Disusun oleh:
Alberto Patrick Routier (02)
Axel Rafael (06)
Immanuel Nugraha Pratama (16)
Rama Aril (26)
Kata Pengantar
Puji syukur kepada Tuhan yang Maha Kuasa, kami dapat menyelesaikan makalah
yang berjudul “Masalah Banjir di DKI Jakarta”. Makalah ini merupakan inovasi
pembelajaran untuk mengetahui penyebab, dan cara mengatasi permasalahan banjir di daerah
DKI Jakarta.
Kami mengakui bahwa makalah ini masih memiliki banyak kekurangan karena
kemampuan dan pengalaman yang kami miliki sangat terbatas. Oleh karena itu kami
harapkan para pembaca dapat memberikan masukan-masukan yang bersifat membangun
untuk kesempurnaan makalah ini. Kami berharap semoga makalah ini dapat berguna untuk
semua kalangan pada umumnya dan berguna untuk menambah pengetahuan bagi para
pembaca.
Daftar Isi
Bab I
Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Banjir merupakan kejadian yang sangat mempengaruhi penduduk yang terkena
dampaknya, baik secara langsung maupun tidak langsung. Terutama bagi penduduk yang
tinggal di daerah aliran sungai dan daerah dataran banjir. Beberapan kejadian banjir besar
yang melanda daerah tropis diakibatkan oleh angin muson yang mendorong air laut kea rah
daratan sehingga menghambat aliran pada muara sungai dan mengakibatkan meluapnya
sungai tersebut.
Banjir merupakan fenomena yang hampir selalu terjadi setiap tahun di Jakarta. Kota
Jakarta setiap tahunnya mengalami banjir, namun pada beberapa tahun yang kejadiannya
amat besar seperti kejadian banjir pada tahun 1996, 2002, dan 2007. Dalam sejarahnya, banjir
di Jakarta yang tercatat paling awal terjadi pada 1699 akibat letusan Gunung Salak, kemudian
tahun 1714 akibat dimulainya pembukaan hutan di Kawasan Puncak, dan tahun 1918 yang
menjadi penyebab dimulainya pembangunan Banjir Kanal Barat. Masa banjir bagi kota
Jakarta biasanya terjadi pada pertengahan musim hujan yang jatuh pada bulan Januari –
Februari setiap tahunnya.
Pengaruh Fisiografi
Fisiografi atau geografi fisik sungai seperti bentuk, dan kemiringan Daerah Pengaliran
Sungai (DPS), kemiringan sungai, Geometri hidrolik (Bentuk penampang seperti
lebar, kedalaman, potongan memanjang, material dasar sungai), lokasi sungai.
Erosi dan Sendimentasi
Erosi di DPS berpengaruh terhadap kapasitas penampungan sungai, karena tanah yang
tererosi pada DPS tersebut apabila terbawa air ke sungai akan mengendap dan
menyebabkan terjadinya sedimentasi. Sedimentasi akan mengurangi kapasitas sungai
dan saat terjadi aliran yang melebihi kapasitas sungai dapat menyebabkan banjir.
Kapasitas Sungai
Pengurangan kapasitas aliran banjir pada sungai disebabkan oleh pengendapan yang
berasal dari erosi dasar sungai dan tebing sungai yang berlebihan, karena tidak adanya
vegetasi penutup.
Bab III
Hasil Observasi &Wawancara
3.1 Faktor Penyebab Banjir di DKI Jakarta
Di tinjau dari letak geografis, kondisi topografi, iklim, faktor demografi, dan kondisi sosial
masyarakat, maka kemungkinan terjadinya banjir di Indonesia khususnya Jakarta cukup
besar. Banjir dapat setiap saat terjadi dan sulit di perkirakaan intesitasnya, tempat, waktu baik
pada daerah yang sudah ditangani dan belum sempat di tangani.
Peristiwa banjir tidak akan menjadi masalah sejauh banjir tidak menimbulkan gangguan atau
kerugian yang berart bagi kepentingan manusia. Fenoma banjir disebabkan oleh tiga faktor
yaiut kondisi alam, peristiwa alam, dan kegiatan manusia.
1. Faktor-faktor kondisi alam yang dapat menyebabkan terjadinya banjir adalah kondisi
wilayah, misalnya : letak geografis suatu wilayah, kondisi topografi, dan geometri sungai
seperti kemiringan dasar sungai, meandering, penciutan ruas sungai, sedimentasi,
pembendungan alami pada suatu ruas sungai.
2. Peristiwa alam yang bersifat dinamis yang dapat menjadi penyebab banjir seperti curah
hujan yang tinggi, pecahnya bendungan sungai, peluapan air yang berlebihan, pengendapan
sendimen / pasir, pembendungan air sungai karena terdapat tanah longsor , pemanasan
global yang mengakibatkan permukaan air laut tinggi.
