Anda di halaman 1dari 7

Nama : Aulia Rizki

NIM : 2032020023
Midterm Mata Kuliah Filsafat Ilmu

Soal :

1. Jelaskan Bagaimana Metode Ilmu Pengetahuan Filosof alam Yunani dan Filosof
Keemasan Yunani?

Jawab : Zaman Yunani kuno berlangsung kira-kira dari abad ke 6 S.M. hingga awal abad
pertengahan, atau antara + 600 tahun S.M. hingga tahun 200 SM. Zaman ini dianggap
sebagai cikal bakal filsafat yang ada sekarang. Pada zaman ini mitos-mitos yang
berkembang dalam masyarakat digantikan dengan logos (baca: rasio) setelah mitos-mitos
tersebut tidak dapat lagi menjawab dan memecahkan problema-problema kosmologis.
Pada tahap ini bangsa Yunani mulai berpikir sedalam-dalamnya tentang berbagai
fenomena alam yang begitu beragam, meninggalkan mitos-mitos untuk kemudian terus
meneliti berdasarkan reasoning power.            Contoh yang paling populer dalam hal ini
adalah mengenai persepsi orang-orang Yunani terhadap pelangi. Dalam masyarakat
tradisional Yunani, pelangi dianggap sebagai dewi yang bertugas sebagai pesuruh bagi
dewa-dewa lain. Tetapi bagi mereka yang sudah berpikir maju, pelangi adalah awan
sebagaimana yang dikatakan oleh Xenophanes, atau pantulan matahari yang ada dalam
awan seperti yang diktakan oleh Pytagoras (499-420 SM). Demikianlah apa yang 
menjadi perhatian para ahli pikir Miletos --sebuah kota di Yunani-- pertama kali adalah
alam (problema kosmologis). Zaman ini melahirkan pakar-pakar filsafat yang berjasa
besar dalam perkembangan ilmu pengetahuan selanjutnya, Thales (+ 625-545 S.M),
Anaximandors (+ 610-540 S.M), Anaximanes (+ 538-480 S.M), Pythagoras (+580-500
S.M), Xenophanes (+570-480 S.M) Heraklistos (+ 540-475 S.M) dan seterusnya. Thales
misalnya yang pertama kali mempertanyakan dasar dari alam dan segala isinya. Dia
mengatakan, bahwa asal mula dari segala sesuatu adalah air. Sedangkan menurut
Anaximandros, bahwa asal segala sesuatu adalah apeiron (yang tak terbatas) yang
disebabkan oleh penceraian (ekskrisis). Lain lagi dengan Anaximanes, dia berpendapat
bahwa asal segala sesuatu adalah hawa atau udara. Pendapat Thales dan kawan-kawan
sezamannya itu hingga sekarang masih aktual dan menarik sebagai inspirasi bagi
munculnya teori tentang proses kejadian sesuatu (evolusionisme). Dalam hal berpikir
logika deduktif, nama Aristoteles (384-322 S.M) tidak bisa dilupakan. Dasar-dasar
berpikirnya tetap mendominasi para ilmuwan di Eropa hingga dewasa ini. Aristoteles
adalah murid Plato (427-347 S.M) dan Plato adalah murid Sokrates (469-399 S.M).
Perbedaan pendapat pada masa ini sudah timbul meski dengan gurunya, seperti Plato
dengan Aristoteles, juga filosuf-filosuf  yang lain. Hingga kini logika Aristoteles tetap
terpakai, sebab logika tersebut dapat diaplikasikan pada perkembangan muttakhir
berbagai ilmu dan teknologi. Mula-mula logika Aristoteles menjelma dalam prinsip
kausalitas ilmu alam (natural science), kemudian menjelma menjadi logika ekonomi di
dalam industri (Cony R. Semiawan et.al, 1988 :10). Pasca Aristoteles, kira-kira lima abad
kemudian, muncul lagi pemikir-pemikir jenius seperti Plotinus (284-269 S.M). Zaman ini
adalah zaman filsafat Hellenisme di bawah pemerintah Alexander Agung. Hanya zaman
ini berbeda sekali dengan zaman Aristoteles, dimana perkembangan ilmu tidak
mengalami kemajuan yang pesat hingga abad pertengahan. Pada masa ini pemikiran 
filsafat yang teoretis menjadi praktis dan hanya menjadi kiat hidup saja. Muncul pula
aliran yang bercorak relijius, misalnya: filsafat neo-Pythagoras, Platonis Tengah, Yahudi
dan Platonisme, termasuk aliran yang bersifat etis, Epikuros dan Stoa (Harun
Hadiwijono, 1989 : 54). Pasca Yunani, bangsa yang berbudaya tinggi adalah Romawi.
Dapat dikatakan, bahwa dalam kegiatan keilmuan bangsa Romawi pada umunya hanya
berpegang pada karya-karya tokoh Yunani, terutama Aristoteles yang tanpa banyak
mengadakan perubahan (Cony, et.al., 1988 : 14). Sejak runtuhnya kerajaan Romawi non-
