Anda di halaman 1dari 9

Hak Konstitusional dan Hak Politik Warga Negara Indonesia dalam Mengurai

Kebuntuan Kepemimpinan Nasional


A. Latar Belakang
Manusia dalam pandangan Aristoteles dikategorikan sebagai zoon politicon atau
hewan politik. Dalam artian, Aristoteles berpandangan bahwa manusia ditakdirkan
sebagai makhluk yang butuh akan aspek bersosial dan berinteraksi untuk memenuhi
kebutuhan hidup mereka. Maka dari itu, manusia hidup dengan cara berkelompok
dalam kesatuan konsep bermasyarakat dengan tujuan mencapai kesejahteraan bersama
lewat kerja sama yang kolektif. Salah satu aspek penting manusia sebagai bagian dari
entitas besar bernama masyarakat adalah aspek hak dalam berpolitik. Politik sebagai
sebuah sistem ketatanegaraan diartikan sebagai proses yang dilakukan oleh sekelompok
orang yang diberi legitimasi oleh rakyat untuk mengelola kehidupan bernegara. Dalam
negara demokrasi, keikutsertaan masyarakat untuk mengelola kehidupan bernegara
dibuka seluas mungkin tanpa memandang latar belakang suku, agama, ras dan golongan
tertentu.

Negara Kesatuan Republik Indonesia menganut bentuk pemerintahan demokrasi


sesuai dengan apa yang termaktub pada Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945
yang berbunyi “Kedaulatan adalah ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-
Undang Dasar”. Namun pada praktiknya terjadi sebuah anomali dalam kesamarataan
masyarakat dalam berdemokrasi. Hal ini disebabkan oleh pemberlakuan regulasi
sistem presidential threshold yang diatur dalam Pasal 222 UU No. 7 Tahun 2017
tentang Pemilihan Umum. Dengan adanya sistem tersebut, secara praktis dapat kita
lihat bahwa hak politik warga negara Indonesia terbatas pada pengaruh partai yang
begitu kuat dalam penentuan jalannya pemilihan umum. Hal ini mencederai nafas
demokrasi sebagaimana didefinisikan oleh Abraham Lincoln yaitu dari rakyat, oleh
rakyat dan untuk rakyat bukan demokrasi yang didominasi dan diatur oleh sebagian
rakyat saja.

Anomali berdemokrasi di Indonesia ini yang menjadi dasar pemikiran bagi


penulis untuk mengkoreksi dan memberi pandangan serta arahan bagi terciptanya
kesetaraan politik bagi seluruh rakyat Indonesia. Karena pada dasarnya, seluruh
manusia dilahirkan dengan kondisi bebas bahkan dalam keadaan dan atau kondisi
tertentu sekalipun. Kondisi ini termasuk pula dalam kebebasan manusia itu untuk
berpolitik demi kesejahteraan dirinya sendiri dan orang lain. Karena kembali pada
konsep zoon politicon ala Aristoteles, kebutuhan akan aspek sosialisasi ini selaras
dengan kewajiban manusia untuk saling peduli satu sama lain dalam hal pelaksanaan
hak-hak fundamental mereka.

B. Pendahuluan
Hak asasi politik adalah hak dasar yang dimiliki oleh setiap individu dalam negara
untuk turut ikut serta dalam segala bentuk aktivitas dari sistem politik di suatu negara.
Hak politik warga negara Indonesia tertuang dalam Pasal 43 UU No. 39 Tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia yang berisi:

1. Setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum
berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara yang langsung, umum,
bebas, rahasia, jujur, dan adil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
2. Setiap warga negara berhak turut serta dalam pemerintahan dengan langsung atau
dengan perantaraan wakil yang dipilihnya dengan bebas, menurut cara yang
ditentukan dalam peraturan perundang-undangan.
3. Setiap warga negara dapat diangkat dalam setiap jabatan pemerintahan.
4. Selain itu hak asasi manusia untuk turut serta berpartisipasi dalam berpolitik telah
diatur dalam Pasal 21 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia yang berbunyi :
5. Setiap orang berhak turut serta dalam pemerintahan negaranya, secara langsung
atau melalui wakil-wakil yang dipilih dengan bebas.
6. Setiap orang berhak atas kesempatan yang sama untuk diangkat dalam jabatan
pemerintahan negaranya.
7. Kehendak rakyat harus menjadi dasar kekuasaan pemerintah; kehendak ini harus
dinyatakan dalam pemilihan umum yang dilaksanakan secara berkala dan murni,
dengan hak pilih yang bersifat umum dan sederajat, dengan pemungutan suara
secara rahasia ataupun dengan prosedur lain yang menjamin kebebasan
memberikan suara.

Presidential Threshold diartikan sebagai ambang batas perolehan suara yang


harus diperoleh partai politik dalam suatu pemilu untuk dapat mengajukan calon
presiden (Seran, 2013 : 577). Sementara menurut Pamungkas, presidential threshold
pengaturan tingkat ambang batas dukungan dari DPR, baik dalam bentuk perolehan
jumlah suara (ballot) atau jumlah perolehan kursi (seat) yang harus diperoleh partai
politik peserta pemilu agar dapat mencalonkan presiden dari partai politik tersebut atau
gabungan partai politik. Sistem presidential threshold dalam pemilihan umum di
Indonesia telah diatur dalam Pasal 222 UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum
dengan bunyi pasal “Pasangan calon diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai
politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20%
(dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima
persen) dari suara sah secara nasional pada pemilu anggota DPR sebelumnya”.

Kami menilai bahwa penerapan sistem presidential threshold dalam pemilihan


umum di Indonesia berpotensi menimbulkan limitasi hak politik warga negara,
menyuburkan pertumbuhan oligarki di sistem kepemerintahan dan menghambat
regenerasi dinamika demokrasi yang merupakan hak dari segenap warga negara
Indonesia. Sebagaimana kita ketahui bahwa persentase yang dicantumkan dalam Pasal
222 UU No. 7 Tahun 2017 cukup besar yaitu 20% suara pemilihan umum sebelumnya
atau 25% kursi DPR periode sebelumnya. Diatas kertas, partai-partai dengan suara
besar mampu dengan mudah melenggang ke kontestasi pemilihan umum, berbanding
terbalik dengan partai dengan suara kecil yang harus tunduk dan berkoalisi dengan
partai berkuasa dengan cara menggadai gagasan serta ideologi masing-masing partai.
Jelas hal ini merupakan bentuk dari penghambatan terjadinya dinamika politik yang
disebabkan oleh terkikisnya asas fundamental demokrasi yaitu perbedaan pendapat,
pandangan, pilihan dan gagasan.

C. Pembahasan
Presidential Threshold sebagai anomali demokrasi Indonesia
Penerapan sistem presidential threshold sebagaimana telah diatur dalam Pasal
222 UU No. 7 Tahun 2017 menuai berbagai macam polemik dalam sistem demokrasi
yang dianut oleh Indonesia. Ketentuan persentase 20% dianggap terlalu tinggi dan
menimbulkan ketidaksetaraan akses untuk ikut serta dalam aktivitas politik negara.
Ditambah lagi, penentuan adanya ambang batas mengharuskan partai berkoalisi demi
memenuhi angka persentase minimal yang telah ditetapkan. Hal ini berimplikasi pada
kinerja pemerintah yang kurang efektif dikarenakan harus mempertimbangkan
kepentingan internal koalisi. Selain itu sifat dinamis koalisi yang mudah terpecah dan
asas indepedensi yang tercoreng juga menjadi alasan mengapa sistem ini
membahayakan keberlangsungan demokrasi dan pemenuhan hak politik rakyat
Indonesia.
Sistem presidential threshold juga dipandang mencoreng fungsi dari partai-partai
politik. Prof. Miriam Budiardjo dalam bukunya Dasar-Dasar Ilmu Politik
mengkategorikan empat fungsi dari partai politik:
1. Sebagai sarana komunikasi politik
2. Sebagai sarana sosialisasi politik
3. Sebagai sarana rekrutmen politik
4. Sebagai sarana pengatur konflik

