Anda di halaman 1dari 32

PENGEMBANGAN DAN PENGELOLAAN

PULAU KECIL
Pengelolaan Pulau Gili air, Kabupaten Lombok Utara, Nusa Tenggara
Barat

Gendewa Tunas Rancak


4113205004

Program Pasca Sarjana Teknik Manajemen Pantai


Institut Teknologi Sepuluh November
2013
Pengembangan dan Pengelolaan Pulau kecil
Pulau Gili Air, Kabupaten Lombok utara, Nusa Tenggara Barat
Gendewa Tunas Rancak/4113205004
Teknik Manajemen Pantai
Institut Teknologi Sepuluh November

Pendahuluan
Indonesia merupakan Negara kepulauan terbesar di dunia, dengan jumlah pulau kurang lebih
sebanyak 13.446 (http://www.metrotvnews.com). Sebagai Negara kepulauan terbesar,
pembangunan di Indonesia masih terkesan sentralistik, baik dalam segi pengambilan
kebijakan, pembangunan infrastruktur, serta perputaran dan pertumbuhan ekonomi. Pusat
pembangunan di Indonesia berada di 5 pulau terbesar, yaitu Jawa, Kalimantan, Sumatera,
Sulawesi, dan Papua.

Selain 5 pulau besar sebagai pusat pembangunan, pulau-pulau kecil di Indonesia sebenarnya
memiliki potensi untuk dikembangkan. Tentunya potensi Sumber Daya Alam yang akan
dikembangkan, namun tahapannya harus setelah atau sejalan dengan peningkatan potensi
Sumber Daya Manusia di pulau-pulau tersebut. Integrasi antara sumber daya manusia yang
baik dan pengelolaan sumber daya alam yang bijak akan menciptakan benefit yang
berkelanjutan, baik dari segi investasi maupun ekonomi, serta kehidupan sosial-budaya.

Permasalahannya, potensi-potensi ini belum diimbangi dengan infrastruktur yang memadai,


baik dari segi transportasi, penggunaan energy (missal: listrik), public services, maupun
konsumsi pangan. Sebuah pertanyaan umum seperti ‘mengapa ketika mengkontak kerabat
yang berada di Sumba lebih susah dari pada mengkontak kerabat yang berada di Jakarta’.
Alasannya tentu saja sinyal, BTS di Jakarta lebih lengkap dan mencakup semua wilayah, jauh
dibandingkan kondisi di Sumba yang hanya memilki beberapa BTS tertentu.

Demikian halnya misalnya dengan kesehatan, betapa besar perjuangan seorang ibu yang akan
melahirkan di Desa Pulau Koloray, Kabupaten Pulau Morotai, Maluku Utara ketika tidak bisa
melahirkan secara normal. Untuk melahirkan Cesar, san ibu harus rela terombang-ambing
menempuh perjalanan laut selama kurang lebih 2 jam untuk sampai Pelabuhan Daruba. Baru
kemudian menempuh perjalanan darat sekitar 1 jam untuk bisa sampai rumah sakit.

Kasus lain ketika listrik menjadi problem bagi pulau dengan pengembangan pariwisata.
Masih banyak wilayah di Indonesia belum menikmati listrik 24 jam (di beberapa tempat,
listrik hanya menyala ketika malam hari), bahkan tidak sama sekali. Pariwisata membutuhkan
akses listrik yang cukup besar, walaupun tidak sedikit diantara wisatawan yang justru
menyukai suasana ‘asli’ tanpa listrik.

Dengan kondisi demikian, perlu untuk melakukan pengembangan pulau-pulau kecil yang
lebih terintegrasi satu sama lain dan multi-approach. Tujuannya jelas, mensejahterakan
masayrakat, meningkatkan kapasitas masayrakat (SDM), dan memanfaatkan potensi sumber
daya alam merupakan asas dari pembangunan. Secara umum, pulau kecil di Indonesia
memiliki potensi sebagai daerah pariwisata, perikanan lanjut, dan wilayah pertambangan.
Ketiganya memerlukan kolaborasi yang baik antara potensi sumber daya alam dan mineral,
sumber daya manusia, infrastruktur yang baik, dan pengelolaan berkelanjutan agar dapat
dimanfaatkan secara optimal, dan memberikan manfaat secara penuh bagi masyarakat secara
berkelanjutan.

