Anda di halaman 1dari 28

Latar Belakang

Kelemahan dan ketidaksempurnaan


konstitusi sebagai hasil karya manusia
adalah
suatu hal yang pasti. Kelemahan
dan ketidaksempurnaan UUD
1945 bahkan telah
Alhamdulillah kami panjatkan kehadirat Allah SWT. Atas dilimpahkannya
rahmat dan hidayah-NYA sehingga tersusunnya makalah ini yang berjudul
KONSTITUSI DAN KONSTITUSIONALISME. Sebagai pemenuhan mata kuliah
Konstitusi dan HAM, kami berusaha mengerjakannya dengan sejelas mungkin.
Sehingga, dapat memeberi manfaat bagi siapapun yang ingin membacanypada rapat
pertama PPKI tanggal 18 Agustus 1945.2 Amandem UUD 1945 yang dilakukan pasca
reformasi setidaknya menjadi titik awal terjadinyadesakralisasi terhadap konstitusi
Indonesia yang selama kurang lebih 32 tahun di bawahtampuk kekuasaan Soeharto menjadi
barang suci yang tidak dapat disentuh apalagi diutakatik. Terjadinya amandemen UUD
1945 adalah tuntutan reformasi yang tidak dapatdisanggah lagi. Tidak
dapat dipungkiri setelah UUD tampak jelas kepada kita bahwa kehidupandemokrasi tumbuh
semakin baik. Dilakukannya Latar belakangpasti. Kelemahan dan ketidak sempurnaan
UUD 1945 bahkan telahdinyatakan oleh Soekarno perubahan itu sendiri sudah
merupakankemajuan yang sangat besar bagi demokrasi kita sebab masa lalu jika ada gagasan
untukmengubah UUD 1945 sangat ditabukan. Seka kelemahan dan ketidaksempurnaan
konstitusi sebagai hasil karya manusia adalahsuatu hal yang rang setelah UUD 1945 diubah
siapapun bolehmempersoalkan UUD tanpa harus takut ditangkap. Ini adalah kemajuan
besar di dalamdemokrasi kita Kenyataan demikian tentu harus disanjung sebagai
keberhasilan merubah situasikenegaraan yang lebih demokratis dari sebelumnya. Namun
tentu tidak dapat menafikankenyataan lain yang belum ditampakkan dari adanya
amandemen konstitusi. Kendatipuntelah mengalami perubahan selama empat tahap
(tahun 1999, 2000, 2001, dan 2002),konstitusi Indonesia masih jauh dari kesan rapih dan
selesai. Walaupun memang, pascaamandemen, kosntitusi Indonesa telah memberikan
wajah konstitusionalisme yang lebihbaik Setidaknya adat tiga faktor yang menyebabkan kesan
yang masih jauh dari rapihdan selesai. Pertama, jalur perubahan konstitusi didominasi oleh
orang-orang dalam (orangsoeharto). Peran penting tetap dimainkan oleh para pemimpin
yang aktif dalam rezimotoritarian sebelumnya yang kini bekerja di dalam lingkungan yang
benar-bener kompetitif.Para pemimpin ini dan mantan pemimpin oposisi yang sama-
sama tergabung dalamlembaga legislative setelah pemilu ternyata menempuh perubahan
konstitusional radikalsecara diam-diam. Perubahan konstitusi ini dilakukan tanpa
membentuk komisi konstitusiatau konvensi dan tanpa banyak berkonsultasi dengan badan-
badan masyarakat sipil ataurakyat secara umum. Konstitusi hasil revisipun jelas-jelas
merupakan kerjaan para polKedua, urutan reformasi mendahulukan pemilu daripada
perubahan konstitusi.Dengan mempertimbangkan sejarah otoritarian Indonesia legitimasi
pada suara rakyat mungkin dipandang bisa memperkuat legislator yang baru terpilih sehingga
membuat merekatidak berani mengembangkan demokrasi sepenuhnya liber Ketiga, reformasi
konstitusi dilakukan selama beberapa tahun. Salah satu dari empatamandemen besar konstitusi
disahkan pada Oktober 1999, sedangkan yang terakhir padaAgustus 2002. Namun sebagian
perubahan politik terpenting terkandung dalam peraturanpemerintah tentang kepartaian,
pemilu, struktur pemerintahan, dan pelimpahakankekuasaan/wewenang. Keempat
amandemen ini dapat dipandang sebagai syarat-syaratkonstitusional yang tidak dibakukan
dalam dokumen resmi sehingga bisa mengalami prosesamandemen lebih lanjut yang lebih
ringan.
TUGAS MAKALAH

