat rangsangan depolarisasi menetap sehingga akhirnya
kehilangan respons berkontraksi sehingga menimbulkan kelumpuhan. Ciri kelumpuhan ditandai dengan
fasikulasi otot. Pulihnya fungsi saraf otot sangat bergantung pada kemampuan daya hidrolisis enzim
kolinesterasi. 2.

2. Ciri Kelumpuhan

a. Ada fasikulasi otot.


b. Berpotensiasi dengan antikolinesterase.
c. Kelumpuhan berkurang dengan pemberian obat pelumpuh otot non
depolarisasi dan asidosis.
d. Tidak menunjukkan kelumpuhan yang bertahap pada perangsangan tunggal
maupun tetanik.
e. Belum diatasi dengan obat spesifik

MEKANISME HAMBATAN (BLOK) SARAF OTOT

1. Hambatan kompetisi atau blok non depolarisasi


Hambatan gabungan asetilkolin dengan reseptor di membrane ujung
motor, ini terjadi karena pemberian tubokurarin, galamin, alkuronium, dan
sebagainya
Karena reseptor asetilkolin diduduki oleh molekul-molekul obat pelumpuh
otot non depolarisasi, sehingga proses depolarisasi membran otot tidak terjadi dan
otot menjadi lumpuh. Pemulihan fungsi saraf otot terjadi kembali jika jumlah
molekul obat yang menduduki reseptor asetilkolin telah berkurang, antara lain
terjadi karena proses eliminasi dan atau distribusi. Pemulihan juga dapat dibantu
lebih cepat dengan memberikan obat antikolinesterase (neostigmin) yang
menyebabkan peningkatan jumlah asetilkolin.2.
2. Hambatan depolarisasi atau blok depolarisasi
3. Hambatan lain
a. Hambatan fase II atau blok desensitisasi / bifasik (blok ganda)
Disebabkan karena pemberian obat pelumpuh otot depolarisasi
yang berulang-ulang sehingga fase I (depolarisasi) membrane berubah
menjadi fase II (non depolarisasi). Mekanisme perubahan ini belum
diketahui.
Pemberian suksinil kolin hingga dosis 500mg dikatakan dapat
menyebabkan hambatan fase II. Hambatan seperti ini tidak dapat diatasi
oleh pemberian obat anti kolinesterase.
b. Hambatan campuran
Terjadi karena penyuntikan obat pelumpuh otot depolarisasi dan
non depolarisasi dilakukan secara simultan.2.

CIRI KELUMPUHAN OTOT

1. Non Depolarisasi 2
a. Tidak ada fasikulasi otot.
b. Berpotensiasi dengan hipokalemia, hipotermia, obat anestetik inhalasi (eter,
halotan, enfluran, isofluran)
c. Menunjukkan kelumpuhan yang bertahap pada perangsangan tunggal atau
tetanik.
d. Dapat diantagonis oleh antikolinesterase.
f. .

PELUMPUH OTOT DEPOLARISASI

SCh menempatkan reseptor kolinergik nikotinik sub unit alfa dan bekerja seperti
asetikolin (mendepolarisasi membran post jungtion). Hambatan neuromuskuler terjadi karena
membran post sinaps tidak dapat memberikan respons pada pelepasan asetilkolin berikutnya
yang disebut juga hambatan fase I. SCh menyebabkan keluarnya kalium dari sel yang akan
meningkatkan K plasma 0,5 meq/L

SCh dosis tunggal besar(>2mg/kgBB), dosis ulangan atau infus kontinyu lama akam
menyebabkan membran post sinap kehilangan respon normal pada asetilkolin menyebabkan blok
fase II

KARAKTERISTIK BLOK FASE I

1. Penurunan respon kontraksi pd stimulus twitch tunggal

2. Penurunan amplitudo tapi responnya lama pada rangsang kontinyu

3. Rasio TOF > 0,7

4. Tidak ada post tetanik fasilitasi

5. Hambatan bertambah dengan antikolinesterase

Blok fase I disertai fasikulasi karena depolarisasi membran post sinaps

KARAKTERISTIK BLOK FASE II

Respon mekanik blok fase II sama dengan yg ditimbulkan pelumpuh otot non
depolarisasi. blok fase II dapat direverse dengan antikolisterase bila blokade bukan karena SCh.
Dapat dicoba dengan Endrofonium (antikolinesterase) 0,1-0,2mg/kgBB iv, bila terdapat
perbaikan transmisi blokade bukan karena SCh.

