Anda di halaman 1dari 17

Metode-Metode Tafsir

Aulia Rizki

Institut Agama Islam Negeri Langsa


Auliarizki139@gmail.com@gmail.com
Abstrak

Al-Qur’an kitab suci umat Islam, kitab terakhir yang diturunkan oleh Allah kepada
rasul (Muhammad SAW) terakhir melalui perantara Jibril AS. di dalam al-Qur’an terdapat
ayat-ayat muhkamat dan mustasyabihat. Sehingga tidak setiap manusia (orang islam)
mampu mengungkapkan makna-maknanya, hukum-hukum, hikmah-hikmah yang
tersembunyi dibalik ayat-ayat tersebut. Dari hal itu maka dibutuhkannya sesuatu
penjelasan dan keterangan yang dapat membantu manusia (pada umumnya dan umat islam
pada khususnya) dalam memahami ajaran al-Qur’an. ia membutuhkan penjelasan (tafsir)
tentang ayat-ayat al-Qur’an. Maka tidak ada jalan lain sebagai solusi dari permasalahan
tersebut selain merujuk pada hadist-hadist rasul (Muhammad SAW) yang masih terjaga
sampai saat ini, Disamping itu juga manusia memiliki akal yang dengannya manusia
memikirkan ayat-ayat al-Qur’an (tafsir bi al-Qur’an). secara leksikal tafsir berarti
penjelasan, penyingkapan makna suatu kata. Tafsir berusaha untuk mengungkapkan makna
yang terkandung dalam al-Qur’an. Adapun secara terminologinya tafsir merupakan suatu
ilmu yang dengannya kita bisa memahami al-Qur’an, mengetahui makna-maknanya,
hukum-hukum yang terkandung didalamnya, dan himah-hikmah yang terdapat di dalam al-
Qur’an. Secara garis besar terdapat empat metodologi tafsir alqur’an yaitu metode ijmali,
metode tahlili, metode muqarin, dan metode maudhu’i.

Kata Kunci: Tafsir Alquran, Pengertian Tafisr, Metode Tafsir.

PENDAHULUAN

Al-Qur’an adalah sumber dari segala sumber ajaran Islam. Kitab suci Alqur’an
menempati posisi yang sangat vital, bukan hanya pada perkembangan dalam ilmu-ilmu ke-
Islaman, tetapi juga menjadi promotor perubahan, penggerak dan pemandu gerakan-
gerakan umat Islam sepanjang 14 abad dari mulai sejarah diturunkannya Al-qur’an hingga
saat ini.
Tiada satu bacaan pun, sejak manusia mengenal tulis baca sejak 5000 tahun yang
lalu, yang mampu menandingi bacaan alqur’an yang mulia itu. Tiada bacaan yang dibaca
oleh ratusan juta orang di dunia yang tidak mengerti artinya dan tidak dapat menulis
aksaranya. Alqur’an melahirkan banyak mufassir (interpreter) karena keluasan illmu yang
terkandung di dalam alqur’an dan karakteristik alqur’an yang mengagumkan,1 keagungan
al-qur’an ini adalah bukti nyata bahwasanya tiada satu pun yang mampu membuat semisal
dari ayat alqur’an walaupun hanya sepotong saja melainkan hanya Allah swt Tuhan
semesta alam meliputi segala isinya.

1
Tinggal Purwanto, Pengantar Studi Tafsir Alqur’an, (Yogyakarta: Adab Press, 2013).
Kandungan di dalam (Al-Qur’an) memuat berbagai perintah dan larangan serta
menceritakan sejarah sejarah di masa lampau di mulai dari peradaban umat manusia hingga
abad ke VII masehi dimana terdapat dokumen sejarah yang merekam kondisi sosial
ekonomi, religi, ideologi, politik dan budaya. bahkan pada saat yang sama memberikan
petunjuk dan tata aturan tindakan bagi seluruh umat manusia yang ingin hidup dibawah
naungan dan yang mencari makna kehidupan mereka didalamnya. Jika demikian itu
halnya, maka pemahaman terdapat ayat-ayat Al-Qur’an melalui penafsiran-penafsiran,
mempunyai peranan yang sangat besar bagi maju mundurnya umat, menjamin istilah kunci
untuk membuka gudang simpanan yang tertimbun dalam Al-Qur’an.2

PENGERTIAN TAFSIR
Tafsir secara bahasa artinya menjelaskan, menyingkap dan menerangkan makna-
makna rasional.3 Ilmu tafsir merupakan ilmu yang paling mulia dan paling tinggi
kedudukannya, karena pembahasannya berkaitan dengan Kalamullah yang merupakan
petunjuk dan pembeda dari yang haq dan bathil. Ilmu tafsir telah dikenal sejak zaman
Rasulullah dan berkembang hingga di zaman modern sekarang ini.4
Ilmu tafsir merupakan salah satu bagian pokok dalam alqur’an karena ilmu ini
menjelaskan kata per kata huruf per huruf, serta kalimat per kalimat di dalam alqur’an.
Banyak syarat yang harus dipenuhi agar ulama mufassirin diterima untuk menafsirkan
alqur’an dengan kaidah kaidah dan aturan yang benar.

