Anda di halaman 1dari 7

1.

Kebiri Kimia Sebagai Hukuman Terhadap Pelaku Kekerasan Seksual Terhadap Anak
Dalam Perspektif Tujuan Pemidanaan Yaitu Mencegah Kejahatan

Kekerasan seksual merupakan suatu bentuk kejahatan manusia dan termasuk ke dalam
kategori tindak pidana kesusilaan. Menurut Resna dan Darmawan, bahwa kekerasan seksual itu
dibagi atas 3 kategori, yaitu perkosaan, Incest, dan eksploitasi. Pada umumnya, kekerasan seksual
tidak dapat didefinisikan dalam arti sempit dalam bentuk suatu tindakan yang hanya bersifat fisik,
namun meliputi banyak aspek perilaku lainnya, misalnya berupa penganiyayaan psikologis dan
penghinaan, sehingga ketika berbicara masalah kekerasan seksual haruslah menyentuh pada inti
kekerasan dan pemaksaan, tidak hanya tertuju pada perilaku yang keras dan menekan.

Kekerasan seksual yang terjadi terhadap anak atau yang sering disebut sebagai pedofilia yang
dari tahun ke tahun mengalami peningkatan. Menurut Barker, kekerasan terhadap anak adalah
tindakan melukai yang berulang-ulang secara fisik dan emosional terhadap anak yang
ketergantungan, melalui desakan hasrat, hukuman badan yang tidak terkendali, degredasi, dan
kekerasan seksual yang dilakukan para orang tua atau pihak lain yang seharusnya merawat anak.
Menurut sudarto, kekerasan seksual terhadap anak dapat dikelompokkan dalam beberapa bagian,
yaitu :

a. Kekerasan anak secara fisik


b. Kekerasan anak secara psikis
c. Kekerasan anak secara seksual
d. Kekerasan anak secara sosial

Berdasarkan data dari lembaga Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), diketahui bahwa
pada tahun 2015 terdapat 218 kasus kekerasan seksual terhadap anak. Pada tahun 2016, KPAI
mencatat terdapt 120 kasus kekerasan seksual yang terjadi pada anak-anak. Sedangkan pada tahun
2017 tercatat terdapat 116 kasus kekerasan seksual terhadap anak. Selain itu, Lembaga
Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) juga memiliki catatan yang menunjukkan bahwa pada tahun
2016 telah terjadi kekerasan seksual terhadap anak sebanyak 25 kasus, tahun 2017 meningkat
menjadi 81 kasus, dan puncaknya pada tahun 2018 meningkat menjadi 206 kasus. Sepanjang tahun
2019, jumlah permohonan perlindungan terhadap kekerasan seksual terhadap anak meningkat
hingga 350 permohonan.

Melihat kasus kejahatan seksual terhadap anak yang semakin merebak, dan semakin meningkat
tiap tahunnya di Indonesia, membuat Pemerintah Indonesia akhirnya meyetujui untuk
diberlakukannya hukuman kepada pelaku kejahatan seksual terhadap anak. Menyikapi fenomena
kejahatan seksual terhadap anak yang terus meningkat, sehingga pada tanggal 26 Mei 2016 Presiden
Joko Widodo melakukan pendatanganan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2016 tentang perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak, yang mana bahwasanya Pemerintah menuturkan bahwa kejahatan seksual
terhadap anak adalah kejahatan luar biasa. PERPU No 1 Tahun 2016 tersebut kemudian disahkan
menjadi Undang-Undang No 17 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak. Tujuan dari dikeluarkannya
PERPU No. 1 Tahun 2016 tersebut yang kemudian disahkan menjadi Undang-Undang No. 17 Tahun
2016 ialah untuk memberi efek jera terhadap pelaku kekerasan seksual terhadap anak, dan
mencegah terjadinya kekerasan seksual terhadap anak. Salah satu bentuk upaya pemerintah untuk
memberi efek jera terhadap pelaku kekerasan seksual terhadap anak, mencegah terjadinya
kekerasan seksual terhadap anak adalah memberikan hukuman tambahan berupa penerapan
tindakan kebiri kimia. Tindakan kebiri kimia sendiri merupakan salah satu alternatif untuk
menindaklanjuti dan mencegah kekerasan seksual terhadap anak. Berdasarkan pasal 81 ayat (7)
Undang-Undang No 17 Tahun 2016 menyatakan bahwa

