Anda di halaman 1dari 9

TUGAS PAPER FILSAFAT PANCASILA

Hubungan Prinsip Keadilan Dalam Tatanan Hidup Bersama Menurut Aristoteles


Dengan Hukum Di Indonesia Yang Bisa Dijual&Dibeli

Disusun oleh :

Nama : Arizky Aprilia Rachmawati

NIM : 4305019006

PROGRAM STUDI D-III FARMASI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS KATOLIK WIDYA MANDALA SURABAYA KAMPUS MADIUN

TAHUN AJARAN 2019/2020


ABSTRAK

Indonesia adalah Negara kesatuan berbentuk republik yang merdeka pada tanggal 17 Agustus
1945. Selain dikenal dengan Negara yang berdemokrasi pancasila, Indonesia juga dikenal
sebagai Negara hukum. Tetapi, apakah pemerintah di Indonesia sudah sepenuhnya
menjalankan kekuasaannya sesuai dengan konsep Negara Indonesia sebagai Negara hukum?
Hukum di Indonesia bersifat tumpul keatas dan tajam kebawah selain bisa dijual dan dibeli.
Pada kenyataannya masih banyak terjadi ketidakadilan yang dialami oleh warga Negara
Indonesia. Apakah hal ini sesuai dengan tujuan dari para pendiri bangsa dalam mendirikan
bangas Indonesia ini? Apakah sudah sesuai dengan Indonesia yang disebut dengan Negara
yang “gotong royong”? Dalam lingkup yang lebih luas, Negara misalnya, kesejahteran umum
juga menjadi tujuan yang harus dicapai oleh seluruh warga bangsa.

Keyword : Negara, hukum, rakyat


Hubungan Prinsip Keadilan Dalam Tatanan Hidup Bersama Menurut Aristoteles
Dengan Hukum Di Indonesia Yang Bisa Dijual&Dibeli

Indonesia adalah Negara kesatuan berbentuk republik yang merdeka pada tanggal 17
Agustus 1945. Selain dikenal dengan Negara yang berdemokrasi pancasila, Indonesia juga
dikenal sebagai Negara hukum. Negara hukum berarti semua kekuasaan di dalam Negara
harus diatur dengan kesatuan hukum yang berlaku secara benar dan adil. Di Indonesia sendiri
kesatuan hukum yang berlaku salah satunya adalah Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945. Memang benar, yang berkuasa di dalam Negara adalah pemerintah.
Tetapi dalam kekuasaannya, pemerintah yang berkuasa harus berdasar pada konstitusi yang
ada. Oleh karena itu, setiap warga Negara di Indonesia berhak mendapatkan perlakuan yang
sama dan adil baik dari masyarakat sekitarnya maupun dari Negara sendiri. Tidak
memandang mereka yang pemimpin, pejabat, orang kaya, orang miskin, rakyat biasa, rakyat
yang tak sekolah, ataupun rakyat yang berpendidikan tinggi. Semua berhak mendapatkan
keadilan dalam hal hukum.