Dari segi terminologis, bermacam definisi dibuat oleh para ulama.5 Berikut ini
beberapa diantaranya:

a. Abu Hayyan

2
Quraish Shihab, Membumikan Alqur’an, (Bandung:Mizan, 1999).
3
Syaikh Manna Al-Qattan, Pengantar Studi Ilmu Qur‟an, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2013), 407
4
Ahmad, Syazdali, Ahmad Rafi‟i. Ulumul Quran . (Bandung : CV. Pustaka Setia, 1997), . 24.
5
Muhammad ‘Abd al-Azhim az-Zarqani, Manahul al-‘Irfan fi ‘Ulum Al-Qur’an, Beirut: Dar ‘Ihya al-Kutub
al-‘Arabiyah t.t, Jld 1, hlm. 471
Abu Hayyan seperti dikemukan Manna’ al-Qaththan, mengatakan Tafsir ialah ilmu yang
membahas mengenai tatacara pengucapan lafal-lafal al-Qur’an, petunjuk-petujuk, hukum-
hukumnya baik ketika berdiri sendiri maupun ketika tersusun.
b.Badruddin al-Zarkasyi
Tafsir adalah ilmu untuk memahami Kitabullah yng diturunkan kepada Nabi Muhammad
SAW, menjelaskan makna-maknanya serta mengeluarkan hukum dan hikmahnya.
c.Muhammad Abdul Adzim al-Zarqaniy
Tafsir adalah ilmu yang membahas tentang al-Qur’an al-Karim dari segi dalalahnya (yang
berkaitan dengan pemahaman makna menurut yang dikehendaki oleh Allah sesuai dengan
kadar kemampuan manusia biasa.6
Dari beberapa pengertian tafsir yang tersebut di atas, dapat disimpulkan beberapa poin
yang dapat dikemukakan, yaitu :
a Esensi tafsir yakni menjelaskan maksud ayat al-Qur’an yang sebagian besar masih dalam
bentuk penjelasan secara global.
b.Tafsir bertujuan untuk memperjelas makna yang termuat di dalam al-Qur’an.
c.Agar al-Qur’an menjadi pedoman hidup manusia dan petunjuk sebagai tujuan
diturunkan-Nya al-Qur’an.
d.Sarana pendukung dalam menafsirkan al-Qur’an terdiri dari berbagai disiplin ilmu.
e.Usaha dalam menafsirkan al-Qur’an bukan untuk meyakini secara pasti begitulah yang
dikehendaki Allah dalam firmanNya. Namun penafsiran itu hanya untuk menghasilkan
kebenaran menurut kesanggupan manusia dengan segala keterbatasan ilmu yang ada.
Macam- Macam Metode Penafsiran

Kata metode berasal dari bahasa Yunani methodos yang berarti cara atau jalan.7
Dalam bahasa Inggris, kata ini ditulis method, dan bahasa Arab menerjemahkannya dengan
manhaj dan dalam bahasa Indonesia, kata tersebut mengandung arti: cara yang teratur dan
terpikir baik-baik untuk mencapai maksud (dalam ilmu pengetahuan dan sebagainya) cara
kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai suatu
yang ditentukan.8 pengertian ini menjelaskan bahwa metode tafsir al-Qur’an memuat
berbagai aturan dan tatanan yang harus diutamakan pada saat menafsirkan al-Qur‟an.
6
Usman,M.Ag, Ulumul Qur’an, Yogyakarta: Teras, 2009, hlm. 313-315

7
Nashruddin Baidan, Metode Penafsiran al-Qur‟an, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), h. 54

8
Ahmad Syukri Saleh, Metodologi Tafsir al-Qur‟an Kontemporer Dalam Pandangan Fazlur Rahman,
(Jambi: Sulthan Thaha Press, 2007), h. 39
Adapun metodologi tafsir adalah analisis ilmiah tentang metode-metode menafsirkan al-
Qur‟an.9
Dari gambaran di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa metode tafsir adalah cara
yang dilakukan oleh penafsir saat menafsirkan al-Qur’an menurut aturan dan tatanan yang
konsekuen serta harmoni secara keseluruhan.
Disiplin Ilmu yang mempelajari metodologi tafsir masih sangat baru dalam dunia
keilmuan islam dan khazanah intelektual umat Islam. Ilmu metode dijadikan objek kajian
tersendiri jauh setelah tafsir berkembang pesat. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan
jika metodologi tafsir tertinggal jauh dari kajian tafsir itu sendiri.10

Menurut perkembangannya tafsir Al-Qur’an sejak zaman dahulu hingga zaman


sekarang, maka secara umum para ulama mengklasifikasikan metode penafsiran Al-Qur’an
melalui empat metode, diantaranya:

1. Metode Ijmali
Metode Ijmālī adalah menafsirkan al-Quran dengan cara menjelaskan ayat-ayat al-
Quran dengan singkat dan global, yaitu penjelasannya tanpa menggunakan uraian atau
penjelasan yang panjang lebar, dan kadang menjelaskan kosa katanya saja.11 Metode ini
berusaha menafsirkan Al-Qur'an dengan menjelaskan makna yang dimaksud tiap kalimat
dengan bahasa yang ringkas sehingga dengan mudah dipahami. Urutan penafsiran sama
dengan metode tahlili tetapi terdapat perbedaan dalam hal penjelasan yang singkat dan
tidak panjang lebar. Dengan metode ijmali, seseorang mufassir menafsirkan ayat ayat al-
Qur’an secara ringkas dan global, mulai dari ayat dan surat di dalam mushaf dengan
bahasa yang populer dan mudah dimengerti. Makna yang diungkapkan biasanya diletakkan
di dalam rangkaian ayat-ayat dengan menggunakan lafal bahasa yang mirip bahkan sama
dengan lafal bahasa al-Qur’an, sehingga pembaca akan merasa bahwa uraiannya tersebut