“Terhadap pelaku sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) dapat dikenai tindakan berupa
kebiri kimia dan pemasangan alat pendeteksi elektronik.”

Kemudian, Pasal 81 A ayat (1) Undang-Undang No 17 Tahun 2016 menyatakan bahwa

“Tindakan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 81 ayat (7) dikenakan untuk jangka waktu
paling lama 2 (dua) tahun dan dilaksanakan setelah terpidana menjalani pidana pokok.”

Terkait pelaksanaan tindakan kebiri kimia, terdapat di dalam Peraturan Pemerintah Nomor
70 Tahun 2020, tentang Tata Cara Pelaksanaan Tindakan Kebiri Kimia, Pemasangan Alat Elektronik,
Rehabilitasi dan Pengumuman Identitas Pelaku Kekerasan Seksual terhadap Anak. Terkait yang
dimaksud dengan Tindakan Kebiri Kimia dapat dilihat di dalam Pasal 1 angka (2) Peraturan
Pemerintah No 70 Tahun 2020, yang menyatakan bahwa

“ Tindakan Kebiri Kimia adalah pemberian zat kimia melalui penyuntikan atau metode lain, yang
dilakukan kepada peaku yang pernah dipidana karena melakukan kekerasan atau ancaman
kekerasan memaksa Anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, sehingga
menimbulkan korban lebih dari 1 (satu) orang, mengakibatkan luka berat, gangguan jiwa, penyakit
menular, terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi, dan/atau korban meninggal dunia, untuk
menekan hasrat seksual berlebih, yang disertai rehabilitasi.”

Tindakan Kebiri Kimia sendiri diberikan terhadap Pelaku Kekerasan Seksual Terhadap Anak
yang melakukan tindakan pidana persetubuhan kepada Anak, sebagaimana yang dinyatakan di
dalam Pasal 2 Ayat (1) Peraturan Pemerintah No 70 Tahun 2020 yang menyatakan

“ Tindakan Kebiri Kimia, tindakan pemasangan alat pendeteksi elektronik, dan rehabilitasi dikenakan
terhadap Pelaku Persetubuhan berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum
tetap”

Yang dimaksud sebagai Pelaku Tindak Pidana Persetubuhan dinyatakan di dalam Pasal 1 angka (4)
Peraturan Pemerintah No 70 Tahun 2020, yang menyatakan bahwa

“ Pelaku Tindak Pidana Persetubuhan kepada Anak adalah terpidana atau orang yang telah selesai
menjalani pidana pokok atas tindak pidana persetubuhan kepada Anak dengan kekerasan atau
ancaman kekerasan memaksa Anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.”

Tindakan Kebiri Kimia yang diberikan kepada Pelaku Tindak Pidana Persetubuhan kepada Anak
memiliki jangka waktu pemberian, yaitu paling lama 2 (dua) tahun, sebagaimana dinyatakan di
dalam pasal 5 Undang-Undang No 70 Tahun 2020 bahwa