PROBLEMATIKA NEGARA HUKUM DAN KONSTITUALISME INDONESIA


DISUSUN OLEH:

NAMA : La Ode Hairudin

NIM : 21909100

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH KENDARI

2020

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh


Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kami kemudahan sehingga kami
dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa pertolongan-Nya tentunya kami
tidak akan sanggup untuk menyelesaikan makalah ini dengan baik. Shalawat serta salam semoga
terlimpah curahkan kepada baginda tercinta kita yaitu Nabi Muhammad SAW yang kita nanti-
natikan syafa’atnya di akhirat nanti.

Penulis mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat sehat-Nya, baik
itu berupa sehat fisik maupun akal pikiran, sehingga penulis mampu untuk menyelesaikan
pembuatan makalah sebagai tugas akhir dari mata kuliah Hukum Acara Peradilan Agama dengan
judul “PROBLEMATIKA NEGARA HUKUM DAN KONSTITUALISME INDONESIA”.

Penulis tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan masih
banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu, penulis mengharapkan
kritik serta saran dari pembaca untuk makalah ini, supaya makalah ini nantinya dapat menjadi
makalah yang lebih baik lagi. Kemudian apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini
penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya.

Demikian, semoga makalah ini dapat bermanfaat. Terima kasih.

Kendari, 27 Mei 2020

Penulis

DAFTAR ISI
Kata Pengantar….........…………………………………………………………………….
Daftar Isi...…………….......………………………………………………………………….

BAB I PENDAHULUAN
A Latar
Belakang…………………………………………………………….......................

B Rumusan Masalah…………...........…………………………………………………
C Tujuan……………………………......……………………………………......................
BAB II PEMBAHASAN
A Masalah Negara Hukum dan Konstitusionalisme Indonesia………………………

B Mengatasi Kerancuan Negara Hukum dan Konstitusionalisme Indonesia..............


BAB III PENUTUP
A Kesimpulan...........................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA

BAB 1

PENDAHULUAN
A Latar Belakang
kelemahan dan ketidaksempurnaan konstitusi sebagai hasil karya manusia adalah suatu
hal yang pasti. Kelemahan dan ketidaksempurnaan UUD 1945 bahkan telah
dinyatakan oleh Soekarno pada rapat pertama PPKI tanggal 18 Agustus 1945.2 Amandemen.

UUD 1945 yang dilakukan pasca reformasi setidaknya menjadi titik awal
terjadinyadesakralisasi terhadap konstitusi Indonesia yang selama kurang lebih 32 tahun di
bawahtampuk kekuasaan Soeharto menjadi barang suci yang tidak dapat disentuh apalagi
diutakatik. Terjadinya amandemen UUD 1945 adalah tuntutan reformasi yang tidak
dapatdisanggah lagi.

Tidak dapat dipungkiri setelah UUD tampak jelas kepada kita bahwa
kehidupandemokrasi tumbuh semakin baik. Dilakukannya perubahan itu sendiri sudah
merupakankemajuan yang sangat besar bagi demokrasi kita sebab masa lalu jika ada gagasan
untukmengubah UUD 1945 sangat ditabukan. Sekarang setelah UUD 1945 diubah siapapun
bolehmempersoalkan UUD tanpa harus takut ditangkap. Ini adalah kemajuan besar di
dalamdemokrasi kita.

Kenyataan demikian tentu harus disanjung sebagai keberhasilan merubah


situasikenegaraan yang lebih demokratis dari sebelumnya. Namun tentu tidak dapat
menafikankenyataan lain yang belum ditampakkan dari adanya amandemen konstitusi.
Kendatipuntelah mengalami perubahan selama empat tahap (tahun 1999, 2000, 2001,
dan 2002),konstitusi Indonesia masih jauh dari kesan rapih dan selesai. Walaupun
memang, pascaamandemen, kosntitusi Indonesa telah memberikan wajah
konstitusionalisme yang lebihbaik.

