Anda di halaman 1dari 17

“Tidak ada jaminan cuaca hari ini akan cerah.

Tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi esok hari.

Belum tentu kau akan bersama orang yang kau cintai minggu depan.

Hargailah setiap waktu yang kau miliki.”

-Ayumu Penumbra
Bab 1: Jumat, 12 Mei 2006

Libur panjang telah selesai. Para siswa sudah datang kesekolah hari
ini. Cuaca hari ini agak dingin, mungkin karena hujan deras semalam. Aku
lupa memakai jaket hari ini sehingga dinginnya menusuk sampai tulang.
Kuamati wajah para siswa yang baru saja datang. Ada beberapa yang
kelihatan belum puas dengan liburannya, ada juga yang menunjukkan rasa
bahagia di raut mukanya. Wajar saja jika masih ada yang kurang puas dengan
dua minggu lalu. Waktu memang terasa begitu cepat, namun itulah yang
membuat setiap detik itu sangat berharga dan harus dimanfaatkan sebaik-
baiknya.

“Yo, Alli!” Seseorang menepuk punggungku sambil menyapaku.


“Puas liburannya?” Aku menoleh kebelakang. Sesuai dugaanku.

Oh ya, namaku Alli Kruger. Seorang siswa kelas 11 di Pavolia. Aku


lahir di Indonesia, tetapi aku keturunan campuran Indonesia dan Australia.
Dan orang yang menyapaku tadi adalah Diana Melfissa. Dia adalah teman
masa kecilku. Gadis ini sangat periang, bahkan semua orang di sekitarnya ikut
tertular keceriaannya. Tidak ada kata sedih, frustasi, atau kelam di dekatnya.
Hanya aura ceria yang hangat.

“Lumayan lah, kau sendiri bagaimana?”

“Mhm.”

Ia mengangguk dalam dengan senyuman di mukanya. “Seru banget!


Aku ke pantai sama keluargaku. Di sana aku menemukan ini.” Ia merogoh
kantongnya. Aku tak tahu apa yang dia bawa ke sekolah, tapi aku yakin itu
sesuatu yang indah.

“Lihat ini.” Diana menunjukkan tangannya kepadaku. Ah, ternyata


hanya kulit kerang. Tapi memang terlihat cantik. “Wah,” ujarku dengan rasa
kagum. “Warnanya bagus. Aku juga suka kilauannya.” Mata Diana langsung
bersinar-sinar setelah kukatakan itu. Kelihatannya dia sangat bahagia karena
aku menyukai temuannya. Kami berjalan bersama ke kelas. Banyak yang
mengira kami adalah pasangan, namun itu hanya salah paham. Kami hanya
berteman dan itu sudah membuatku bahagia. Yah, maksudku jika aku
berpacaran dengannya tidak apa-apa, justru aku akan menjadi lebih bahagia.
Aku penasaran apa ada orang yang disukainya… Bukannya aku berharap dia
menyukaiku ya.

Diana melihatku dengan wajah kebingungan. Sepertinya aku


menunjukkan ekspresi aneh saat memikirkan pertanyaan tadi. Aku menengok
untuk melihat wajahnya secara langsung. “Ada apa?” tanyaku. Diana
langsung memalingkan wajahnya lalu menggeleng. “Tidak apa-apa.” Setelah
kupikir lagi, memang gadis yang imut ya. Setelah itu seketika teman-temanku
yang lain berdeham mengejek. “Aku sudah bilang,” ucapku. “Kami hanya
sebatas teman. Kami tidak berpacaran, oke?” Mereka langsung tertawa
terbahak-bahak. Sepertinya niat mereka juga masih ingin menggodaku. Aku
penasaran apa yang Diana pikirkan. Aku memutuskan untuk menengok ke
arah Diana yang wajahnya memerah. Ah... Imut sekali…

“Ke-kenapa?” tanya Diana dengan penuh rasa malu. Dia sadar kalau
aku melihat wajahnya yang merah tadi. “Ada apa di mukaku?” “Oh, tidak ada
apa-apa.” Padahal kelas kami tidak terlalu jauh dari gerbang utama, tetapi
karena banyak hal yang terjadi, perjalanan ini terasa sangat lama.