“ Tindakan Kebiri Kimia dikenakan untuk jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun.”
Terkait dengan disahkannya Undang-Undang No 17 tahun 2016 dan Peraturan Pemerintah
No 70 Tahun 2020 sebagai dasar dari pelaksanaan Tindakan Kebiri Kimia terhadap Pelaku Kekerasan
Seksual Terhadap Anak, menimbulkan beberapa Kontra di kalangan para Ahli. Siti Aminah Tardi
selaku Komisioner Komnas Perempuan mengungkapkan bahwa Tindakan Kebiri Kimia yang diberikan
kepada Pelaku Tindak Pidana Kejahatan Seksual Terhadap Anak tidak selaras dengan tujuan
pemidanaan. Menurut Siti Aminah Tardi, tujuan pemidanaan adalah untuk mencegah dilakukannya
tindak pidana dengan menegakkan norma hukum, memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan
pembinaan sehingga menjadi orang yang baik dan berguna, serta menyelesaikan konflik. Kemudian,
Siti Aminah Tardi juga menyatakan bahwa kekerasan seksual terjadi bukam semata karena libido
atau untuk kepuasan seksual dan terjadi karena sebagai bentuk penaklukan, ekspresi inferioritas
maupun kekuasaan maskulin, serta gangguan psikologi.

Sehingga, Tindakan Kimia dengan target mengontrol hormon seksual tidak menyelesaikan
Tindak Pidana Kekerasan Seksual Terhadap Anak. Menurut Erasmus Abraham Todo Napitupulu
selaku Direktur Eksekutif Institute of Criminal Justice Reform (ICJR), menilai bahwa pelaksanaan
Tindakan Kebiri Kimia membutuhkan banyak sumber daya dan biaya. Mahalnya biaya tersebut
disebabkan oleh adanya rehabilitasi psikiatri, rehabilitasi sosial, dan rehabilitasi medik. Menurut
Nael Sumanpow selaku ahli Psikologi Forensik, Tindakan Kebiri Kimia, pengumuman identitas pelaku,
pemasangan alat elektronik, tindakan rehabilitasi pelaku, tidak serta-merta dapat mengurangi
jumlah Tindak Pidana Kekerasan Seksual Terhadap Anak. Bahwa perlu adanya data hasil riset yang
dapat menghasilkan kebijakan berbasis bukti (evidence-based policy). Sehingga, dapat membantu
pemerintah dalam merumuskan dan mengimplementasikan kebijakan secara efektif. Pelaku Tindak
Pidana Kekerasan Seksual Terhadap anak memiliki banyak faktor penyebab disamping faktor dan
perlu tindakan yang berdasarkan keunikan individu (tailor-made) daripada pendekatan satu tindakan
tertentu untuk semua pelaku (one-size fits all approach).

Di beberapa negara bagian Amerika Serikat seperti Lousiana dan Iowa telah mengadopsi
kebiri sebagai bagian dari treatment dan bukan punishment. Di Amerika sendiri telah menjadi
sebuah perdebatan yang panjang terkait dengan sanksi kebiri kimia sejak tahun 1980. Pelaksanaan
kebiri kimia dilaksanakan dengan cara menyuntikkan obat anti androgen berupa Medroxy
Progesterone Acetate (MPA) yang diyakini akan menurunkan level testoteron yang berimplikasi pada
menurunnya hasrat seksual. Namun, pemberian MPA pada pelaku kejahatan seksual ditolak oleh
The Food and Drug Administration dengan alasan bahwa untuk mengurangi hasrat seksual pelaku
tindak kejahatan seksual memerlukan dosis suntikan MPA sebanyak 500 miligram yang diberikan
setiap minggu dalam jangka waktu tertentu. Kemudian, dengan dosis suntikan MPA yang
sebagaimana dijelaskan tersebut maka dapat mengakibatkan terganggunya fungsi organ reproduksi,
sakit kepala berkepanjangan, dan bahkan dapat menimbulkan diabetes.