Setidaknya adat tiga faktor yang menyebabkan kesan yang masih jauh dari rapihdan
selesai. Pertama, jalur perubahan konstitusi didominasi oleh orang-orang dalam (orangsoeharto).
Peran penting tetap dimainkan oleh para pemimpin yang aktif dalam rezimotoritarian
sebelumnya yang kini bekerja di dalam lingkungan yang benar-bener kompetitif.Para
pemimpin ini dan mantan pemimpin oposisi yang sama-sama tergabung
dalamlembaga legislative setelah pemilu ternyata menempuh perubahan konstitusional
radikalsecara diam-diam. Perubahan konstitusi ini dilakukan tanpa membentuk komisi
konstitusiatau konvensi dan tanpa banyak berkonsultasi dengan badan-badan masyarakat
sipil ataurakyat secara umum. Konstitusi hasil revisipun jelas-jelas merupakan kerjaan para
politisi.

Kedua, urutan reformasi mendahulukan pemilu daripada perubahan


konstitusi.Dengan mempertimbangkan sejarah otoritarian Indonesia legitimasi pada
suara rakyat mungkin dipandang bisa memperkuat legislator yang baru terpilih sehingga
membuat merekatidak berani mengembangkan demokrasi sepenuhnya liberal.
Ketiga, reformasi konstitusi dilakukan selama beberapa tahun. Salah satu dari
empatamandemen besar konstitusi disahkan pada Oktober 1999, sedangkan yang terakhir
padaAgustus 2002. Namun sebagian perubahan politik terpenting terkandung dalam
peraturanpemerintah tentang kepartaian, pemilu, struktur pemerintahan, dan
pelimpahakankekuasaan/wewenang. Keempat amandemen ini dapat dipandang sebagai
syarat-syaratkonstitusional yang tidak dibakukan dalam dokumen resmi sehingga bisa
mengalami prosesamandemen lebih lanjut yang lebih ringan

Rumusan Masalah

a. Apa saja permasalahan Negara hukum dan konstitusionalisme timbul pasca


amandemen UUD NRI 1945 ?
b. Bagaiamana mengatasinya agar sejalan dengan semangat Negara hukum dan
konstitusionalisme Indonesia ?

Tujuan

a. untuk mengetahui apa saja permasalahan Negara hukum dan konstitusionalisme


timbul pasca amandemen UUD NRI 1945

b. untuk mengetahui bagaiamana mengatasinya agar sejalan dengan semangat Negara


hukum dan konstitusionalisme Indonesia
BAB 2

Pembahasan

Berangkat dari tiga faktor sebagaimana diuraikan dalam latar belakang,


dapatdikatakan bahwa perubahan konstitusi tidak dibarengi dengan desain dan cetak biru
yangtertata. Sehingga setelah UUD hasil perubahan berjalan kurang lebih 5 tahun,
eksistensiUUD 1945 kembali dipersoalkan. Konstitusi seakan menjadi “terdakwa”
ditengah carutmarutnya kondisi bangsa. Berbagai ketimpangan dan kelemahan desain yang
selama inidikhawatirkan oleh sejumlah kalangan, mulai bermunculan satu demi satu.

A Masalah Negara Hukum dan Konstitusionalisme Indonesia

Bertolak dari pemahaman di atas, dapat dikatakan bahwa secara


substansialkonstitusi Indonesia belum menyelesaikan beberapa hal. Dan disitulah lahir problem
konsepbagi negara hukum Indonesia dalam kaitannya dengan bengunan konstitusi.

Pertama Indonesia dalam bidang eksekutif mengatur sistem presdiensial. Namun


apabila dicermatidalam konstitusi yang ada saat ini, sistem presidensial yang ada di Indonesia
sangat kabur.Hal ini tercermin dari beberapa kewenangan yang dimiliki oleh Presiden yang
tidak sesuaidengan sistem presidensial. Dalam hal ini termasuk peran presiden dalam
legislasi yangternyata tidak mengikuti model bicameral yang selama ini dicita-citakan.