Pulau-pulau kecil biasanya didefenisikan berdasarkan dua kriteria utama yaitu luasan pulau
dan jumlah penduduk yang menghuni pulau tersebut. Luasan pulau-pulau kecil 7% dari
wilayah dunia, dan merupakan entitas daratan yang memiliki karakteristik dan kerentanan
khusus sehingga pengelolaan pulau kecil memerlukan format yang berbeda dengan wilayah
daratan lain, khususnya pulau besar (mainland). Menurut definisi yang dikeluarkan oleh PBB
dalam UNCLOS, definisi pulau adalah massa daratan yang terbentuk secara alami, dikelilingi
oleh air dan selalu berada di atas permukaan saat air pasang. Namun, definisi pulau kecil
masih dalam pengembangan sampai saat ini. Berikut ini adalah beberapa definisi pulau kecil
yang dikeluarkan oleh beberapa instansi dan lembaga terkait:
 CSC (1984) : Pulau kecil adalah pulau dengan luas area < 5.000 km2
 UNESCO : Pulau kecil adalah pulau dengan luas area < 2.000 km2
 SK Menteri : Pulau kecil adalah pulau dengan luas area < 10.000 km2
 DKP dengan jumlah penduduk < 20.000 orang

Seringkali dianggap bahwa SDM merupakan faktor utama pengelolaan pulau kecil, baik
SDM yang akan mengelola maupun masyarakat yang berada di kawasan pariwisata.
Beberapa masayrakat dan komunitas merupakan Enabler dalam pengembangan potensi
pariwisata, beberapa diantaranya justru dianggap sebagai peghambat. Seperti misalnya
community di Bali yang sudah sangat welcome terhadap pariwisata yang masuk secara
massive, justru mendukun dan berperan sebagai penggerak ekonomi pariwisata. Community
inilah yang merupakan enabler dari pengembangan potensi pariwisata. Disisi lain,
pengembangan pariwisata secara massive sampai dengan kawasan central religious dan
budaya di Bali merupakan sumber keresahan komunitas masyarakat lokal (masyarakat adat
dan hukum adat), karena mengakibatkan sistem subak (pengelolaan air dan distribusinya
dengan kearifan lokal, dengan ketentuan yang telah ditentukan pada masa kerajaan Bali
dahulu kala) masyarakat perlahan hilang, sementara harus memenuhi kebuthan sehari-hari
yang seumbernya adalah sawah. Keresahan, ketika berujung pada penolakan, baik dalam
sikap antipasti maupun penolakan secara tegas ini adalah faktor yang dikategorikan sebagai
faktor penghambat Industri Pariwisata. Sementara menurut beberapa pakar, “Bangsa yang
besar adalah bangsa yang menghargai sejarahnya”.

Artinya, dalam pengembangan pariwisata di pulau kecil, harus terdapat keseimbangan antara
kebutuhan dan masukan pariwisata, capacity building masyarakat, carrying capacity pulau,
infrastruktur pendukung, dan kearifan lokal untuk mencapai pariwisata berkelanjutan.
Kehilangan salah satu aspek dari hal-hal tersebut akan menjadikan ketimpangan di salah satu
aspek, dan mengakibatkan pengembangan pariwisata pulau kecil menjadi eksploitasi, baik
SDM, SDA, maupun monopoli pariwisata. Untuk itu, diperlukan sebuah konsep yang
komprehensif sebagai acuan pengembangan dan pengelolaan pulau kecil dengan perspektif
pariwisata.

