Anda di halaman 1dari 14

PAPER TUTORIAL

PERLUASAN INFEKSI ODONTOGEN

Pembimbing:
Prof. drg. Mei Syafriadi, MDSc,PhD

Disusun oleh:
Rizky Kurniawan
161610101103

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI


UNIVERSITAS JEMBER

2021
I

BAB 1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Infeksi odontogen merupakan penyakit yang paling sering ditangani oleh
dokter gigi. Kondisi ini menimbulkan rasa sakit, ketidaknyamanan serta kesulitan
membuka mulut, sehingga menyulitkan aktivitas fungsi rongga mulut. Peningkatan
infeksi odontogen pada negara berkembang disebabkan kekurangan gizi,
kebersihan rongga mulut yang buruk, konsumsi tembakau, mengunyah pinang dan
merokok. Infeksi odontogen juga dapat menyebar ke ruang di sekitar leher bagian
dalam dan dapat berakibat fatal atau mengancam jiwa sehingga memerlukan
diagnosis awal. Penatalaksanaan infeksi ini meliputi penatalaksanaan jalan nafas,
pemberian antibiotik dan tindakan bedah. Tindakan pencegahan lebih baik daripada
mengobati, pencegahan infeksi odontogen dapat dicapai dengan menciptakan
kesadaran mengenai komplikasi yang ditimbulkan akibat kebersihan mulut dan gigi
yang buruk dengan melakukan pemeriksaan rutin di tingkat masyarakat. Paper ini
menjelaskan mengenai infeksi odontogen pada periodontal dengan perluasan ke
ruang sekitarnya secara umumnya.
1.2 Rumusan Masalah
Mahasiswa mampu memahami mampu memahami tentang infeksi odontogen
pada periodontal dengan perluasan ke ruang sekitarnya
1.3 Tujuan
Penyusunan paper ini bertujuan sebagai tugas semester antara pengganti
tutorial.
II

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Infeksi Odontogen


Infeksi odontogen merupakan infeksi rongga mulut yang paling sering
terjadi. Infeksi odontogenik dapat merupakan awal atau kelanjutan penyakit
periodontal, perikoronal, trauma, atau infeksi pasca pembedahan (Wazir dkk,
2013).

2.1.1 Etiologi
Infeksi odontogen disebabkan oleh bakteri yang merupakan flora
normal dalam mulut, yaitu bakteri dalam plak, dalam sulkus gingiva, dan
mukosa mulut. Bakteri yang utama ditemukan adalah bakteri kokus aerob
gram positif, kokus anaerob gram positif dan batang anaerob gram negatif.
Bakteri tersebut dapat menyebabkan karies, gingivitis, dan periodontitis jika
mencapai jaringan yang lebih dalam melalui nekrosis pulpa dan pocket
periodontal yang dalam sehingga akan terjadi infeksi odontogen (Ariji dkk,
2002).
Infeksi odontogen biasanya disebabkan oleh bakteri anaerob. Lebih dari
setengah kasus infeksi odontogen yang ditemukan yaitu sekitar 60%
disebabkan oleh bakteri anaerob. Organisme penyebab infeksi odontogen
yang sering ditemukan pada pemeriksaan kultur adalah alpha-hemolytic
Streptococcus, Peptostreptococcus, Peptococcus, Eubacterium, Bacteroides
(Prevotella) melaninogenicus, dan Fusobacterium. Bakteri aerob sendiri
jarang menyebabkan infeksi odontogen yaitu hanya sekitar 5%. Bila infeksi
odontogen disebabkan oleh bakteri aerob, biasanya organisme penyebabnya
adalah species Streptococcus. Infeksi odontogen juga banyak yang
disebabkan oleh infeksi campuran bakteri aerob dan anaerob yaitu sekitar
35% (Ariji dkk, 2002).
III

