(FINAL) Kajian Strategis Edukatif Sosial Politik, Hak Konstitusionalitas Dan Hak Politik Warga Negara Indonesia Dalam M
(FINAL) Kajian Strategis Edukatif Sosial Politik, Hak Konstitusionalitas Dan Hak Politik Warga Negara Indonesia Dalam M
B. Pendahuluan
Hak asasi politik adalah hak dasar yang dimiliki oleh setiap individu dalam negara
untuk turut ikut serta dalam segala bentuk aktivitas dari sistem politik di suatu negara.
Hak politik warga negara Indonesia tertuang dalam Pasal 43 UU No. 39 Tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia yang berisi:
1. Setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum
berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara yang langsung, umum,
bebas, rahasia, jujur, dan adil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
2. Setiap warga negara berhak turut serta dalam pemerintahan dengan langsung atau
dengan perantaraan wakil yang dipilihnya dengan bebas, menurut cara yang
ditentukan dalam peraturan perundang-undangan.
3. Setiap warga negara dapat diangkat dalam setiap jabatan pemerintahan.
4. Selain itu hak asasi manusia untuk turut serta berpartisipasi dalam berpolitik telah
diatur dalam Pasal 21 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia yang berbunyi :
5. Setiap orang berhak turut serta dalam pemerintahan negaranya, secara langsung
atau melalui wakil-wakil yang dipilih dengan bebas.
6. Setiap orang berhak atas kesempatan yang sama untuk diangkat dalam jabatan
pemerintahan negaranya.
7. Kehendak rakyat harus menjadi dasar kekuasaan pemerintah; kehendak ini harus
dinyatakan dalam pemilihan umum yang dilaksanakan secara berkala dan murni,
dengan hak pilih yang bersifat umum dan sederajat, dengan pemungutan suara
secara rahasia ataupun dengan prosedur lain yang menjamin kebebasan
memberikan suara.
C. Pembahasan
Presidential Threshold sebagai anomali demokrasi Indonesia
Penerapan sistem presidential threshold sebagaimana telah diatur dalam Pasal
222 UU No. 7 Tahun 2017 menuai berbagai macam polemik dalam sistem demokrasi
yang dianut oleh Indonesia. Ketentuan persentase 20% dianggap terlalu tinggi dan
menimbulkan ketidaksetaraan akses untuk ikut serta dalam aktivitas politik negara.
Ditambah lagi, penentuan adanya ambang batas mengharuskan partai berkoalisi demi
memenuhi angka persentase minimal yang telah ditetapkan. Hal ini berimplikasi pada
kinerja pemerintah yang kurang efektif dikarenakan harus mempertimbangkan
kepentingan internal koalisi. Selain itu sifat dinamis koalisi yang mudah terpecah dan
asas indepedensi yang tercoreng juga menjadi alasan mengapa sistem ini
membahayakan keberlangsungan demokrasi dan pemenuhan hak politik rakyat
Indonesia.
Sistem presidential threshold juga dipandang mencoreng fungsi dari partai-partai
politik. Prof. Miriam Budiardjo dalam bukunya Dasar-Dasar Ilmu Politik
mengkategorikan empat fungsi dari partai politik:
1. Sebagai sarana komunikasi politik
2. Sebagai sarana sosialisasi politik
3. Sebagai sarana rekrutmen politik
4. Sebagai sarana pengatur konflik
Terang kami sampaikan atas dasar gagasan yang telah dijabarkan bahwasanya
sistem presidential threshold merusak fungsi rekrutmen dan pengatur konflik dari
partai politik. Hal ini dikarenakan partai sebagai sarana rekrutmen politik merupakan
wadah dan akses bagi pemenuhan hak seluruh rakyat untuk berkontribusi dalam
aktivitas politik negara. Namun nyatanya, seleksi untuk memilih pemimpin negara
terbatas karena sistem ambang batas dan kuasa pimpinan partai yang begitu besar
perannya. Dari sisi fungsi pengatur konflik, Arend Lijphart (1968) mengatakan
“Perbedaan-perbedaan atau perpecahan di tingkat massa bawah dapat diatasi oleh kerja
sama diantara elit-elit politik”. Namun sekali lagi, kondisi faktual yang terjadi di
Indonesia kontradiktif dengan statment Arend Lijphart. Dalam iklim politik di
Indonesia, peran elit-elit partai politik dalam menentukan posisi eksekutif baik dalam
skala nasional maupun regional, menentukan arah koalisi dan menentukan
keberlangsungan ekosistem politik mencerminkan kuasa mereka yang begitu besar
sehingga mencengkeram kebebasan dan akses politik bagi seluruh rakyat Indonesia.
Hal diatas selaras dengan pernyataan ahli hukum tata negara Refly Harun,
melansir situs Detik.com “Karena telah mengakibatkan pemohon kehilangan hak
konstitusionalnya untuk mendapatkan sebanyak-banyaknya calon pemimpin bangsa
yang dihasilkan partai politik peserta pemilihan umum”. Selain itu beliau juga
berpendapat bahwa penggunaan sistem ambang batas atau presidential threshold
berpotensi mengamputasi salah satu fungsi dari partai politik yaitu menyediakan dan
menyeleksi calon pemimpin masa depan.
Open legal policy juga tetap tidaklah boleh melanggar hak konstitutional warga
negara dan melanggar UUD 1945, dan tidak boleh dilakukan dengan sebebas-bebasnya
oleh pembentuk undang-undang, hal ini sebagaimana yang disampaikan juga oleh
Mahkamah Konstitusi sendiri melalui Putusan Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008 dengan
merujuk kepada Putusan Nomor 010/PUU-III/2005 dan Poin Menimbang Putusan
Nomor 86/PUU-X/2012.
D. Penutupan
Dari point yang disampaikan diatas dapat dipahami bahwasanya Presidential
Treshold inkonstitusional atas dasar menyalahi konsep open legal policy dikarenakan
tidaknya terpenuhi syarat-syarat, bertentangan dengan Undang-Undang dan merugikan
hak konstitusionalitas dan politik warga negara indonesia. Karena sejatinya pesta
demokrasi tidak sahih apabila suara rakyat tak terwakilkan dalam bentuk yang
menyeluruh di setiap elemen negara.