Terang kami sampaikan atas dasar gagasan yang telah dijabarkan bahwasanya
sistem presidential threshold merusak fungsi rekrutmen dan pengatur konflik dari
partai politik. Hal ini dikarenakan partai sebagai sarana rekrutmen politik merupakan
wadah dan akses bagi pemenuhan hak seluruh rakyat untuk berkontribusi dalam
aktivitas politik negara. Namun nyatanya, seleksi untuk memilih pemimpin negara
terbatas karena sistem ambang batas dan kuasa pimpinan partai yang begitu besar
perannya. Dari sisi fungsi pengatur konflik, Arend Lijphart (1968) mengatakan
“Perbedaan-perbedaan atau perpecahan di tingkat massa bawah dapat diatasi oleh kerja
sama diantara elit-elit politik”. Namun sekali lagi, kondisi faktual yang terjadi di
Indonesia kontradiktif dengan statment Arend Lijphart. Dalam iklim politik di
Indonesia, peran elit-elit partai politik dalam menentukan posisi eksekutif baik dalam
skala nasional maupun regional, menentukan arah koalisi dan menentukan
keberlangsungan ekosistem politik mencerminkan kuasa mereka yang begitu besar
sehingga mencengkeram kebebasan dan akses politik bagi seluruh rakyat Indonesia.

Hal diatas selaras dengan pernyataan ahli hukum tata negara Refly Harun,
melansir situs Detik.com “Karena telah mengakibatkan pemohon kehilangan hak
konstitusionalnya untuk mendapatkan sebanyak-banyaknya calon pemimpin bangsa
yang dihasilkan partai politik peserta pemilihan umum”. Selain itu beliau juga
berpendapat bahwa penggunaan sistem ambang batas atau presidential threshold
berpotensi mengamputasi salah satu fungsi dari partai politik yaitu menyediakan dan
menyeleksi calon pemimpin masa depan.

Selain itu, sistem presidential threshold sangat mungkin menyebabkan adanya


politik transaksional antara elit politik dan kelompok kepentingan (pebisnis,pemilik
modal dsb.) sehingga memicu terbentuknya pemerintahan oligarki. Jika hal ini terjadi
maka potensi pelanggaran hak asasi tidak hanya ada pada aspek politik saja, namun
juga hak mendapatkan pekerjaan yang layak, hak lingkungan hidup yang sehat, hak
masyarakat adat, hak ekonomi, hak pendidikan dan lain sebagainya.

Penghapusan Sistem Presidential Threshold sebagai Bentuk Pelestarian Dinamika


Demokrasi, Pemenuhan Hak Warga Negara Indonesia dan Perwujudan Stabilitas
Politik
Melihat fenomena dinamika penerapan presidential threshold di Indonesia yang
merugikan banyak pihak terutama hak dalam berpolitik warga negara, maka kami rasa
perlu keputusan untuk menghapus sistem presidential threshold yang menurut
pandangan kami akan menghasilkan dampak-dampak positif bagi kehidupan berbangsa
dan bernegara sebagai berikut:

Pemulihan Hak Kebebasan Politik dan Hak Konstitusional Rakyat Indonesia


Penghapusan sistem presidential threshold akan menjadi kemenangan besar bagi
hak berpolitik warga negara. Hal ini dikarenakan tidak adanya lagi angka presentase
yang besar bagi partai untuk mencalonkan kandidatnya sehingga tak memberikan ruang
sisa untuk pertumbuhan oligarki dalam parlementer negara. Selanjutnya, penghapusan
sistem tersebut juga akan memberikan dampak yang baik terhadap dinamika demokrasi
di Indonesia yang dimana perbedaan ide dan gagasan dalam bentuk partai politik yang
beragam akan terus terjaga selayaknya konsep demokrasi berjalan, Presidential
Treshold memberikan sebuah dampak berupa peredupan ideologi partai-partai politik
di Indonesia guna memenuhi syarat presentase ambang batas melalui penggabungan
diri dengan koalisi. Sehingga, mau ataupun tidak, setiap partai yang bergabung dengan
koalisi guna memenuhi syarat ambang batas harus mengikuti ideologi partai yang
berkuasa.

Terselenggaranya pemilihan umum yang berasaskan nilai-nilai Demokrasi dan


mewujudkan Stabilitas Politik
Seperti yang sudah kami jabarkan sebelumnya, penerapan sistem presidential
threshold menodai asas bebas dan adil dalam pemilihan umum di Indonesia. Dengan
dihapuskannya sistem ini, maka akan memberikan dampak berupa munculnya
kandidat-kandidat potensial untuk diajukan berkontestasi dalam pemilihan presiden di
republik Indonesia. Hal ini pun akan memberikan masyarakat pilihan yang tak berkutat
berasalkan dari kubu yang itu-itu saja. Jika kita berkaca dari pemilu tahun 2014 dan
2019 terjadi era politik identitas yang melahirkan polarisasi secara ekstrim dari
perbedaan pandangan pilihan politik, yang ditambahi dengan adanya teknologi
informasi sebagai wadah opini berskala masif. Dimana pendapat dan pandangan
masyarakat memiliki kelemahan yaitu atas dasar sebuah konsep yang dinamakan
anonimitas yang menghilangkan rasa tanggung jawab terhadap apa yang telah
disuarakan, pun ditambahi dengan algoritma biner yang pada akhirnya membawakan
kita terhadap suatu kondisi yang dikenal dengan istilah “Echo Chamber” yang
melahirkan pengkotakan ditengah-tengah masyarakat.

Meminimalisir dampak politik transaksional yang mengancam Hak Asasi


Manusia
Peluang terjadinya politik transaksional sebagai akibat dari penerapan sistem
Presidential Treshold sangat terbuka lebar. Hal ini dikarenakan dalam memenuhi angka
ambang batas sistem tersebut, diperlukan sebuah koalisi yang terdiri dari beberapa
partai untuk mengusung calon presiden dan wakil presiden. Sebagai bayaran timbal
balik dari dukungan partai, sangat mungkin mereka (para elit politik) melakukan
transaksi bermuatan politis sebagai win win solution. Koalisi ini juga tentu merambat
kepada kamar legislatif sebagai pembuat undang-undang yang dimana jika politik
transaksional yang merupakan konsekuensi logis dari eksistensi Presidential Treshold
terjadi disana maka akan merugikan masyarakat luas dengan regulasi yang
menguntungkan sebagian pihak saja. Terang harus kita pahami negara dengan sistem
kepemerintahan demokratis berasaskan Vox Populi Vox Dei yang berartikan Suara
Rakyat adalah Suara Tuhan dan senada dengan konsep bentuk negara Republik
Indonesia, yang dimana Republik adalah sebuah negara di mana tampuk pemerintahan
akhirnya bercabang dari rakyat. Sehingga seharusnya penjaminan atas demokrasi tak
sekadar suara rakyat dalam pemilihan umum, tetapi juga dalam tahap pengajuan calon
kandidat presiden dan wakil yang tak berkiblat kearah partai penguasa suara di
parlementer.

Telah dan sedang digugat melalui judicial review ke Mahkamah Konstitusi.


