Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
Hak Bangsa
Hak Pengelolaan
Hak
Penguasaan Hak Ulayat
Tanah
Hak Tanggungan
Privat
Hak Milik, HGU, HGB, HP, Hak Sewa Untuk
Bangunan, Hak Membuka Tanah, Hak Gadai,
Hak Usaha Bagi hasil, Hak Menumpang
Hak atas penguasaan tanah berisi serangkaian wewenanag, kewajiban, dan atau
larangan bagi pemegang untuk berbuat sesuatu mengenai tanah yang dikuasai/pemilik hak
atas tanah. Memberikan wewenang kepada pemnegang haknya untuk mempergunakan atau
mengembil manfaat dari tanah yang dihakinya.
Publik
Hak Bangsa
Hak bangsa adalah hak dari bangsa Indonesia atas seluruh bumi, air dan ruang
angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya merupakan
kekayaan nasional (Pasal 1 UUPA No. 5 Tahun 1960).
Hak Pengelolaan
Hak pengelolaan atas tanah adalah hak menguasai dari Negara yang kewenangan
pelaksanaannya sebagian dilimpahkan kepada pemegangnya. Berdasarkan Pasal 41
pada UUPA No. 5 Tahun 1960, hak pakai adalah hal menggunakan dan/atau
memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh Negara atau tanah milik
orang lain.
Hak Ulayat
Hak ulayat adalah hak masyarakat hukum adat terhadap tanah dan perairan serta
isinya yang ada di wilayahnya berupa wewenang menggunakan dan mengatur segala
sesuatu yang berhubungan dengan tanah dan perairan serta lingkungan wilayahnya
dibawah pimpinan kepala adat.
Privat
Hak Milik
Hak milik adalah hak turun temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang
atas tanah (Pasal 20 ayat 1 UUPA No. 5 Tahun 1960).
Hak Guna Usaha (HGU)
Hak Guna Usaha (HGU) adalah hak untuk menggunakan tanah yang dikuasai
langsung oleh Negara (Pasal 28 ayat 1 UUPA No. 5 Tahun 1960), dalam jangka
waktu sebagai mana tersebut dalam Pasal 29 UUPA, guna pertanian, perikanan atau
peternakan.
2. Bagaimanakah perbedaan proses peralihan hak atas tanah beserta bangunan (rumah)
yang ada di atasnya, dalam hal saudara membeli rumah yang dikelola oleh Perum
Perumnas dengan yang dikelola oleh Real Estate?
Perubahan hak atas tanah beserta bangunannya yang dikelola oleh Perum Perumnas
Dalam rangka eksekusi Hak Tanggungan apabila debitor cidera janji, maka
berdasarkan Surat Menteri Negara Agraria / Kepala BPN Tanggal 17 September
1998 Nomor 630.1 - 3433 tentang Hak Tanggungan atas Hak Guna Bangunan
diatas tanah Hak Pengelolaan, bahwa untuk rumah tinggal atau hunian diatas tanah
Hak Guna Bangunan atas Hak Pengelolaan yang sedang dibebani Hak Tanggungan,
dapat ditingkatkan menjadi Hak Milik asalkan mendapat pernyataan persetujuan
secara tertulis dari pemegang Hak Tanggungan disertai penyerahan sertipikat Hak
Tanggungan yang bersangkutan. Perubahan status tersebut juga diatur dalam
Peraturan Menteri Negara Agraria / Kepala BPN Nomor 5 Tahun 1998 Pasal 2 ayat
( 1 ), sedangkan didalam ayat ( 4 ) menyebutkan bahwa persetujuan perubahan hak
dari pemegang Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud pada ayat ( 1 ) berlaku
sebagai persetujuan pelepasan Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai.