Mataku sekilas menangkap sesosok yang belum pernah kulihat di


sekolah ini. Aku mengenal tampang semua orang di sekolah ini sehingga aku
bisa mengetahui jika ada orang yang tak kukenal. “Orang itu siapa?” tanyaku
sambil menunjuk ke arah orang itu. “Anak baru kah?” Diana mengangguk.
“Kau belum dengar ada siswa baru ya? Katanya dia akan sekelas dengan
kita.” Ternyata benar dia anak baru. Dari wajahnya, sepertinya dia dari luar
negeri. Tapi kenapa dia pindah kesini ya? Sekolah di kota yang lebis besar,
seperti Jakarta, kan lebih bagus. Mungkin dia mencari suasana tenang dan
sejuk disini, entahlah.

Segerombolan anak perempuan menghampari anak baru itu. Mereka


semua kakak kelas yang hanya tinggal menunggu kelulusan. Sebenarnya
mereka tidak ada tujuan lagi untuk ke sekolah saat ini.
Mereka mengerumuni anak baru itu. Satu-persatu menyakitinya
secara fisik. Aku tidak menyangka peristiwa senioritas dan pembullyan
terhadap anak baru masih terjadi sekarang. Aku berjalan ke arah kejadian itu.

“Mau ke mana?”

Diana bertanya dengan nada khawatir. Aku hanya menjawab dengan


isyarat tunjukan tangan. Mungkin aku akan menyesali keputusan ini suatu saat
nanti, tapi itu lebih baik daripada membiarkan kekerasan tetap berlanjut.

“Hey,” sahutku dengan tegas. “Berhenti. Jangan dilanjut lagi.” Para


kakak kelas itu berbalik ke arahku. Tentu saja mereka merasa kesal. “Siapa
nih? Pacarnya? Heh, jangan ikut campur. Mau dibully juga?” Mereka
mengabaikanku setelah itu dan lanjut menyerang sang anak baru.

“Ya aku tahu aku seharusnya gak ikut campur. Tapi ini lebih baik
daripada membiarkan dan menonton kalian melakukan semua itu tadi.
Berhenti sekarang.”

Satu orang yang sepertinya pemimpin gang tersebut berjalan ke


arahku. Aku menyadari tangannya melayang ke wajahku. Dengan cepat, aku
menangkis tamparan itu. Gadis itu terkejut. “Kamu itu junior! Jangan terlalu
bertingkah ya!” Ia langsung mengajak teman-temannya untuk pergi. Salah
satu dari mereka meludah ke sepatuku tapi aku tidak peduli.

“Terima kasih.”

Sepertinya dia tidak mengalami hal yang fatal. “Ya. Kamu bisa
berdiri?” Aku menawarkan tanganku untuk membantunya. Ternyata dia bisa
berdiri sendiri. “Kalau begitu,” ujarku. “Aku ke kelas duluan ya.” Sepertinya
Diana sudah duluan.

“Nova.”

Apa maksudnya? Aku menengok ke belakang. “Nova Schmidt. Itu


namaku. Salam kenal.” Oh, ternyata itu namanya. “Panggil saja aku Alli.”
Begitulah awal dari pertemananku dengan seorang murid baru. Awal yang
aneh ya.
Aku berjalan ke kelas lebih dahulu karena bel masuk akan segera
berbunyi. Diana juga pasti sudah menunggu di kelas. Aku harus minta maaf
karena tidak ke kelas bersamanya.

Seperti biasa, ada saja siswa yang terlambat datang. Aku hampir
disangka terlambat karena aku baru berjalan ke arah kelas.

“Alli, selamat pagi.”

Ternyata Bu Lia. “Tumben sekali kamu telat datang, sendirian pula.


Biasanya kan kamu selalu datang duluan sama Diana. Ke mana dia?” “Dia
duluan, bu. Sebenarnya saya sudah dari tadi bu di sekolah, tapi karena tadi
ada urusan kecil saya baru lanjut jalan ke kelas.”

Beliau hanya mengangguk. “Ya sudah kamu duluan saja, saya ke


ruang guru dulu.” “Baik bu.”

Amelia Erlina, atau yang biasa dipanggil Bu Lia, adalah wali kelasku
yaitu kelas 11-B. Beliau orangnya menyenangkan. Mungkin karena umurnya
memang belum terlalu tua. Beliau mengajar pelajaran matematika di semua
kelas 11. Oh iya, sebelumnya beliau juga wali kelasku di kelas 10. Sangat
wajar jika kita dapat berkomunikasi bagai teman karena kita memang sudah
lumayan akrab.