Sehingga dalam praktiknya dengan melihat kewenangan yang diberikan kepada


presiden selaku kepala negara dan kepala pemerintahan yang seharusnya otoritas
kewenangannya lebih tinggi karena dijamin oleh sistem pemerintahan
presidensial,senyatanya presiden harus kerja lebih ekstra untuk menghadapi gejolak politik di
tubuh parlemen. Presiden dalam menjalankan kewenangannya tersandra oleh politikus-politikus
diParlemen.Selain itu, perpaduan sistem presidensial dengan sistem multiparti juga menjadijuga
menjadi alasan terpuruknya siste presidensial di Indonesia. Scott Mainwaring
dalampenelitiannya mengungkapkan bahwa kombinasi antara presidensialisme dan sistem
multipartai yang terpecah belah tampak bertentangan dengan demokrasi yang stabil. Hal
inidisebabkan karena kombinasi ini mudah menimbulkan berbagai kesulitan dalam
hubunganantara presiden dan kongres.

Kedua, keberadaan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang tidak memiliki


kedudukan yang seimbang dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). DPD sebagai
perwakilan daerah dalam legislasi nasional hanya didesain setengah-setengah hal ini terlihatdari
pengebirian kewenangan DPD yang tidak dapat ikut dalam mengesahkan suatu
peraturan perundang-undangan meskipun rancanganan undang-undang tersebut merupakan
kepentingan daerah. Melalui konsep yang setengah-setengah ini check and
balancesterhadap DPR tidak berjalan.

Sejak awal, kehadiran DPD sebagaimana termaktub dalam Pasal 22D Undang-
Undang Dasar Negara RI Tahun 1945 (UUD 1945) tidaklah dirancang sebagai
suatulembaga legislatif yang ideal. Secara sederhana, posisi DPD dapat dikatakan serba
tanggung ksebagai sebuah lembaga yang dihadirkan dengan imaji besar. Ihwal fungsi
legislasi,misalnya, Pasal 22D Ayat (1) dan (2) UUD 1945, DPD memiliki otoritas terbatas
denganadanya frasa "dapat mengajukan" dan "ikut membahas" rancangan undang-undang
(RUU)yang terkait dengan hubungan pusat dan daerah. Fungsi sub-ordinat DPD kian jelas
karena dalam desain besar pembahasan RUU APBN dan RUU yang berkaitan dengan
pajak,pendidikan, dan agama, lembaga ini hanya diberi wewenang sempit, yaitu
sebatasmemberikan pertimbangan
.
Ketiga, sebelum perubahan UUD 1945, MPR mempunyai kedudukan
sebagailembaga tertinggi negara. Kepada lembaga MPR inilah Presiden, sebagai kepala negara
dansekaligus kepala pemerintahan, tunduk dan bertanggungjawab. Dalam lembaga ini
pulakedaulatan rakyat Indonesia dianggap sebagai pelaku sepenuhnya kedaulatan rakyat
itu.Dari lembaga tertinggi MPR inilah mandat kekuasaan kenegaraan dibagi-bagikan
kepadalembaga-lembaga tinggi negara lainnya, yang kedudukannya berada di bawahnya
sesuaiprinsip pembagian kekuasaan yang bersifat vertikal (distribution of power).

Namun, sekarang setelah perubahan UUD 1945 tidak dikenal lagi lembaga
tertingginegara. Pemangkasan wewenang MPR yang tidak lagi memilih presiden dan
tidakmenetapkan GBHN sebagai wujud nyata dari kedaulatan rakyat yang tidak lagi
dijalankanoleh MPR. Sehingga Keberadaan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang
ditempatkansama kedudukannya dengan lembaga negara lainnya seolah menjadi dilema
ketatanegaraantersendiri. Di satu sisi ingin memberikan corak sistem bicameral namun
disisi yang laindengan keberadaan MPR yang mempunyai fungsi melakukan perubahan UUD
terdapat satu cabang kekuasaan sebagai perwakilan rakyat. Sehingga terkesan menjadi
trikameral.

Keempat, walaupun Komisi Yudisial KY diletakkan dalam BAB IX UUD 1945, tetapi
tidak termasuk sebagai pelaku kekuasaan kehakiman. Karena menurut ketentuan
dalamPasal 24 ayat (1), “kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka
untukmenyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”. Sedangkan KY
tidakmenyelenggarakan peradilan yang dimaksud.

