Anda di halaman 1dari 5

DESKRIPSI OBJEK

1. PENJELASAN RUSUNAWA

Rusunawa merupakan singkatan dari rumah susun sederhana sewa. Rusunawa adalah
bangunan bertingkat yang dibangun oleh pemerintah dalam satu lingkungan tempat hunian dan
disewakan kepada keluarga kurang mampu dengan cara pembayaran per bulan. Rusunawa
merupakan satuan-satuan hunian yang digunakan secara terpisah, status penguasaanya sewa, dan
fungsi utama sebagai hunian

Rumah susun adalah bangunan gedung bertingkat yang di bangun dalam suatu
lingkungan yang terbagi dalam bangunan-bangunan yang terstrukturkan secara fungsional dalam
arah horizontal maupun vertical, merupakan satuan-satuan yang masing-masing dapat dimiliki
secara terpisah terutama tempat-tempat huian yang dilengkapi dengan bangunan bersama dan
tanah bersama. (UURS,No.16 tahun 1985)

2. SEJARAH RUSUNAWA
Rumah susun adalah bangunan gedung bertingkat yang di bangun dalam suatu
lingkungan yang terbagi dalam bangunan-bangunan yang terstrukturkan secara fungsional dalam
arah horizontal maupun vertical, merupakan satuan-satuan yang masing-masing dapat dimiliki
secara terpisah terutama tempat-tempat huian yang dilengkapi dengan bangunan bersama dan
tanah bersama. (UURS,No.16 tahun 1985)
Sayangnya, kelangsungan program rusun oleh pemerintah mengendur, apalagi setahun
selepas rezim Orde Baru tumbang. Kementerian Perumahan Rakyat dihilangkan. Setelah periode
pasca-krisis sejak 1999, Perumnas sebagai penggerak perumahan rakyat mengalami
restrukturisasi pinjaman perusahaan dan penurunan kemampuan, di tengah tiada lagi kementerian
khusus yang menangani perumahan. Hingga akhirnya Kementerian Negara Perumahan Rakyat
dibentuk kembali pada 2004. Imbas terhapusnya kementerian itu selama dua periode berakibat
pada struktur dan program pembangunan rumah rakyat harus ditata kembali dari awal. Diawali
Keputusan Presiden 22/2006 tentang Tim Koordinasi Percepatan Pembangunan Rumah Susun di
Kawasan Perkotaan. Upaya konkret pemerintah ialah peresmian program 1.000 Tower rumah
susun pada 5 April 2007 oleh Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono. Rusun pertama yang
dibangun berbentuk Rumah Susun Sederhana Milik (rusunami) yang lokasinya di Pulo Gebang,
Jakarta Timur, kerjasama Perumnas dan PT Primaland Internusa Development.
Pada periode ini Perumnas menjadi pelopor dan pemimpin pembangunan rusunami 1.000
Tower untuk memenuhi kebutuhan perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah yang
layak, sehat, dan terjangkau. Untuk itu, upaya insentif dilakukan pemerintah. Lahirlah regulasi
terkait batas maksimum harga jual rusunami oleh Kementerian Keuangan. Pada waktu itu,
patokan harga maksimum rusun milik bersubsidi yang bebas Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
adalah Rp4 juta per meter persegi atau Rp144 juta per unit, dengan luasan minimum 36 per meter
persegi. Kementerian Pekerjaan Umum juga mengeluarkan Pedoman Teknis Pembangunan
Rumah Susun Sederhana Bertingkat Tinggi. Sedangkan Kementerian Dalam Negeri
mengeluarkan peraturan Pedoman Pemberian Kemudahan Perizinan dan Insentif guna Percepatan
Pembangunan Rusun di Kawasan Perkotaan. Program ini segera disambut oleh kota semrawut
seperti Jakarta, yang mengeluarkan peraturan gubernur terkait Percepatan Pembangunan Rumah
Susun dan Pembentukan Tim Koordinasi Daerah Percepatan Pembangunan Rusun, tertanggal 25
Oktober 2007. Pada 2008, pelbagai masalah mulai mengemuka. Muncul plesetan: '1.000 Tower,
1001 Masalah.' Setidaknya dua hal besar mengemuka dari program 1.000 tower ini; pertama, dari
sisi ketidaktepatan sasaran target pemilik rusunami; dan kedua, masalah partisipasi yang minim
oleh pengembang swasta, yang akhirnya berdampak pada capaian program 1000 Tower.
Pemerintah memang tak bisa lepas dari peranan sektor swasta di program ini. Pada tahun itu,
kondisi perekonomian Indonesia terkena dampak kenaikan harga BBM dan ekonomi global yang
mengalami krisis. Di sektor riil seperti properti, harga material bangunan terkerek akibat harga
BBM. Harga jual rusun pun harus disesuaikan harga tanah dan material. Masalahnya, upaya
regulasi untuk menaikkan patokan harga maksimum rumah susun bersubsidi masih belum bisa
direalisasikan saat itu. Ketua Asosiasi Perhimpunan Penghuni Rumah Susun, Ibnu Tadji,
mengatakan peruntukan rusun tak tepat sasaran bermula dari situ. Saat itu daya beli masyarakat
menurun hingga pengembang tak mampu menjual rusun lebih dari 20 persen karena pasar
masyarakat berpenghasilan rendah, yang menjadi sasaran, tak menjangkau daya beli rusunami
yang dibangun. “Akhirnya keluarlah peraturan pemerintah, yang pertama hanya diperuntukkan
untuk masyarakat berpenghasilan rendah, sekarang boleh dengan catatan tidak ada subsidi PPN
dan bunga Bank. Nah, maka berbondong-bondonglah orang beli, maka harga kemudian dinaikkan
oleh pengembang, jadi prioritasnya kepada siapa saja. Saya punya teman di Kalibata City, itu
sekaligus beli 10 unit,” kata Ibnu kepada Tirto di kediamannya, kawasan Kebayoran Baru, Jakarta
Selatan, Sabtu (7/1/2017). Persoalan regulasi juga jadi momok dari program 1.000 Tower.
Beberapa persoalan, antara lain, tak ada kepastian perizinan bagi pengembang termasuk masalah
keringanan Biaya Perolehan Hak Atas Tanah dan atau Bangunan (BPHTB), dan penetapan Nilai
Jual Obyek Pajak (NJOP) bagi tanah negara. Sejumlah persoalan ini membuat program 1.000
Tower Rusunami tak berjalan sebagaimana mestinya. Dalam tulisan Indonesia Property Watch
(IPW) berjudul 'Rusun Subsidi: Salah Sasaran atau Salah Urus?', kendala program 1.000 Tower
yang semula diminati pengembang karena bisa memberikan peluang koefisien lantai bangunan
(KLB) yang mencapai 6x—artinya peluang menjual luas rusunami oleh swasta lebih besar—
namun, sejak adanya penyegelan proyek Kalibata City oleh Pemda DKI Jakarta karena alasan
bahwa KLB tidak boleh lebih dari 3,5x, mulai banyak pengembang menarik diri membangun
rusunami subsidi. “Kebijakan 1.000 menara rusunami sudah mati suri sejak tahun 2010 dan
dibiarkan mengambang tanpa ada perbaikan kebijakan,” jelas IPW.

