Anda di halaman 1dari 6

Nama : Anggi Kusumawardani

MK : Geografi Budaya

Pola Budaya di Kelurahan Keagungan

Pola budaya yang terbentuk di suatu masyarakat menarik untuk dikaji. Hal ini karena secara
teori, pola budaya yang terbentuk dipengaruhi oleh faktor-faktor yang memengaruhinya seperti
faktor biologis, geografis, lingkungan, dan sosial. Laporan ini menyajikan deskripsi singkat
mengenai pola budaya yang terdapat di sebagian daerah DKI Jakarta. Dengan menggunakan
teknik wawancara langsung ke lapangan serta pengamatan lapangan, maka didapat gambaran
singkat mengenai pola budaya yang ada di Kelurahan Keagungan.

1. Pendahuluan
Pola suatu kebudayaan pada masyarakat dipengaruhi oleh berbagai faktor yang
memengaruhinya. Faktor-faktor yang memengaruhi hal tersebut diantaranya faktor biologis,
geografis, lingkungan, dan sosial. Masing-masing faktor tersebut dalam tataran interaksinya di
kehidupan sosial masyarakat akan menjadikan suatu budaya di daerah tertentu menjadi unik atau
khas. Hal ini terjadi karena proses yang terjadi secara terus menerus secara berkelanjutan. Dari
yang pada awalnya berasal dari akal budi yang menghasilkan pemikiran yang secara
berkelanjutan menjadi sebuah persepsi umum dalam suatu masyarakat terhadap nilai atau norma
yang ada. Hal ini yang selanjutnya terwujud dalam sebuah tindakan dari kebiasaan yang berulang
secara terus-menerus.
Terjadi dan terbentuknya suatu pola budaya tak dapat dilepaskan dari kehidupan
masyarakat. Masyarakat yaitu sekelompok manusia yang hidup bersama dalam waktu yang
cukup lama,dengan batas kesatuan yang jelas, memiliki kebudayaan yang sama dan melakukan
kegiatan yang tergantung satu sama lain. Namun dalam tataran praktis, tak jarang kita jumpai
suatu masyarakat yang tidak terdiri dari mayoritas identitas yang sama. Dalam suatu masyarakat
sering kita menemukan beberapa budaya yang ada dan dalam proses perjalanannya bisa terjadi
suatu percampuran atau peleburan budaya. Bentuk percampuran atau peleburan ini bisa dalam
hal tata nilai, berpakaian, bersikap, atau bahkan dalam bahasa yang digunakan sehari-harinya
oleh penduduk tersebut.

2. Kelurahan Keagungan
Kelurahan Keagungan terletak di Kotamadya Jakarta Barat dan masuk ke dalam wilayah
administrasi Kecamatan Tamansari. Kelurahan Keagungan secara geografis berbatasan dengan
Kelurahan Glodok di sebelah Utara, Kelurahan Tanah Sereal di sebelah Barat, Kelurahan Krukut
di sebelah Selatan, dan Kelurahan Maphar di sebelah Timur. Dilihat dari segi lokasi, Kelurahan
Keagungan memiliki posisi yang strategis karena berdekatan dengan pusat perdagangan
elektronik Glodok. Selain itu, di bagian Timur terdapat Jalan Gadjah Mada dan Hayam Wuruk
yang merupakan jalur ramai yang dilewati oleh kendaraan umum dan pribadi disamping
terdapatnya berbagai pusat keramaian yang ada di sepanjang jalan tersebut. Keadaan letak yang
seperti ini menjadikan Kelurahan Keagungan memiliki akses yang mudah dijangkau dari
manapun.
Gambar. Kelurahan Keagungan

3. Hasil dan pembahasan


Dalam menentukan responden dalam pengamatan lapangan ini, penulis melakukan
pemilihan responden ketua RW dan penduduk biasa sebagai narasumber di Kelurahan
Keagungan. Adapun riwayat singkat dari dua responden yang penulis wawancarai yaitu:

Responden 1
Nama : Neneng
Umur : 41 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Pekerjaan : Ibu rumah tangga, wiraswasta
Agama : Islam
Pendidikan : SMA

Responden 2
Nama : Ujang
Umur : 55 tahun
Jenis kelamin : Pria
Pekerjaan : Pedagang
Agama : Islam
Pendidikan :-

Pemilihan kedua responden sebagai objek wawancara didasarkan atas kriteria diantaranya
yaitu seorang yang dihormati (baik sebagai pemegang jabatan formal maupun informal) serta
penduduk biasa yang bertempat tinggal di kelurahan tersebut.
Responden 1 merupakan seorang ibu ketua RW 06 yang sudah tinggal di Kelurahan
Keagungan selama 34 tahun. Usaha yang ditekuni Beliau saat ini yaitu membuka salon yang
menempati sebagian dari kediaman Beliau. Asal daerah Responden 1 berasal dari Banten.
Responden 2 adalah seorang pedagang yang sudah tinggal di Kelurahan Keagungan
selama + 20 tahun. Asal daerah Responden 1 yaitu merupakan pendatang asal Kuningan yang
merupakan pendatang mayoritas yang ada di Kelurahan Keagungan.

3.1. Penduduk di Kelurahan Keagungan


Penduduk di Kelurahan Keagungan secara keseluruhan dapat dibagi menjadi dua, yaitu
penduduk asli dan penduduk pendatang. Saat ini, penduduk asli di Kelurahan Keagungan sangat
sedikit jumlahnya. Hal ini berbeda dengan penduduk pendatang yang jumlahnya berbanding
terbalik dengan penduduk asli. Penduduk pendatang yang ada di Kelurahan Keagungan dapat
dikelompokkan menjadi tiga, yaitu pendatang dari Kuningan, Banten, dan penduduk beretnis
Tionghoa. Berdasarkan pengamatan lapangan yang dilakukan sekaligus wawancara tak
berstruktur terhadap narasumber, maka dapat diketahui bahwa hampir seluruh penduduk
pendatang yang ada di Kelurahan Keagungan berasal dari Kuningan. Berdasarkan informasi
yang penulis dapat, keberadaan penduduk dari Kuningan yang banyak ini terjadi karena faktor
keluarga penduduk Kuningan yang mengajak masing-masing anggota keluarganya untuk tinggal
di Kelurahan Keagungan. Mayoritas penduduk beretnis Tionghoa hampir semuanya tinggal di
permukiman bagian selatan, tepatnya di RW 10. Sedangkan untuk penduduk asal Kuningan dan
Banten seluruhnya menyebar di seluruh kelurahan.
Mayoritas pekerjaan penduduk yang ada di Kelurahan Keagungan dapat diidentifikasi
dari kelompok penduduk yang ada. Untuk penduduk beretnis Tionghoa, pekerjaan penduduknya
berada di bidang perdagangan dan jasa. Hal ini dapat dilihat dari keberadaan Pasar Gang Kancil
yang berada di kelurahan tersebut dimana ruko-ruko yang ada dimiliki dan dikelola oleh
penduduk beretnis Tionghoa. Untuk pedagang yang ada di Pasar Gang Kancil yang berdagang
seperti penjual sayur, buah-buahan, daging, dan sejenisnya berdasarkan pengamatan penulis,
tidak ada yang penjualnya dari penduduk Tionghoa. Selain itu, penduduk Tionghoa juga ada
yang memiliki usaha rumah kos dimana rumah-rumah tersebut disewakan sebagai tempat
tinggal. Adapun untuk penduduk pendatang dari Banten maupun Kuningan banyak bekerja di
sektor informal. Kebanyakan bekerja di sektor pedagangan skala kecil dan menengah
(wawancara Lurah Keagungan, responden, dan pengamatan lapangan). Diantaranya yaitu
membuka warung-warung kecil di depan sebagian halaman rumah mereka. Di sektor industri
rumahan, banyak juga penduduk asal Kuningan yang membuat usaha makanan seperti asinan
untuk kemudian didistribusikan dan dijual di tempat lain.

