DOSEN PENGAMPU:
DISUSUN OLEH
KELOMPOK 7:
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Dengan
dasar tersebut maka kami mohon kritik dan saran yang sifatnya
makalah ini.
Medan, 18 April
2019
Kelompok 7
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
1.3 Tujuan
BAB II PEMBAHASAN
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
1.3. Tujuan
1 Untuk mengetahui definisi mukjizat menurut agama Islam.
2 Untuk memahami penjelasan mengenai aspek-aspek kemukjizatan
alQuran.
3 Untuk mengetahui seperti apa paham as-sharfah mengenai
kemukjizatan alQuran.
BAB II
PEMBAHASAN
1
. M. Quraish Shihab, Mukjizat Al-Quran, ( Bandung: PT Mizan Pustaka, 2007 ), h. 45-
51
yang singkat dapat menampung sekian banyak makna. Ia bagaikan berlian yang
memancarkan cahaya dari setiap sisinya.
Al-quran adalah ayat-ayat Allah swt (tanda keesaan dan kekuasaan-Nya),
demikian juga alam raya. Kalau melalui pengamatan dan studi terhadap alam raya
manusia dari saat ke saat dapat menyingkap rahasia-rahasianya, dan memperoleh
sesuatu yang baru dan belum diketahui oleh manusia atau generasi sebelumnya,
demikian juga halnya dengan ayat-ayat Allah swt yang tertulis. Mereka yang
berkecimpung dalam studi Alquran dapat menangkap makna-makna baru yang
2
belum terungkap oleh penelitian dan studi manusia atau generasi yang lalu.
Dalam wahyu pertama, Allah swt menegaskan Iqra’ wa rabbukal akram
“bacalah dan tuhanmu maha pemurah”. Kemurahan-Nya, mengantarkan manusia
yang mempelajari alam raya ini untuk menemukan rahasia-rahasia alam yang baru
serta berbeda dengan penemuan para ilmuwan terdahulu. Demikian juga ayat-ayat
Alquran.
c. Memuaskan Para Pemikir Dan Orang Kebanyakan
Seorang awam akan merasa puas dan memahami ayat-ayat Alquran sesuai
dengan keterbatasannya, tetapi ayat yang sama dapat dipahami dengan luas oleh
filosof dalam pengertian baru yang tidak terjangkau oleh kebanyakan orang.
d. Memuaskan Akal Dan Jiwa
Manusia memiliki daya pikir dan daya rasa, atau akal dan kalbu. Daya
pikir mendorongnya untuk memberikan argumentasi-argumentasi guna
mendukung pandangannya. Sedangkan daya kalbu mengantarkannya untuk
mengekspresikan keindahan dan mengembangkan imajinasi.
Dalam berbahasa, sulit sekali memuaskan kedua daya tersebut pada saat
yang sama. Nah, ada sesuatu yang unik di dalam bahasa alquran yaitu
kemampuannya menggabungkan kedua hal tersebut.
Untuk memerintahkan sesuatu, Alquran menggunakan banyak aneka gaya.
Sekali dengan perintah tegas, dan pada kali lain dengan menyatakannya sebagai
kewajiban. Sementara ditempat lain lagi dengan melukiskannya sebagai
2
Ibid, h. 115-125
kebajikan, mewasiatkan, atau menjanjikan pelakunya ganjaran yang banyak.
Demikian beragamnya perintah Allah swt yang terdapat didalam Alquran.
e. Keindahan Dan Ketepatan Maknanya
Tidak mudah menjelaskan keindahan bahasa Alquran bagi yang tidak
memiliki rasa Bahasa Arab ataupun paling tidak memiliki pengetahuan tentang
tata bahasanya.3
3
M. Quraish Shihab, Mukjizat Al-Quran, (Jakarta: Mizan Pustaka, 1997) h. 21-25
a. Keseimbangan Antara Jumlah Bilangan Kata Dan Antonimnya
Misalnya :
Al-hayah/kehidupan dan al-maut/kematian, masing-masing sebanyak
145 kali.
An-naf/manfaat dan al-fasad/kerusakan, masing-masing sebanyak 50
kali.
b. Keseimbangan Jumlah Bilangan Kata Dengan Sinonim Atau Makna Yang
Dikandungnya
Al-harts/membajak sawah dan az-zira’ah/bertani, masing-masing 14
kali.
Al-infaq/menafkahkandanar-ridha/merelakan, masing-masing 73 kali.
c. Keseimbangan Antara Jumlah Bilangan Kata Dan Kata Penyebabnya
Al-israf/pemborosan dan as-surat/ketergesa-gesaan, masing-masing 23
kali.
Al-mau’izah/nasihat dan al-lisan/ lidah, masing-masing sebanyak 25
kali.
Disamping keseimbangan-keseimbangan tersebut, juga terdapat
Keseimbangan Khusus.