Keberadaan KY yang ditempatkan dalam BAB IX tentang kekuasaan


kehakimantersebut menimbukan kerancuan dalam penyelenggaraan kekuasaan kehakiman itu
sendiri.Pasalnya KY tidak mempunyai fungsi dan wewenang dalam menjalankan
kekuasaankehakiman seperti mengadakan sidang dalam suatu perkara tertentu. Disebutkan
dalam konstitusi bahwa KY hanya berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung
danmempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran
martabat serta perilaku hakim. Dengan kata lain KY berfungsi untuk mengawasi tindakan
hakim dalam rangka menjaga martabat dan keluhuran hakim.

B Mengatasi Kerancuan Negara Hukum dan Konstitusionalisme Indonesia


Berpangkal tolak dari problematika negara hukum yang muncul dipermukaan
pascadilakukannya amandemen UUD 1945 sebanyak empat kali maka upaya yang
dapatdilakukan untuk menegakkan negara hukum dan konstitusionalisme adalah sebagai berikut:

Pertama, mempertegas sistem presidensial Indonesia. Gagasan mempertegassistem


presidensial pada dasarnya merupakan salah satu agenda penting yang dirumuskanPAH I dalam
melakukan perubahan UUD 1945. Namun yang terjadi bukannya mempertegassistem
presidensial malah cenderung ke arah parlementer. Beberapa indikasinya adalahPresiden
sebagai kepala pemerintahan masih dilibatkan dalam pembentukan peraturanperundang-
undangan, padalah dalam sistem presidensial kekuasaan eksekutif dan legislatifseharusnya
terpisah dan presiden tidak diberikan kewenangan untuk ikut campur dalamproses
legislasi. Selain itu, dianutnya sistem multipartai yang lazimnya hanya dapat
dipasangkan dengan sistem parlementer.

Untuk mempertegas sistem presidensial maka hal yang harus dilakukan adalah
kewenanangan legislasi hanya ditempatkan di badan legislasi seperti DPR dan DPD. Dalamhal
ini presiden tidak boleh ikut campur tangang di dalamnya, presiden hanya
berhakmengusulkan rancangan peraturan perundang-undangan tapi tidak berhak
ikutmembahasnya. Namun setelah proses legislasi selesai dengan kesepakatan dalam
lembagaperwakilan tersebut naskah RUU yang sudah disepakati diberikan kepada presiden.
Presidendiberikan hak veto untuk menolak jikalau RUU tersebut merugikan kepentingan
masyarakatdan lekat dengan unsur. muatan politis parlemen. Disinilah letak fungsi check and
balancesantara eksekutif dan legislative

Selain itu, sistem presidensial tidak dapat dihadapkan dengan sistem multipartai.Jika
hal ini dipaksakan maka akan mengakibatkan instabilitas pemerintahan presidensial karena
kuatnya cengkraman politik di dalamnya. Oleh karenanya harus diatur sedemikianrupa
sehingga multi partai tersebut dapat disederhanakan. Salah satunya dengan melakukan
peningkatan presentase ambang batas pemilihan, baik parliamentary threshold
maupunelectoral threshold.

Kedua, dalam rangka menata lembaga legislatif maka perlu


dilakukannyapembentukan strong bicameral. Agar terbentuk strong bicameral maka
DPD sebagaiperwakilan daerah harus ditempatkan sebagai senate seperti di
Amerika.DPD harus mempunyai fungsi dan kewenangan yang sama dengan DPR
dalam proses legislasinasional. DPD tidak hanya mengusulkan RUU kepada DPR dan
ikut membahas padapembicaraan tingkat 1 (satu) saja tetapi juga turut andil dalam
pembicaraan tingkat 2 (dua)yaitu dalam proses pengesahan. Sehingga dengan kedudukan yang
seimbang ini maka akantercipta check and balances yang efektif.