 Suksametonium (succynil choline)

Kemasan : flakon berisi bubuk putih 100mg atau 500 mg. Pengenceran dapat
memakai garam fisiologik atau akuades steril 5ml atau 25ml sehingga membentuk larutan
2%. 2

Indikasi : pelumpuh otot jangka pendek.2


Kegunaan : untuk mempermudah / fasilitas intubasi trakea, karena mula kerja
cepat dan lama kerja yang singkat. Juga dipakai untuk memelihara relaksasi otot dengan
cara pemberian kontinyu per infuse atau suntikan intermitten.2

Dosis : 1-2 mg / kg BB / IV

Mula kerja : 1-2 menit dengan lama 3-5 menit.

Cara pemberian : IV / IM / Intra lingual / Intra bukal

Efek samping : 1

1. Nyeri otot pasca pemberian :


Dapat dikurangi dengan pemberian pelumpuh otot non depolarisasi dosis
kecil sebelumnya. Mialgia terjadi sampai 90%, selain itu dapat terjadi
mioglobunnuira.
2. Peningkatan tekanan intra ocular :
Meningkatkan TIO maksimum 2 – 4 menit setelah pemberian dan akan
berlangsung selama 5 – 10 menit mekanismenya blm jelas tetapi diperkirakan
karena kontraksi tonik miofibril atau dilatasi transien pemda koroid
3. Peningkatan tekanan intracranial.
4. Peningkatan intragastrik.
5. Peningkatan kadar kalium plasma.
Hati-hati pada luka bakar atau gagal ginjal.
6. Aritmia jantung
Berupa bradikardia atau “ventricular premature beat” terutama pada
pemberian berulang atau terlalu cepat pada anak.
7. Lama kerja yang memanjang.
Terutama pada penyakit hati parenkimal, kaheksia dan anemia (hipoproteinemia).

Untuk mengurangi fasikulasi dan nyeri otot sering diberi dulu dengan obat
pelumpuh otot non depolarisasi ¼ dosis relaksasi otot, misalnya pankuronium 1mg.
Untuk pemakaian kontinyu per infuse, buat larutan dengan konsentrasi 1mg/ml (250mg
dalam 250ml larutan). Dosis pemeliharaan relaksasi otot adalah 1-2ml / menit. Botol
infuse harus diberi label yang jelas dan sisa larutan sesudah dipakai harus segera
dibuang.2

Di dalam vena, suksinilkolin dimetabolisir oleh kolin–esterase plasma, pseudo


kolin esterase menjadi suksinil-monokolin. Succinylcholine mengalami hidrolisis secara
cepat oleh plasma cholinesterase menjadi succinylmonocholine, yang mempunyai efek
blok sangat lemah ( + 1/20 efek succicylcholine ) dan selanjutnya dalam waktu yang
lebih lama menjadi asam suksinil dan kolin, waktu paruhnya sekitar 2-4 menit. 4. Obat anti
kolinesterase dikontraindikasikan, karena menghambat kerja pseudokolinesterase.

Yang perlu dicatat adalah peningkatan ataupun penurunan aktifitas dari plasma
cholinesterase tidak mempengaruhi mula kerja dan lama kerja dari obat ini secara
bermakna. Sering kali timbul anggapan bahwa metabolisme dari obat inilah yang
mengakhiri efek blok otot skeletal, pada kenyataannya tidaklah demikian. Metabolisme
yang terjadi di plasma hanya menentukan jumlah obat yang dapat mencapai tempat kerja,
dan di tempat kerjanya obat ini akan menimbulkan blok yang akan terus berlangsung
sampai obat tersebut kembali keluar dari tempat kerjanya.5.