Katolik dan mulai berkembangnya agama Katolik Roma, kerajaan-kerajaan di Eropa
masuk dalam abad kegelapan, abad kemandekan kegiatan keilmuan yang disebabkan
antara lain karena para penguasa kerajaan di Eropa tidak concern terhadap perkembangan
keilmuan disamping terlalu kuatnya pengaruh otoritas agama (Cony, at.al, 1988: 14).
Sangat beruntung, selama kurun waktu ini di Timur Tengah, kerajaan-kerajaan bangsa
Arab yang diwarnai oleh Islam berkembang pesat dalam kegiatan keilmuan. Dengan
didudukinya daerah-daerah Yunani dan Romawi secara berangsur-angsur oleh bangsa
Arab, maka para ilmuwan mereka dapat memiliki khazanah pengetahuan yang sudah
maju saat itu. Kemudian mereka melakukan pengembangan lebih lanjut dengan
memberikan ciri-ciri khas penalaran dan penemuan mereka sendiri. Jadi merekalah (baca:
kaum muslimin) yang sesungguhnya mengisi kesenjangan perkembangan ilmu dan
pengetahuan saat Eropa dilanda “kegelapan” (Cony, et.al., 1988:15). Pasca Hellenisme
dan Romawi kemudian disusul dengan masa patristik, baik Patristik Timur maupun
Barat. (Disebut demikian karena masa ini adalah masa bapak-bapak gereja, kira-kira pada
abad ke-8). Para pemikir Kristen pada zaman ini mengambil sikap yang berbeda-beda,
ada yang menerima filsafat Yunani dan ada yang menolak mentah-mentah, karena filsafat
dianggap berbahaya bagi iman Kristen (Harun Hadiwijono, 1989 : 70). Setelah ini
kemudian muncul zaman pertengahan, atau disebut juga dengan zaman baru Eropa Barat.
Sebutan Skolastik menggambarkan bahwa ilmu pengetahuan abad ini diajarkan oleh
sekolah-sekolah gereja (Harun, 1989: 87). Pada zaman pertengahan ini ilmu
dikembangkan dan diarahkan atas dasar kepentingan agama (Kristen) dan baru
memperoleh kemandiriannya semenjak adanya gerakan Renaissance dan Aufklarung
abad ke-15 dan 18. Semenjak itu pula manusia merasa bebas, tidak terikat oleh agama,
tradisi, sistem, otoritas politik dan sebagainya (Koento Wibisono, 1988: 4). Sejak saat
inilah filsafat Barat menjadi sangat antroposentris, manusia bebas “mengadili” dan
menghakimi segala sesuatu yang dihadapinya dalam hidup dan kehidupannya. Pada saat
ini pulalah filsafat dan agama menjadi mencair tidak manunggal lagi. Agama
mendasarkan diri atas iman dan kepercayaan, kebenaran wahyu dan firman Tuhan,
sementara filsafat dengan mengembangkan rasio dan pengalamannya mencoba menjawab
permasalahan-permasalahan yang dihadapi dengan semangat “kebebasan” dan
“pembebasan” manusia dalam hidup dan kehidupannya (Koento Wibisono, 1985 : 7-8).
Diawali oleh metode berpikir ala Bacon (1561-1626 M) disamping tampilnya “anak-
anak” renaissance, seperti: Copernicus (1473-1630 M), Galileo (1564-1642 M), Kepler
(1571-1630 M) dengan hasil-hasil penelitiannya yang spektakuler, maka tibalah
gilirannya kini filsafat ditinggalkan oleh ilmu-ilmu alam (natural sciences). Para filosuf
sendiri sangat terpukau oleh keberhasilan metode ilmu pasti dan ilmu alam, sehingga
timbullah gagasan di antara mereka untuk menerapkan metode tersebut dalam filsafat,
misalnya Newton (1643-1727 M) dengan Philsopohae Naturalis Principia Mathematica-
nya, Descartes (1596-1650 M) dengan Discours de la Methode-nya, Spinoza (1632-1677
M) dengan karya Ethic-nya dan seterusnya, yang dengan pengembangan teori-teori
tersebut mereka dipandang sebagai “Bapak” filsafat modern (Koento Wibisono, 1985: 7-
8). Hampir dua abad lamanya, filsafat modern yang dimulai sejak abad ke-16 diisi oleh
pergumulan hebat antara rasionalisme dan empirisme, sehingga seorang pakar besar
Immanuel Kant (1724-1804 M) dengan karyanya yang masyhur, Kritik der reinen
Vernunft berhasil “memugar” objektivitas ilmu pengetahuan modern (Koento Wibisono,
1985: 7-8). Demikianlah kemajuan berpikir manusia dari kurun ke kurun mengalami
perkembangannya, mulai dari zaman Yunani Kuno, zaman renaissance (abad ke-
15), Aufklarung (abad 18) hingga abad ke-19 dan abad ke-20, mulai dari dari J.C. Fichte