2.1.2 Patogenesis

Penyebaran infeksi odontogenik akan melalui tiga tahap yaitu tahap


abses dentoalveolar, tahap yang menyangkut spasium dan tahap lebih lanjut
yang merupakan tahap komplikasi. Pada abses rahang dapat melalui foramen
apikal atau marginal gingival. Penyebaran infeksi melalui foramen apikal
berawal dari kerusakan gigi atau karies, kemudian terjadi proses inflamasi di
sekitar periapikal di daerah membran periodontal berupa suatu periodontitis
apikalis. Rangsangan yang ringan dan kronis menyebabkan membran
periodontal di apikal mengadakan reaksi membentuk dinding untuk
mengisolasi penyebaran infeksi. Respon jaringan periapikal terhadap iritasi
tersebut dapat berupa periodontitis apikalis yang supuratif atau abses
dentoalveolar (Topazian, 2002).
Penjalaran infeksi odontogen akibat dari gigi yang nekrosis dapat
menyebabkan abses, abses ini dapat dibagi menjadi dua yaitu penjalaran yang
tidak berat sehingga akan memberikan prognosis yang baik dan penjalaran
yang berat yang akan memberikan prognosis yang tidak baik. Adapun yang
termasuk penjalaran tidak berat adalah serous periostitis, abses subperiosteal,
abses submukosa, abses subgingiva, dan abses subpalatal, sedangkan yang
termasuk penjalaran yang berat antara lain abses perimandibular,
osteomielitis, dan phlegmon (Green, 2001).

2.1.3 Klasifikasi

Infeksi odontogenik diklasifikasikan menjadi Group 1 – 4 (Kaneko dkk,


2018):

• Group 1 (periodontitis): Sekuen infeksi pulpitis termasuk periodontitis


apikal dan periodontitis marginalis yang dapat menyebabkan penyakit
lain seperti abses gingiva, abses alveolar, dan abses palatal.
• Group 2 (perikoronitis): Kondisi ini terutama terkait dengan gigi
impaksi molar ketiga. Kemerahan, bengkak, dan nanah diamati di
sekitar mahkota gigi impaksi molar ketiga. Formasi abses jarang terjadi.
IV

Perikoronitis dapat berkembang menjadi inflamasi rahang dan


phlegmon. Jika peradangan meluas ke ruang di sekitar tulang rahang,
diamati akan sulit membuka mulut dan rasa sakit saat menelan.
• Group 3 (radang rahang) : Kondisi termasuk osteitis dan osteomyelitis
yang dapat berkembang dari periodontitis (Group 1) dan pericoronitis
(Group 2). Kondisi ini lebih parah daripada Group 1 atau 2 yang
memerlukan drainase subperiosteal dan penggunaan antibiotik yang
diberikan dengan suntikan diperlukan. Osteomielitis dapat menjadi akut,
kronis, atau sklerotik dan sering terjadi pada mandibula.
• Group 4 (phlegmon pada daerah tulang rahang): Proses peradangan
menyebar dari Group 1-3. Ini termasuk infeksi ruang seperti infeksi
sublingual, submandibular, submental, pterygomandibular, lateral
pharyngeal, dan pharyngeal spaces. Pentingnya drainase di rongga ini.
Antibiotik yang diberikan dengan suntikan banyak digunakan pada
pasien.
2.2 Infeksi Facial Spaces
Facial adalah jaringan ikat fibrous yang membungkus otot dan memisahkan
suatu otot dengan otot yang lain. Fascia tersusun atas lapisan-lapisan jaringan ikat
tipis yang disebut dengan facial planes. Ruang antara fascia dan fascial planes ini
merupakan potensial spaces yang sebenarnya tidak ada pada keadaan normal, tetapi
bila perlekatan jaringan ikat ini rusak oleh karena proses penyebaran infeksi, maka
ruang ini bisa terisi dan membesar oleh karena adanya produk radang. Potensial
space ini disebut dengan facial spaces (Peterson, 2012).
Terdapat facial space primer dan sekunder. Fascial space primer merupakan
fascial space yang terlibat dalam penyebaran infeksi dari gigi dimana daerah yang
terlibat letaknya berdekatan dengan tulang rahang yang menyangga gigi-geligi
sehingga pada umumnya terlibat secara langsung pada infeksi odontogen. Facial
space bisa menjadi tempat penyebaran infeksi odontogen baik oleh area gigi-gigi
rahang atas maupun rahang bawah. Facial space primer, terdiri dari Canine space
infection, Buccal space infection, Infratemporal space infection, Submental space
infection,Sublingual space infection dan Submandibular Space Infection.
V