Kontra indikasi absolut :

1. Hiperkalemia, > 5.5 meq/L, misal pada gagal ginjal.


2. Kelainan otot: malignant hyperthermia, myastenia gravis, muscular distrophy
3. Trauma otot masive
4. Luka bakar, 7-60 hari
5. Luka tusuk orbita, karena meningkatkan tekanan intraokuler
6. Gangguan neurology : paraplegia, neurodegenerative disease.5)

Kontraindikasi relative :

1. Disfungsi hepar.
2. Cholinester rendah (n: 80-120 u), akan terjadi prolonged: liver disease,
anemia gravis malnutrisi dan insektisida organofosfat.5)

PELUMPUH OTOT NON DEPOLARISASI


Manfaat obat ini di bidang anestesiologi antara lain untuk : 2.

1. Memudahkan dan mengurangi cidera tindakan laringoskopi dan intubasi trakea.


2. Membuat relaksasi tindakan selama pembedahan.
3. Menghilangkan spasme laring dan reflex jalan napas atas selama anesthesia.
4. Memudahkan pernapasan kendali selama anesthesia.
5. Mencegah terjadinya fasikulasi otot karena obat pelumpuh otot depolarisasi.

Bekerja berikatan dengan reseptor kolinergik nikotinik tanpa menyebabkan depolarisasi,


hanya menghalangi asetilkolin menempatinya, sehingga asetilkolin tidak dapat bekerja. 1.

Berdasarkan susunan molekul, maka pelumpuh otot non depolarisasi digolongkan


menjadi : 1.

1. Bensiliso-kuinolinum : d-tubokurarin, metokurium, atrakurium, doksakurium,


mivakurium.
2. Steroid : pankuronium, vekuronium, pipekuronium, ropakuronium, rokuronium.
3. Eter-fenolik : gallamin.
4. Nortoksiferin : alkuronium.

Karakteristik pada rangsang listrik nerve stimulator perifer :

1. Penurunan respon twitch pd rangsang tunggal


2. Respon singkat (fade) selama rangsang kontinyu
3. Rasio TOF <7

Berdasarkan lama kerja, maka pelumpuh otot non depolarisasi dibagi menjadi kerja
panjang, sedang, dan pendek : 1.

Dosis Awal Dosis Rumatan Durasi EFEK SAMPING


(mg/kg) (mg/kg) (menit)
Non Depol Long Acting
1. D-tubokurarin 0,40-0,60 0,10 30-60 Histamin +, hipotensi
2. Pankuronium 0,08-0,12 0,15-0,20 30-60 Vagolitik,takikardi
3. Metakurin. 0,20-0,40 0,05 40-60 Histamin -, hipotensi
4. Pipekuronium 0,05-0,12 0,01-0,015 40-60 Kardiovaskuler stabil
5. Doksakurium 0,02-0,08 0,005-0,010 45-60 Kardiovaskuler stabil
6. Alkurium 0,15-0,30 0,05 40-60 Vagolitik, takikardia
Nondepol Intermediate
1. Gallamin 4-6 0,5 30-60 Histamin +, hipotensi
2. Atrakurium 0,5-0,6 0,1 20-45 Aman untuk hepar
3. Vekuronium 0,1-0,2 0,015-0,02 25-45
4. Rokuronium 0,6-0,1 0,10-0,15 30-60
5. Cistacuronium 0,15-0,20 0,02 30-45 Isomer Atrakuronium
Nondepol Short Acting
1. Mivakurium 0,20-0,25 0,05 10-15 Histamin +, hipotensi
2. Ropacuronium 1,5-2,0 0,3-0,5 15-30
Depol Short Acting
1. Suksinilkolin 1 3-10 Lihat teks