9
Nashruddin Baidan, Metode Penafsiran al-Qur‟an, op. cit., h. 57

10
M. Alfatih Suryadilaga, dkk., Metodologi Ilmu Tafsir, (Sleman: Teras, 2005), h. 37

11
Mundzir Hitami, Pengantar Studi al-Qur‟an Teori dan pendekatan, (Yogyakarta: LkiS Yogyakarta, 2012),
h. 46
tidak jauh dari gaya bahasa al-Qur’an itu sendiri. Metode ini diterapkan agar orang awam
dapat menerima maksud kandungan al-Qur’an dengan mudah tanpa bersusah payah.
Keistimewaan tafsir ini ada pada kemudahannya sehingga dapat dikonsumsi oleh
lapisan dan tingkatan kaum muslimin secara merata. Sedangkan kelemahannya ada pada
penjelasannya yang terlalu ringkas sehingga tidak dapat mengbuka makna ayat yang luas
dan tidak dapat menyelesaikan masalah secara tuntas.12 Oleh karena itu perlu dilanjutkan
dengan metode metode yang lainnya.

Dikarenakan penjelasan mufasir dalam metode ini sangat singkat. Mengakibatkan


Kosakata yang dianggap sulit, dijelaskan dengan mencari padanan katanya, atau dengan
penjelasan singkat maksudnya. Terkadang dijelaskan kedudukan kata perkata dalam
struktur bahasa Arab (‘irab), mana mubtada, khabar, hal dan sebagainya. Biasanya ayat
yang ditafsirkan diletakkan dalam dua tanda kurung, setelah kurung penutup langsung
diberi penjelasan ringkas.
Dengan metode ini para mufassir menjelaskan makna ayat-ayat al-Qur’an secara
garis besar. Urutan penulisan mengikuti urutan surat-surat al-Quran dalam muṣḥaf
Ustmani, sehingga makna-makna dapat saling berhubungan. Dalam menyajikan makna-
makna ini mufassir menggunakan ungkapan-ungkapan yang diambil dari al-Qur’an sendiri
dengan menambahkan kata-kata atau kalimat-kalimat penghubung, sehingga memberi
kemudahan kepada para pembaca untuk memahaminya.13 Dengan kata lain makna menurut
pola-pola yang diakui mayoritas ulama dan biasanya diletakkan di dalam rangkaian
kalimat agar mudah dipahami orang. Dalam menafsirkan ayat-ayat al-Quran dengan
metode ini, mufassir juga meneliti, mengkaji, dan menyajikan asbāb al-nuzūl atau
peristiwa yang melatarbelakangi turunnya ayat, dengan cara meneliti hadits-hadits yang
berhubungan dengannya.14
Contoh-contoh Kitab Tafsir
Di antara kitab-kitab tafsir yang menggunakan Metode Ijmālī adalah :
1) Tafsīr al-Jalālain karya Jalal al-Din al-Suyuṭi dan Jalal al-Din al-Mahally

12
Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Qur’an (Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Offset, 1998), hal. 21-24.
13
Said Agil Husin al-Munawar, Al-Qur‟an Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki, (Ciputat: PT. Ciputat
Press, 2005), h. 72

14
M. Quraish Shihab, et.al, Sejarah dan Ulumul Qur‟an, (Jakarta: Pusatak Firdaus, 2013), h. 185
2) al-Tafsīr al-Mukhtaṣar karya Commite Ulama (Produk Majlis Tinggi Urusan Ummat
Islam)
3) ṣafwah al-Bayān li Ma‟aniy al-Qur‟an karya Husnain Muhammad Makhmut
4) Tafsīr al-Qur‟an karya Ibn Abbas yang dihimpun oleh al-Fairuz Abady.15
2. Metode Tahlili