(1762-1814 M) hingga Gabriel Marcel (1889-1973 M), bahkan hingga sekarang ini. 
2. Bagaimana Pengaruh Perkembangan Ilmu Pengetahuan di dunia Islam pasca peng-
labelan kafir kepada kaum filosof?
Jawab :  belajar filsafat tidak serta-merta membuat anda menjadi seseorang yang kafir.
Buktinya begitu banyak para pemikir dan filsuf yang justru berkontribusi besar pada
perkembangan ilmu pengetahuan. Bahkan, mereka juga berkonrtibusi dalam pemikiran-
pemikiran terkait dengan ajaran keagamaan.
Kita bisa mengambil beberapa contoh pemikir yang juga dijuluki sebagai seorang
filsuf, terkhusus mereka yang ikut andil dan berkontribusi dalam sejarah perkembangan
pemikiran Islam.Nama-nama semisal Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, dan Suhrawardi adalah
beberapa pemikir dalam Islam yang tak hanya berkontribusi dalam perkembangan ilmu
pengetahuan saja, tetapi juga pada ajaran-ajaran filosofis dan pemikiran-pemikiran
mengenai ajaran agama, dalam hal ini adalah agama Islam.
Ibnu Sina, selain terkenal sebagai “Bapak Pengobatan Modern,” dia juga dikenal
sebagai seorang filsuf. Ia dapat menemukan konsep titik temu antara akal dan jiwa pada
manusia yang kemudian dapat berkorespondensi dengan wahyu Tuhan dan Tuhan itu
sendiri. Ibnu Sina juga dikenal sebagai tokoh filsafat paripatetik, yang awalnya
dicetuskan oleh seorang filsuf Yunani, yaitu Aristoteles.
Namun ditangan filsuf muslim seperti Ibnu Sina, filsafat paripatetik
mengalami perluasan pembahasan. Masuknya ajaran-ajaran Islami, seperti konsep wahyu
yang diturunkan oleh Allah SWT, sebagai Sang Pencipta alam semesta kepada Rasul-Nya
sebagai pembawa pesan kepada umat manusia, merupakan ciri khas dalam filsafat ini.
Kemudian Ibnu Rusyd, salah satu tokoh pemikir Islam yang terkenal di Eropa
karena beberapa kontribusinya dalam bidang kedokteran, astronomi dan matematika, juga
merupakan seorang filsuf muslim.
Salah satu pendapatnya yang paling terkenal yakni mengenai ajaran filsafat yang
sebenarnya tidak bertentangan dengan ajaran agama, dalam hal ini ajaran agama Islam.
Ibnu Rusyd mengatakan bahwa, tugas filsafat adalah untuk mengetahui wujud dan Sang
Pencipta (Allah SWT), orang-orang harus berpikir tentang wujud alam dan sekitarnya.
Selain itu menurutnya, dalam menakwilkan/menafsirkan arti suatu ayat Al-Quran hanya
dapat diakses oleh para filsuf dan tidak dapat diteruskan oleh orang-orang awam.
Saya pikir pernyataan diatas sangat tepat untuk orang-orang yang gemar
melakukan interpretasi terhadap suatu ayat atau hadis tertentu, dengan tidak berdasarkan
atas ilmu dan argumentasi filosofis. Sehingga membuat penafsiran atas ayat atau hadis
tersebut cenderung kaku dan bersifat tidak kontekstual.
Padahal kita tau sendiri, Islam dianggap sebagai agama yang Rahmatan Lil
Alamin yang bermakna Rahmat bagi seluruh alam semesta, yang secara otomatis tidak
akan bersifat kaku ketika ditasfirkan dan dapat disesuaikan dengan segala bentuk
perubahan zaman.
Namun kembali lagi, yang paling berkompeten dalam menafsirkan ayat atau
hadist tersebut adalah orang-orang yang mempunyai keluasan ilmu yang mempuni dalam
bidang terkait. Penafsiran tersebut bukan dilalukan oleh orang awam yang gemar kafir-
mengkafirkan oarng lain, namun nyatanya tidak pernah sekalipun membaca satupun buku
mengenai fiqih Islam.
Terakhir adalah Suhrawardi dengan filsafat illuminasinya, atau filsafat penyucian
jiwa. Menurut Suhrawardi, Tuhan adalah zat Yang Maha Suci, olehnya kita tidak
mungkin dapat mendekati sesuatu yang suci kalau kita sendiri berada dalam keadaan
yang tidak suci, dalam hal ini adalah jiwa kita.
Olehnya, perlu kita melakukan yang namanya penyucian jiwa, agar dapat dengan
mudah mendekatkan diri dengan Tuhan Sang Pencipta, yakni Allah SWT. Konsep seperti
ini adalah salah satu metode yang biasanya digunakan oleh para ahli tarekat atau dalam
aliran-aliran sufi tertentu, sebagai upaya untuk lebih mendekatkan diri dengan Allah
SWT, zat yang Maha Suci.