Ketiga, Kemudian dimana letak MPR dalam konsep ini?, karena MPR
sebagaimanadisebutkan dalam konstitusi Pasal 2 ayat (1) terdiri dari anggota DPR dan DPD
yang dipilihmelalui pemilihan umum, maka seyogyanya MPR hanya sebagai joint
session yaitupertemuan antara DPR dan DPD dalam hal tertentu saja. Sehingga MPR bukan lagi
lembagatinggi melainkan terjadi hanya jika dilakukannya pertemuan anggota DPR dan DPD
untukmembahas perubahan UUD 1945.
Keempat, melihat kewenangan Komisis Yudisal (KY) yang tertuang dalam UUD
1945yang memiliki wewenang dalam mengusulkan pengangkatan hakim agung dan
pengasawanterhadap hakim dalam rangka menjaga martabat hakim tidak tepat jika
ditempatkan dalam BAB kekuasaan kehakiman. Sehingga KY harus dipisahkan dari bab
tersebut daan dibuatbab tesendiri tentang Komisi Negara. Pembantukan bab tersebut akan
memperjelas susunankelembagaan negara dalam konsep negara hukum.
BAB 3

Penutup

KESIMPULAN

Berdasarkan pemaparan yang telah diuraikan di atas, maka dapat


disimpulkanbahwa pertama, kendati sudah mengalami perubahan sebanyak empat tahap,
konstitusi hasilamandemen belum sejalan dengan konsep bagi negara hukum Indonesia dalam
kaitannyadengan bengunan konstitusi. Hal ini terlihat dalam beberapa hal, seperti kesepakatan
untukmenggunakan sistem presidensial namun presiden masih dilibatkan untuk
membentukperaturan perundang-undangan yang sejatinya adalah domain DPR. Selain
itu konsepkelembagaan negara yang cacat, seperti DPD yang sedari awal hanya dirancang
secarasetengah-setengah, lembaga MPR yang tidak lagi sebagai lembaga tertinggi
negaramelainkan hanya sejajar dengan lembega tinggi lainnya dan KY yang diposisikan dalam
BABIX UUD 1945 tentang kekuasaan kehakiman tetapi tidak menjalankan proses peradilan.

Kedua, dalam rangka mengatasi problematika yang muncul, maka


ditetapkanlangkah-langkah sebagai berikut, sistem presdiensial harus dipertegas
menghilangkanketerlibatan presiden dalam membentuk dan membahas undang-undang,
presiden hanyaberhak mengusulkan rancangan undang-undang sedangkan pembahasan adalah
DPR danDPD. Selain itu sistem presidensial harus dipasangkan dengan sistem multi
partaisederhana, akan lebih baik jika dengan dwipartai. Kemudian penataan lembaga
Negara harus diperbaiki dengan menempatkan DPD sebagai senate dengan diberikan
kewenangandan fungsi yang seimbang dengan DPR, sehingga check and balances
berjalan. KarenaDPD mempunyai kedudukan yang seimbang dengan DPR maka MPR
dikontruksi sebagaiforum joint session. Selanjutnya KY sebagai komisi harus didudukan diluar
BAB kekuasaankehakiman dan dibentuk BAB tentang komisi negara dengan kewenangan yang
tetap samayaitu mengawasi hakim dalam rangkan menjaga martabat hakim.
Daftar Pustaka

Ashiddiqie, Jimly, Menuju Negara Hukum yang Demokratis, Jakarta, Sekretariat Jenderal dan
Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2008.

Perkembangan dan Konsoldasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, Jakarta, Sinar Grafika, Edisi
Kedua, 2010.al- Arif, M. Yasin, “Anomali Sistem Pemerintahan Presidensial Pasca Amandemen
UUD 1945” Jurnal Hukum Ius Quia Iustum, No. 2, Vol. 22, April 2015.

Horowitz, Donald, Perubahan Konstitusi dan Demokrasi di Indonesia, terjemahandari


Constitusional Change and Democracy in Indonesia, alih bahasa: Daryanto,Yogyakarta,
Pustaka Pelajar, 2014.

Huda, Ni’matul, UUD 1945 dan Gagasan Amandemen Ulang, Rajawali Press,Jakarta
2008.

Dinamika Ketatanegaraan Indonesia dalam Putusan MahkamahKonstitusi, Yogyakarta, FH


UII Press, 2011.

Isra, Saldi “Masa Depan DPD”, Opini Harian Kompas, 6 April 2017

Mochtar, Zainal Arifin,”Negara Hukum Indonesia dan Problematikanya”,


makalahdisampaikan pada kuliah umum pedana Magister Hukum UII, November 2015

Mainwaring, Scott, Presidensialisme di Amerika Latin, dalam Arend Lijpart, Sistem


Pemerintahan Parlementer dan Presidensial, diterjemahkan oleh Ibrahim R.dkk,cet.1,Pers,1995

martabat serta perilaku hakim.


