Hairudin HTN 0
Hairudin HTN 0
NIM : 21909100
FAKULTAS HUKUM
2020
KATA PENGANTAR
Penulis mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat sehat-Nya, baik
itu berupa sehat fisik maupun akal pikiran, sehingga penulis mampu untuk menyelesaikan
pembuatan makalah sebagai tugas akhir dari mata kuliah Hukum Acara Peradilan Agama dengan
judul “PROBLEMATIKA NEGARA HUKUM DAN KONSTITUALISME INDONESIA”.
Penulis tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan masih
banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu, penulis mengharapkan
kritik serta saran dari pembaca untuk makalah ini, supaya makalah ini nantinya dapat menjadi
makalah yang lebih baik lagi. Kemudian apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini
penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya.
Penulis
DAFTAR ISI
Kata Pengantar….........…………………………………………………………………….
Daftar Isi...…………….......………………………………………………………………….
BAB I PENDAHULUAN
A Latar
Belakang…………………………………………………………….......................
B Rumusan Masalah…………...........…………………………………………………
C Tujuan……………………………......……………………………………......................
BAB II PEMBAHASAN
A Masalah Negara Hukum dan Konstitusionalisme Indonesia………………………
DAFTAR PUSTAKA
BAB 1
PENDAHULUAN
A Latar Belakang
kelemahan dan ketidaksempurnaan konstitusi sebagai hasil karya manusia adalah suatu
hal yang pasti. Kelemahan dan ketidaksempurnaan UUD 1945 bahkan telah
dinyatakan oleh Soekarno pada rapat pertama PPKI tanggal 18 Agustus 1945.2 Amandemen.
UUD 1945 yang dilakukan pasca reformasi setidaknya menjadi titik awal
terjadinyadesakralisasi terhadap konstitusi Indonesia yang selama kurang lebih 32 tahun di
bawahtampuk kekuasaan Soeharto menjadi barang suci yang tidak dapat disentuh apalagi
diutakatik. Terjadinya amandemen UUD 1945 adalah tuntutan reformasi yang tidak
dapatdisanggah lagi.
Tidak dapat dipungkiri setelah UUD tampak jelas kepada kita bahwa
kehidupandemokrasi tumbuh semakin baik. Dilakukannya perubahan itu sendiri sudah
merupakankemajuan yang sangat besar bagi demokrasi kita sebab masa lalu jika ada gagasan
untukmengubah UUD 1945 sangat ditabukan. Sekarang setelah UUD 1945 diubah siapapun
bolehmempersoalkan UUD tanpa harus takut ditangkap. Ini adalah kemajuan besar di
dalamdemokrasi kita.
Setidaknya adat tiga faktor yang menyebabkan kesan yang masih jauh dari rapihdan
selesai. Pertama, jalur perubahan konstitusi didominasi oleh orang-orang dalam (orangsoeharto).
Peran penting tetap dimainkan oleh para pemimpin yang aktif dalam rezimotoritarian
sebelumnya yang kini bekerja di dalam lingkungan yang benar-bener kompetitif.Para
pemimpin ini dan mantan pemimpin oposisi yang sama-sama tergabung
dalamlembaga legislative setelah pemilu ternyata menempuh perubahan konstitusional
radikalsecara diam-diam. Perubahan konstitusi ini dilakukan tanpa membentuk komisi
konstitusiatau konvensi dan tanpa banyak berkonsultasi dengan badan-badan masyarakat
sipil ataurakyat secara umum. Konstitusi hasil revisipun jelas-jelas merupakan kerjaan para
politisi.
Rumusan Masalah
Tujuan
Pembahasan
Sejak awal, kehadiran DPD sebagaimana termaktub dalam Pasal 22D Undang-
Undang Dasar Negara RI Tahun 1945 (UUD 1945) tidaklah dirancang sebagai
suatulembaga legislatif yang ideal. Secara sederhana, posisi DPD dapat dikatakan serba
tanggung ksebagai sebuah lembaga yang dihadirkan dengan imaji besar. Ihwal fungsi
legislasi,misalnya, Pasal 22D Ayat (1) dan (2) UUD 1945, DPD memiliki otoritas terbatas
denganadanya frasa "dapat mengajukan" dan "ikut membahas" rancangan undang-undang
(RUU)yang terkait dengan hubungan pusat dan daerah. Fungsi sub-ordinat DPD kian jelas
karena dalam desain besar pembahasan RUU APBN dan RUU yang berkaitan dengan
pajak,pendidikan, dan agama, lembaga ini hanya diberi wewenang sempit, yaitu
sebatasmemberikan pertimbangan
.