Metode ini adalah metode yang mufasirnya mengupayakan penjelasan kandungan


ayat-ayat Al- Qur’an dari berbagai segi dan sudut pandangnya dengan memperhatikan
sistematika ayat al-Qur`an sebagaimana tercantum dalam al-Qur`an. Tafsir ini dilakukan secara
berurutan ayat demi ayat kemudian surat demi surat dari awal hingga akhir sesuai dengan
susunan Al-Qur'an. Tafsir ini menjelaskan kosa kata dan lafazh, kemudian menjelaskan makna
yang dikehendaki, sasaran yang dituju dan kandungan ayatnya, diantaranya unsur-unsur
balaghah dan i’jaz, serta keindahan susunan kalimat.
Metode tafsir Taḥlili juga disebut metode analisis yaitu metode penafsiran yang
berusaha menerangkan arti ayat-ayat al-Quran dengan berbagai seginya, berdasarkan
urutan ayat dan surat dalam al-Qur‟an muṣḥaf Utsmani dengan menonjolkan pengertian
dan kandungan lafadz-lafadznya, hubungan ayat dengan ayatnya, sebab-sebab nuzulnya,
hadits-hadits Nabi Saw., yang ada kaitannya denga ayat-ayat yang ditafsirkan itu, serta
pendapat para sahabat dan ulama-ulama lainnya.16 Tafsir dengan metode analitis ini banyak
memberikan kesempatan yang luas kepada para mufassir untuk mencurahkan ide ide dan
gagasannya dalam alqur’an, artinya pola penafsiran metode ini dapat menampung berbagai
ide yang tersimpan di pikiran mufassir, bahkan ide ide yang bersifat negatif sekalipun.
Metode ini banyak memberikan sumbangsih yang sangat besar guna
mengembangkan dan melestarikan khazanah keilmuan islam, terkhusus dalam bidang
tafsir. Berkat adanya metode ini mampu melahirkan karya-karya tafsir yang besar dan
fenomenal dikarenakan metode tahlili atau analitis lebih berperan dan lebih dapat
diandalkan untuk menjelaskan kandungan alquran yang tersirat dari berbagai aspek seperti
bahasa, hukum hukum fiqh, teologi, sains dan filsafat.
Dari penjelasan diatas, dapat ditarik kesimpulan apabila mufassir menginginkan
pemahaman yang luas dari suatu ayat dengan melihatnya dari berbagai aspek, maka tiada
jalan lain kecuali menggunakan metode analitis. Disinilah urgensi atau pentingnya metode
15
Ali Ḥasan al-„Ariḍ, Sejarah dan Metodologi Tafsir, Terj. Ahmad Akrom (Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, 1994), h. 74

16
Badri Khaeruman, Sejarah Perkembangan Tafsir al-Qur‟an, (Bandung: Pustaka Setia, 2004), h. 94
ini dibandingkan dengan tiga metode lainnya. Dalam melakukan penafsiran, mufassir
(penafsir) memberikan perhatian sepenuhnya kepada semua aspek yang terkandung dalam
ayat yang ditafsirkannya dengan tujuan menghasilkan makna yang benar dari setiap bagian
ayat.17 Sehingga terlihat seperti pembahasan yang parsial, dari tiap-tiap ayat yang
ditafsirkan oleh para mufassir.18

Langkah-Langkah Metode Taḥlīliīy


Dalam menafsirkan al-Qur‟an, mufassir biasanya melakukan langkah-langkah sebagai
berikut:
1) Menjelaskan hubungan (munāsabah) baik antara satu ayat dengan ayat lain maupun
antara satu surah dengan surah lain.
2) Menjelaskan sebab-sebab turunya ayat (asbāb al- nuzūl).
3) Menganalisis mufradat (kosa kata) dan lafal dari sudut pandang bahasa Arab. Untuk
menguatkan dan menegaskan pendapatnya, terutama dalam memberikan penjelasan
mengenai bahasa ayat bersangkutan, mufassir kadang kadang juga mengutip syair-syair
yang berkembang sebelum dan pada masanya.
4) Menjabarkan kandungan ayat secara umum dan maksudnya.
5) Menerangkan unsur-unsur fashāḥah, bayān dan i‟jāznya, bila dianggap perlu.
Khususnya, apabila ayat-ayat yang ditafsirkan itu mengandung keindahan balāgah.
6) Menjelaskan hukum yang bisa ditarik dari ayat yang dibahas, khususnya apabila ayat-
ayat aḥkām, yaitu berhubungan dengan persoalan hukum.
7) Menerangkan makna dan maksud syara‟ yang terkandung dalam ayat bersangkutan.
Sebagai sandarannya, mufassir mengambil manfaat dari ayat ayat lainnya, hadits Nabi
SAW, pendapat para sahabat dan tabi‟in, di samping ijtihad mufassir sendiri. Apabila tafsir
ini bercorak al-tafsīr al-ilmi (penafsiran dengan ilmu pengetahuan), atau al-tafsīr al-adābi
al-ijtimā‟I, mufassir biasanya mengutip pendapat para ilmuwan sebelumnya, teori-teori
ilmiah modern, dan lain sebagainya.19
Metode Taḥlīliīy kebanyakan dipergunakan para ulama masa-masa klasik dan abad
pertengahan. Di antara mereka, sebagian mengikuti pola pembahasan secara panjang lebar

17
Azyumardi Azra (ed.), Sejarah & Ulum al-Qur‟an, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2013), h. 173

18
Muḥammad Baqir aṣ-Ṣadr, Madrasah al-Qur‟aniyyah, Terj. Hidayaturakhman, (Jakarta: Risalah Masa,
1992), h. 18
19
M. Quraish Shihab, et.al, Sejarah dan Ulumul Qur‟an, (Jakarta: Pusatak Firdaus, 2013), h. 173-174.
(ithnab), sebagian mengikuti pola singkat (ijaz) dan sebagian mengikuti pula secukupnya
(musawah). Mereka sama-sama menafsirkan al-Qur‟an dengan metode Taḥlili , namun
dengan corak dan ragam yang berbeda-beda.20