1. Tubokurarin Klorida (Kurarin)


Merupakan alkaloid kuartener, suatu derivat isoquinolin yang berasal dari tanaman tropis
Chondronderon tomentosum.2.
Pada dosis terapeutik menyebabkan kelumpuhan otot mulai dengan ptosis, diplopia, otot
muka, rahang, leher, dan ekstremitas. Paralisis otot dinding abdomen dan diafragma terjadi palig
akhir. Lama paralisis bervariasi antara 15-50 menit 2.

Sifat :

- Blokade ganglion simpatis, dilatasi kapiler, inotropik negatif.


- Terjadi kumulatif. 6.

Kontra indikasi :

- Asma bronchial
- Renal disfungsi
- Myastenia gravis
- Diabetes melitus
- Hipotensi
Dosis : paralisis otot intraaabdominal : 10-15mg
intubasi trakea : 10-20mg.
Cara pemberian : IV / IM
Efek samping : hipotensi dan bradikardia
Pada dosis yang sangat besar bersifat inotropik negative.

Reaksi samping utama:

1. Kardiovaskuler : Hipotensi, vasodilatasi, takikardi sinus, bradikardi sinus.


2. Pulmoner : Hipoventilasi, apneu, bronkospasme, laringospasme, dispneu.
3. Muskuloskelet : apabila tidak adekuat, akan menyebabkan blok lama.
4. Dermatologik : Ruam, urtikaria. 7.
Ekskresi : ginjal, kadang-kadang hepar.

2. Doksakurium
Obat penyekat neuromuskuler nondepolarisasi aksi lama. Bersifat mengantagonis
aksi asetilkolin, sehingga menimbulkan blok dari transmisi neuromuskuler. Doksakurium
2,5 hingga 3 kali lebih poten daripada pankuronium. Obat ini tidak mempunyai efek
hemodinamik yang secara klinis bermakna.7

Oleh anestetik volatil kebutuhan dosis berkurang (sekitar 30%-40%) dan lamanya
blokade neuromuskular diperpanjang (hingga 25%). Paralisis rekurens dengan kuinidin.
Diantagonis oleh inhibitor antikolinesterase (neostigmin, edrofonium, dan piridostigmin).

Peningkatan tahanan atau reverse dari efek dengan penggunaan karbamazepin dan
fenitoin dan pada pasien dengan cedera bakar dan paresis, tidak kompatibel dengan larutan basa
dengan PH>8,5, seperti larutan barbiturat.7.

Dosis intubasi : 0,05-0,08 mg/kg/I.V

Reaksi samping utama :

- Kardiovaskuler : Hipotensi, kemerah-merahan, fibrilasi ventrikel, infark miokard.


- Pulmoner : Hipoventilasi, apneu, bronkospasme.
- SSP : Depresi.
- Anuria
- Dermatologik : Ruam, Urtiakaria.
- Muskuluskelet : Blok yang tidak adekuat menyebabkan blok yang diperpanjang.7.

3. Pipekuronium

Obat penyekat neuromuskular nondepolarisasi beraksi panjang ini merupakan turunan


piperzinum. Waktu awitan dan lamanya serupa dengan pankuronium bromida dengan dosis yang
sebanding. Secara klinis tidak mempunyai efek hemodinamik yang bermakna. Jarang terjadi
pelepasan histamin.

Dosis intubasi : 0,07-0,085 mg/kg/I.V

Reaksi samping utama :

- Kardiovaskuler : Hipotensi, hipertensi, bradikardi, infark miokard.


- Pulmoner : Hipoventilasi, apneu.
- SSP : Depresi.
- Anuria
- Dermatologik : Ruam, Urtiakaria.
- Muskuluskelet : Blok yang tidak adekuat menyebabkan blok yang diperpanjang.