Terdapat 4 permohonan gugatan ke Mahkamah Konstitusi terhadap pasal 222
undang-undang nomor 7 tahun 2017 dari beberapa pihak antara yaitu: Wakil Ketua
Umum Partai Gerindra Ferry Juliantono, Mantan Panglima Tentara Nasional Indonesia
Gatot Nurmantyo, Partai Ummat dan Diaspora guna penghapusan eksistensi dari
presidential threshold. Namun tercatat Mahkamah Konstitusi sudah menerima 13
permohonan gugatan mengenai eksistensi Presidential Threshold yang dimana berakhir
ditolak yaitu:

1. Perkara nomor 44/PUU-XV/2017. Alasan permohonan yaitu Pasal 222 sebagai


pintu masuk kartel politik. Selain itu, baik syarat capres/cawapres dan tata cara
pemilihan presiden dalam UUD 1945 tidak mengatur syarat threshold dan UUD
1945 tidak mendelegasikan UU untuk mengatur syarat threshold. MK memutuskan
permohonan Pemohon tidak dapat diterima.
2. Perkara Nomor 53/PUU-XV/2017. Alasannya hasil Pileg 2014 sebagai syarat
pengajuan capres/cawapres 2019 telah mencampuradukkan suara pemilih. MK
memutuskan permohonan Pemohon tidak dapat diterima.
3. Perkara 59/PUU-XV/2017, alasan Pasal 222 dapat menghalangi upaya untuk
mengurangi politik transaksional. MK memutuskan permohonan Pemohon tidak
dapat diterima.
4. Perkara nomor 70/PUU-XV/2017, alasan permohonan koalisi tidak dikenal dalam
sistem presidensial karena presiden bertanggung jawab kepada rakyat bukan kepada
DPR. MK memutuskan permohonan Pemohon tidak dapat diterima.
5. Perkara 71/PUU-XV/2017, alasan permohonan ambang batas pencalonan presiden
merusak makna pemilu serentak sesuai putusan Mahkamah Nomor 14/PUU-
XI/2013. MK memutuskan permohonan Pemohon tidak dapat diterima.
6. Perkara 72/PUU-XV/2017, alasan permohonan adanya threshold membatasi warga
negara untuk menggunakan hak pilih secara cerdas untuk memilih capres/cawapres
karena threshold menjadikan capres/cawapres terbatas. MK memutuskan
permohonan Pemohon tidak dapat diterima.
7. Perkara Nomor 49/PUU-XVI/2018, alasan permohonan penghitungan presidential
threshold berdasarkan hasil pemilu DPR sebelumnya telah menghilangkan esensi
pelaksanaan pemilu. MK memutuskan permohonan Pemohon tidak dapat diterima.
8. Perkara Nomor 50/PUU-XVI/2018, alasan permohonan menjadikan partai politik
baru sebagai partai politik kelas 2, mendiskriminasi partai politik baru. MK
memutuskan permohonan Pemohon tidak dapat diterima
9. Perkara 54/PUU-XVI/2018, alasan permohonan PT bertentangan dengan nilai-nilai
Pancasila yang tidak dapat dipisahkan dari Pembukaan UUD 1945. MK
memutuskan permohonan Pemohon tidak dapat diterima.
10. Perkara nomor 58/PUU-XVI/2018, alasan presidential threshold mengebiri dan
membatasi pemohon untuk mendapatkan calon alternatif presiden dan wakil
presiden karena berpotensi besar terjadinya calon tunggal. MK memutuskan
permohonan Pemohon tidak dapat diterima.
11. Perkara Nomor 61/PUU-XVI/2018. Tidak jelas permohonannya sehingga tidak
diterima karena tidak memiliki legal standing.
12. Perkara 92/PUU-XVI/2018, alasan presidential threshold mengharuskan presiden
dan wakil presiden diajukan oleh partai politik, sehingga pemohon tidak dapat
mengakses menjadi presiden dari calon mandiri (perseorangan) karena harus
diangkat oleh partai atau gabungan partai politik. MK memutuskan permohonan
tidak dapat diterima.
13. Perkara Nomor 74/PUUXVIII/2020 (Rizal Ramli), alasan judicial review secara
post factum (inconcreto) Pemilihan Presiden 2019 telah menyebabkan hilangnya
hak konstitusional (constitutional rights) Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Partai
Persatuan Indonesia (Perindo), Partai Berkarya, dan Partai Gerakan Perubahan
Indonesia (Partai Garuda) dalam mengusulkan pasangan calon presiden. Hasilnya
MK memutuskan permohonan tidak dapat diterima.