Tetapi, apakah pemerintah di Indonesia sudah sepenuhnya menjalankan kekuasaannya


sesuai dengan konsep Negara Indonesia sebagai Negara hukum? Pada kenyataannya belum.
Hukum di Indonesia bersifat tumpul keatas dan tajam kebawah selain bisa dijual dan dibeli.
Artinya, orang-orang yang berkuasa yang melakukan perbuatan yang melanggar hukum bisa
berlindung dibalik uang terhadap hukum yang seharusnya diterima. Rakyat biasa yang
ketahuan melakukan tindakan kecil yang melanggar hukum langsung ditangkap dan
dipenjara. Sedangkan pejabat tinggi yang korupsi uang Negara milyaran rupiah bebas
berkeliaran kemanapun semau mereka. Hal tersebut dikarenakan mereka mempunyai uang
dan kekuasaan. Dewasa ini banyak masyarakat yang telah dibutakan karena uang. Lalu apa
yang bisa dilakukan rakyat biasa yang tidak mempunyai uang dan kekuasaan selain diam dan
menerima hukum yang berlaku? Tapi dibalik itu, hal positif yang bisa diambil adalah mereka
yang dihukum sesuai aturan hukum yang berlaku adalah masyarakat yang tertib dan taat pada
hukum meskipun pendidikan mereka jauh jika dibandingkan orang yang berkuasa di negeri
ini. Di negeri ini juga orang yang berpendidikan tinggi lebih dipandang baik. Tetapi menurut
saya percuma, jika seseorang berpendidikan tinggi tetapi akhlaknya buruk dan sering
merugikan orang lain. Tidak sedikit kasus di Indonesia yang membuktikan bahwa hukum di
Indonesia bisa dijual dan dibeli serta tumpul keatas dan tajam kebawah.
Kasus ketidakadilan hukum yang pernah ramai dibicarakan di Indonesia salah satunya
adalah kisah nenek Asyani (63). Asyani dilaporkan oleh sejumlah polisi hutan ke Polsek
Jatibanteng pada 4 Juli 2014 kemudian ditahan pada 15 Desember 2014. Asyani dituduh telah
melakukan pencurian 38 kayu jati di lahan Perhutani di Desa Jatibanteng, Situbondo. Asyani
didakwa dengan pasal 12 pasal 3 ayat (1) huruf a UU No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan
dan Pemberantasan Perusakan Hutan dengan ancaman hukuman 5 tahun penjara. Jika
dibandingkan dengan kasus seorang bernama Gayus Tambunan yang terbukti bersalah
melakukan tindak pidana korupsi dengan menguntungkan PT Surya Alam Tunggal dalam
pembayaran pajak serta merugikan keuangan Negara sebesar Rp. 570 juta dinyatakan
bersalah dihukum 7 tahun penjara tapi masih bisa bebas sampai-sampai bisa berlibur ke Bali,
dimanakah letak keadilannya? Selain itu masih banyak lagi kasus koruptor yang merugikan
keuangan Negara hingga bernilai triliyunan rupiah yang dibebaskan begitu saja. Koruptor
yang mengunakan uang Negara malah untuk kesenangan pribadi bukannya untuk
menyejahterakan rakyatnya. Mereka para koruptor yang diberi hukuman ringan tidak
sebanding dengan tindak kejahatan yang mereka lakukan. Dimanakah letak keadilan Negara
hukum kita yang seharusnya tidak boleh memihak siapapun? Yang seharusnya seluruh warga
Negara berhak mendapatkan perlakuan yang sama rata dalam hal apapun terutama hukum.
Seharusnya saat terjadi kasus yang melibatkan hukum, kita harus melihat proses hukumnya
secara keseluruhan. Mulai dari kasus tersebut dilaporkan, bagaimana kejadian tersebut
terjadi, apa saja bukti-buktinya, hingga bagaimana kaputusan akhir yang diberikan untuk
masalah tersebut, apakah sesuai atau tidak dengan aturan hukum yang berlaku. Penegak
hukum di Indonesia dalam berbagai kasus masih seringkali melakukan ketidakadilan yang
menyebabkan rakyat sengsara. Banyak sekali penyimpangan-penyimpangan hukum yang
terjadi. Missal jika ada kasus pencurian, untuk rakyat biasa pasti cepat sekali proses
hukumnya dan cepat menyimpulkan hukuman tahanan. Untuk rakyat yang memiliki
kekuasaan dan uang akan mudah sekali bebas dari tuduhan dan bebas berkeliaran kemana
saja. Ini artinya terjadi diskriminasi dalam hal hukum antara mereka yang beruang dan
berkuasa dengan yang tak memiliki uang dan kekuasaan.

Kepentingan dari pihak yang berkuasa pasti berbeda dengan kepentingan dari pihak
yang lemah . kepentingan yang paling sering muncul dari pihak yang berkuasa menurut Marx
adalah bagaimana mereka bisa melanggengkan kekuasaannya. Kepentingan golongan atas
dengan demikian adalah bagaimana mereka menggunakan dan mempertahankan kedaulatan
ekonominya. Dari sini pihak penguasa lalu memerlukan suatu ideology, pembenaran, atau
apapun namanya untuk meninabobokkan kaum proletar agar tidak memberontak.