Metabolik : Hipoglikemia, Hiperkalemia, Peningkatan kreatinin. 10.


Potensinya meningkat dan durasi memendek pada bayi dibanding pada anak dan dewasa.

4. Pankuronium Bromida (Pavulon)


Merupakan steroid sintesis adalah obat pelumpuh otot non depolarisasi yang paling
banyak dipakai di Indonesia.
Kemasan : ampul 2ml larutan yang mengandung pankuronium bromide 4mg.
Mula kerja terjadi pada menit 2-3 untuk selama 30-40menit. Berikatan kuat dengan
globulin plasma dan berikatan sedang dengan albumin. Mempunyai efek kumulasi pada
pemberian berulang, karena itu dosis pemeliharaan/rumatan harus dikurangi dan waktu
pemberian harus diperpanjang. 2.
Pankuronium menyebabkan sedikit pelepasan histamine dan hipertensi karena memiliki
efek inotropik positif serta takikardia karena efek vagolitik. Sebanyak 15-40% pankuronium
dalam tubuh mengalami metabolisme deasetilasi. 2.
Ekskresi : ginjal (60-80%) dan sebagian lagi empedu (20-40%)
Dosis : relaksasi otot : 0,08mg / kg BB/ IV (dewasa)
rumatan : ½ dosis awal.
intubasi trakea : 0,15mg /kg BB/ IV

Kontra indikasi :

- Hipertensi
- Kelainan otot : malignant hyperthermia
- Miastenia gravis
- Muscular distrophy.6.

Reaksi samping utama :

- Kardiovaskular : Takikardia, hipertensi


- Pulmoner : Hipoventilasi, apneu, bronkospasme.
- Alergik : kemerahan, syok anafilaktik 7
5. Galamin (flaxedil)
Obat pelumpuh otot non depolarisasi sintetik.
Kemasan : ampul 2ml atau 3ml larutan 4%. Larutan dapat dicampur dengan thiopental.
Lama kerja obat Berkisar 15-20 menit. Mula kerja sangat berhubungan dengan aliran
darah otot. Mempunyai efek yang lemah pada ganglion saraf dan tidak menyebabkan
pelepasan histamine. Memiliki sifat seperti atropine yaitu menyebabkan takikardia
walaupun pada dosis kecil (20mg). Karena itu galamin cukup baik dipakai bersama
anestetik halotan. Kenaikan tekanan darah dapat terjadi, tetapi ringan. Galamin dapat
menembus sawar darah plasenta, tetapi tidak sampai mempengaruhi kontraksi uterus. 2.
Ekskresi : ginjal dan sebagian kecil empedu.
Penggunaan klinik :
a. Memudahkan intubasi trakea. Dosis : 80-100mg IV ditunggu selama 2-3menit.
b. Relaksasi pembedahan. Dosis : 2mg / kg BB / IV. Pada dosis sebesar 40mg jarang
sampai menimbulkan paralisis diafragma dan pasien dapat tetap bernapas spontan
walaupun sebagian otot rangka mengalami kelumpuhan. Teknik seperti ini sering
dipakai untuk prosedur ginekologik.
c. Sebagai profilaksis bradikardia selama anesthesia umum, misalnya pada pembedahan
bola mata. 2.

Kontra indikasi :

a. Pasien dengan takikardia


b. Fungsi ginjal yang buruk atau ancaman gagal ginjal. 2.

Reaksi samping utama :

1. Kardiovaskuler : Takikardi, Aritmia, Hipotensi


2. Pulmoner : Hipoventilasi, Apneu
3. Muskuloskelet : Blok tidak adekuat, blok yang diperpanjang.7)
6. Alkuronium Klorida (alloferine)

Merupakan sintetik toksiferin, suatu alkaloid dari tanaman Strychnos toksifera.

Kemasan : ampul 2ml yang mengandung 10mg Alkuronium klorida. Larutan tidak dapat
dicampur thiopental.