Walaupun dalam prakteknya, perubahan Hak Guna Bangunan diatas tanah Hak
Pengelolaan menjadi Hak Milik, seringkali tidak memerlukan persetujuan dari
pemegang Hak Pengelolaan ( Perum Perumnas ). Tetapi dalam Keputusan Menteri
Negara Agraria Nomor 9 Tahun 1997 jo. Keputusan Menteri Negara Agraria
Nomor 15 Tahun 1997 dan Nomor 1 Tahun 1998 serta dalam Surat Menteri Negara
Agraria / Kepala BPN Tanggal 18 Februari 1999 Nomor 500 - 3460 menjelaskan
bahwa apabila Hak Guna Bangunan tersebut diatas tanah Hak Pengelolaan Perum
Perumnas, maka persetujuan itu wajib diberikan oleh Perum Perumnas dengan
adanya persetujuan secara tertulis mengingat bidang tugas pemegang Hak
Pengelolaan ini adalah memang mengembangkan perumahan dan permukiman.
Prosedur ini juga diatur dalam Pasal 3 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1
Tahun 1977. Sebelum diajukan permohonan Hak Guna Bangunan, terlebih dahulu
dibuat akta jual beli rumah dan penyerahan penggunaan tanah yang bersangkutan
dari pemegang Hak Pengelolaan ( Perum Perumnas ) kepada pemohon Hak Guna
Bangunan. Setelah akta tersebut dibuat dengan perantara Perum Perumnas, maka
ditempuh prosedur permohonan Hak Guna Bangunan berdasarkan Peraturan
Menteri Negara Agraria Nomor 3 Tahun 1999 dan Nomor 9 Tahun 1999. Dimana
permohonan pendaftaran Hak Milik atas tanah untuk RSS, RS, dan rumah tinggal
diatas tanah Hak Pengelolaan diajukan kepada Kepala Kantor Pertanahan setempat.
Mengenai perubahan hak Guna Bangunan atas Hak Pengelolaan menjadi hak milik
terutama yang berkaitan dengan Perum Perumnas, seharusnya dibuat suatu
peraturan yang khusus mengaturnya.
Perubahan hak atas tanah beserta bangunannya yang dikelola oleh Real Estate
Peralihan hak guna bangunan di atas hak pengelolaan atas tanah oleh developer
kepada konsumen dilaksanakan apabila pembeli telah melakukan pelunasan
terhadap unit yang dibeli. Dari pihak developer selaku penjual telah memenuhi
persyaratan secara perijinan dan secara hukum , seperti bangunan telah selesai
dibangun, izin mendirikan bangunan sudah terbit, sertipikat hak guna bangunan
dan pajak bumi bangunan (PBB) sudah terbit.
Pertama, pengalihan hak guna bangunan di atas hak pengelolaan (HPL) dapat
dilaksanakan dengan cara menandatangani akte jual beli dari developer kepada
konsumen apabila semua persyaratan secara hukum telah dipenuhi dan pembeli
sudah melakukan pelunasan.
Pelaksanaan pengalihan hak guna bangunan di atas hak pengelolaan melalui akte
jual beli memerlukan biaya. Biaya tersebut dapat dibagi dua yaitu biaya yang
ditanggung oleh penjual dalam hal ini developer dan biaya yang ditanggung oleh
pembeli. Biaya yang harus ditanggung oleh penjual meliputi Pajak Pertambahan
Nilai (PPN) dan Pajak Penghasilan (PPH). Sedangkan biaya yang ditanggung
pembeli untuk proses balik nama sertipikat yaitu biaya akte jual beli, biaya balik
nama, biaya Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), biaya
rekomendasi balik nama sertifikat dari pemegang hak pengelolaan yaitu Pusat
Pengelolaan, biaya Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dan yang terakir
adalah biaya selisih pajak yang berbentuk Pajak Penghasilan.
Izin Lokasi adalah izin yang diberikan kepada pelaku usaha untuk memperoleh tanah
yang diperlukan untuk usaha dan/atau kegiatannya dan berlaku pula
sebagai izin pemindahan hak dan untuk menggunakan tanah tersebut untuk keperluan
usaha dan/atau kegiatannya.