Gambar. Pasar Gang Kancil


3.2. Kondisi lingkungan di Kelurahan Keagungan
Hampir seluruh wilayah dalam lingkup administrasi Kelurahan Keagungan ini digunakan
sebagai area permukiman. Hanya di sebagian timur yang berada di koridor Jalan Gajah Mada –
Hayam Wuruk yang dimanfaatkan untuk kegiatan komersial seperti hotel, apartemen, atau toko-
toko. Berdasarkan pengamatan, permukiman penduduk yang ada di Kelurahan Keagungan
memiliki kepadatan tinggi dimana hampir semua rumah yang ada tidak memiliki halaman rumah
yang cukup luas. Perbedaan antara bentuk bangunan dari penduduk Tionghoa dan penduduk asal
Kuningan/Banten dapat dibedakan dengan jelas. Hal ini bisa dilihat dari berbedanya mayoritas
bangunan yang ada di RW 10 (mayoritas penduduk Tionghoa) dengan daerah lainnya. Untuk
bangunan yang ada di RW 10, karena mayoritas penduduknya Tionghoa dengan kondisi
ekonomi menengah ke atas, bentuk bangunannya khas yaitu bangunan dengan dua atau tiga
lantai dengan muka bangunan yang sempit namun memanjang ke arah belakang dengan kondisi
bangunan yang baik. Berbeda dengan hal tersebut, bentuk bangunan milik penduduk pendatang
Kuningan/Banten memiliki ciri bangunan rumah dengan satu atau dua lantai berdempetan
dengan rumah-rumah lainnya dengan kondisi rumah ‘kurang indah’.
Gambar. Perbedaan bangunan mayoritas penduduk asal Kuningan/Banten (kiri) dan penduduk Tionghoa
(kanan)