Sedangkan fascial space sekunder merupakan infeksi yang meluas dari fascial space
primer dimana letak dari fascial space sekunder lebih posterior dari fascial space
primer. Fascial space sekunder meliputi Submasseteric Space Infection,
Pterygomandibular Space Infection, Lateral Pharyngeal Space Infection, Retro
Pharyngeal Space Infection, Prevertebral Space Infection, dan Temporal Space
Infection. Temporal space adalah kelanjutan dari ruang superior infratemporal.
Ruang ini dibagi menjadi superficial dan deep temporal spaces.
Temporal space superfisial lateral dibatasi oleh fasia temporal dan medial
oleh otot temporalis, temporal spaces dapat ditemukan antara permukaan medial
dari otot temporalis dan tulang temporal.
Infeksi pada temporal space disebabkan oleh penyebaran infeksi dari
infratemporal space, dimana kedua bagian itu berhubungan. Gejala klinis ditandai
dengan nyeri, edema pada fascia temporal, trismus (otot temporalis dan
pterygoideus medial yang terlibat), dan nyeri selama palpasi dari edema (Fragiskos,
2007 ).

Gambar 1. Berbagai rute penyebaran untuk infeksi odontogenik


(Christopher & Robert. 2015)
VI

BAB 3. DISKUSI

Perluasan infeksi odontogen akibat dari gigi yang nekrosis dapat menyebabkan
abses. Abses yang dibiarkan dapat menyebar ke facial spaces dan menyebabkan
infeksi odontogen group 4 berdasarkan klasifikasi Kaneko. Perluasan abses dapat
diklasifikasikan berdasarkan facial space yang terkena sebagai berikut:

3.1 Abses Subperiosteal


Abses subperiosteal ditandai dengan selulitis jaringan lunak mulut dan daerah
maksilofasial. Pembengkakan yang menyebar ke ekstra oral, warna kulit sedikit
merah pada daerah gigi penyebab. Penderita merasakan sakit yang hebat, berdenyut
dan dalam serta tidak terlokalisir. Pada rahang bawah bila berasal dari gigi premolar
atau molar pembengkakan dapat meluas dari pipi sampai pinggir mandibula, tetapi
masih dapat diraba. Gigi penyebab sensitif pada sentuhan atau tekanan.

Gambar 2. Ilustrasi gambar Abses subperiosteal dengan lokalisasi di daearah


lingual dan Tampakan Klinis Abses Subperiosteal (Fragiskos, 2007).

3.2 Abses Fossa Kanina


Fosa kanina sering merupakan tempat infeksi yang bersal dari gigi rahang
atas pada regio ini terdapat jaringan ikat dan lemak, serta memudahkan terjadinya
akumulasi cairan jaringan. Gejala klinis ditandai dengan pembengkakan pada muka,
kehilangan sulkus nasolabialis dan edema pelupuk mata bawah sehingga tampak
tertutup. Bibir atas bengkak, seluruh muka terasa sakit disertai kulit yang tegang
berwarna merah.
VII

Gambar 3. Ilustrasi abses Fossa kanina danTampakan klinis Abses Fossa kanina
(Fragiskos, 2007).

3.3 Abses Bukalis


Spasium bukal berada diantara m. masseter, m. pterigoidus interna dan m.
Businator. Berisi jaringan lemak yang meluas ke atas ke dalam diantara otot
pengunyah, menutupi fosa retrozogomatik dan spasium infratemporal. Abses dapat
berasal dari gigi molar kedua atau ketiga rahang atas masuk ke dalam spasium bukal.
Gejala klinis abses ini terbentuk di bawah mukosa bukal dan menonjol ke
arah rongga mulut. Pada perabaan tidak jelas ada proses supuratif, fluktuasi negatif
dan gigi penyebab kadang-kadang tidak jelas. Masa infeksi/pus dapat turun ke
spasium terdekat lainnya. Pada pemeriksaan estraoral tampak pembengkakan difus,
tidak jelas pada palpasi.