Bel tanda masuk berbunyi dan perutku sakit. Aduh kenapa harus
sekarang. Aku bisa terlambat kalau begini. Untungnya pelajaran pertama
adalah matematika. Aku seharusnya ada waktu hingga Bu Lia menyelesaikan
urusannya di ruang guru. Aku memutuskan untuk ke kamar kecil. Semoga
tidak terlalu lama.
Bab 2: Pelajaran

Ruang kelas sudah ramai. Orang-orang mengobrol sambil menunggu


guru masuk. Oh iya Diana di mana? Kukira dia sudah ke kelas lebih dulu
namun dia tidak ada di dalam kelas. “Mar,” sahutku kepada temanku, Mario.
“Tadi Diana udah ke kelas belum?” Wajahnya terlihat kebingungan. “Lho
kukira kalian jalan bareng tadi. Belum kelihatan dia dari tadi.” Hah? Ke mana
dia? Mungkin sedang di toilet? Atau ada panggilan dari guru?

Pintu kelas terbuka. Seorang siswi masuk. Orang yang kucari


akhirnya datang.

Tunggu, rambut Diana kan pendek. Sementara gadis tersebut


memiliki rambut panjang. Aku mengamati situasi kelas untuk melihat siapa
siswi yang belum masuk namun semua sudah di dalam kecuali Diana. “Oh
Alli, halo!”

Tentu saja. Aku lupa kalau Nova rambutnya panjang dan akan duduk
di kelas ini juga. Di belakangnya, Diana sedang berjalan bersama wali
kelasku. Tetapi beberapa pertanyaan muncul di dalam pikiranku. Aku
mencoba untuk tidak memikirkannya. “Alli,” Nova memanggilku. “Kursi di
sampingmu. Apakah ada yang menempati?” Aku menggelengkan kepala
sebagai isyarat ucapan tidak. “Sudah ada. Itu orangnya baru masuk. Hmm…
Mungkin di belakangku kosong.” Ia mengangguk dan langsung menempati
kursi kosong di belakang. Diana juga menempati kursinya.

“Kukira sudah duluan tadi.”

“Oh maaf, tadi aku ke ruang guru sebentar, hehe…” Ucap Diana
sambil menggaruk kepalanya. Aku tertawa kecil karena sifat canggungnya.

Jam pertama dimulai. Setelah ketua kelas memimpin doa, Bu Lia


memanggil Nova ke depan untuk memperkenalkan diri. Nova maju perlahan-
lahan. Aku yakin dia sangat gugup.

“Umm… Saya Nova Schmidt. Saya siswi baru di sekolah ini.


Sebelumnya aku bersekolah di Jakarta. Aku lahir di Prancis pada tanggal 18
April, 1990. Semoga kita bisa berteman dengan baik. Salam kenal.”
Ah, ternyata dia bukan tidak ke Jakarta, melainkan pindah dari
Jakarta. Dia lahir di Prancis. Ternyata benar dia bukan warga asli Indonesia.
Saat ia berjalan kembali ke mejanya, para murid laki-laki bertepuk tangan
dengan menunjukkan wajah menjijikan. Dasar orang bejat. “Itu orang yang
diserang tadi kah?” Tanya Diana. “Iya. Omong-omong, maaf ya tadi aku
malah kabur. Padahal niatnya mau ke kelas bareng.” Diana hanya menjawab
dengan senyuman dan acungan ibu jari.

“Baik semuanya, semoga kalian bisa akrab dengan Nova, ya.” Bu Lia
memulai pelajaran dengan membahas tugas liburan. Nova beruntung baru
datang ke sini. Dia tidak mendapatkan tugas itu. Aku semalaman setengah
mati mengerjakannya. Entah berapa kali aku menggebuk mejaku sendiri.
Diana terlihat gelisah. Dia belum mengerjakan beberapa soal yang diberikan.
Aku memakluminya sih. Ada beberapa kemungkinan mengapa dia belum
menyelesaikannya. Diana memang anak yang cerdas, namun dia pemalas
sehingga ia lupa untuk mengerjakan tugasnya atau dia memang tidak sempat
mengerjakan karena padatnya kegiatan. Bisa juga karena dia sedang dalam
kondisi tidak prima. Aku memberikan kertas jawabanku kepadanya. Matanya
berkaca-kaca menatapku. Ia langsung buru-buru menyalin jawabanku.