Mula kerja terjadi pada menit ke 3 untuk selama 15-20menit. Tidak bersifat pelepas
histamine jaringan, tetapi dapat menghambat ganglion simpatik sehingga dapat menyebabkan
hipotensi terutama pada pasien dengan penyakit jantung. Dapat berpotesiensi ringan dengan
N2O-tiopental-narkotik. 2.

Dosis relaksasi pembedahan : 0,15mg / kg BB / IV dewasa

0,125-0,2 mg / kg BB / IV anak-anak.

Dosis intubasi trakea : 0,3 mg/ kg BB / IV


Ekskresi : ginjal (70%) dalam bentuk utuh dan sebagian kecil melalui empedu.

7. Atrakurium Besilat (tracrium)


Merupakan obat pelumpuh otot non depolarisasi yang relative baru yang mempunyai
struktur bensilisoquinolin yang berasal dari tanaman Leontice leontopeltalum
Keunggulan atrakurium dibanding obat terdahulu :
a. Metabolisme terjadi di dalam darah (plasma) terutama melalui suatu reaksi kimia
unik yang disebut eliminasi Hoffman. Reaksi ini tidak tergantung dari fungsi hati
dan ginjal.
b. Tidak mempunyai efek kumulasi pada pemberian berulang.
c. Tidak menyebabkan perubahan kardiobaskuler yang bermakna. 2.

Kemasan : ampul 5ml mengandung 50mg atrakurium besilat.

Stabilitas larutan sangat bergantung penyimpanan pada suhu dingin dan perlindungan
terhadap penyinaran.

Mula dan lama kerja atrakurium bergantung pada dosis yang dipakai. Pada umumnya
mula kerja atrakurium pada dosis intubasi adalah 2-3menit. Sedangkan lama kerja dengan dosis
relaksasi adalah 15-35menit. 2.

Dosis : intubasi : 0,5-0,6mg / kg BB/ IV

relaksasi otot : 0,5-0,6 mg / kg BB / IV

pemeliharaan : 0,1-0,2 mg / kg BB / IV

Pemulihan fungsi saraf otot dapat terjadi secara spontan (sesudah lama kerja obat
berakhir) atau dibantu dengan pemberian anti kolinesterase. Atrakurium merupakan obat
pelumpuh otot non depolarisasi terpilih untuk pasien geriatric atau dengan kelainan jantung, hati,
dan ginjal yang berat. 2.

Reaksi samping utama:

1. Kardiovaskuler : Hipotensi, vasodilatasi, takikardi sinus, bradikardi sinus.


2. Pulmoner : Hipoventilasi, apneu, bronkospasme, laringospasme, dispneu.
3. Muskuloskelet : apabila tidak adekuat, akan menyebabkan blok lama.
4. Dermatologik : Ruam, urtikaria. 7.
8. Vekuronium (nocuron)
Obat pelumpuh otot non depolarisasi yang baru dan homolog pankuronium bromide yang
berkekuatan lebih besar dengan lama kerja yang singkat. Tidak memiliki efek kumulasi pada
pemberian berulang atau kontinyu per infuse. Tidak menyebabkan perubahan fungsi
kardiovaskuler yang bermakna. 2.
Kemasan : ampul berisi bubuk vekuronium 4mg. Pelarut yang dipakai antara lain
akuades, garam fisiologis, RL, atau D5% sebanyak 2ml.
Dosis : 0,1mg / kg BB / IV
Mula kerja terjadi pada menit 2-3 dengan lama kira-kira 30menit.

Reaksi samping utama :

1. Kardiovaskular : bradikardia.
2. Pulmoner : Hipoventilasi, apneu. 7.
9. Mivacurium

Merupakan pelumpuh otot kerja pendek/singkat yang dihidrolisa oleh kolin esterase
plasma dengan kecepatan yang ekuivalen pada 88% dari SCh.