Meskipun demikian, kebijakan Negara bagian yang menerapkan kebiri ini mendapatkan
kritik yang luar biasa, bukan saja dari tenaga medis tetapi juga para ahli hukum dan kriminolog. Ryan
Cauley dari Universitas Iowa mengatakan bahwa meskipun kebiri dianggap sebagai treatment,
namun tetap saja pelaku menilainya se bagai punishment. Menurutnya kebiri kimiawi (chemical
castration) memiliki banyak persoalan hukum, tidak saja dari sisi hukum materiilnya tetapi juga
menyangkut juga terkait dengan hukum acaranya. Secara akademik dia juga mengutip pandangan
para kriminolog bahwa yang menjadi pemicu kejahatan seksual adalah faktor “power and violence”
dan bukan faktor “sexual desire” atau hasrat seksual.Karena itu, yang harus dikurangi adalah
motivasi kekerasannya daripada motivasi hasrat seksualnya. Menurutnya yang paling tepat untuk
diberikan kepada pelaku kejahatan seksual anak ini adalah therapy dan bukan treatment berupa
suntikan kimia kebiri. Therapy psikologi akan banyak membantu pelaku kejahatan seksual anak
karena yang dihadapi pelaku adalah apa yang disebutnya dengan “psychological problem” bukan
“medical problem”. Dengan melakukan “psychological treatment” maka akan mengurangi dampak
pada ketergantung obat dan akan menghilang efek negative dari kebiri kimiawi. 1

Menurut teori absolut terkait dengan tujuan pemidanaan, menyatakna bahwa pidana
dijatuhkan semata-mata karena telah melakukan suatu kejahatan atau tindak pidana. Dimana pidana
merupakan akibat mutlak yang harus ada sebagai suatu pembalasan kepada orang yang melakukan
kejahatan, sehingga dasar pembenaran dari pidana terletak pada adanya atau terjadinya kejahatan
itu sendiri.

Itulah sebabnya teori ini disebut juga sebagai teori pembalasan. hal tersebut dikarenakan
bahwa pada prinsipnya teori absolut berpegan pada “pidana untuk pidana”, yang mana hal itu akan
mengesampingkan nilai-nilai kemanusiaan. Artinya teori pembalasan tidak lagi memikirkan
bagaimana membina si pelaku kejahatan. Mengenai Teori Pembalasan, Andi Hamzah menyatakan
bahwa

“Teori pembalasan menyatakan bahwa pidana tidaklah bertujuan untuk yang praktis. Seperti
memperbaiki penjahat. Kejahatan itu sendirilah yang mengandung unsur-unsur untuk dijatuhkan
pidana, pidana secara mutlak ada, karena dilakukan suatu kejahatan. Tidaklah perlu memikirkan
manfaat penjatuhan pidana.”

Menurut Johannes Andenaes, yang menjadi tujuan utama dari pidana menurut teori absolut
ialah “untuk memuaskan tuntutan keadilan.”

Adapun beberapa ciri dari teori retributif sebagaimana yang diungkapkan oleh Karl O. Cristiansen,
yaitu :

1) Tujuan pidana semata-mata hanya untuk pembalasan


2) Pembalasan merupakan tujuan utama, tanpa mengandung sarana-sarana untuk tujauan lain,
misalnya kesejahteraan rakyat
3) Kesalahan merupakan satu-satunya syarat bagi adanya pidana
4) Pidana harus disesuaikan dengan kesalahan pembuat
5) Pidana melihat kebelakang yang merupakan pencelaan yang murni dan tujuannya tidak
untuk memperbaiki, mendidik, atau memasyarakatkan kembali pelanggar

Ciri khas daripada teori retributif ini adalah dapat dilihat dari pandangan Immanuel Kant dan
Hegel, yaitu “penghukuman pada si pelaku adalah memang suatu keharusan, dan pelaku itu harus
dihukum karena dia berbuat jahat. Jadi, menurut keduanya berkeyakinan mutlak akan keniscayaan
pidana, sekalipun sebenarnya tidak berguna”. Lebih lanjut, Immanuel Kant melihat dalam
pemidanaan terdapt suatu imperatif kategoris”, yang merupakan tuntutan multak dipidananya
1
seseorang karena telah melakukan kejahatan. Sedangkan hegel memandang bahwa pemidanaan
adalah hak dari pelaku kejahatan atas perbuatan yang dilakukannya berdasarkan kemauannya
sendiri.