Gambar 4. Ilustrasi gambar memperlihatkan penyebaran abses lateral ke


muskulus buccinator dan Tampakan Klinis (Fragiskos, 2007).
VIII

3.4 Abses Infratemporal


Abses ini jarang terjadi, tetapi bila terjadi sangat berbahaya dan sering
menimbulkan komplikasi yang fatal. Spasium infratemporal terletak di bawah
dataran horisontal arkus-zigomatikus dan bagian lateral di batasi oleh ramus
mandibula dan bagian dalam oleh m.pterigoid interna. Bagian atas dibatasi oleh
m.pterigoid eksternus. Spasium ini dilalui a.maksilaris interna dan n.mandibula,
milohioid, lingual, businator dan n.chorda timpani. Berisi pleksus venus pterigoid
dan juga berdekatan dengan pleksus faringeal.

Gambar 5. Ilustrasi Gambar Penyebaran Abses Ke Rongga Infratemporal Dan


Gambaran Klinis (Fragiskos, 2007).

3.5 Abses Submasseter


Spasium submasseter berjalan ke bawah dan ke depan diantara insersi otot
masseter bagian superfisialis dan bagian dalam. Spasium ini berupa suatu celah
sempit yang berjalan dari tepi depan ramus antara origo m.masseter bagian tengah
dan permukaan tulang. Keatas dan belakang antara origo m.masseter bagian tengah
dan bagian dalam. Disebelah belakang dipisahkan dari parotis oleh lapisan
tipislembar fibromuskular. Infeksi pada spasium ini berasal dari gigi molar tiga
rahang bawah, berjalan melalui permukaan lateral ramus ke atas spasium ini.
Gejala klinis dapat berupa sakit berdenyut diregio ramus mandibula bagian
dalam, pembengkakan jaringan lunak muka disertai trismus yang berjalan cepat,
toksik dan delirium. Bagian posterior ramus mempunyai daerah tegangan besar dan
sakit pada penekanan.
IX

Gambar 6. Ilustrasi Gambar Menunjukkan Penyebaran Abses Ke Daerah


Submasseter Dan Gambaran Klinis (Fragiskos, 2007).

3.6 Abses Submandibula


Spasium abses terletak dibagian bawah m.mylohioid yang memisahkannya
dari spasium sublingual. Lokasi ini di bawah dan medial bagian belakang
mandibula. Dibatasi oleh m.hyoglosus dan m.digastrikus dan bagian posterior oleh
m.pterigoid eksternus. Berisi kelenjar ludah submandibula yang meluas ke dalam
spasium sublingual. Juga berisi kelenjar limfe submaksila. Pada bagian luar ditutup
oleh fasia superfisial yang tipis dan ditembus oleh arteri submaksilaris eksterna.
Infeksi pada spasium ini dapat berasal dari abses dentoalveolar, abses
periodontal dan perikoronitis yang berasal dari gigi premolar atau molar mandibula.

Gambar 7. Ilustrasi gambar penyebaran dari abses ke daerah submandibular di


bawah muskulus mylohyoid dan Gambaran klinis (Fragiskos, 2007).

3.7 Abses Sublingual


Spasium sublingual dari garis median oleh fasia yang tebal, terletak diatas
m.milohioid dan bagian medial dibatasi oleh m.genioglosus dan lateral oleh
permukaan lingual mandibula.
X

Gejala klinis ditandai dengan pembengkakan dasar mulut dan lidah terangkat,
bergerser ke sisi yang normal. Kelenjar sublingual aan tampak menonjol karena
terdesak oleh akumulasi pus di bawahnya. Penderita akan mengalami kesulitan
menelen dan terasa sakit.

Gambar 8. Perkembangan abses di daerah sublingual dan Pembengkakan mukosa


pada dasar mulut dan elevasi lidah ke arah berlawanan (Fragiskos, 2007).

3.8 Abses Submental


Spasium ini terletak diantara m.milohioid dan m.plastima. di depannya
melintang m.digastrikus, berisi kelenjar limfe submental. Perjalanan abses
kebelakang dapat meluas ke spasium mandibula dan sebaliknya infeksi dapat
berasal dari spasium submandibula. Gigi penyebab biasanya gigi anterior atau
premolar.
Gejala klinis ditandai dengan selulitis pada regio submental. Tahap akhir akan
terjadi supuratif dan pada perabaan fluktuatif positif. Pada pemeriksaan intra oral
tidak tampak adanya pembengkakan. Kadang-kadang gusi disekitar gigi penyebab
lebih merah dari jaringan sekitarnya.