Hingga dapatr disimpulkan realita hukum yang terjadi adalah mengahancurkan rakyat
miskin dan menjunjung tinggi kaum kaya raya. Rakyat biasa yang berani membuka suarapun
kadang malah mendapatkan hukuman lebih banyak lagi dan suaranya tidak didengar oleh
pihak yang berwenang. Seperti yang dilansir di detiknews, kasus seorang ibu rumah tangga
bernama Sri Mulyati yang harus mendekam di penjara atas tuduhan mengeksploitasi anak di
bawah umur untuk bekerja di di tempat karaoke di Semarang. Padahal Sri sendiri juga
bekerja di tempat tersebut sebagai kasir. Namun alibinya ditolak oleh polisi, jaksa, dan
hakim. Sri divonis 12 bulan penjara dan denda sebesar Rp.2.000.000,00 subsidair 2 bulan.
Akhirnya Sri dibebaskan setelah mendekam di penjara selama 13 bulan. Lalu ia pun diberi
uang ganti rugi yang sampai sekarang belum diberikan sebesar Rp. 5.000.000,00 sesuai
peraturan yang ada. Memang tujuan dari adanya penjara adalah untuk meningkatkan kualitas
masyarakat agar semakin mebaik. Bagi mereka yang melakukan hal yang melenceng dan
tidak sesuai dengan aturan masyarakat dan hukum, penjara memang perlu adanya. Yang di
dalamnya terdapat kegiatan pembinaan dan pengajaran menuju kearah yang benar dalam
kehidupan. Sehingga harapannya kualitas masyarakat semakin membaik dan dapat
memberikan hal yang baik untuk pembangunan dan perkembangan negeri ini. Tapi
kenyataannya mereka yang sudah berpendidikan tinggi justru memperburuk kualitas dirinya
dengan berkorupsi dan menggunakan uang sebagai tameng. Jika yang berpendidikan saja
tidak bisa dijadikan sebagai contoh yang baik dan tidak bisa berbuat hal yang bermanfaat
bagi negeri ini, siapa lagi yang akan berpartisipasi gotong royong dalam perkembangan
Negara?

Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang besar, tetapi apa yang sebenarnya
mempersatukan rakyat Indonesia menjadi sebuah bangsa? Renan (1996: 52) mengatakan
bahwa suatu bangsa ada karena diikat oleh jiwa yang sama, yakni masa lalu yang sama (yaitu
persamaan nasib yang sama ketika mengalami masa penjajahan) dan hasrat untuk bersatu.
Selain itu pendalaman akan nilai gotong royong, sebagaimana dikatakan Sudjito berikut ini,
amat diperlukan bagi pemekaran semangat nasionalisme di tengah pluralitas Indonesia:

“ Gotong royong mengandaikan leburnya benteng ego personal ke dalam ego kolektif untuk
saling menopang demi kemajuan bangsa … Para founding fathers meletakkannya sebagai
prinsip nilai bangsa yang tidak lagi bisa ditawar … Karena itu sudah saatnya kita kembali
menyemai nilai gotong royong untuk menjawab ancaman yang dapat meruntuhkan fondasi
berbangsa kita.” (Sudjito, 2014:4)

Dalam hal ini mereka yang menggunakan uang sebagai tameng untuk berlindung dari
hukum adalah orang yang egois. Hal ini sangat tidak sesuai dengan pemikiran Soekarno
dalam mendirikan bangsa Indonesia yang semuanya harus gotong royong membangun
bangsa. Mengapa demikian? Karena mereka hanya mementingkan diri mereka sendiri untuk
menghindari hukum agar bisa melakukan tindakan yang melanggar hukum lainnya yang
menguntungkan diri mereka sendiri dan merugikan Negara beserta warga Negara yang lain.
Sungguh miris melihat kelakuan orang-orang berpendidikan tersebut, yang memanfaatkan
kepandaian dan ilmunya untuk hal yang merugikan banyak orang. Hal ini juga sangat tidak
sesuai dengan penjelasan Soekarno (yang didukung oleh Supomo, Hatta, dan Yamin)
mengenai Negara gotong royong diasalkan pada “kodrat” manusia/masyarakat Indonesia
yang selalu hidup dalam suasana kekeluargaan dan kegotongroyongan. Dan kenyataan yang
terjadi di Indonesia sendiri adalah tidak sedikit orang yang mempunyai kekuasaan lebih
mementingkan kepentingan pribadi. Orang-orang yang seperti ini sama saja tidak menghargai
jasa pejuang dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Mereka yang bersusah payah
memikirkan mau dijadikan seperti apa Negara Indonesia ini. Para pendiri bangsa yang tidak
main-main dan difikirkan dengan serius dalam mendirikan bangsa Indonesia dengan
menerapkan banyak teori kenegaraan. Mungkin ini juga yang menjadi salah satu factor
kenapa Indonesia hanya menjadi Negara berkembang dan belum bisa menjadi Negara maju.
Hal yang mudah dilakukan tapi mungkin belum banyak orang yang benar-benar menyadari
adalah selalu mengingat dan menghargai jasa pendiri bangsa. Merekalah yang berjasa atas
kedamaian hidup yang kita rasakan sekarang. Salah satu cara menghargainya adalah ya
dengan cara menaati aturan-aturan di Negara ini, termasuk hukum itu sendiri. Hal ini juga
sebagai bentuk usaha dan dukungan dalam menjalani kehidupan bersama untuk mencapai
tujuan dari Negara Indonesia.