3. Bagaimana Pengaruh Universitas cordova terhadap perkembangan ilmu pengetahuan di


dunia barat?
Jawab : Spanyol merupakan tempat yang paling utama bagi Eropa menyerap peradaban
Islam, baik dalam bentuk hubungan politik dan sosial, maupun perekonomian dan
peradaban antarnegara. Orangorang Eropa menyaksikan kenyataan bahwa Spanyol
berada di bawah kekuasaan Islam jauh meninggalkan negara-negara tetangganya di
Eropa, terutama dalam bidang pemikiran dan sains disamping bangunan fisik. Yang
terpenting di antaranya adalah pemikiran Ibn Rushd (1120-1198 M.). Ia melepaskan
belenggu taklid dan menganjurkan kebebasan berpikir. Ia mengulas pemikiran Aristoteles
dengan cara yang memikat minat semua orang yang berpikiran bebas. Ia mengedepankan
sunnatullah menurut pengertian Islam terhadappantheisme dan anthropomorphisme
Kristen.
Demikian besar pengaruhnya di Eropa, hingga di Eropa timbul gerakan
Averroeisme (Ibn Rushdisme) yang menuntut kebebasan berpikir. Namun Pihak gereja
menolak pemikiran rasional yang dibawa gerakan Averroeismeini. Berawal dari gerakan
Averroeisme inilah, di Eropa kemudian lahir reformasi pada abad ke-16 M. dan
rasionalisme pada abad XVII M. Buku-buku Ibn Rushd dicetak di Venesia tahun 1481,
1482, 1483,1489, dan 1500 M. Bahkan edisi lengkapnya terbit pada tahun 1553 dan 1557
M. Karya-karyanya juga diterbitkan pada abad XVI M. di Napoli, Bologna, Lyonms, dan
Strasbourg, dan di awal abad XVII M.di Jenewa.
Pengaruh peradaban Islam, termasuk di dalamnya pemikiran Ibn Rushd, ke Eropa
berawal dari banyaknya pemuda-pemuda Kristen Eropa yang belajar di universitas-
universitas Islam di Spanyol, seperti Universitas Cordova, Seville, Malaga, Granada, dan
Salamanca.
Selama belajar di Spanyol, mereka aktif menerjemahkan buku-buku karya
ilmuwan-ilmuwan muslim. Pusat penerjemahan itu adalah Toledo. Setelah pulang ke
negerinya, mereka mendirikan sekolah dan universitas yang sama. Universitas di Eropa
adalah Universitas Paris yang didirikan pada tahun 1231 M.; tiga puluh tahun setelah
wafatnya Ibn Rushd.
Di akhir zaman pertengahan Eropa, baru berdiri 18 buah universitas. Di
universitas-universitas itu, ilmu yang mereka peroleh dari universitas universitas Islam
diajarkan, seperti ilmu kedokteran, ilmu pasti, dan filsafat. Pemikiran filsafat yang paling
banyak dipelajari adalah pemikiran Al-Farabî, Ibn Sinâ dan Ibn Rushd. Dengan
kekecualian pada ilmu keagamaan, boleh dikatakan seluruh perkembangan ilmu
pengetahuan di masyarakat intelek Islam Spanyol mempengaruhi perkembangan ilmu
pengetahuan di dunia Barat, terutama setelah memasuki abad pertengahan.
Hal ini relevan dengan pernyataan Chistave Le Bon yang mengatakan bahwa
perkenalan dengan peradaban Islamlah sebenarnya yang membawa Eropa menjadi dunia
beradab. Abad ke-9 dan ke-10 adalah saat pusatpusat Islam di Spanyol sedang berada di
puncak kecemerlangannya. Pusat-pusat intelektual di Barat hanya berupa benteng-
benteng yang dihuni oleh para bangsawan yang dirinya merasa bangga atas
ketidakmampuan membaca mereka.
