Small World
Small World
Tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi esok hari.
Belum tentu kau akan bersama orang yang kau cintai minggu depan.
-Ayumu Penumbra
Bab 1: Jumat, 12 Mei 2006
Libur panjang telah selesai. Para siswa sudah datang kesekolah hari
ini. Cuaca hari ini agak dingin, mungkin karena hujan deras semalam. Aku
lupa memakai jaket hari ini sehingga dinginnya menusuk sampai tulang.
Kuamati wajah para siswa yang baru saja datang. Ada beberapa yang
kelihatan belum puas dengan liburannya, ada juga yang menunjukkan rasa
bahagia di raut mukanya. Wajar saja jika masih ada yang kurang puas dengan
dua minggu lalu. Waktu memang terasa begitu cepat, namun itulah yang
membuat setiap detik itu sangat berharga dan harus dimanfaatkan sebaik-
baiknya.
“Mhm.”
“Ke-kenapa?” tanya Diana dengan penuh rasa malu. Dia sadar kalau
aku melihat wajahnya yang merah tadi. “Ada apa di mukaku?” “Oh, tidak ada
apa-apa.” Padahal kelas kami tidak terlalu jauh dari gerbang utama, tetapi
karena banyak hal yang terjadi, perjalanan ini terasa sangat lama.
“Mau ke mana?”
“Ya aku tahu aku seharusnya gak ikut campur. Tapi ini lebih baik
daripada membiarkan dan menonton kalian melakukan semua itu tadi.
Berhenti sekarang.”
“Terima kasih.”
Sepertinya dia tidak mengalami hal yang fatal. “Ya. Kamu bisa
berdiri?” Aku menawarkan tanganku untuk membantunya. Ternyata dia bisa
berdiri sendiri. “Kalau begitu,” ujarku. “Aku ke kelas duluan ya.” Sepertinya
Diana sudah duluan.
“Nova.”
Seperti biasa, ada saja siswa yang terlambat datang. Aku hampir
disangka terlambat karena aku baru berjalan ke arah kelas.
Amelia Erlina, atau yang biasa dipanggil Bu Lia, adalah wali kelasku
yaitu kelas 11-B. Beliau orangnya menyenangkan. Mungkin karena umurnya
memang belum terlalu tua. Beliau mengajar pelajaran matematika di semua
kelas 11. Oh iya, sebelumnya beliau juga wali kelasku di kelas 10. Sangat
wajar jika kita dapat berkomunikasi bagai teman karena kita memang sudah
lumayan akrab.
Bel tanda masuk berbunyi dan perutku sakit. Aduh kenapa harus
sekarang. Aku bisa terlambat kalau begini. Untungnya pelajaran pertama
adalah matematika. Aku seharusnya ada waktu hingga Bu Lia menyelesaikan
urusannya di ruang guru. Aku memutuskan untuk ke kamar kecil. Semoga
tidak terlalu lama.
Bab 2: Pelajaran
Tentu saja. Aku lupa kalau Nova rambutnya panjang dan akan duduk
di kelas ini juga. Di belakangnya, Diana sedang berjalan bersama wali
kelasku. Tetapi beberapa pertanyaan muncul di dalam pikiranku. Aku
mencoba untuk tidak memikirkannya. “Alli,” Nova memanggilku. “Kursi di
sampingmu. Apakah ada yang menempati?” Aku menggelengkan kepala
sebagai isyarat ucapan tidak. “Sudah ada. Itu orangnya baru masuk. Hmm…
Mungkin di belakangku kosong.” Ia mengangguk dan langsung menempati
kursi kosong di belakang. Diana juga menempati kursinya.
“Oh maaf, tadi aku ke ruang guru sebentar, hehe…” Ucap Diana
sambil menggaruk kepalanya. Aku tertawa kecil karena sifat canggungnya.
“Baik semuanya, semoga kalian bisa akrab dengan Nova, ya.” Bu Lia
memulai pelajaran dengan membahas tugas liburan. Nova beruntung baru
datang ke sini. Dia tidak mendapatkan tugas itu. Aku semalaman setengah
mati mengerjakannya. Entah berapa kali aku menggebuk mejaku sendiri.
Diana terlihat gelisah. Dia belum mengerjakan beberapa soal yang diberikan.
Aku memakluminya sih. Ada beberapa kemungkinan mengapa dia belum
menyelesaikannya. Diana memang anak yang cerdas, namun dia pemalas
sehingga ia lupa untuk mengerjakan tugasnya atau dia memang tidak sempat
mengerjakan karena padatnya kegiatan. Bisa juga karena dia sedang dalam
kondisi tidak prima. Aku memberikan kertas jawabanku kepadanya. Matanya
berkaca-kaca menatapku. Ia langsung buru-buru menyalin jawabanku.
***
“Lantas, topik kita apa?” tanya Diana. “Kukira kau sedang tidur tadi.
Entahlah. Aku juga bingung mau bahas apa.” Keheningan menghampiri kami
bertiga. Sepertinya kita semua sedang mencari topik yang bagus. “Aku tahu.
Bagaimana jika kita membahas tentang kehidupan masing-masing sebelum
SMA?”
“Oh iya! Kita sudah saling kenal sejak kelas 2. Karena kebetulan
rumah kita lumayan dekat, kita sering main bersama. Kita selalu berada di
kelas yang sama sampai sekarang. Kebetulan yang aneh bukan? Hahaha!”
“Kalian sudah tahu kan nama dan tempat lahirku? Aku lahir di
Prancis, tepatnya di Lyon. Ibuku orang local Prancis, namun ayahku berasal
dari Jerman. Ayahku keturunan Indonesia dan beliau mengajarkanku bahasa
Indonesia. Aku mulai bersekolah di Indonesia sejak 4 tahun lalu, tepatnya
tahun 2002. Mungkin itu saja dariku.”