Seperti yang digagas oleh Aristoteles, mengenai system hidup bersama memaksudkan
pertama-tama agar kebutuhan anggotanya terpenuhi. Sekurang-kurangnya kebutuhan fisik,
ekonomi, kemananan, pendidikan, dan segala sesuatu untuk dapat hidup cukup. Aristoteles
menunjuk pada realisasi prinsip-prinsip keadilan dalam tata hidup bersama.

“Keadilan adalah kebaikan politik. Hal ini melibatkan kesetaraan atau distribusi jumlah yang
sama kepada mereka yang sama. Tetapi siapa yang sederajat, dan menurut criteria apa
mereka harus dianggap sederajat? Banyak criteria dapat diterapkan; tetapi satu-satunya
criteria yang tepat, dalam masyarakat politik, adalah kontribusi terhadap masyarakatnya.
Mereka yang sederajat dalam hal itu harus menerima jumlah superior atau interior, sebanding
dengan tingkat superioritas atau interioritas mereka. Jika semua diperlakukan secara
proporsional dengan kontribusi yang mereka buat, semua benar-benar menerima perlakuan
yang sama; karena proporsi antara kontribusi dan imbalan adalah sama dalam setiap kasus.”

Keadilan dalam Aristoteles sangat penting. Keadilan menunjuk pada “equality” yang
memiliki karakteristik proporsional, bukan sekedar asal sama. Proporsional artinya sesuai
dengan porsinya masing-masing. Apabila seseorang telah melakukan jasa lebih dari yang
lain, dia memiliki porsi pembagian lebih dari yang lain yang kurang berjasa. Itulah yang
disebut keadilan. Berarti hal ini juga berlaku terhadap tindakan yang melanggar hukum.
Mereka yang melanggar hukum seharusnya mendapatkan hukuman sesuai dengan tindakan
yang telah dilakukannya. Dan ini berlaku sama rata untuk seluruh warga Negara yang
dibawah aturan hukum tersebut. Itulah yang disebut keadilan. Sehingga, berdasarkan
kenyataan mengenai keadilan yang terjadi di Indonesia, dapat disimpulkan bahwa Negara kita
belum sepenuhnya adil. Jika kita semua mendukung keadilan di Negara kita, kesempatan
masyarakat untuk merasakan kebahagian dan meninggalkan kesengsaraan lebih besar.
Sebenarnya keadilan tidak hanya terfokus pada hal hukum saja. Tetapi mengenai
pembangunan di Indonesia, seharusnya sesegera mungkin diupayakan pemerataannya.
Terutama mengenai kualitas pendidikan harus diperhatikan juga pendidikan rakyat Indonesia
di seluruh negeri hingga pelosok negeri. Seperti tujuan dari Negara ini yang tercantum dalam
pembukaan UUD 1945 yaitu untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi, dan keadilan social. Hal yang saya khawatirkan adalah, bagaimana jika
suatu hari Indonesia hancur dan penyebab kehancurannya adalah rakyatnya senditri? Tidak
sedikit Negara di dunia runtuh karena korupsi para pemimpin dan pejabat pemerintahannya.
Selain itu juga karena tidak tegaknya hukum yang berlaku dan kurangnya keadilan terhadap
seluruh rakytanya. Seharusnya, kalau kita memang mencintai Negara Indonesia, pergerakan
untuk berubah bisa dimulai satu per satu dari hal yang sesederhana mungkin. Missal, kita
sebisa mungkin selalu mengungkapkan kejujuran mengenai hal apapun itu. Selain itu juga
jangan pernah sesekali melakukan perbuatan yang tidak baik yang menyebabkan kita
ketagihan untuk melakukannya lagi. Missal, berbuat curang dalam perlombaan demi sebuah
kemenangan. Sebenarnya, hal-hal besar yang kita lakukan, sebelumnya berawal dari hal
sederhana yang pernah kita lakukan dan kita merasakan sebuah sensasi yang menyenangkan.
Tidak peduli hal itu baik atau buruk, akhirnya muncul rasa keinginan untuk melakukan hal
tersebut lagi dan lagi.