Misalnya :
Kata yaum/hari dalam bentuk tunggal, sejumlah 365 kali, sebanyak hari-
hari dalam setahun. Sedangkan kata hari yang menunjuk kepada jamak
ayyam dan dua yaumain, jumlah keseluruhannya hanya 30 kali, sejumlah
hari-hari dalam sebulan. Disisi lain, kata yang berarti bulan syahr/asyhur
hanya terdapat 12 kali, sejumlah bulan dalam setahun.4
4
Ibid, h : 237-242
Dengan kata lain, kemukjizatan alQuran lahir dari faktor ekternal, bukan dari
alQuran sendiri.
Ada sebagian pemikir yang mengakui ketidakmampuan manusia
menyusun semacam alQuran. Menurut mereka, ini bukan disebabkan oleh
keistimewaan alQuran, tetapi lebih disebabkan adanya campur tangan Allah Swt.
dalam menghalangi manusia membuat semacam alQuran. Paham ini menamai
mukjizat alQuran dengan Mukjizat al-Sharfah.
Menurut pandangan orang yang menganut al-Sharfah, Cara Allah Swt.
memalingkan manusia ada dua macam. Pertama, mengatakan bahwa semangat
mereka untuk menantang dilemahkan Allah Swt. Kedua, menyatakan bahwa cara
Allah Swt. memalingkan adalah dengan cara mencabut pengetahuan dan rasa
kebahasaan yang mereka miliki dan yang diperlukan guna lahirnya satu susunan
kalimat serupa alQuran.
Alasan munculnya pendapat al-Sharfah adalah pertama, masyarakat Arab
mampu mengucapkan kata dan kalimat-kalimat semacam alQuran, seperti yang
terjadi pada Umar bin al-Khaththab yang mengusulkan kepada nabi untuk
menjadikan Maqâm Ibrâhîm sebagai tempat shalat.
Usul Umar ini diterima oleh alQuran dengan turunnya surat al-Baqarah
ayat 125 yang antara lain menggunakan redaksi yang sepenuhnya hampir sama
dengan redaksi Umar di atas. Peristiwa lainnya adalah pada suatu ketika nabi
Muẖammad mendiktekan kepada Abd Allâh bin Abi Sarh agar menuliskan ayat-
ayat surat al-Mu`minun, yang antara lain berbicara tentang proses kejadian
manusia.
Kedua, ketika terjadi upaya pengumpulan naskah-naskah alQur`ân pada
masa pemerintahan khalifah Abû Bakar al-Shiddîq. Abû Bakar memerintahkan
kepada Umar bin Kaththab dan Zaid bin Tsabit agar berdiri di pintu masjid dan
tidak menerima naskah kecuali disertai oleh dua saksi. Penganut paham al-Sharfah
berpendapat bahwa seandainya alQuran mu’jizat dari segi bahasanya, maka tentu
kesaksian itu tidak diperlukan. Jika benar alQuran merupakan mujizat maka
dengan mudah ia dibedakan dengan karya manusia.
Pendapat penganut al-Sharfah ini sejatinya memberikan simpulan bahwa
alQuran tidak memiliki kelebihan dari dirinya sendiri, namun faktor dari luarlah
yang menyebabkannya memiliki kelebihan tersebut. Tanggapan Ulama terhadap
Paham al-Sharfah
M. Quraish Shihab dalam bukunya membantah kedua argumen penganut
paham al-Sharfah. Pertama, pandangan yang mengatakan bahwa, “Semangat
mereka untuk menantang dilemahkan Allah Swt.” M Quraish Shihab
berkomentar, sejarah mencatat rasa semangat mengebu-gebu yang dimiliki musuh
Islam.[9] Allah Swt. berfirman dalam surat al-Baqarah/2: 23-24:
َ م ِم ْن دُو ِن هَّللا ِ إِ ْن ُك ْنتُ ْمhْ ُور ٍة ِم ْن ِم ْثلِ ِه َوا ْدعُوا ُشهَدَا َء ُك
) فَإِ ْن لَ ْم23( َصا ِدقِين َ نزلنَا َعلَى َع ْب ِدنَا فَأْتُوا ِبس
ْ ب ِم َّما ٍ َوإِ ْن ُك ْنتُ ْم فِي َر ْي
ْ ارةُ أُ ِع َّد
َت لِ ْلكَافِ ِرين َ ار الَّتِي َوقُو ُدهَا النَّاسُ َو ْال ِح َج
َ َّتَ ْف َعلُوا َولَ ْن تَ ْف َعلُوا فَاتَّقُوا الن
Artinya : Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang alQuran yang Kami
wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), buatlah satu surat (saja) yang
semisal alQuran itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu
orang-orang yang memang benar. (23). Maka jika kamu tidak dapat
membuat(nya) dan pasti kamu tidak akan dapat membuat(nya), peliharalah dirimu
dari neraka yang bahan bakarnya manusia dan batu, yang disediakan bagi orang-
orang yang kafir (24).