Tahap selanjutnya, dengan melalui tahap-tahap kecurigaan ketakutan yang luar
biasa dan secara diam-diam kecemburuan dan kekaguman terhadap Islam, masyarakat
Eropa akhirnya berhasil mentransfer metodologi ilmiah intelek masyarakat Islam.
Ironisnya, masyarakat Islam justru terpuruk dalam fase kemunduran. Metode eksperimen,
eksplorasi, observasi, yang pada awalnya digunakan dalam setiap kajian ilmiah, berubah
menjadi metode pengulangan pendapat para guru, yang belakangan diketahui bahwa
metode tersebut digunakan oleh sedikit masyarakat terpelajar abad pertengahan di
Eropa sebelum datangnya Islam.
Sekarang, masyarakat Islam masih sedang berusaha merumuskan jati diri dan
peranannya dalam percaturan dunia. Dalam pada itu, tahap-tahap yang pernah dilalui
masyarakat Eropa abad pertengahan, sekarang ini tampaknya sedang dilalui masyarakat
Islam. Sikap kecurigaan, ketakutan, dan kecemburuan sehingga muncul generalisasi
negatif terhadap dunia Barat, sebetulnya menunjukkan kekerdilan intelektual yang tidak
perlu lagi ditumbuhsuburkan.
Kemajuan umat Islam di bidang sains dan teknologi harus direbutnya kembali
dengan banyak belajar dari Barat sebab harus diakui bahwa pemegang kendali
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dewasa ini berada di tangan para
ilmuwan Barat. Namun demikian, tentu saja ilmu pengetahuan dan teknologi yang kita
bangun harus senantiasa mempertimbangakan prinsip-prinsip Islam.
4. Jelaskan Bagaimana metode spekulatif, radikal, komprehensif dan universal dalam
filsafat ilmu?
Jawab : Berpikir Spekulatif. Ciri pemikiran ini merupakan kelanjutan dari ciri berpikir
abstrak yang selalu berupaya mengangkat pengalaman-pengalaman faktawi ketaraf
pemahaman dan panalaran. Melalui itu, orang tidak hanya berhenti pada informasi
sekedar menunjukkan apa adanya (in itself), tetapi lebih meningkat pada taraf
membangun pemikiran dan pemahaman tentang mengapa dan bagaimananya hal itu
dalam berbagai dimensi bentuk pendekatan. Pemikiran filsafat yang berciri spekulatif
memungkinkan adanya transendensi untuk menunjukkan sebuah perspektif yang luas
tentang aneka kenyataan.
Berpikir Radikal (radix = akar). Artinya, ciri berpikir filsafat yang ingin menggali
dan menyelami kenyataan atau ide sampai keakar-akarnya, untuk menemukan dan
mengangkat dasar-dasar pemikirannya secara utuh ke permukaan. Melalui cara pemikiran
yang demikian itu, diperoleh suatu hasil berpikir yang mendasar dan mendalam, serta
sebuah pertanggunganjawaban yang memadai di dalam membangun pemikiran filsafat
dan pikiran keilmuan itu sendiri. Berpikir radikal menunjukkan bahwa filsafat sebagai
sebuah proses dan hasil pemikiran, selalu berusaha melatakkan dasar dan strategi bagi
pemikiran itu sendiri sehingga bertahan menghadapi ujian kritis atau tantangan (ujian)
zaman dengan berbagai arus pemikiran baru apa pun.
Berpikir Komprehensif dan holistik. Artinya, pemikiran filsafat selalu bersifat
menyeluruh dan utuh. Baginya, keseluruhan adalah lebih jelas dan lebih bermakna