Kelemahan lain dari metode ini adalah bahwa bahasannya amat teoritis dan normatif,
tidak sepenuhnya mengacu kepada persoalan persoalan khusus yang mereka alami dalam
masyarakat mereka, sehingga mengesankan bahwa bahasan itulah yang merupakan pandangan
Al-Qur'an untuk setiap waktu dan tempat. Metode tahlili disebut juga metode Tajzi’i
(parsial) yang banyak dilakukan mufassir salaf, metode ini oleh sebagian pengamat
dinyatakan sebagai metode yang gagal, mengingat cara penafsirnnya yang parsial juga
tidak dapat menentukan substansi al-Qur’an secara integral dan nada kecendrungan
masuknya pendapat mufassir sendiri mengingat pemaknaan ayat tidak dikaitkan dengan
ayat lain yang membahas topik yang sama21
Di antara contoh-contoh kitab tafsir yang menggunakan metode Taḥlīliīy ialah:
1) Al-Jāmi‟ li Aḥkām al-Qur‟an karangan Syaikh Imam al-Qurṭūbi
2) Jāmi‟ al-Bayān „an Takwīl Ayyi al-Qur‟an, karangan Ibn Jarīr al-Thabariy.
3) Tafsīr al-Qur‟an al-„Aẓīm, karangan al-Hāfidz Imad al-Din Abi al-Fida‟ Ismāil bin
Katsȋr al-Quraisyi al-Danasyqi.
4) Al-Mīzān fi Tafsīr al-Qur‟an, karangan al-„Allamah al-Sayyid Muhammad Husyan al-
Thabaṭaba‟i.22

3. Metode Muqarin

Setelah metode ijmali dan tahlili, muncul metode muqarin atau perbandingan.
Dengan metode ini seorang mufasir melakukan perbandingan antara
(1) teks ayat-ayat al-Qur’an yang memilikpersamaan atau kemiripan redaksi dalam dua
kasus atau lebih,atau memiliki redaksi yang berbeda bagi satu kasus yang sama;
(2) ayat-ayat al-Qur’an dengan hadits yang ada pada lahirnya terlihat bertentangan; dan
(3) berbagai pendapat ulama tafsir dalam menafsirkan al-Qur’an.23

20
Rohimin, Metodologi Ilmu Tafsir & Aplikasi Model Penafsiran, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), h. 70

21
Muhaimin, dkk. Dimensi-Dimensi Studi Islam,Surabaya: Karya Abditamas, 1994, hlm., 120

22
Muhammad Amin Suma, Ulumul Qur‟an, (Jakarta: Rajawali Press, 2013), h. 380

23
Muhaimin, dkk. Dimensi-Dimensi Studi Islam,Surabaya: Karya Abditamas, 1994, hlm., 121
Metode ini adalah mengemukakan penafsiran ayat-ayat al-Quran yang yang
mebahas suatu masalah dengan cara membandingkan antara ayat dengan ayat atau antar
ayat dengan hadis baik dari segi isi maupun redaksi atau antara pendapat-pendapat para
ulama‟ tafsir dengan menonojolkan segi perbedaan tertentu dari obyek yang
dibandingkan.24
Kajian perbandingan ayat dengan ayat tidak hanya dibatasi pada analisis
kebahasaan, tetapi juga memuat kandungan makna dan perbedaan kasus yang dibahas.
Dalam membahas perbedaan-perbedaan tersebut, seorang mufasir harus menelaah berbagai
aspek yang menyebabkan munculnya perbedaan, seperti asbab annuzul yang berbeda,
penggunaan kata dan penyusunannya didalam ayat berlainan dan juga konteks masing-
masing ayat serta situasi dan kondisi umat ketika ayat tersebut turun. Dalam menganalisis
perbedaan-perbedaan tersebut, mufassir harus pula meninjau pendapat yang telah
dikemukakan oleh mufassir lainnya.
Macam-macam Metode Muqāran
Dari pemaparan di atas, metode muqāran ini menjadi tiga bagian yaitu:
a. Perbandingan ayat al-Quran dengan ayat lain
Yaitu ayat-ayat yang memiliki persamaan redaksi dalam dua atau lebih masalah
atau kasus yang berbeda, atau ayat-ayat yang memiliki redaksi berbeda dalam masalah atau
kasus yang (diduga) sama. Pertentangan makna di antara ayat-ayat al-Quran dibahas dalam
ilm al-nasikh wa al-mansukh.25
Dalam mengadakan perbandingan ayat dengan ayat yang berbeda redaksi di atas
ditempuh beberapa langkah:
(1) menginventarisasi ayat-ayat al-Qur‟an yang memiliki redaksi yang berbeda
dalam kasus yang sama atau yang sama dalam kasus berbeda;
(2) mengelompokkan ayat-ayat itu berdasarkan persamaan dan perbedaan redaksi;
(3) meneliti setiap kelompok ayat tersebut dan menghubungkannya dengan kasus
kasus yang dibicarakan ayat bersangkutan; dan
(4) melakukan perbandingan.
Perbedaan-perbedaan redaksi yang menyebabkan adanya nuansa perbedaan makna
seringkali disebabkan perbedaan konteks pembicaraan ayat dan konteks turunnya ayat
bersangkutan. Karena itu, „ilm al- munasabah dan „ilm asbāb al-nuzūl sangat membantu
24
Hamdani, Pengantar Studi al-Qur‟an, (Semarang: CV. Karya Abadi Jaya, 2015), h. 137