Teori retributif dalam tujuan pemidanaan disandarkan pada alasan bahwa pemidanaan
merupakan “morally justified” (pembenaran secara moral) karena kejahatan dapat dikatakan layak
untuk menerimanya atas kejahatannya. Asumsi yang penting terhadap pembenaran untuk
menghukum sebagai respon terhadap suatu kejahatan karena pelaku kejahatan telah melakukan
pelanggaran terhadap norma moral tertentu yang mendasari aturan hukum yang dilakukannya
secara sengaja dan sadar dan hal tersebut merupakan bentuk dari tanggung jawab moral dan
kesalahan hukum pelaku.

Sehingga, Tindakan Kimia dengan target mengontrol hormon seksual tidak menyelesaikan
Tindak Pidana Kekerasan Seksual Terhadap Anak. Menurut Erasmus Abraham Todo Napitupulu
selaku Direktur Eksekutif Institute of Criminal Justice Reform (ICJR), menilai bahwa pelaksanaan
Tindakan Kebiri Kimia membutuhkan banyak sumber daya dan biaya. Mahalnya biaya tersebut
disebabkan oleh adanya rehabilitasi psikiatri, rehabilitasi sosial, dan rehabilitasi medik. Menurut
Nael Sumanpow selaku ahli Psikologi Forensik, Tindakan Kebiri Kimia, pengumuman identitas pelaku,
pemasangan alat elektronik, tindakan rehabilitasi pelaku, tidak serta-merta dapat mengurangi
jumlah Tindak Pidana Kekerasan Seksual Terhadap Anak. Bahwa perlu adanya data hasil riset yang
dapat menghasilkan kebijakan berbasis bukti (evidence-based policy). Sehingga, dapat membantu
pemerintah dalam merumuskan dan mengimplementasikan kebijakan secara efektif. Pelaku Tindak
Pidana Kekerasan Seksual Terhadap anak memiliki banyak faktor penyebab disamping faktor dan
perlu tindakan yang berdasarkan keunikan individu (tailor-made) daripada pendekatan satu tindakan
tertentu untuk semua pelaku (one-size fits all approach).

2. Kebiri Kimia Sebagai Tindakan Dalam Rangka Rehabilitasi Atau Hukuman

Dalam perkembangan hukum pidana di Indonesia, terutama dalam Undang-Undang pidana


khusus atau Perundang-undangan pidana di luar Kitab Undang-undang Hukum Pidana, terdapat
suatu kecendrungan menerapkan sistem dua jalur dalam stelsel sanksinya. Hal tersebut
tercantum dalam pasal 10 KUHP yang memuat sanksi pidana yang terdiri dari pidana pokok dan
pidana tambahan serta pasal 44 KUHP yang memuat sanksi tindakan berupa perawatan di
rumah sakit jiwa bagi orang yang tidak mampu bertanggungjawab atas tindak pidana yang
dilakukannya karena gangguan jiwanya. Penerapan sistem dua jalur dalam stelsel sanksinya,
Indonesia menganut sistem dua jalur dalam pemidanaan (double track system), yaitu di samping
pelaku tindak pidana dapat di jatuhi pidana, dapat juga dikenakan sanksi tindakan. Bukan hanya
untuk orang yang tidak mampu bertanggung jawab karena gangguan jiwa, melainkan orang yang
mampu bertanggungjawab juga dapat dikenakan sanksi tindakan.