***

Waktu istirahat telah usai. Jam-jam sebelumnya sangat


membosankan. Terlalu banyak guru yang masih menikmati liburannya. Aku
mengisi jam-jam kosong itu dengan tidur karena aku lupa membawa buku
sketsaku hari ini. Nova mulai akrab dengan Diana dan siswi yang lainnya.
Beberapa orang bejat sudah ada yang menggodanya.

Pelajaran sejarah dimulai. Karena pelajaran ini tidak masuk dalam


tugas liburan, Pak Ahmed memberikan tugas kelompok. Kelompok yang
digunakan adalah kelompok belajar kelasku. Ada 7 kelompok dengan 3 orang
di setiap kelompok. Karena satu anggota kelompokku pindah sekolah, maka
Nova harus masuk ke kelompokku yang beranggotakan aku, Diana, dan Nova.
Awalnya aku ragu karena aku dan Diana tidak ahli dalam sejarah. Namun
untungnya materi sekarang adalah tentang Revolusi Prancis. Semoga saja
Nova tahu tentang sejarah negaranya.
Nova memasang wajah sombong.

“Kau mengerti?” tanyaku. Dia hanya tertawa. Seketika ekspresinya


menjadi datar dan menggeleng. Benar-benar tidak ada harapan ya.

“Hahaha! Tentu aku mengerti. Serahkan saja padaku.”

Aku membuang napas lega. Ekspresi Diana bagaikan seorang


pengembara yang kehabisan bekal dan baru saja menemukan air; penuh
harapan.

Nova dengan mudah menjawab semua pertanyaan. Dia benar-benar


tahu semua hal tentang materi yang dibahas. Dari beberapa yang aku lihat,
Revolusi Prancis terjadi sejak 1787 hingga 1799.

Kejadian ini terjadi karena sifat pemerintah yang terlalu absolut.


Terjadi pergolakan politik yang menyebabkan banyak perubahan terutama di
bidang sosial-politik. Rentetan peristiwa pada periode ini memuncak pada
tahun 1774 saat Louis XVI menempati tahta dengan pemerintahannya yang
tidak kompeten. Revolusi ini berakhir pada tahun 1792 dimana sebuah negara
republik terbentuk dan Louis XVI beserta Marie Antoinette, ratu Prancis sejak
tahun 1755, dieksekusi dengan Guillotine di tahun setelahnya.

Nova meletakkan pulpennya. Kelompokku selesai lebih dulu. Wajar


sih. Hingga pelajaran selesai, beberapa kelompok masih belum selesai. Nova
membantu mereka dengan sukarela. Kelompok Mario kelihatannya sangat
bahagia. Bukan karena dibantu, melainkan karena… Nova menghampiri
mereka. Tapi sepertinya tidak terlalu bahaya. Mereka benar-benar serius
mengerjakan tugasnya—tidak ada yang menggoda Nova. Syukurlah kalau
begitu, aku tidak perlu khawatir akan hal aneh yang mungkin terjadi.

Tak lama, semua kelompok telah menyelesaikan tugas mereka berkat


bantuan Nova.

Aku merasakan sesuatu mengenai kepalaku. Rasanya basah dan


dingin. Sepertinya ada yang usil mencipratkan air. Aku melihat Nova menjadi
target utamanya. Serius? Di kelas ini juga? Miris, padahal sekelas tapi tetap
saja pembullyan masih ada.
Kenta bangkit dari tempat duduknya.

Leonard Kentaro adalah ketua kelas di sini. Ia memang pendiam,


namun jika ada masalah yang terjadi dia berubah sepenuhnya. Bagaikan ada
orang lain yang bersemayam dalam tubuhnya. Kemampuan akademiknya juga
tidak dapat diragukan. Hampir setiap tahun ia mendapat peringkat pertama.

Situasi kelas seketika hening—takut akan aura yang dikeluarkan oleh


Kenta. Nova terselamatkan. Kenta kembali duduk dan melanjutkan membaca
bukunya. Nova sepertinya tidak terlalu memedulikan.