25
Azyumardi Azra (ed.), Sejarah & Ulum al-Qur‟an, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2013), h. 186
melakukan al-tafsir al- muqāran dalam hal perbedaan ayat tertentu dengan ayat lain.
Namun, esensi nilainya pada dasarnya tidak berbeda.26
b. Perbandingan ayat al-Qur’an dengan Hadits
Dalam melakukan perbandingan ayat al-Qur‟an dengan hadits yang terkesan
berbeda atau bertentangan ini, langkah pertama yang harus ditempuh adalah menentukan
nilai hadits yang akan diperbandingkan dengan ayat al-Qur’an. Hadits itu haruslah shahih.
Hadits dhaif tidak diperbandingkan, karena disamping nilai otentitasnya rendah, dia justru
semakin tertolak.27 tidak dapat diterima karena pertentangannya dengan ayat al-Qur’an,
kemudian para mufassir melakukan analisa mendalam terhadap latarbelakang terjadinya
pertentangan dan perbedaan di antara keduanya.
c. Perbandingan penafsiran mufassir dengan mufassir lain
Mufassir membandingkan penafsiran ulama tafsir baik ulama salaf maupun khalaf,
dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an, baik yang bersifat manqūl (pengutipan) maupun
yang bersifat ra’yu (pemikiran).28
Pada saat menafsirkan ayat-ayat al-Quran tertentu ditemukan adanya perbedaan di antara
ulama tafsir. Hal ini disebabkan karena perbedaan hasil ijtihad, wawasan, latar belakang
sejarah dan sudut pandang para ulama tafsir.
Kemudian dalam hal perbedaan penafsiran mufassir yang satu dengan yang
lainnya, mufassir berusaha menemukan, mencari dan menggali lebih dalam titik temu di
antara perbedaan-perbedaan itu apabila mungkin, dan menguatkan salah satu pendapat
setelah membahas kualitas argumentasi masing-masing.

Kelebihan dari metode ini adalah :


1. Dengan memusatkan pikiran pada penggalian hikmah dibalik variasi redaksi ayat
untuk kasus yang sama dan pemilihan redaksi yang mirip untuk kasus yang berbeda.
2. Menghubungkan kaitan al-Qur’an dengan hadis yang dibandingkan;
3. Mengenal memahami dan mengetahui orisinalitas penafsiran seorang mufassir,
karena dimungkinkan mufassir pendatang meminjam tafsiran pendahulunya tanpa
menyebutkan sumber kutipannya dan dapat mengungkap kecenderungan mufassir,
madzhab apa yang dianut, mengungkap kekeliruan mufassir terdahulu dan mencari

26
M. Quraish Shihab, et.al, Sejarah dan Ulumul Qur‟an, (Jakarta: Pusatak Firdaus, 2013), h. 188.

27
Azyumardi Azra (ed.), Sejarah & Ulum al-Qur‟an, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2013), h. 190

28
Azyumardi Azra (ed.), Sejarah & Ulum al-Qur‟an, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2013), h. 191
pendapat yang lebih benar dengan tarjih (memilih yang terbaik dan terkuat), dapat
memperoleh pemahaman yang lengkap mengenai kandungan al-Qur’an.

Contoh kitab tafsir dengan metode ini antara lain


 al-Khathib al-Iskafi (w.240 H), Durrah at-Tanzil wa Ghurrah at-Ta’wil; dan
 Taj al-Qurra’ al-Karmani (w. 505 H), al-Burhan fi Taujih Mutasyabah Al-Qur’an.
 Tafsir al-Marogh oleh Musthafa al-Maraghi (w. 1952 H),
 Tafsir Qur’an Azhim, oleh Abi Fida’ Ibnu Katsir (w. 774 H).29

4. Metode Maudhu’i
Yang terakhir muncul adalah metode maudhu’i atau tematik. Berbeda dengan
metode ijmali dan tahlili yang menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an secara kronologis sesuai
dengan urutan ayat dan surat yang terdapat dalam mushaf, maka metode maudhu’i ini ialah
metode yang membahas ayat-ayat al- Qur’an sesuai dengan tema atau judul yang telah
ditetapkan. Semua ayat yang berkaitan dihimpun, kemudian dikaji secara mendalam dan
tuntas dari berbagai aspek yang terkait dengannya, seperti asbāb al-nuzūl, kosakata, dan
sebagainya. Semua dijelaskan dengan rinci dan tuntas, serta didukung oleh dalil-dalil atau
fakta-fakta yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, baik argumen yang berasal
dari al-Qur‟an, hadis, maupun pemikiran rasional.30
Metode ini membahas ayat-ayat yang terdapat dalam berbagai surat yang telah
diklasifikasikan dalam tema-tema berbeda. Dengan metode ini seorang mufassir
mengumpulkan ayat-ayat berbeda yang mengandung pengertian serupa, mendiskusikan
antara pengertian yang ‘am dan khash, antara yang muthalaq dan yang muqayyad,
menhubungkan ayat-ayat yang lainnya tampak bertentangan, menjelaskan ayat nasikh dan
mansukh, sehingga semua ayat tersebut bertemu pada satu sumber, tanpa perbedaan dan
kontradiksi terhadap sebagian ayat kepada makna-makna yang sebenarnya tidak tepat.
Adapun keunggulan dari metode ini adalah:
1.Dapat meperoleh pemahaman al-Qur’an lebih utuh dan otentik mengenai satu
topik tertentu, sehingga sulit memasukkan ide mufassir