Tujuan dari negar Indonesia yang dicantumkan dalam Pembukaan UUD 1945 salah
satunya adalah “memajukan kesejahteraan umum (bonum commune)”. Kesejahteraan umum
wajib dan harus diusahakan oleh siapa pun. Oleh siapa pun mengacu pada ruang lingkupnya.
Dalam lingkup keluarga, kesejahteraan bersama seluruh anggota keluarga menjadi tanggung
jawab seluruh anggota keluarga. Dalam lingkup RT, seluruh warga RT berkewajiban
mengusahakan kepentingan bersama dengan dipimpin oleh pak RT. Dalam lingkup kampus,
seluruh warga kampus diminta untuk berperan aktif dalam perwujudan kebaikan bersama
dengan pimpinan sebagai penanggung jawabnya. Dalam lingkup yang lebih luas, Negara
misalnya, kesejahteran umum juga menjadi tujuan yang harus dicapai oleh seluruh warga
bangsa.

Secara khusus, tugas untuk mewujudkan bonum commune ini diserahkan dan
dilaksanakan oleh Negara atau pemerintahan yang sedang berkuasa. Merekalah yang
mendapat mandate, tetapi apresiasi rakyat tetap dibutuhkan. Mengapa demikian? Karena kita
hidup di Negara ini dengan banyak orang sehingga semuanya harus merasakan yang namanya
kesejahteraan. Selain dengan cara membamtu rakyat yang sedang kekurangan, hal lain yang
bisa dilakukan adalah dengan mendengarkan curahan hati atau saran dan kritik dari semua
golongan masyarakat tidak hanya dari mereka yang kaum elit saja. Dengan begitu, menurut
saya, hal ini bisa mempermudah langkah Negara atau pemerintah dalam memberikan
kesejahteraan untuk rakyatnya. Tampak bahwa Negara seutuhnya terarah kepada bonum
commune. Commune artinya siapa saja, tidak pandang usia, derajat, golongan pangkat, partai,
kekayaan, agama, suku, budaya, keluarga, dst. Keadilan dilanggar bisa karena bonum
commune tidak diusahakan. Maka seorang presiden itu berlaku tidak adil kalau memperkaya
golongan kaya dan mengabikan kesejahteraan rakyat miskin.pak walikota itu melanggar
bonum commune kalau dana yang seharusnya digunakan untuk memperbaiki jalan demi
kepentingan umum, dikorupsi demi bonum-nya sendiri.

Negara pancasila kita yang bertujuan mencapai kesejahteraan umum ini kemudian
diejawantahkan dengan melindungi segenap tumpah darah, mencerdaskan semua anak
bangsa, dan turut serta aktif dalam pergaulan dunia demi tercapainya kedamaian abadi.
DAFTAR PUSTAKA

Dewantara, A. (2017). Diskursus Filsafat Pancasila Dewasa Ini.

https://www.kompasiana.com/www.kompasiana.comsuryatimahmud/552c95f56ea834
bb778b457f/ketidakadilan-hukum-di-indonesia

https://m.liputan6.com/news/read/3230583/vonis-29-tahun-penjara-gayus-tambunan-
yang-tak-membuat-jera

https://m.detik.com/news/berita/d-3477130/tragedi-si-miskin-penjara-dulu-keadilan-
kemudian

https://politiktoday.com/2017/08/penegakan-hukum-indonesia-tajam-ke-bawah-
tumpul-ke-atas-2/

Anda mungkin juga menyukai