daripada bagian-perbagian. Holistik artinya, berpikir secara utuh, tidak terlepas-lepas
dalam kapsul egoisme (kebenaran) sekoral yang sempit. Cara berpikir filsafat yang
demikian perlu dikembangkan mengingat hakikat pemikiran itu sendiri adalah dalam
rangka manusia dan kemanusiaan yang luas dan kaya (beraneka ragam) dengan tuntutan
atau klaim kebenarannya masing-masing, yang menggambarkan sebuah eksistensi yang
utuh. Baginya, pikiran adalah bagian dari fenomena manusia sebab hanya manusia lah
yang dapat berpikir, dan dengan demikian ia dapat diminta pertanggungjawaban terhadap
pikiran maupun perbuatan-perbuatan yang diakibatkan oleh pikiran itu sendiri. Pikiran
merupakan kesatuan yang utuh dengan aneka kenyataan kemanusiaan (alam fisik dan
roh) yang kompleks serta beranekaragam. Pikiran, sesungguhnya tidak dapat berpikir dari
dalam pikiran itu sendiri, sebab bukan pikiran itulah yang berpikir, tetapi justru manusia
lah yang berpikir dengan pikirannya. Jadi, tanpa manusia maka pikiran tidak memiliki
arti apa pun. Manusia, karenanya, bukan hanya berpikir dengan akal atau rasio yang
sempit, tetapi juga dengan ketajaman batin, moral, dan keyakinan sebagai kesatuan yang
utuh.
Berpikir Universal. Artinya, pemikiran filsafat selalu mencari gagasan-gagasan
pemikiran yang bersifat universal, yang dapat berlaku di semua tempat. Pemikiran filsafat
tidak pernah akan berhenti dalam sebuah kenyataan yang terbatas, ia akan menerobos
mencari dan menemukan gagasan-gagasan yang bersifat global dan menjadi rujukan
pemikiran umum. Pikiran-pikiran yang bersifat partikular dan kontekstual (bagian-bagian
yang terpisah menurut konteks ruang dan waktu) diangkat dan ditempatkan (disintesakan)
dalam sebuah bagian yang utuh dan universal, sebagai sebuah kenyataan eksistensisal
yang khas manusiawi.
5. Sebutkan factor-faktor dunia barat mampu menjajah dunia islam?
Jawab : Motivasi yang dijadikan oleh bangsa barat untuk melakukan penjelajahan
khususnya ke wilayah Asia adalah dengan menggunakan prinsip 3G, atau yang
dimana adalah Gold, Glory, Gospel

Gold

Dalam hal ini, bangsa barat ingin mendapatkan keuntungan dikarenakan mereka
tidak lagi mendapatkan rempah-rempah. Kemudian mereka menuju asia yang dimana
memiliki banyak rempah-rempah untuk dijual dan mendapatkan uang. Uang tersebut
yaitu gold kemudian digunakan untuk mendapatkan kejayaan dari bangsa Eropa itu
sendiri.

Glory

Setelah mendapatkan emas, maka selanjutnya yang diinginkan adalah kejayaan


atau yang disebut dengan glory. Dalam hal ini, mereka ingin melakukan ekspansi
kekuasaannya sebesar-besarnya sehingga akan menjadi sebuah bangsa yang memiliki
pengaruh sangatlah besar. Kekuasaan tersebut kemudian melahirkan masa penjajahan
bagi negara-negara di Asia.

Gospel

Gospel dalam hal ini adalah perintah dari gereja katolik Roma yang
menginginkan bahwa seluruh penjelajah yang ingin menuju ke wilayah Asia. Maka
haruslah menyebarkan agama nasrani. Dalam hal ini gospel bertujuan untuk
menyebarkan agama katolik di wilayah-wilayah jajahannya.

Anda mungkin juga menyukai