Pemerintah mencoba berbenah. Pada 2011 lahirlah dua undang-undang yang krusial bagi
persoalan hunian di Indonesia termasuk rusun. UU itu antara lain UU 1/2011 tentang Perumahan
dan Kawasan Permukiman, dan UU 20/2011 tentang Rumah Susun, sebagai revisi UU 16/1985
tentang rusun. UU Rusun mengatur tentang rumah susun umum, rumah susun khusus, rumah
susun negara, dan rumah susun komersial yang dikembangkan swasta atau biasa disebut
apartemen. UU ini mencoba melindungi konsumen masyarakat bawah, misalnya ketentuan yang
mengatur pelaku pembangunan apartemen wajib menyediakan rumah susun umum sekurang-
kurangnya 20 persen dari total luas lantai apartemen yang dibangun. Semangat melindungi
konsumen juga tercermin dari ketentuan soal Perhimpunan Pemilik Penghuni Satuan Rumah
Susun. Sayangnya, dalam UU Rusun, masih ditemui beberapa peraturan yang bersifat
mengambang soal pembentukan Perhimpunan itu. Beberapa di antaranya, klausul terkait
pengelola yang juga dituntut untuk mengimplementasi tata tertib hunian sehingga tercipta
ketertiban dalam penggunaan barang milik bersama, fasilitas bersama, dan fasilitas sosial lainnya.
Dalam pelaksanaannya, banyak peraturan baru oleh pengembang dibuat di luar kesepakatan
dengan penghuni apartemen. Tak jarang muncul gejolak hingga konflik berupa Perhimpunan
tandingan yang dibentuk oleh warga sendiri untuk mengimbangi peran Perhimpunan bentukan
pengembang. Belakangan, Rancangan Peraturan Pemerintah turunan dari amanat UU Rusun
menjadi harapan bagi pemilik maupun penghuni sebagai solusi konflik pengelolaan apartemen.
Di tengah persoalan pembangunan rusun dan penyelenggaraan rusun yang masih bermasalah,
Presiden Joko Widodo mencanangkan program sejuta rumah pada 2015. Pada 2016, program ini
menargetkan pembangunan sejuta unit rumah. Target pembangunan rumah untuk masyarakat
berpengasilan rendah mencapai 700.000 unit rumah, sementara non-masyarakat berpendapatan
rendah hanya 300.000 unit rumah. Pembangunan rumah untuk masyarakat miskin yang akan
dilaksanakan oleh pemerintah melalui Kementerian PU dan Perumahan Rakyat sesuai APBN
hanya sebanyak 113.422 unit (termasuk rusunawa), dan rumah untuk kalangan warga miskin
yang dibiayai non-APBN adalah 586.578 unit. Sedangkan sisanya, rumah untuk warga
berpendapatan menengah ke atas, sebanyak 300.000 unit, diserahkan kepada pengembang dan
masyarakat melalui pembangunan rumah komersial dan umum. Di sini, jelas peran APBN sangat
minim untuk penyediaan hunian, termasuk rusun. Di sisi lain, pemerintah harus terus berlomba
dengan kebutuhan perumahan termasuk di wilayah perkotaan yang kian meningkat. Sayangnya,
pemerintah menjawabnya dengan pembangunan rusunawa, yang hanya memberi jawaban instan
bagi persoalan hunian, sebagaimana dialami para korban gusuran. Betapapun sulit mengurus hak
mendasar warga mendapatkan hunian layak, yang telah dirintis pemerintah 30 tahun lalu, perkara
ini tetap membutuhkan kehadiran negara. Pemerintahan Jokowi harus menunaikan janjinya
menyediakan rusunawa maupun rusunami dengan memaksimalkan peran Perumnas, dan
pengawasan pengelolaan rusunami yang dibangun oleh swasta.