4. Perbedaan Tanggung Jawab Perdata, Administratif dan Pidana Jasa Konstruksi
Tanggung Jawab Perdata adalah Tanggung jawab yang ditimbulkan jika dalam suatu
pelaksanaan pekerjaan jasa konstruksi terdapat sengketa (wanprestasi dan/atau
perbuatan melawan hukum) yang berkonsekuensi timbulnya ganti rugi, denda
dan/atau melakukan atau tidak melakukan tindakan hukum tertentu.
Beberapa penyebab timbulkan Tanggung Jawab Perdata sebagai berikut :
• Pelanggaran terhadap kontrak Kerja Konstruksi.
• Kegagalan Konstruksi
• Kegagalan Bangunan.
• Merugikan hak pihak lain atau masyarakat.
Tanggung Jawab Administratif adalah Tanggung jawab yang ditimbulkan dalam hal
bila dalam suatu pelaksanaan pekerjaan jasa konstruksi terjadi pelanggaran
kewajiban yang seharusnya dilakukan dan larangan yang seharusnya tidak dilakukan
yang berkonsekuensi timbulnya sanksi administratif.
Beberapa penyebab timbulkan Tanggung Jawab Administratif sebagai berikut :
• Tidak terpenuhinya kewajiban yang disyaratkan oleh Peraturan Jasa Konstruksi
dalam Penyelenggaraan Jasa Konstruksi.
• Tidak terpenuhinya kewajiban sebagai mana dalam K3.
• Dilakukannya larangan – larangan yang ditentukan dalam Peraturan Jasa
Konstruksi dan K3
Tanggung Jawab Piada adalah tanggung jawab yang ditimbulkan dalam hal bila
dalam suatu proses Pelaksanaan Pekerjaan Jasa Konstruksi terjadi tindak pidana yang
berkonsekuensi adanya sanksi pidana berupa pidana penjara, pidana kurungan,
pidana denda dan pengembalian kerugian negara.
Beberapa penyebab timbulkan Tanggung Jawab Pidana sebagai berikut :
• Tindak pidana pemalsuan (pemalsuan dokumen Jasa Konstruksi)
• Tindak pidana penggelapan dan penipuan.
• Tindak pidana korupsi.
5. Beberapa upaya penyelesaian sengketa yang terjadi dalam Penyelenggaraan Jasa
Konstruksi.
Musyawarah Mufakat
Adalah penyelesaian sengketa yang timbul dalam Penyelenggaraan Jasa Konstruksi
dengan hanya melibatkan pihak yang berada dilingkup Penyelenggaraan Jasa
Konstruksi dengan menekankan proses yang dilakukan untuk menyatukan pendapat
yang berbeda-beda dari pihak yang terlibat hingga memperoleh keputusan yang
disetujui oleh semua pihak.
Mediasi
Adalah cara penyelesaian sengketa yang timbul dalam Penyelenggaraan Jasa
Konstruksi melalui proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan dari para
pihak yang berada dalam lingkup Penyelenggaraan Jasa Konstruksi dengan di bantu
oleh pihak luar yang dianggap berkompeten dalam menyelesaikan sengketa yang
timbul dalam penyelenggaraan Jasa Konstruksi yang disebut Mediator. Karena
dianggap sengketa yang timbul dalam penyelenggaraan Jasa Konstruksi tidak dapat
diselesaikan oleh para pihak yang berada dalam lingkup Penyelenggaraan Jasa
Konstruksi maka perlu adanya Mediator untuk dapat menyelesaikan sengketa
melalui proses mediasi. Mediator harus mengusahakan agar tercapai kesepakatan di
antara pihak yang berselisih. Jika terwujud, maka kesepakatan perdamaian itu
dituangkan dalam sebuah perjanjian bersama. Mediator ikut menandatangani
perjanjian itu sebagai saksi.