29
Muhaimin, dkk. Dimensi-Dimensi Studi Islam,Surabaya: Karya Abditamas, 1994, hlm., 121

Al-Ḥayy Al-Farmawy, Metode Tafsir Mauḍu‟ī: Suatu Pengantar, Terj. Sufyan A. Jamrah (Jakarta: PT
30

RajaGrafindo Persada, 1996), h. 52


2.Relevan dengan kebutuhan orang muslim yang perlu penyelesaian kasus
berdasarkan pendekatan tematik ayat al-Qur’an

Menurut al-Farmawiy metode mauḍū‟i ada dua bentuk penyajian:


a) Mauḍū‟i Surat
yaitu menjelaskan suatu surah secara keseluruhan dengan menjelaskan isi kandungan surah
tersebut, baik yang bersifat umum atau khusus dan menjelaskan keterkaitan antara tema
yang satu dengan yang lainnya, sehingga surah itu nampak merupakan suatu pembahasan
yang sangat kokoh dan cermat.31
1. Langkah-langkah Mauḍū‟i Surat
Dalam hal langkah-langkah yang ditempuh untuk menentukan metode mauḍū‟i surat,
Muṣṭafā Muslim mengklasifikasikan menjadi empat langkah yaitu:
a) Pengenalan nama surat
b) Deskripsi tujuan surat dalam al-Qur‟an
c) Pembagian surat ke dalam beberapa bagian
d) Penyatuan tema-tema ke dalam tema utama.32
2. Contoh kitab tafsir dengan metode ini adalah:
a) karya Syaikh Mahmud Syaltut (Tafsīr al-Qur‟an al-Karīm)
b) karya Muhammad al-Ghazali (Naḥwa Tafsīr al-Mauḍū‟i li suwar al-Qur‟an al-karīm).
c) Karya al-Husaini Abu Farhah (al-Futūḥāt al-Rabbāniyyah fī al-Tafsīr al-Mauḍū‟i li al-
āyāt al-Qur‟āniyyah).45
b. Mauḍū‟i atau Tematik
Tafsir dengan metode mauḍū‟i ialah menjelaskan konsep al-Qur’an tentang suatu
masalah/tema tertentu dengan cara menghimpun seluruh ayat al-Quran yang
membicarakan tema tersebut. Kemudian masing-masing ayat tersebut di kaji secara
komprehensif, mendalam dan tuntas dari berbagai aspek kajiannya. Baik dari segi asbāb

31
Al-Ḥayy Al-Farmawy, Metode Tafsir Mauḍu‟ī: Suatu Pengantar, Terj. Sufyan A. Jamrah (Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 1996), h. 35

32
Muṣṭafā Muslim, Mabāḥiṡ fī al-Tafsīr al-Mauḍu‟ī, (Damaskus: Dār al-Qalam, 2000), h. 28-29
al-nuzūl-nya, munasabahnya, makna kosa katanya, pendapat para mufassir tentang makna
masing-masing ayat secara parsial, serta aspek-aspek lainnya yang dipandang penting.
1. Langkah-langkah Mauḍū‟i atau Tematik
Langkah-langkah yang ditempuh dalam metode yang kedua ini adalah:
a) Memilih atau menetapkan masalah al-Qur‟an yang akan dikaji secara tematik
b) Melacak dan menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah yang ditetapkan,
ayat makiyyah dan madaniyyah.
c) Menyusun ayat-ayat tersebut secara runtut menurut kronologi masa turunnya, disertai
pengetahuan mengenai latarbelakang turunnya ayat atau asbāb al-nuzūl
d) Mengetahui korelasi (munasabah) ayat-ayat tersebut di dalam masing-masing suratnya.
e) Menyusun tema bahasan di dalam kerangka yang pas, sistematis, sempurna, dan utuh
(outline).
f) Melengkapi pembahasan dan uraian dengan hadis, bila dipandang perlu, sehingga
pembahasan menjadi semakin sempurna dan semakin jelas.
g) Mempelajari ayat-ayat tersebut secara tematik dan menyeluruh dengan cara
menghimpun ayat-ayat yang mengandung pengertian serupa, mengkompromikan antara
pengertian yang „ām dan khāṣ, antara yang muṭlaq dan yang muqayyad, mengsinkronkan
ayat-ayat yang lahirnya tampak kontradiktif, menjelaskan ayat yang nāsikh dan mansūkh,
sehingga semua ayat tersebut bertemu pada satu muara, tanpa perbedaan dan kontradiksi
atau tindakan pemaksaan terhadap sebagian ayat kepada makna-maknab yang sebenarnya
tidak tepat.33

Contoh-contoh Kitab Tafsir


Diantara contoh-contoh kitab tafsir dengan metode mauḍū‟i atau tematik adalah:
a) Karya Syeikh Mahmud Syaltut (‫) كتاب مه هدى القرأن‬
b) Karya Ustadz Abbas Mahmud al-„Aqqad (‫) المرأج في القرأن‬
c) Karya Ustadz Abu al-A‟la al-Maududy (‫) الرتا في القرأن‬
d) Karya Ustadz Muhammad Abu zahrah (‫) العقيدج في القرأن‬