Dengan kata lain KY berfungsi
untuk mengawasi tindakan
hakim dalam rangka menjaga martabat
dan keluhuran hakim.
Mengatasi Kerancuan Negara Hukum
dan Konstitusionalisme Indonesia
Berpangkal tolak dari problematika
negara hukum yang muncul
dipermukaan pasca
dilakukannya amandemen UUD
1945 sebanyak empat kali maka
upaya yang dapat
dilakukan untuk menegakkan negara
hukum dan konstitusionalisme adalah
sebagai berikut:
Pertama, mempertegas sistem
presidensial Indonesia. Gagasan
mempertegas
sistem presidensial pada dasarnya
merupakan salah satu agenda penting
yang dirumuskan
PAH I dalam melakukan perubahan
UUD 1945. Namun yang terjadi
bukannya mempertegas
sistem presidensial malah cenderung
ke arah parlementer. Beberapa
indikasinya adalah
Presiden sebagai kepala
pemerintahan masih dilibatkan
dalam pembentukan peraturan
perundang-undangan, padalah dalam
sistem presidensial kekuasaan
eksekutif dan legislatif
seharusnya terpisah dan presiden
tidak diberikan kewenangan untuk
ikut campur dalam
proses legislasi. Selain itu,
dianutnya sistem multipartai yang
lazimnya hanya dapat
dipasangkan dengan sistem
parlementer.
Untuk mempertegas sistem
presidensial maka hal yang harus
dilakukan adalah
kewenanangan legislasi hanya
ditempatkan di badan legislasi seperti
DPR dan DPD. Dalam
hal ini presiden tidak boleh ikut
campur tangang di dalamnya,
presiden hanya berhak
mengusulkan rancangan peraturan
perundang-undangan tapi tidak
berhak ikut
membahasnya. Namun setelah proses
legislasi selesai dengan kesepakatan
dalam lembaga
perwakilan tersebut naskah RUU yang
sudah disepakati diberikan kepada
presiden. Presiden
diberikan hak veto untuk menolak
jikalau RUU tersebut merugikan
kepentingan masyarakat
dan lekat dengan unsur muatan politis
parlemen. Disinilah letak fungsi check
and balances
antara eksekutif dan legislatif.
Selain itu, sistem presidensial tidak
dapat dihadapkan dengan sistem
multipartai.
Jika hal ini dipaksakan maka akan
mengakibatkan instabilitas
pemerintahan presidensial
karena kuatnya cengkraman politik
di dalamnya. Oleh karenanya harus
diatur sedemikian
rupa sehingga multipartai tersebut
dapat disederhanakan. Salah satunya
dengan melakukan
peningkatan presentase ambang
batas pemilihan, baik parliamentary
threshold maupun
electoral threshold.
Kedua, dalam rangka menata
lembaga legislatif maka perlu
dilakukannya
pembentukan strong bicameral.
Agar terbentuk strong bicameral
maka DPD sebagai
perwakilan daerah harus
ditempatkan sebagai senate seperti
di Amerika.DPD harus
mempunyai fungsi dan
kewenangan yang sama dengan
DPR dalam proses legislasi
nasional. DPD tidak hanya
mengusulkan RUU kepada DPR
dan ikut membahas pada
pembicaraan tingkat 1 (satu) saja
tetapi juga turut andil dalam
pembicaraan tingkat 2 (dua)
yaitu dalam proses pengesahan.
Sehingga dengan kedudukan yang
seimbang ini maka akan
tercipta check and balances yang
efektif.
Ketiga, Kemudian dimana letak MPR
dalam konsep ini?, karena MPR
sebagaimana
disebutkan dalam konstitusi Pasal 2
ayat (1) terdiri dari anggota DPR dan
DPD yang dipilih
melalui pemilihan umum, maka
seyogyanya MPR hanya sebagai
joint session yaitu
pertemuan antara DPR dan DPD
dalam hal tertentu saja. Sehingga
MPR bukan lagi lembaga
tinggi melainkan terjadi hanya jika
dilakukannya pertemuan anggota
DPR dan DPD untuk
membahas perubahan UUD 1945.