3. Faktor kegiatan manusia yang dapat menyebabkan banjir adalah adanya pemukiman liar di
daerah bantaran sungai, penggunaan alih fungsi resapan air untuk pemukiman, tata kota yang
kurang baik, buangan sampah yang sembarangan tempat, dan pemukiman padat penduduk
3.2 Yang Bertanggung Jawab Atas Banjir Di Ibukota
Ketidakkonsistenan pemerintah terbukti karena tidak ada real action dari pemerintah. Padahal
Pemerintah kita salah satu negara yang mendukung konferensi perubahan, akan tetapi sekarang
tetap banyak kebijakan pemerintah yang tidak ramah lingkungan, terbukti banyak perumahan,
apartemen mewah yang tidak ramah lingkungan yang tidak berifkir tempat penampungan air dan
sanitasi yang baik. Semakin tahun semakin meningkat intensitas banjir. Konsep hijau harus
diterapkan setiap kebijakan pemerintah hal ini tertuang dalam UU RI No.32 Tahun 2009
Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dan bahkan sanksinya cukup tegas. Akan tetapi hal itu
dianggap lalu. Dan masyarakatpun seakan menikmati dengan adanya banjir menganggap banjir
adalah hal biasa, bagaimana tidak pola fikir ( MIndset ) yang menganggap banjir adalah hal
biasa dan dinikmati. Membuang sampah di sungai adalah hal biasa dan kesadaran pentingnya
menjaga lingkungan hanya sebatas obrolan bukan sebuah tindakan. Jika semua orang berfikir
satu orang saja yagn membuang sampah mengakibatkan banjir dan merugikan ratusan hingga
ribuan orang. Jika Pemerintah yang membuat kebijakan ( Green Policy ) dan rakyat
melaksanakan kebijakan itu maka Indonesia bebas banjir.
Permasalahan Banjir di Indonesia merupakan masalah klasik yang tidak pernah dapat teratasi
secara tuntas. Terutama terjadi dikota-kota besar yang tersebar dari sabang hingga merauke.
Minimnya pengetahuan tentang perencanaan tata ruang dan rendahnya akan kesadaran serta
kelestarian lingkungan menjadi akar permasalahan banjir tidak pernah tuntas teratasi. Kendati
telah mengetahui permasalahan tersebut, pemerintah masih saja mengkambing hitamkan
tingginya curah hujan. Padahal masalah fundamental terkait dengan kelestarian lingkungan dan
keseimbangan alam tidak pernah menjadi fokus perhatian.
Sebagai negara yang diapit dua benua dan dua samudra, Indonesia memiliki dua musim yaitu
kemarau dan penghujan. Pada awalnya keseimbangan itu terjadi, dimana lahan terbuka hijau
tumbuh subur di tanah Nusantara. Ketika kemarau tidak terjadi kekeringan dan ketika musim
penghujan, daerah resapan air masih mampu menampung debit air yang turun ketika hujan.
Namun, fenomena itu kini telah musnah, dan hanya kenangan. Pendirian gedung-gedung
pencakar langit, pembangunan perumahan, perambahan hutan, tata ruang buruk, dan sanitasi
yang tidak memadai menjadi alasan yang kuat banjir terus datang setiap tahunnya.
Data State of the World’s Forests 2007 dan The UN Food & Agriculture Organization
(FAO), menyebutkan angka deforestasi Indonesia pada periode 2000-2005 mencapai 1,8 juta
hektar/tahun. Dengan laju deforestasi hutan tersebut, membuat Guiness Book of The Record
memberikan “gelar kehormatan†bagi Indonesia sebagai negara dengan daya rusak hutan
tercepat di dunia. Dari total luas hutan di Indonesia yang mencapai 180 juta hektar, Kementerian
Kehutanan (sebelumnya menyebutkan angka 135 juta hektar) sebanyak 21 persen atau setara
dengan 26 juta hektar telah dijarah total sehingga tidak memiliki tegakan pohon lagi.
Rusaknya ekosistem dan keseimbangan lingkungan merupakan suatu bentuk minimnya
kesadaran masyarakat akan kelestarian lingkungan. Kepentingan jangka pendek selalu
mendominasi setiap tindakan dan kebijakan yang dibuat. Alhasil, kerugian jangka panjang pun
hanya menunggu waktu saja. Kondisi ini semakin diperparah dengan buruknya sanitasi, baik
karena sampah maupun sedimentasi yang menurunkan daya tampungnya. Akibatnya, banjir pun
menjadi langganan, disejumlah daerah di tanah air terutama kota-kota besar.
Bab IV
Pembahasan
4.1 Cara Mengatasi Banjir di DKI Jakarta
Bila ingin mencari cara mengatasi banjir, yang harus kita lihat terlebih dahulu adalah mengapa
banjir bisa datang. Banjir bisa terjadi sebenarnya karena ulah manusia sendiri. Lihat saja, di
kota-kota besar, sungai yang sebenarnya berfungsi untuk menampung air disalahgunakan
untuk menampung sampah. Di sekitar sungai tersebut, bahkan, dijadikan permukiman.
Kondisi tersebut diperparah dengan kurangnya pepohonan yang berfungsi sebagai jantung
kota. Bisa kita hitung sendiri, kira-kira berapakah perbandingan antara hutan kota dengan
gedung-gedung bertingkat. Mana yang lebih banyak.
Ibarat rumah, kota-kota yang rawan banjir tersebut adalah rumah yang tidak memiliki atap dan
jendela. Saat badai menyerang, otomatis tidak ada perlindungan sama sekali.
Bab V
Penutup
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisa dan pembahasan kesluruhan, khususnya pada daerah Jakarta Selatan
maka kesimpulan yang dapat ditarik adalah sebagai berikut :
1. Daerah Jakarta Selatan ini terjadi banjir disebabkan oleh pemukiman padat penduduk,
saluran air yang diperkecil, alih fungsi lahan, tidak ada resapan air, dan pembuangan sampah
yang liar.
2. Karena daerah ini sering di datangi banjir, maka warga yang menjadi korban banjir yang
selalu terkena dampak nya, seperti :
a. Ancaman wabah penyakit
b. Aktivitas masyarak terganggu
c. Ancaman penyakit diare
d. Penyakit yang disebabkan oleh nyamuk