Jam selanjutnya adalah waktunya pelajaran bahasa Inggris. Pelajaran


ini juga tidak mendapatkan tugas libur dan juga gurunya tidak hadir hari ini.
Karena ini jam terakhir sebelum pulang, aku memutuskan untuk mengobrol
dengan siswa yang lainnya. Aku agak bingung ingin berkumpul dengan
kelompok yang mana. Jika aku bersama para lelaki, aku tidak begitu akrab
dengan mereka. Jika berkumpul dengan perempuan, aku akan dicap sebagai
orang aneh. Aku ingin berjalan ke arah Kenta namun dia sedang tertidur.
Diana juga sedang asik di dunia bawah sadarnya. Sepertinya hanya Nova
yang tidak sedang sibuk.

Aku menoleh ke belakang. Nova memiringkan kepalanya. “Ada


apa?” “Tidak ada. Aku cuma bingung mau mengobrol sama siapa, ya sudah
sama kamu saja.” Wajah Nova memerah sedikit. Rombongan para lelaki
sepertinya melihatku dan langsung membicarakan tentangku. Diana juga
terbangun dan menepuk pundakku sambil menggelengkan kepalanya.

“Lantas, topik kita apa?” tanya Diana. “Kukira kau sedang tidur tadi.
Entahlah. Aku juga bingung mau bahas apa.” Keheningan menghampiri kami
bertiga. Sepertinya kita semua sedang mencari topik yang bagus. “Aku tahu.
Bagaimana jika kita membahas tentang kehidupan masing-masing sebelum
SMA?”

Oh iya juga. Aku bisa mendapatkan banyak informasi tentang Nova.


“Boleh! Aku mulai ya,” sahut Diana. Aku hanya mengangguk, lagipula aku
juga sudah tahu semua tentangnya.
“Aku Diana Melfissa, 16 tahun. Hmm… Rumahku tidak terlalu jauh
dari sini. Mungkin hanya sekitar 2 kilometer. Lalu, uhm… Apa lagi ya…”
“Hobi? Masa SMP? Pertemanan kita sejak dahulu?”

Aku mencoba memancing ingatan Diana yang sepertinya tersangkut.


Wajah Nova seakan bercahaya. Sepertinya ia semakin penasaran setelah aku
mengatakan pertemanan sejak dahulu.

“Oh iya! Kita sudah saling kenal sejak kelas 2. Karena kebetulan
rumah kita lumayan dekat, kita sering main bersama. Kita selalu berada di
kelas yang sama sampai sekarang. Kebetulan yang aneh bukan? Hahaha!”

Diana terdengar canggung. Imut. “Wah! Ternyata kalian sudah


berteman sejak kecil ya. Pantas saja kalian sangat akrab. Baik, mungkin
sekarang giliranku.

“Kalian sudah tahu kan nama dan tempat lahirku? Aku lahir di
Prancis, tepatnya di Lyon. Ibuku orang local Prancis, namun ayahku berasal
dari Jerman. Ayahku keturunan Indonesia dan beliau mengajarkanku bahasa
Indonesia. Aku mulai bersekolah di Indonesia sejak 4 tahun lalu, tepatnya
tahun 2002. Mungkin itu saja dariku.”

Aku mengetahui lebih banyak hal tentang gadis Prancis ini, bahkan
sudah lebih dari yang aku inginkan.

Bel berbunyi yang menandakan waktu sekolah telah usai. Para


kelompok perbincangan membubarkan diri untuk mengambi tas mereka.
“Omong-omong,” ujarku. “Nova, rumahmu dimana?”

“Aku kurang tahu nama jalannya, tapi tidak jauh dari sini. Aku jalan
kaki dari rumah.” Mungkin searah denganku? Belum lama ini aku melihat
truk pindahan masuk ke perumahan tempatku tinggal. Mungkin saja itu
membawa barang-barang milik keluarga Nova. “Hmmm… Sepertinya
rumahmu searah dengan kita. Baiklah, ayo kita pulang bersama!” ajak Diana.

“Kalau begitu aku cerita sambil jalan saja ya nanti.”


Kami semua berjalan bersama ke rumah. Dugaanku dan Diana benar;
rumah Nova searah, walaupun nanti Diana akan masuk ke komplek yang
berbeda.