Ketiga, sebelum perubahan UUD 1945, MPR mempunyai kedudukan
sebagailembaga tertinggi negara. Kepada lembaga MPR inilah Presiden, sebagai kepala negara
dansekaligus kepala pemerintahan, tunduk dan bertanggungjawab. Dalam lembaga ini
pulakedaulatan rakyat Indonesia dianggap sebagai pelaku sepenuhnya kedaulatan rakyat
itu.Dari lembaga tertinggi MPR inilah mandat kekuasaan kenegaraan dibagi-bagikan
kepadalembaga-lembaga tinggi negara lainnya, yang kedudukannya berada di bawahnya
sesuaiprinsip pembagian kekuasaan yang bersifat vertikal (distribution of power).
Namun, sekarang setelah perubahan UUD 1945 tidak dikenal lagi lembaga
tertingginegara. Pemangkasan wewenang MPR yang tidak lagi memilih presiden dan
tidakmenetapkan GBHN sebagai wujud nyata dari kedaulatan rakyat yang tidak lagi
dijalankanoleh MPR. Sehingga Keberadaan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang
ditempatkansama kedudukannya dengan lembaga negara lainnya seolah menjadi dilema
ketatanegaraantersendiri. Di satu sisi ingin memberikan corak sistem bicameral namun
disisi yang laindengan keberadaan MPR yang mempunyai fungsi melakukan perubahan UUD
terdapat satu cabang kekuasaan sebagai perwakilan rakyat. Sehingga terkesan menjadi
trikameral.
Keempat, walaupun Komisi Yudisial KY diletakkan dalam BAB IX UUD 1945, tetapi
tidak termasuk sebagai pelaku kekuasaan kehakiman. Karena menurut ketentuan
dalamPasal 24 ayat (1), “kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka
untukmenyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”. Sedangkan KY
tidakmenyelenggarakan peradilan yang dimaksud.
Untuk mempertegas sistem presidensial maka hal yang harus dilakukan adalah
kewenanangan legislasi hanya ditempatkan di badan legislasi seperti DPR dan DPD. Dalamhal
ini presiden tidak boleh ikut campur tangang di dalamnya, presiden hanya
berhakmengusulkan rancangan peraturan perundang-undangan tapi tidak berhak
ikutmembahasnya. Namun setelah proses legislasi selesai dengan kesepakatan dalam
lembagaperwakilan tersebut naskah RUU yang sudah disepakati diberikan kepada presiden.
Presidendiberikan hak veto untuk menolak jikalau RUU tersebut merugikan kepentingan
masyarakatdan lekat dengan unsur. muatan politis parlemen. Disinilah letak fungsi check and
balancesantara eksekutif dan legislative
Selain itu, sistem presidensial tidak dapat dihadapkan dengan sistem multipartai.Jika
hal ini dipaksakan maka akan mengakibatkan instabilitas pemerintahan presidensial karena
kuatnya cengkraman politik di dalamnya. Oleh karenanya harus diatur sedemikianrupa
sehingga multi partai tersebut dapat disederhanakan. Salah satunya dengan melakukan
peningkatan presentase ambang batas pemilihan, baik parliamentary threshold
maupunelectoral threshold.
Ketiga, Kemudian dimana letak MPR dalam konsep ini?, karena MPR
sebagaimanadisebutkan dalam konstitusi Pasal 2 ayat (1) terdiri dari anggota DPR dan DPD
yang dipilihmelalui pemilihan umum, maka seyogyanya MPR hanya sebagai joint
session yaitupertemuan antara DPR dan DPD dalam hal tertentu saja. Sehingga MPR bukan lagi
lembagatinggi melainkan terjadi hanya jika dilakukannya pertemuan anggota DPR dan DPD
untukmembahas perubahan UUD 1945.
Keempat, melihat kewenangan Komisis Yudisal (KY) yang tertuang dalam UUD
1945yang memiliki wewenang dalam mengusulkan pengangkatan hakim agung dan
pengasawanterhadap hakim dalam rangka menjaga martabat hakim tidak tepat jika
ditempatkan dalam BAB kekuasaan kehakiman. Sehingga KY harus dipisahkan dari bab
tersebut daan dibuatbab tesendiri tentang Komisi Negara. Pembantukan bab tersebut akan
memperjelas susunankelembagaan negara dalam konsep negara hukum.
BAB 3
Penutup
KESIMPULAN
Ashiddiqie, Jimly, Menuju Negara Hukum yang Demokratis, Jakarta, Sekretariat Jenderal dan
Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2008.
Perkembangan dan Konsoldasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, Jakarta, Sinar Grafika, Edisi
Kedua, 2010.al- Arif, M. Yasin, “Anomali Sistem Pemerintahan Presidensial Pasca Amandemen
UUD 1945” Jurnal Hukum Ius Quia Iustum, No. 2, Vol. 22, April 2015.
Huda, Ni’matul, UUD 1945 dan Gagasan Amandemen Ulang, Rajawali Press,Jakarta
2008.
Isra, Saldi “Masa Depan DPD”, Opini Harian Kompas, 6 April 2017