3. FUNGSI RUSUNAWA
Rusunawa selain sebagai rumah tinggal yang nyaman bagi Masyarakat kota sekaligus
sebagai tempat berkumpulnya anggota keluarga yang memiliki kualitas intelektual, sosial,
emosional, dan spiritual yang memadai.
Rusunawa ini dibangun di setiap lingkungan yang membutuhkan hunian guna selain
sebagai fasilitas tempat tinggal yang layak dan dekat dengan Lingkungan kota, bagi masyarakat
kota juga bisa menjadi Wahana menetap di hunian vertikal. Dengan tinggal di Rusunawa,
masyarakat kota secara tuntas dapat menyelesaikan masa transisi perkembangan
hidup dan mengenal sosio-budaya pada lingkungan wilaya tersebut.
Berdasar pada uraian di atas, maka dibutuhkan perencanaan dan perancangan sarana
hunian masyarakat berupa rusunawa (Rumah Susun Sederhana Sewa) sebagai fasilitas penunjang
sarana prasarana kota.
4. TATA KELOLA RUSUNAWA
Tata kelola dimengerti sebagai pengaturan pengelolaan. Pengaturan untuk mencapai
suatu tatanan yang lebih baik dari sebelumnya. Sehingga tata kelola mengandung adanya proses
perubahan kepada suatu nilai kualitas yang berbeda dari sebelumnya. Tatanan ini membentuk
kegiatan–kegiatan interaksi yang saling tergantung dari pengelolaan rumah susun melalui
koordinasi kegiatan, peningkatan kapasitas, kerangka kerja dan mekanisme pengaturan yang
melibatkan seluruh pelaku yang terlibat dalam mengatasi permasalahan pengelolaan rumah susun.
26. Validitas Validitas adalah ketepatan konstruk dalam menjelaskan variabel penelitian.
Pembangunan rumah susun sederhana sewa (rusunawa) sudah banyak diselenggarakan di
kota-kota besar di Indonesia. Adapun umur ekonomis struktur dan fisik bangunan akan dapat
dipertahankan sesuai rencana apabila konstruksi sesuai dengan persyaratan teknis dan penghunian
sesuai dengan persyaratan administratif, seperti yang dipersyaratkan dalam regulasi tentang
rumah susun. Implikasi dari hal itu adalah diperlukannya sistem pengelolaan yang dapat menjaga
interaksi pengaturan antara pemanfaatan bangunan dan penghunian rusunawa agar tetap harmonis
dan berhubungan dengan baik. Sebab bila tidak maka kemerosotan kualitas bangunan dan
penghuninya akan terjadi.

 STRUKTUR ORGANISASI PENGURUS


RUSUNAWA
KETUA

WAKIL KETUA KEUANGAN

PEMASARAN PENGEMBANGAN

PENANGGUNG JAWAB PELAKSANA HARIAN

ANGGOTA ANGGOTA ANGGOTA


5. JENIS RUSUN
Dalam penyediaan rusun, ternyata dibagi berdasarkan penerima manfaatnya. Terdapat 3
jenis rumah susun yang disediakan pemerintah untuk masyarakat yang dibagi berdasarkan
penerima manfaat.
Berikut ini telah dirangkum penjabaran 3 jenis rumah susun yang dibagi berdasarkan
penerima manfaatnya.
1) Rusun Umum
Jenis pertama adalah Rumah Susun (Rusun) Umum. Rusun ini ditujukan kepada masyarakat yang
memiliki penghasilan rendah (MBR), pondok pesantren, dan juga mahasiswa.

2) Rusun Negara
Jenis kedua adalah Rusun Negara. Rusun ini ditujukan kepada pejabat/Pegawai Negeri
Sipil (PNS) serta anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Kepolisian Republik Indonesia
(POLRI).
3) Rusun Khusus
Jenis terakhir ini adalah Rusun Khusus. Rusun ini dibagun dan ditujukan kepada pekerja
industri (buruh), masyarakat bertempat tinggal di perbatasan negara, nelayan yang tinggal di
pesisir pantai, masyarakat korban bencana, serta masyarakat yang terdampak program
pembangunan pemerintah pusat, masyarakat sosial, seperti tenaga kesehatan, warga lanjut usia,
dan penyandang disabilitas.

Anda mungkin juga menyukai