“Baiklah mungkin aku mulai sekarang saja. Alli Kruger adalah nama
lengkapku. Ulang tahunku tepat sebulan yang lalu, yaitu 12 April. Aku
campuran Indonesia-Australia. Seperti yang diceritakan Diana tadi aku sudah
berteman dengannya sejak SD. Perlu aku sebar tidak ya…”

Diana memukul kepalaku dengan wajah malu. “Kau ucapkan satu


kalimat saja tentang kejadian itu, jangan terkejut jika besok barangmu
hilang.” Nova tertawa melihat tingkah lakunya. Aku melanjutkan ceritaku.
“Baiklah kalau begitu. Hobiku menggambar. Aku punya dua buku sketsa
yang sudah dipenuhi gambar-gambar yang kubuat. Saat ini aku menggunakan
buku sketsa ketiga. Aku lupa membawanya hari ini. Mungkin itu saja. Tidak
banyak yang menarik tentang hidupku.”

Nova bertepuk tangan. Diana sepertinya masih agak kesal denganku.


Perjalanan kami diisi dengan perbincangan yang tidak jelas.

“Sip,” ucap Diana. “Aku belok ke kanan jadi aku duluan ya. Dah!” Ia
melambaikan tangannya dan kami pun membalas lambaiannya. Seketika aku
teringat akan sesuatu. Hal tentang Nova yang belum ia ceritakan.

“Sebelumnya maaf.” Ucapanku itu membuat Nova kebingungan.


“Bukannya aku ingin tahu tentang kehidupan pribadimu atau apa, namun
mengapa kau memutuskan untuk pindah ke Pavolia? Sedangkan di Jakarta
kan lebih modern.”

“Aku muak dengan tempat itu.”

Jawaban langsung. Sepertinya sesuatu yang tidak mengenakkan


terjadi di sana. “Terlalu ramai kah disana?” “Itu salah satu alasannya, namun
bukan hanya itu saja.”

“Hal yang terjadi pagi ini. Aku sering menjadi korban di sekolahku
yang lama saat aku kelas 10. Aku kurang paham mengapa tapi aku lelah. Aku
pikir jika aku pindah ke tempat yang lebih damai aku bisa bebas. Mais je me
trompais; namun aku salah. Tetap saja aku menjadi target. Wieso immer ich;
mengapa selalu aku? Apa yang telah kulakukan sehingga membuatku pantas
menghadapi semua itu?”

Nova mulai mengalirkan air mata. “Maaf.” Aku merasa sangat


bersalah karena menanyakan hal itu. Aku mendekatinya—mencoba
menenangkan. Aku meletakkan lenganku di pundaknya.

Aku tidak menduga kalau ia akan memelukku. Aku sangat tidak


menyangka pelukan pertamaku adalah dengan gadis yang baru kukenal
beberapa jam lalu.

“Aku harap kau tidak akan melakukan itu juga padaku. Berjanjilah.”

“Aku janji.”
Bab 3: Perjalanan

Pukul 8.43. Hari ini aku terlambat bangun. Semalam aku sulit untuk
tidur karena pikiranku dipenuhi kejadian kemarin. Aku akhirnya tertidur
tengah malam. Untungnya hari ini Hari Sabtu jadi aku tidak perlu khawatir
dihukum oleh guru.

Aku berjalan menuju kamar mandi untuk memcuci muka lalu pergi ke
dapur untuk sarapan.

“Sarapan apa hari ini?” tanyaku. “Roti bakar dengan selai. Mau teh
juga?” Aku mengangguk kepada ibuku. Tidak mungkin aku menolak teh
buatan ibuku. Rasanya sangat enak, mungkin orang yang tidak suka teh juga
akan meminumnya. Takaran gulanya selalu pas; tidak lebih tidak kurang.

Aku memakan beberapa potong roti yang sudah siap sembari


menunggu tehku siap. Aku kembali memikirkan momen langka yang terjadi
kemarin. Aku belum memberitahu apapun kepada orang tuaku kecuali sekilas
tentang Nova yang baru menjadi tetangga kami. Pelukan yang kurasakan
kemarin masih menjadi rahasia diantaraku dan Gadis Prancis itu.

Aku pergi ke kamarku sekejap untuk mengambil handphoneku lalu


kembali untuk meminum teh yang sudah disiapkan. Aku membalas pesan
temanku satu per satu. Tidak ada obrolan yang menarik kecuali satu. Sebuah
nomor yang tak dikenal mengirimkan pesan. Aku membuka nomor itu.

[Aku Nova. Aku mendapat nomormu dari Sabrina.]