GIli Air merupakan sebuah pulau kecil di sebelah Barat Pulau Lombok yang memiliki
potensi pariwisata sangat baik dan dikenal dengan gugus GIli Matra (GIli Trawangan, GIli
Meno, dan GIli Air). Jika dilihat secara perspektif, konsep pengembangan pariwisata di GIli
trawangan lebih cenderung ke Massive and Open Tourism, kemudian GIli Meno dengan
Exclusive and private tourism, sedangkan GIli Air dengan Culture tourism. Walaupun tidak
terdokumentasikan, konsep pengembangan pariwisata ini berjalan dengan sendirinya
berdasarkan kehidupan masayrakat Gili Matra serta minat dan keinginan wisatawan selama
ini. Konsep ini seakan ‘memudahkan’ wisatawan baik domestic maupun mancanegara untuk
menikmati potensi pariwisata di GIli Matra sesuai dengan minat masing-masing. Bagi
wisatawan yang ingi menikmati pariwisata yang eksklusif dan privat, maka akan lebih
memilih untuk menuju ke GIli Meno. Ketika wisatawan lebih menyukai keramaian dan
suasana yang lebih ‘open and free’ akan lebih memilih menuju GIli Trawangan. Sedangkan
bagi wisatawan yang memiliki ‘hobby’ dan menyukai eksotisme alam dibalut dengan
kekuatan culture (budaya), akan lebih memilih GIli Air.

Sebagai salah satu penghasil pemasukan terbesar (sector pariwisata) untuk Kecamatan
Pemenang, yaitu sebanyak 48,33% (BPS, 2005), Gili Air merupakan sebuah objek kajian
pengembangan pariwisata yan cukup comprehensive, mulai dari hulu sampai dengan hilir.
Artinya, selain menjadi penghasil pemasukan terbesar bagi Kecamatan Pemenang, pariwisata
juga menjadi tulang punggung penghidupan masyarakat GIli Air, baik secara langsung
maupun tidak langsung (misalnya: penjual ikan di pasar, ikan dibutuhkan untuk makanan
sehari-hari di hotel dan cottage). Dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Lombok
Utara Pasal 30-32, disebutkan bahwa Desa Gili Matra ataupun Gili Matra merupakan
kawasan strategis pertumbuhan ekonomi, sector pariwisata.

Kondisi Eksisting Gili Air – Gili Air


Status Kawasan Taman Wisata Perairan Gili Matra
Gili Meno, Gili Air dan Gili Trawangan (Matra)
merupakan tiga pulau kecil yang dijadikan satu desa
dengan nama desa Gili Matra yang terdapat di
Kecamatan Pemenang Kabupaten Lombok Utara
pada awalnya desa Gili Matra diajukan sebagai
kawasan Konservasi Perairan Nasional pada tanggal
16 Pebruari tahun 1993 berdasarkan surat keputusan
Menteri Kehutanan Nomor 85/kpts-II/1993 kemudian
ditetapkan sebagai kawasan konservasi nasional pada
tahun 2001 dengan nama Taman Wisata Alam Laut
Gambar 1. Lokasi Gili Matra
Gili Matra. Ini berdasarkan surat keputusan menteri Kehutanan No. 99/Kpts-II/2001 tanggal
15 Maret 2001 dengan luas 2.954 hektar. Setelah terbitnya berita acara serah terima Kawasan
Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam pada tanggal 4 Maret 2009 maka pemegang
kebijakan di TWAL Gili Matra adalah Kementerian Kelautan dan Perikanan. Bedasarkan
keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor KEP.67/MEN/2009. Pada tanggal 3
September 2009, Nomenklaturnya di rubah dari Taman Wisata Alam Laut (TWAL) menjadi
Taman Wisata Perairan (TWP) Pulau Gili Ayer, Gili Meno dan Gili Trawangan, dengan luas
2.954 hektar.