Konsiliasi
Adalah cara penyelesaian sengketa yang timbul dalam Penyelenggaraan Jasa
Konstruksi yang prosesnya dilaksanakan diluar pengadilan dengan dibantu oleh
pihak diluar lingkup Penyelenggaraan Jasa Konstruksi yang disebut Konsuliator.
Langkah awal dilakukannya konsiliasi adalah melalui seorang atau beberapa orang
maupun badan sebagai penengah, di mana kemudian disebut dengan konsiliator,
yang akan mempertemukan atau memberi fasilitas pada semua pihak-pihak yang
berselisih dalam tujuannya untuk menyelesaikan adanya perselisihan secara damai.
Dalam proses penyelesaian perselisihan, konsiliator punya hak dan kewenangan
untuk menyampaikan pendapat secara terbuka serta tidak memihak kepada yang
bersengketa. Di sisi lain, konsiliator tidak berhak untuk membuat keputusan dalam
sengketa untuk dan atas nama para pihak hingga keputusan akhir adalah proses
konsiliasi yang diambil sepenuhnya oleh para pihak dalam sengketa yang dituangkan
ke dalam bentuk kesepakatan di antara mereka
Arbitrase/Dewan sengketa
adalah cara penyelesaian suatu sengketa yang dilakukan di luar peradilan umum yang
berdasarkan pada perjanjian arbitrase secara tertulis oleh para para pihak
Penyelenggaraan Jasa Konstruksi yang bersengketa. Untuk menyelesaikan suatu
sengketa melalui mekanisme arbitrase, dibutuhkan kesepakatan antara kedua pihak
yang bersengketa (yang dapat dilakukan sebelum maupun setelah terjadinya
sengketa). Karena alasan ini, perjanjian secara tertulis harus dilakukan oleh kedua
pihak sebelum arbitrase. Di Indonesia terdapat beberapa badan khusus yang
memfasilitasi proses arbitrase, yaitu Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI),
Badan Arbitrase Pasar Modal Indonesia (BAPMI).
Litigasi
Adalah cara penyelesaian sengketa yang timbul dalam Penyelenggaraan Jasa
Konstruksi melalui jalur Pengadilan adalah persiapan dan presentasi dari setiap
sengeketa atau kasus, termasuk juga memberikan informasi secara menyeluruh
sebagaimana proses dan kerjasama untuk mengidentifikasi permasalahan dan
menghindari permasalahan yang tak terduga.
Undang Undang Nomor 2 Tahun 2017, juga melarang Operasi Tangkap Tangan alias
OTT, bila tidak sesuai dengan ketentuan. Kalaupun ada kegagalan setelah
penggarapan, maka dalam UU itu, yang menentukan gagal tidaknya proyek tersebut,
adalah Menteri PUPR, yang sebelumnya hanya ditentukan oleh tim ahli.
Kalaupun proyek yang dilaksanakan kontraktor selesai dan ada yang dianggap tidak
benar, maka yang berhak menentukan adalah pihak BPK (Badan Pemeriksa
Keuangan). Kontraktor tidak perlu takut lagi menghadapi tuntutan pidana, karena
persoalan kegagalan proyek negara, telah beralih ke hukum perdata.
b. Kegagalan Konstruksi adalah keadaan hasil pekerjaan konstruksi yang tidak sesuai
dengan spesifikasi pekerjaan sebagaimana disepakati dalam kontrak kerja konstruksi
baik sebagian maupun keseluruhan sebagai akibat kesalahan pengguna jasa atau
penyedia jasa (Pasal 31 Peraturan Pemerintah No. 20 Tahun 2000).
Pada Undang – undang No. 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi tidak disebutkan
istilah Kegagalan Konstruksi namun disebutkan Kegagalan Bangunan hal ini sesuai
amanah Undang-Undang No 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi, adalah lex
specialias alias bersifat khusus, yang artinya kegagalan konstruksi, atau salah
merencanakan yang mengakibatkan kontruksi tersebut rusak saat pembangunan,
hanya bisa dituntut secara hukum perdata, dan bukan secara hukum pidana.