Dosis : 80 ug/kgBB onset 2-3 menit durasi 12-20 menit

Durasi dari mivakuriumk 2 x SCh atau 30-40% dari non depol intermediate.

Blokade pada penderita chirosis hepatis mempunyai onset yang sama tetapi mengalami
pemanjangan pada durasi.

PILIHAN PELUMPUH OTOT 1.

1. Gangguan faal ginjal : atrakurium, vekuronium


2. Gangguan faal hati : atrakurium
3. Miastenia gravis : dosis 1/10 atrakurium
4. Bedah singkat : atrakurium, rokuronium, mivakuronium
5. Kasus obstetric : semua dapat digunakan kecuali galamin.
TANDA-TANDA KEKURANGAN PELUMPUH OTOT 1.

1. Cegukan (hiccup)
2. Dinding perut kaku.
3. Ada tahanan pada inflasi paru.

PENAWAR PELUMPUH OTOT

Contoh : Prostigmin, Piridostigmin, dan Edrophonium.

Anti kolinesterase yang dapat mencegah hidrolisis dan menimbulkan akumulasi


asetilkolin. Obat ini mengalami metabolism terutama oleh kolinesterase serum. 2

Dosis : 0,5mg bertahap sampai 5mg.

Bersifat muskarinik menyebabkan hipersalivasi, keringatan, bradikardia, kejang bronkus,


hipermotilitas usus dan pandangan kabur. Sehingga pemberiannya harus disertai dengan obat
vagolitik seperti atropine dosis 1-1,5mg. 1. Ekskresi terutama di ginjal.

KESIMPULAN

Walaupun obat-obat pelumpuh otot bukan merupakan obat anestetik, tetapi penggunaan-
nya dalam klinik sangat membantu pelaksanaan tindakan anestesia dan pembedahan. Karena
masing-masing obat mempunyai efek farmakologik yang tidak sama maka setiap penggunaan
obat pelumpuh otot harus dibekali pengetahuan yang memadai terutama keterampilan meniali
residu pelumpuh otot pasca bedah.

Obat pelumpuh otot sendiri secara garis besar dibagi menjadi dua golongan besar
berdasarkan mekanisme kerjanya, yaitu golongan depolarisasi dan non-depolarisasi. Masing-
masing golongan mempunyai kelebihan dan kekurangan masing-masing karena berbedanya cara
kerja dan juga cara perlakuannya oleh tubuh.

Dapat juga ditambahkan disini bahwa beberapa faktor yang mempengaruhi


farmakokinetik obat, khususnya obat pelumpuh otot yang umumnya diberikan secara intravena,
antara lain adalah fungsi ginjal, fungsi hati dan sistem bilier, umur, hipotermia, pemakaian obat
anestesi umum dan besarnya dosis awal yang diberikan.
DAFTAR PUSTAKA

1. Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR. Pelumpuh Otot. Petunjuk Praktis Anestesiologi
Edisi 2. Jakarta; Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia; 2007; 3: 66-70
2. Rachmat L, Sunatrio S. Obat pelumpuh otot. Anestesiologi. Bagian Anestesiologi dan
Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; Jakarta ; 2004; 15: 81-86
3. Harsono, Wibowo A, Santy A, Caesar GE, Kurnia R, Udayaningtyas U. Obat pelumpuh
neuromuskular. Jakarta; 2007
4. Bevan DR, Donati F. Muscle relaxants and clinical monitoring. A Practice of
Anaeshtesia. London; 1994; 147-71
5. Calvey TN, Williams NE. Principles and practice of pharmacology for anaesthetists.
London; Blackwell Scientific Publications; 1982; 159-84
6. Lunn JN. Farmakologi Terapan Anestesi Umum. Catatan Kuliah Anestesi Edisi 4.
Jakarta; Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2004; 4: 86-93
7. Setio M. Buku Saku Obat-obatan Anestesia. Edisi 2 Jakarta ; Penerbit Buku Kedokteran
EGC; 2004

Anda mungkin juga menyukai