Terkait pengenaan tindakan, pelaku tindak pidana dibagi menjadi dua kelompok yaitu tidak
dapat dipertanggungjawabkan dan kurang dapat dipertanggungjawabkan. Terhadap yang tidak
dapat dipertanggungjawabkan pidananya, dapat dikurangi atau dikenakan tindakan. Adapun
penyebab tidak dapat dipertanggungjawabkan dan kurang dapat dipertanggungjawabkan
tersebut adalah sama yaitu menderita gangguan jiwa, penyakit jiwa, atau retardisi mental.
Pasal 103 ayat (2) Rancangan KUHP juga mengatur tindakan yang dapat dikenakan bersama-
sma dengan pidana pokok berupa :

1) Pencabutan Surat Izin Mengemudi;


2) Perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana;
3) Perbaikan akibat-akibat tindak pidana;
4) Latihan kerja;
5) Rehabilitasi;
6) Perawatan dalam suatu lembaga.

Tindakan Rehabilitasi yang dimaksud ialah :

1) Pengenaan tindakan rehabilitasi dijatuhkan kepada pembuat tindak pidana yang


kecanduan alkohol, obat bius, obat keras, narkotika, yang mengidap kelainan seksual,
atau yang mengidap kelainan jiwa.
2) Rehabilitasi dilaksanakan di dalam suatu lembaga pengobatan dan pembinaan, baik
swasta ataupun pemerintah.

Rehabilitasi meupakan konsep pemidanaan yang dimasukkan dalam sub kelompok


Detterence karena memiliki tujuan pemidanaan, meskipun dalam pandangan Andrew Ashworth
sesungguhnya rehabilitasi merupakan suatu alasan penjatuhan pidana yang berbeda dengan
pandangan detterence. Bila tujuan utama dari teori detterence adalah melakukan tindakan
preventif terhadap terjadinya kejahatan, maka rehabilitasi lebih memfokuskan diri untuk
mereformasi atau memperbaiki pelaku. Dalam kajian kriminologi, detterence dilatarbelakangi
oleh pandangan rational choice yang merupakan paham yang berkembang dalam teori
kriminologi klasik. Maka berbeda dengan rehabilitasi yang dilatarbelakangi pandangan positivis
dalam kriminologi, maka penyebab kejahatan lebih dikarenakan adanya penyakit kejiwaan atau
penyimpangan sosial baik dalam pandangan psikiatri atau psikologi. Di pihak lain, kejahatan
dalam dipandang sebagai penyakit sosial yang disintegratif dalam masyarakat.

Dalam kajian yang dibuat oleh Yong Ohoitimur, kejahatan dianggap sebagai simptom
disharmony mental atau ketidakseimbangan personal yang membutuhkan terapi psikiatris,
conseling, latihan-latihan spiritual dan sebagainya. Lagi pula karenaynya pemidanaan lebih
dipandang sebagai proses terapi atas penyakit yang ada bukan lagi sebagai penjeraan atau
penangkalan dalam konteks detterence. Pandangan terhadap pelaku kejahatan pun berbeda dari
kedua teori pemidanaan ini. Dalam pandangan detterence, pelaku adalah orang bersalah yang
harus dijerakan supaya tidak mengulangi lagi tindak pidananya, sementara rehabilitasi
memandang seorang pelaku tindak pidana justru orang yang perlu ditolong.

Pandangan rehabilitasi juga menentukan kerja hakim dalam menentukan sanksi pidana.
Dalam konteks ini hakim dituntut untuk menentuk model pemidanaan mana yang cocok sebagai
sarana terapi bagi pelaku. Di tahun 1960-an pandangan tersebut banyak mendapatkan kritik,
akan tetapi perkembangan di tahun 1970-an justru di pandang efektif untuk mencegah pelaku
tidak mengulangi tindak pidananya, dibandingkan dengan pemidanaan yang menggunakan
pendekatan detterence. Martison menggambarkan bahwa pendekatan tersebut hanya efektif
bila dilakukan dengan jumlah pidana yang kecil, ekslusif dan membutuhkan banyak ahli yang
terlibat di dalamnya.

Anda mungkin juga menyukai