Gambar 9. Ilustrasi penyebaran abses ke daerah submental dan Tampakan klinis


(Fragiskos, 2007).
XI

3.9 Abses Parafaringeal


Spasium parafaringeal berbentuk konus dengan dasar kepala dan apeks
bergabung dengan selubung karotid. Bagian luar dibatasi oleh muskulus pterigoid
interna dan sebelah dalam oleh muskulus kostriktor. Sebelah belakang oleh
glandula parotis, muskulus prevertebalis dan prosesus stiloideus serta struktur yang
berasal dari prosesus ini. Kebelakang dari spasium ini merupakan lokasi arteri
karotis, vena jugularis dan nervus vagus, serta sturktur saraf spinal, glosofaringeal,
simpatik, hipoglosal dan kenjar limfe.
Infeksi pada spasium ini mudah menyebar keatas melalui berbagai foramina
menuju bagian otak. Kejadian tersebut dapat menimbulkan abses otak, meningitis
atau trombosis sinus. Bila infeksi berjalan ke bawah dapat melalui selubung karotis
sampai mediastinuim.

Gambar 9. Ilustrasi penyebaran abses parafaringeal dan Tampakan klinis (Lizar,


2017).
XII

BAB 4. KESIMPULAN

Infeksi odontogen merupakan infeksi rongga mulut yang paling sering terjadi
yang disebabkan oleh bakteri yang merupakan flora normal dalam mulut, yaitu
bakteri dalam plak, dalam sulkus gingiva, dan mukosa mulut.

Infeksi facial space yang paling sering terjadi yaitu infeksi pada ruang
submandibular atau abses submandibular. Facial spaces merupakan potential
spaces yang sebenarnya tidak ada pada keadaan normal, tetapi bila perlekatan
jaringan ikat ini rusak oleh karena proses penyebaran infeksi, maka ruang ini bisa
terisi dan membesar oleh karena adanya produk radang. Facial spaces primer yang
tidak ditangani dapat meluas menjadi fascial spaces sekunder.
XIII

DAFTAR PUSTAKA

A. W. Green, E. A. Flower dan N. E. New. 2001. Mortality Associated with


Odontogenic Infection!.British Dental journal.
Ariji Y, Gotoh M, Kimura Y, Naitoh M, Kurita K ,Natsume N, Ariji E. 2002.
Odontogenic Infection Pathway to The Submandibular Space: Imaging
Assessment.
Christopher J. H, Robert M. L. 2015. Atlas of Operative Oral and Maxillofacial
Surgery. Hoboken, United States. Chapter 10.
Fachruddin, D. 2008. Abses leher dalam. Dalam: Iskandar, M. Soepardi, AE. Buku
ajar ilmu penyakit telinga hidung tenggorok. Edisi ke 7. Jakarta: Balai
Penerbit FK-UI.
Fragiskos DF. 2007. Odontogenic infections. In: Fragiskos DF, editor. Oral Surgery.
2nd. Heidelberg, Germany: Springer-Verlag;. pp. 205–242.
Kaneko, A, Aoki, T & Ikeda, F 2018, 'The 2016 JAID/JSC guidelines for clinical
management of infectious disease −Odontogenic infections', Journal of
Infection and Chemoteraphy, vol. 24
Lizar, E. N., Yotosudarmo, Y., & Imanto, M. 2017. Abses Parafaringeal,
Submandibular dan Subtracheal dengan Komplikasi Fistula Faringokutan.
Jurnal Majority, 6(3), 69-74.
Miloro, Michael, and Larry J. Peterson. 2012. Peterson's principles of oral and
maxillofacial surgery. Shelton, CT: People's Medical Pub. House-USA.
Topazian RG, Golberg MH. 2002. Oral and maxillofacial infection. 4th edition.
Philadhelpia : WB saunders company. p.159-163, 192-4.
Wazir S, Khan M, Mansoor N, Wazir A. 2013. Odontogenic fascial space infections
in pregnancy - a study. Pakistan Oral & Dental Journal: 33(1); p.17-22

Anda mungkin juga menyukai