Dimana Mahkamah Konstitusi bersikukuh menolak Gugatan mengenai eksistensi


Presidential Treshold atas dasar pandangan bahwasanya Presidential Treshold
merupakan open legal policy yang dimana merupakan kewenangan dari pembentuk
undang-undang.

Open legal policy menurut pandangan Mahkamah Konstitusi merupakan


kebijakan mengenai ketentuan dalam pasal tertentuundang-undang yang merupakan
kewenangan dari pembentuk undang-undang. Undang-Undang dapat dikatakan sebagai
Open legal policy ketika memenuhi 2 syarat berikut:
1. norma tersebut tidak dirumuskan secara tegas (expressis verbis) dalam UUD
1945; atau
2. norma tersebut didelegasikan untuk diatur lebih lanjut dalam undang-undang.

Namun seyogyanya, Presidential Treshold digolongkan sebagai Close legal


policy sebab UUD 1945 telah menentukan pembatasan atau syarat pencalonan pada
Pasal 6A Ayat (2) UUD 1945 yang telah memberikan pembatasan terkait syarat
pencalonan presiden dan wakil presiden, sebagai berikut:
1. diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta Pemilihan
Umum;
2. diusulkan sebelum pelaksanaan Pemilihan Umum.

Open legal policy juga tetap tidaklah boleh melanggar hak konstitutional warga
negara dan melanggar UUD 1945, dan tidak boleh dilakukan dengan sebebas-bebasnya
oleh pembentuk undang-undang, hal ini sebagaimana yang disampaikan juga oleh
Mahkamah Konstitusi sendiri melalui Putusan Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008 dengan
merujuk kepada Putusan Nomor 010/PUU-III/2005 dan Poin Menimbang Putusan
Nomor 86/PUU-X/2012.

Adapula potensi besar pelanggaran hak konstitusional atas eksistensi Presidential


Treshold, berupa:
1. mengabaikan kepentingan rakyat untuk menghadirkan sebanyak-banyak calon
pemimpin bangsa dan lebih banyak mengakomodir kepentingan pemodal
(oligarki politik);
2. mengamputasi salah satu fungsi partai politik, yaitu menyediakan dan
menyeleksi calon pemimpin masa depan;
3. diskriminasi terhadap partai politik baru untuk memiliki kesempatan yang sama
untuk mencalonkan/mengusung pasangan calon Presiden dan/atau Wakil
Presiden sebagaimana dalam Pasal 6A Ayat (2) UUD 1945;
4. jalan awal menuju tindakan oligarki atas dasar partai politik kecil seakan
dipaksa bergabung dengan partai yang berkuasa demi mencalonkan pasangan
calon Presiden dan mendapatkan efek ekor jas (coattail effect) dari calon
presiden yang diusung;
5. masyarakat tidak memiliki kesempatan luas untuk mengetahui dan menilai
calon-calon pemimpin bangsa yang dihasilkan partai politik peserta Pemilihan
Umum.

D. Penutupan
Dari point yang disampaikan diatas dapat dipahami bahwasanya Presidential
Treshold inkonstitusional atas dasar menyalahi konsep open legal policy dikarenakan
tidaknya terpenuhi syarat-syarat, bertentangan dengan Undang-Undang dan merugikan
hak konstitusionalitas dan politik warga negara indonesia. Karena sejatinya pesta
demokrasi tidak sahih apabila suara rakyat tak terwakilkan dalam bentuk yang
menyeluruh di setiap elemen negara.

Anda mungkin juga menyukai