Demikianlah, mereka ditantang selamanya, dan dipastikan tidak akan
mampu. Serta mereka dipersamakan dengan batu dan diancam untuk dijadikan
bahan bakar neraka. Sejarah menjelaskan bahwa musuh Islam berusaha
menghalangi laju ajaran alQuran dengan menggunakan segala cara yang mereka
mampu lakukan. Sejarah mencatat bahwa musuh Islam memerangi Nabi
Muhammad Saw. dengan pedang dan tombak. Hal ini menunjukan semangat
mereka yang sangat menggebu-gebu, hanya saja tantangan membuat semacam
alQuran tidak terlayani. Mereka sadar akan kemampuan mereka yang terbatas.
Adapun dalih kedua, yang menyatakan bahwa “Allah Swt. mencabut
pengetahuan dan rasa bahasa mereka.” Agaknya, jika benar, maka seharusnya
keluhan ini akan didengar pertama kali dari musuh Islam sendiri. Bukankah
seharusnya mereka yang merasakan dan menyadarinya terlebih dahulu dan bukan
penganut paham Paham al-Sharfah. Sejarah membuktikan bahwa tidak ada
keluhan pun yang terdengar tentang hal ini dari mereka.
Kritikan yang diberikan kepada pendapat ini antara lain dilontarkan oleh
al-Suyûthî. Menurutnya pendapat ini adalah fasid, karena tidak sesuai dengan ayat
alQuran;
“Katakanlah: "Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat
yang serupa alQuran ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa
dengannya, sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang
lain.”
Pendapat diatas menunjukkan bahwa mereka lemah, padahal kemampuan
mereka ada. Seandainya kemampuan mereka dicabut maka tidak ada gunanya
mereka berkumpul, karena bila keadaannya seperti ini maka alQuran ibarat turun
pada kumpulan orang yang mati.
Kritikan yang sama juga dilontarkan oleh al-Qaththan. Menurutnya,
dengan pendapat seperti itu sebenarnya melemahkan mereka sendiri. Sebab tidak
akan dikatakan terhadap orang yang dicabut kemampuannya untuk berbuat
sesuatu, bahwa sesuatu itu telah membuatnya lemah selama ia masih mempunyai
kesanggupan untuk melakukannya pada suatu waktu. Akan tetapi yang
melemahkan adalah kekuasaan Allah, dan dengan demikian alQuran bukanlah
mukjizat.
Al-Baqillani juga mengemukakan ketidaksetujuannya dengan pendapat
ini. Menurutnya, apabila perlawanan yang dilakukan oleh orang-orang yang
menantang alQur`ân itu terlaksana, niscaya kalam Allah yang termaktub dalam
alQuran itu bukanlah mu’jizat, namun yang menjadi mujizat adalah shirfah itu
sendiri, sehingga kalam yang terkandung dalam alQuran tidak memiliki kelebihan
atas kalam-kalam Arab. Menurut al-Qurtubi, pendapat ini telah melanggar
kesepakatan para ulama sebelumnya yang mengatakan bahwa mu’jizat alQuran
muncul dari alQuran sendiri. Al-Qurtubî mengatakan jika diketahui bahwa dzat
al-Quran merupakan mujizat karena kefashihan dan balaghahnya yang luar biasa
terbukti dengan tidak ditemukannya sama sekali kalam yang sepertinya ̶ maka
sharfah bukanlah mujizat.
Konsep shirfah yang dianggap para pakar ‘Ulum alQuran sebagai
pendapat yang terbilang berlebihan dan terkesan mengada-ada sehingga menuai
banyak kritikan tersebut, ternyata menurut al-Baqillani masih berada pada taraf
yang terbilang wajar. Menurutnya masih ada pendapat yang lebih ekstrim lagi dari
pada pendapat tersebut. Pendapat yang dimaksud adalah pendapat yang
mengatakan bahwa; siapapun dapat mendatangkan semisal alQuran, namun
ketiadaan karya yang semisal alQuran adalah karena tidak adanya pengetahuan
mereka tentang bentuk susunan alQur`ân, seandainya mereka memiliki
pengetahuan tentang hal tersebut niscaya mereka dapat mendatangkan semisal
alQuran. Selain pendapat tersebut, pendapat yang terbilang ekstrim lagi adalah
pendapat yang mengatakan bahwa; sesungguhnya dalam bab kemu’jizatan ini,
tidak ada perbedaan antara kalam manusia dan kalam Allah, sehingga keduanya
bisa saling melemahkan satu dengan yang lainnya.5
5
Anwar Rosihan, Ulumul Qur’an, ( Bandung: Pustaka Setia Departemen Agama, 2004)
h.: 15-20
BAB III
KESIMPULAN