Al-Ḥayy Al-Farmawy, Metode Tafsir Mauḍu‟ī: Suatu Pengantar, Terj. Sufyan A. Jamrah (Jakarta: PT
33

RajaGrafindo Persada, 1996), h. 45-46


e) Karya Dr. Ahmad kamal Mahdy (‫) آياخ القسم في القرأن‬34

KESIMPULAN

Tafsir adalah ilmu yang membahas tentang tata cara mengucapkan lafal-lafal ayat
al-Qur’an, mengungkapkan makna-maknanya, hukum-hukum yang terkandung di
dalamnya, baik perkata maupun perrangkaian kata dan kelengkapannya, seperti
pengetahuan tentang nasikh mansukh, sebab nuzul, dan lain-lain. Ilmu tafsir merupakan
ilmu yang sangat penting dalam memahami Al-Qur’an. Tanpa mengetahui ilmu tafsir kita
tidak akan mampu untuk memahami Al-Qur’an secara benar. Untuk menjelaskan Al-
Qur’an diperlukan orang-orang yang mempunyai otoritas keilmuan khusus dibidang Al-
Qur’an. penafsiran Al-Qur’an dilakukan oleh para ulama yang mempunyai kewenangan
dengan keilmuan yang khusus dibidang Al-Qur’an seperti penafsiran yang dilakukan oleh
Ibn Katsir, Ibnu Abbas, At-Thobari As-Syaukani dll. Metode Tafsir terbagi atas empat,
diantaranya : Metode tafsir Ijmali, Metode tafsir tahlili, metode tafsir muqarin, metode
tafsir maudhu’i.

DAFTAR PUSTAKA

Abd al-Farmawi, Metode Tafsir Maudhu’i, Suatu Pengantar Terjemahan Suryan A.


Jamrah, Jakarta: Rajawali Press, 1996

Ahmad, Syazdali, Ahmad Rafi‟i. Ulumul Quran . Bandung : CV. Pustaka Setia, 1997

Ahmad Syukri Saleh, Metodologi Tafsir al-Qur‟an Kontemporer Dalam Pandangan


Fazlur Rahman, Jambi: Sulthan Thaha Press, 2007

Ali Ḥasan al-„Ariḍ, Sejarah dan Metodologi Tafsir, Terj. Ahmad Akrom, Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 1994

Said Agil Husin al-Munawar dan Masykur Hakim, I‟jaz al-Qur‟an dan Metodologi Tafsir, (Semarang:
34

Dina Utama Semarang (Dimas), 1994), h. 40


Azra, Azyumardi. (ed.), Sejarah & Ulum al-Qur‟an, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2013

Badri Khaeruman, Sejarah Perkembangan Tafsir al-Qur‟an, Bandung: Pustaka Setia,


2004
Baidan, Nashruddin, Metode Penafsiran al-Qur‟an, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001

Baidan, Nashruddin, Metode Penafsiran al-Qur‟an, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Offset


1998

Hamdani, Pengantar Studi al-Qur‟an, Semarang: CV. Karya Abadi Jaya, 2015

Hitami, Mundzir. Pengantar Studi al-Qur‟an Teori dan pendekatan, Yogyakarta: LkiS
Yogyakarta, 2012

M. Alfatih Suryadilaga, dkk., Metodologi Ilmu Tafsir, Sleman: Teras, 2005

Muhammad ‘Abd al-Azhim az-Zarqani, Manahul al-‘Irfan fi ‘Ulum Al-Qur’an, Beirut: Dar
‘Ihya al-Kutub al-‘Arabiyah t.t, Jld 1
Muhammad Amin Suma, Ulumul Qur‟an, Jakarta: Rajawali Press, 2013

Muḥammad Baqir aṣ-Ṣadr, Madrasah al-Qur‟aniyyah, Terj. Hidayaturakhman, Jakarta:


Risalah Masa, 1992

Muhaimin, dkk. Dimensi-Dimensi Studi Islam,Surabaya: Karya Abditamas, 1994

M. Quraish Shihab, et.al, Sejarah dan Ulumul Qur‟an, Jakarta: Pusatak Firdaus, 2013

Muṣṭafā Muslim, Mabāḥiṡ fī al-Tafsīr al-Mauḍu‟ī, Damaskus: Dār al-Qalam, 2000

Purwanto, Tinggal Pengantar Studi Tafsir Alqur’an, Yogyakarta: Adab Press, 2013

Quraish Shihab, Membumikan Alqur’an, Bandung:Mizan, 1999

Rohimin, Metodologi Ilmu Tafsir & Aplikasi Model Penafsiran, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2007

Said Agil Husin al-Munawar, Al-Qur‟an Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki, Ciputat:
PT. Ciputat Press, 2005

Said Agil Husin al-Munawar dan Masykur Hakim, I‟jaz al-Qur‟an dan Metodologi
Tafsir, Semarang: Dina Utama Semarang, 1994,
Syaikh Manna Al-Qattan, Pengantar Studi Ilmu Qur‟an, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar,
2013

Usman, Ulumul Qur’an, Yogyakarta: Teras, 2009

Anda mungkin juga menyukai