Oh syukurlah bukan orang asing. Aku menanyakan kabarnya


sekarang. Aku takut jika ia masih merasa sedih karena perbincangan kemarin.

[Baik. Omong-omong, apakah hari ini kau ada urusan?]

“Aku free hari ini. Mengapa?”

[Mau ikut keliling kota tidak? Aku ingin lebih tahu tentang tempat
ini, jadi aku memutuskan untuk berkeliling. Mungkin tidak hanya satu hari.
Aku juga sudah mengajak Diana.]
Wah, sepertinya asik. Agak mendadak sih, tapi tidak apa-apa lah.
“Ibu,” sahutku. “Nova mengajakku keliling Pavolia, Diana juga ikut. Apa aku
boleh ikut? Oh, kemungkinan kita harus menginap.”

Beliau hanya mengangguk dengan senyuman cerah. Aku langsung


menjawab pertanyaan Nova.

“Iya aku ikut.”

[Baiklah. Bersiaplah, jam setengah sepuluh kita ke stasiun. Siapkan


juga baju ganti.”

Nova berbicara seperti seorang ibu sehari sebelum anaknya


mengadakan school trip. Sebaiknya aku bersiap sekarang.

***

[Kita sudah sampai di stasiun.]

“Iya aku melihat kalian. Aku baru sampai.”

Aku berlari menuju para gadis itu. Mereka benar-benar penuh


persiapan. Sepertinya mereka membawa satu atau dua pasang pakaian ganti,
sementara aku hanya membawa pakaian dalam dan satu baju ganti. Tapi aku
menggunakan jaket jadi seharusnya tidak apa-apa.

Kami bergegas membeli tiket dan berjalan menuju peron.

“Hmm…” gumam Nova. “Ramai juga hari ini ya.” “Mungkin mereka
baru akan pulang ke tempat asal mereka. Mereka baru selesai menikmati
liburan.” Nova mencubit dagunya sambil mengangguk setelah Diana
menghilangkan keheranannya. “Apakah-“

Aku memotong kalimatku. Aku tidak ingin membicarakan tentang


Jakarta dengannya. Aku khawatir perasaannya akan dipenuhi kabut lagi.

Kereta yang akan kami tumpangi datang. Kami masuk ke dalam


gerbong keempat dan untungnya kami mendapat tempat duduk.
Tujuan pertama kami adalah Jalan Ayu. Tempat ini merupakan salah
satu tempat wisata paling terkenal di kota ini. Di jalan ini kau bisa
menemukan banyak dagangan kuliner. Salah satu toko favoritku adalah
Mamboom. Tempat ini menjual minuman dan menu favoritku adalah es
mambonya. Mungkin terlihat sederhana, namun es mambo ini berbeda. Dari
teknik pembuatan hingga rasa dari hidangan ini unik. Aku membeli rasa
sirsak favoritku, Diana membeli es oyen, dan Nova menyamakan dengan
Diana.

Nova menghabiskan minumannya dengan cepat. “Buat lagi kang,


yang paling enak buat kawanku ini,” ucapku. Sang penjual dengan sigap
membuat satu porsi es oyen untuk Nova. Sepertinya minuman ini dibuat
special untuk Nova. Tampilannya sangat berbeda dengan yang biasanya.
Diana tertawa pelan sambil menikmati minumannya.

Sesudah puas, kami lanjut berkeliling jalan ini. Kami pergi ke taman
kota yang sangat indah dan duduk di satu bangku.

“Kita istirahat sebentar ya!”

Walau mengatakan ingin istirahat, energi Diana masih sangat banyak.


Kami membicarakan beberapa hal termasuk kelakuan Nova saat di toko tadi.

“Minumannya sangat lezat, aku tidak bisa menahan diri. Di negara


asalku ada yang seperti tadi, namun mereka tidak menggunakan susu,
melainkan yogurt.” Wajah Nova memerah setelah mengatakan itu.

“Bukankah yogurt dibuat dari susu juga?” Tanya Diana. Nova hanya
menggaruk kepalanya sambil tersenyum. Kami semua tertawa.