3.3. Pola budaya di Kelurahan Keagungan


Berdasarkan hasil wawancara dengan dua responden serta informasi tambahan lainnya
seperti wawancara dengan lurah dan pengamatan lapangan langsung, maka didapatkan pola
budaya yang ada di Kelurahan Keagungan.
Berdasarkan hasil wawancara dari Responden 1, Beliau merupakan salah satu tokoh
masyarakat (Ibu RW) yang ada di RW 06. Asal daerah Responden 1 berasal dari Banten dan
sudah berdomisili di Kelurahan Keagungan selama 34 tahun. Dari sisi interaksinya dengan
masyarakat, Responden 1 selalu menggunakan bahasa Betawi sebagai sarana komunikasinya.
Namun, bila ada yang mengajaknya untuk menggunakan bahasa Sunda, Responden 1 pun
mampu untuk menggunakannya dan berinteraksi dengan masyarakat. Di tempat Responden 1,
mayoritas warganya berasal dari Kuningan, Banten, serta penduduk Tionghoa (sebagian kecil).
Karena berdekatan dengan Pasar Gang Kancil, keramaian di tempat sekitar Responden 1 cukup
ramai.
Dari kegiatan masyarakat, terdapat beberapa kelompok pengajian yang dikelola dan
mengadakan kegiatan rutin bersama. Kelompok pengajian dalam beberapa perayaan tertentu
seperti Maulid Nabi dan hari besar Islam lainnya selalu mengadakan ritual bersama yang ramai.
Menurut Responden 1 hal ini karena memang mayoritas penduduk yang beragama Islam.
Adapun untuk kegiatan yang dilakukan oleh penduduk Tionghoa menurutnya terdapat kegiatan
rutin bulanan saja. Namun, kegiatan ini cenderung tertutup dan ekslusif hanya diantara penduduk
Tionghoa saja. Responden 1 menambahkan bahwa kegiatan tersebut tertutup juga karena
kegiatan tersebut berkaitan dengan keyakinan dan ritual yang dipeluk oleh penduduk Tionghoa
tersebut. Adanya konflik yang terjadi antar kelompok penduduk tidak terjadi selama ini karena
masing-masing kelompok jarang juga terjadi interaksi yang berlebihan.
Adapaun kegiatan yang rutin dilakukan oleh warga secara bersama-sama yaitu kegiatan
Jumantik yang rutin dilakukan setiap hari Jumat untuk memberantas penyebaran nyamuk demam
berdarah. Sejauh ini, menurut Responden 1 masih berlangsung rutin dan masyarakat banyak
yang ikut berpartisipasi. Selain Jumantik, ada juga kegiatan yang dikelola oleh Responden 1
yaitu PAUD.
Berbeda dengan Responden 1 yang merupakan tokoh di lingkungannya, Responden 2
berasal dari kalangan penduduk biasa yang tinggal di Kelurahan Keagungan selama + 20 tahun.
Sebagai penduduk pendatang dari Kuningan, saat ini Responden 2 menggunakan bahasa Betawi
sebagai sarana komunikasi sehari-harinya. Mata pencaharian utama Responden 2 adalah
pedagang di lingkungan sekitar kediamannya. Sebagai penduduk pendatang, Responden 2 masih
sesekali pulang ke kampung halamannya di Kuningan ketika tabungannya sudah cukup untuk
ongkos pulang walaupun Responden 1 sudah berkeluarga dan bertempat tinggal di Kelurahan
Keagungan.
Kegiatan kemasyarakatan yang ada di lingkungan Responden 2 hanya terdiri dari
kegiatan yang bersifat rutin seperti kelompok pengajian tiap minggu. Kegiatan pengajian ini
dikelola oleh masing-masing kelompok dan ketika bertepatan dengan hari besar agama Islam,
maka kelompok tersebut juga mengadakan perayaan seremonial. Kegiatan kemasyarakatan yang
dilakukan secara bersama-sama biasanya merupakan kegiatan yang diinstruksikan dari kelurahan
seperti Jumantik dan kerja bakti tiap minggunya.
Sebagai penduduk yang tinggal diantara mayoritas penduduk keturunan Tionghoa,
Responden 2 mengaku tidak ada kegiatan rutin yang dilakukan oleh penduduk Tionghoa terkait
dengan kebudayaan Cina yang merupakan nenek moyang penduduk Tionghoa tersebut. Adapun
kegiatan budaya yang terkait dengan kebudayaan yang berunsur Cina biasanya berupa acara
keliling Barongsai yang diadakan oleh komunitas dari Kelurahan Glodok. Kegiatan ini dilakukan
sesekali dan dilakukan dengan berkonvoi dari daerah Glodok dan ke daerah sekitarnya termasuk
melewati Kelurahan Keagungan. Selebihnya, menurut Responden 2 tidak ada lagi kegiatan
rutinan yang dilakukan oleh penduduk Tionghoa. Bisa jadi kegiatan yang dilakukan oleh mereka
cenderung tertutup atau dilakukan di luar lingkungan Keagungan. Terkait dengan interaksi antara
kelompok pendatang Tionghoa dengan Kuningan/Banten tidak pernah ada konflik yang terjadi
antara kelompok tersebut di masyarakat walau interkasi antara kedua kelompok tersebut
senderung kurang intens.

4. Kesimpulan
Pola budaya yang terdapat di Kelurahan Keagungan cenderung terjadi secara masing-
masing di dalam kelompok penduduk pendatang (penduduk Tionghoa dan penduduk
Kuningan/Banten) dan didasarkan atas masing-masing budaya atau keyakinan yang dianut oleh
masing-masing kelompok penduduk yang ada. Tidak terjadi asimilasi ataupun akulturasi diantara
kedua kelompok penduduk tersebut.

Anda mungkin juga menyukai