Aku mengetahui lebih banyak hal tentang gadis Prancis ini, bahkan
sudah lebih dari yang aku inginkan.
“Aku kurang tahu nama jalannya, tapi tidak jauh dari sini. Aku jalan
kaki dari rumah.” Mungkin searah denganku? Belum lama ini aku melihat
truk pindahan masuk ke perumahan tempatku tinggal. Mungkin saja itu
membawa barang-barang milik keluarga Nova. “Hmmm… Sepertinya
rumahmu searah dengan kita. Baiklah, ayo kita pulang bersama!” ajak Diana.
“Baiklah mungkin aku mulai sekarang saja. Alli Kruger adalah nama
lengkapku. Ulang tahunku tepat sebulan yang lalu, yaitu 12 April. Aku
campuran Indonesia-Australia. Seperti yang diceritakan Diana tadi aku sudah
berteman dengannya sejak SD. Perlu aku sebar tidak ya…”
“Sip,” ucap Diana. “Aku belok ke kanan jadi aku duluan ya. Dah!” Ia
melambaikan tangannya dan kami pun membalas lambaiannya. Seketika aku
teringat akan sesuatu. Hal tentang Nova yang belum ia ceritakan.
“Hal yang terjadi pagi ini. Aku sering menjadi korban di sekolahku
yang lama saat aku kelas 10. Aku kurang paham mengapa tapi aku lelah. Aku
pikir jika aku pindah ke tempat yang lebih damai aku bisa bebas. Mais je me
trompais; namun aku salah. Tetap saja aku menjadi target. Wieso immer ich;
mengapa selalu aku? Apa yang telah kulakukan sehingga membuatku pantas
menghadapi semua itu?”
“Aku harap kau tidak akan melakukan itu juga padaku. Berjanjilah.”
“Aku janji.”
Bab 3: Perjalanan
Pukul 8.43. Hari ini aku terlambat bangun. Semalam aku sulit untuk
tidur karena pikiranku dipenuhi kejadian kemarin. Aku akhirnya tertidur
tengah malam. Untungnya hari ini Hari Sabtu jadi aku tidak perlu khawatir
dihukum oleh guru.
Aku berjalan menuju kamar mandi untuk memcuci muka lalu pergi ke
dapur untuk sarapan.
“Sarapan apa hari ini?” tanyaku. “Roti bakar dengan selai. Mau teh
juga?” Aku mengangguk kepada ibuku. Tidak mungkin aku menolak teh
buatan ibuku. Rasanya sangat enak, mungkin orang yang tidak suka teh juga
akan meminumnya. Takaran gulanya selalu pas; tidak lebih tidak kurang.
[Mau ikut keliling kota tidak? Aku ingin lebih tahu tentang tempat
ini, jadi aku memutuskan untuk berkeliling. Mungkin tidak hanya satu hari.
Aku juga sudah mengajak Diana.]
Wah, sepertinya asik. Agak mendadak sih, tapi tidak apa-apa lah.
“Ibu,” sahutku. “Nova mengajakku keliling Pavolia, Diana juga ikut. Apa aku
boleh ikut? Oh, kemungkinan kita harus menginap.”
***
“Hmm…” gumam Nova. “Ramai juga hari ini ya.” “Mungkin mereka
baru akan pulang ke tempat asal mereka. Mereka baru selesai menikmati
liburan.” Nova mencubit dagunya sambil mengangguk setelah Diana
menghilangkan keheranannya. “Apakah-“
Sesudah puas, kami lanjut berkeliling jalan ini. Kami pergi ke taman
kota yang sangat indah dan duduk di satu bangku.
“Bukankah yogurt dibuat dari susu juga?” Tanya Diana. Nova hanya
menggaruk kepalanya sambil tersenyum. Kami semua tertawa.
“Iya. Walaupun aku belum terlalu tahu banyak tentang bahasa gaul,
setidaknya aku dapat berkomunikasi dengan kalian.”
“Bodoh. Nova kan ingin berkeliling karena kurang tahu tentang kota
Pavolia ini, mengapa kau tanyakan tentang saran tempat?” Kata-kata Diana
menyambarku bagaikan petir. Aku lupa kalau Diana sangat ahli dalam
mengkritik orang.
“Kau sendiri ada saran?” Aku berbalik bertanya. “Museum
Konferensi Asia Afrika. Tidak terlalu jauh juga dari sini.” Boleh juga. Ini juga
bisa untuk mencari pengetahuan lebih dalam tentang sejarah. Aku yakin Nova
tertarik.
Nova terlihat kebingungan. “Ada apa?” ujarku. “Tidak tahu apa isi
museum KAA?” Ia menggelengg. “Bukan itu. Aku kepikiran, kalau kita
memang harus menginap, di mana tempatnya? Kita juga masih di bawah
umur.” Iya juga ya. Belum lagi aku laki-laki sendiri di sini. Bisa dicurigai jika
kami memesan hotel atau villa. Aku menangkap sekilas wajah Diana yang
tersenyum. Aku agak kesal melihatnya, senyumannya terkesan mengejek.
“Kenapa senyum begitu? Ada solusi?” Ia tertawa dengan penuh
kesombongan.
“Tentu ada. Aku punya sepupu tak jauh dari sini. Kita hanya perlu
naik angkutan umum saja untuk sampai ke rumahnya. Aku juga sudah bilang
kalau kita akan menginap.” Syukurlah kalau begitu, aku tidak perlu khawatir
tidak bisa tidur. “Kenapa tidak bilang dari awal. Setelah ini kita ke sana
dulu?” Gadis-gadis itu mengangguk.