Keempat, melihat kewenangan
Komisis Yudisal (KY) yang tertuang
dalam UUD 1945
yang memiliki wewenang dalam
mengusulkan pengangkatan hakim
agung dan pengasawan
terhadap hakim dalam rangka
menjaga martabat hakim tidak tepat
jika ditempatkan dalam
BAB kekuasaan kehakiman. Sehingga
KY harus dipisahkan dari bab
tersebut daan dibuat
bab tesendiri tentang Komisi Negara.
Pembantukan bab tersebut akan
memperjelas susunan
kelembagaan negara dalam konsep
negara hukum.
Penutup
Berdasarkan pemaparan yang telah
diuraikan di atas, maka dapat
disimpulkan
bahwa pertama, kendati sudah
mengalami perubahan sebanyak empat
tahap, konstitusi hasil
amandemen belum sejalan dengan
konsep bagi negara hukum Indonesia
dalam kaitannya
dengan bengunan konstitusi. Hal ini
terlihat dalam beberapa hal, seperti
kesepakatan untuk
menggunakan sistem presidensial
namun presiden masih dilibatkan
untuk membentuk
peraturan perundang-undangan
yang sejatinya adalah domain
DPR. Selain itu konsep
kelembagaan negara yang cacat,
seperti DPD yang sedari awal hanya
dirancang secara
setengah-setengah, lembaga MPR
yang tidak lagi sebagai lembaga
tertinggi negara
melainkan hanya sejajar dengan
lembega tinggi lainnya dan KY yang
diposisikan dalam BAB
IX UUD 1945 tentang kekuasaan
kehakiman tetapi tidak menjalankan
proses peradilan.
Kedua, dalam rangka mengatasi
problematika yang muncul, maka
ditetapkan
langkah-langkah sebagai berikut,
sistem presdiensial harus
dipertegas menghilangkan
keterlibatan presiden dalam
membentuk dan membahas undang-
undang, presiden hanya
berhak mengusulkan rancangan
undang-undang sedangkan
pembahasan adalah DPR dan
DPD. Selain itu sistem
presidensial harus dipasangkan
dengan sistem multi partai
sederhana, akan lebih baik jika
dengan dwipartai. Kemudian
penataan lembaga negara
harus diperbaiki dengan menempatkan
DPD sebagai senate dengan diberikan
kewenangan
dan fungsi yang seimbang dengan
DPR, sehingga check and balances
berjalan. Karena
DPD mempunyai kedudukan yang
seimbang dengan DPR maka MPR
dikontruksi sebagai
forum joint session. Selanjutnya KY
sebagai komisi harus didudukan diluar
BAB kekuasaan
kehakiman dan dibentuk BAB tentang
komisi negara dengan kewenangan
yang tetap sama
yaitu mengawasi hakim dalam
rangkan menjaga martabat hakim.
Daftar Pustaka
Ashiddiqie, Jimly, Menuju
Negara Hukum yang
Demokratis, Jakarta, Sekretariat
Jenderal dan Kepaniteraan
Mahkamah Konstitusi, 2008.
_____________, Perkembangan
dan Konsoldasi Lembaga
Negara Pasca Reformasi,
Jakarta, Sinar Grafika, Edisi
Kedua, 2010.
al- Arif, M. Yasin, “Anomali
Sistem Pemerintahan
Presidensial Pasca Amandemen
UUD 1945” Jurnal Hukum Ius
Quia Iustum, No. 2, Vol. 22,
April 2015.
Horowitz, Donald, Perubahan
Konstitusi dan Demokrasi di
Indonesia, terjemahan
dari Constitusional Change
and Democracy in Indonesia,
alih bahasa: Daryanto,
Yogyakarta, Pustaka Pelajar,
2014.
Huda, Ni’matul, UUD 1945
dan Gagasan Amandemen
Ulang, Rajawali Press,
Jakarta 2008.
______________, Dinamika
Ketatanegaraan Indonesia
dalam Putusan Mahkamah
Konstitusi, Yogyakarta, FH UII
Press, 2011.
Isra, Saldi “Masa Depan DPD”,
Opini Harian Kompas, 6 April
2017
Mochtar, Zainal Arifin,”Negara
Hukum Indonesia dan
Problematikanya”, makalah
disampaikan pada kuliah umum
pedana Magister Hukum UII,
November 2015

Anda mungkin juga menyukai