Pemandangan disini sangat menenangkan. Angin menghembus


dengan lembut ke wajahku. Rambut panjang Nova tertiup dan membuatnya
terlihat lebih cantik. Diana berdeham setelah aku berpikir seperti itu. Suasana
ini benar-benar dapat menghilangkan semua perasaan negatif. Seketika
sebuah pertanyaan muncul di kepalaku. “Uh Nova,” ucapku. “Kemarin kau
bilang ayahmu keturunan Indonesia, bisa ceritakan sedikit tentang orang
tuanya?”
Nova lantas menoleh ke arahku.

“Baik. Dari mana aku harus mulai… Mungkin sedikit tentang


kakekku dulu. Kakekku ini merupakan orang asli Jerman. Beliau lahir di
Leipzig. Beliau bekerja sebagai konsultan. Suatu hari beliau mendapat tugas
di Indonesia untuk memberikan motivasi pada suatu sekolah bahasa Jerman.
Di sana, beliau bertemu dengan Airani Mutiara, nenekku yang merupakan
guru yang mengajar di sekolah itu.

“Mereka semakin mengenal satu sama lain hingga akhirnya mereka


menikah. Nenekku pindah ke Jerman dan menjadi warga negara Jerman.
Beliau perlahan mengajari kakekku bahasa Indonesia. Pada tahun 1972,
Arima Schmidt, ayahku lahir. Sejak kecil ayahku sudah diajarkan dua bahasa,
yaitu Indonesia dan Jerman. Begitulah singkatnya.”

“Lalu ayahmu mengajarkanmu bahasa Indonesia dan sekarang bisa


berbicara dengan kami?” Diana selalu penuh pertanyaan.

“Iya. Walaupun aku belum terlalu tahu banyak tentang bahasa gaul,
setidaknya aku dapat berkomunikasi dengan kalian.”

Perutku berbunyi. Gadis-gadis yang bersamaku langsung melihat ke


arahku. “Baiklah, mungkin saatnya mencari makan siang.”

Kami segera mencari tempat makan terdekat. Karena terlalu banyak


pilihan, kami memutuskan untuk makan di suatu toko ayam bakar. Rumah
makan ini tidak terlalu ramai, mungkin memang tidak begitu terkenal. Kami
bertiga memesan menu yang sama, namun hanya milikku yang tidak pedas.
Perutku memang tidak cocok untuk makanan pedas.

“Selanjutnya mau ke mana?” tanyaku kepada Nova. Karena ini


memang rencananya maka aku menanyakan kepada Nova.

“Bodoh. Nova kan ingin berkeliling karena kurang tahu tentang kota
Pavolia ini, mengapa kau tanyakan tentang saran tempat?” Kata-kata Diana
menyambarku bagaikan petir. Aku lupa kalau Diana sangat ahli dalam
mengkritik orang.
“Kau sendiri ada saran?” Aku berbalik bertanya. “Museum
Konferensi Asia Afrika. Tidak terlalu jauh juga dari sini.” Boleh juga. Ini juga
bisa untuk mencari pengetahuan lebih dalam tentang sejarah. Aku yakin Nova
tertarik.

Nova terlihat kebingungan. “Ada apa?” ujarku. “Tidak tahu apa isi
museum KAA?” Ia menggelengg. “Bukan itu. Aku kepikiran, kalau kita
memang harus menginap, di mana tempatnya? Kita juga masih di bawah
umur.” Iya juga ya. Belum lagi aku laki-laki sendiri di sini. Bisa dicurigai jika
kami memesan hotel atau villa. Aku menangkap sekilas wajah Diana yang
tersenyum. Aku agak kesal melihatnya, senyumannya terkesan mengejek.
“Kenapa senyum begitu? Ada solusi?” Ia tertawa dengan penuh
kesombongan.

“Tentu ada. Aku punya sepupu tak jauh dari sini. Kita hanya perlu
naik angkutan umum saja untuk sampai ke rumahnya. Aku juga sudah bilang
kalau kita akan menginap.” Syukurlah kalau begitu, aku tidak perlu khawatir
tidak bisa tidur. “Kenapa tidak bilang dari awal. Setelah ini kita ke sana
dulu?” Gadis-gadis itu mengangguk.

Kami bergegas menghabiskan makanan yang kami pesan. Setelah


membayar, kami menaiki angkutan umum untuk pergi ke rumah sepupu
Diana.

Perjalanan itu tidak memakan waktu lama, kurang lebih hanya 10


menit dan kami sudah sampai di tujuan. Diana mengetuk pintu dahulu

Anda mungkin juga menyukai