TWP Gili Matra di kelola oleh sebuah UPT yang di bentuk oleh Direktorat Kelautan, Pesisir
dan Pulau-Pulau Kecil (KP3K) Kementerian Kelautan dan Perikanan dengan nama Balai
Kawasan Konservasi perairan Nasional (BKKPN) yang berkedudukan di Kupang NTT.
Penentuan status TWP tersebut adalah berdasarkan kriteria penentuan kawasan konservasi
laut yang memiliki keanekaragaman biota laut dan lingkungan yang memungkinkan untuk
dikembangkan sebagai obyek wisata. Keunikan biodiversity sumber daya kelautan seperti
ekosistem terumbu karang, padang lamun, kekayaan flora dan faunanya menjadikan potensi
tersebut sebagai obyek wisata yang banyak diminati para wisatawan domestik maupun
mancanegara.

Sejarah Kawasan
Kawasan Gili Meno, Gili Air dan Gili Trawangan telah ditunjuk sebagai Taman Wisata Alam
Laut (TWAL) berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 85/Kpts-II/1993 tanggal
16 Februari 1993 dengan luas kawasan 2.954 hektar.

Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 99/Kpts-II/2001 tanggal 15 Maret


2001 kawasan Gili Air, Meno dan Trawangan ditetapkan menjadi TWAL Gili Matra dengan
luas kawasan 2.954 hektar.

Tanggal 4 Maret 2009 diterbitkan berita acara serah terima kawasan Suaka Alam dan
kawasan Pelestarian Alam dari Departemen Kehutanan kepada departemen Kelautan dan
Perikanan.termasuk di dalamnya TWAL Gili Matra.

Tanggal 3 September 2009 bedasarkan Surat Keputusan menteri Kelautan dan perikanan
Nomor KEP.67/MEN/2009 nomenklaturnya di rubahdari Taman Wisata Alam Laut (TWAL)
menjadi Taman Wisata Perairan (TWP).

Letak, Luas dan Batas Kawasan


TWP Gili Meno, Air dan Trawangan dengan luas 2.954 hektar, yang meliputi luas daratan
Gili Air ± 175 ha dengan keliling pulau ±5 km, Gili Meno ±150 ha dengan keliling pulau ±4
km dan Gili Trawangan ±340 ha dengan keliling pulau ±7,5 km dan selebihnya merupakan
perairan laut.

Secara geografis TWP Gili Matra terletak pada 8º 20º – 8º 23º LS dan 116º00º – 116º 08º BT.
Sedangkan secara administratif pemerintahan, kawasan ini terletak di desa Gili Matra
kecamatan Pemenang kabupaten Lombok Utara propinsi Nusa Tenggara Barat, sedangkan
berdasarkan pada wewenang pengelolaannya kawasan ini berada di bawah pengelolaan
direktur jendral Kelautan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang membentuk sebuah UPT
dengan Nama Balai Kawasan Konservasi Perairan Nasional berkedudukan di Kupang NTT.
Hal ini sesuai dengan Surat Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor :
Kep.67/MEN/2009 tanggal 3 September 2009.

Batas-batas Taman Wisata Perairan Gili Matra adalah sebagai berikut :


Utara : berbatasan dengan laut Jawa.
Selatan : berbatasan dengan selat Lombok.
Barat : berbatasan dengan laut Jawa.
Timur : berbatasan dengan Tanjung Sire.

Topografi dan Oseanografi


Topografi Gili Air dan Gili Meno adalah datar dengan ketinggian hampir sejajar dengan
permukaan laut. Akibat gempa bumi pada tahun 1978 Gili Air mengalami penurunan sekitar
1,5 m, sedangkan Gili Trawanganpada bagian tengah kearah utara datar dan pada bagian
tengah ke arah tenggara berbukit dengan ketinggian ± 20 meter diatas permukaan laut.

Keadaan oseanografi mempunyai pola yang sama dengan kawasan disekitar ketiga pulau,
yaitu mempunyai pantai yang pada umumnya datar dan berpasir putih dengan kedalaman
perairan pantai 1-3 meter pada batas 20 meter. Kisara pasang surut mencapai ± 3 meter.

Iklim, Temperatur dan Curah Hujan


Keadaan iklim di Taman Wisata Perairan Gili Matra sama seperti halnya dikabupaten
Lombok Utara pada umumnya., yaitu beriklim tropis dengan suhu udara berkisar antara 20-
30 C. Suhu udara tertinggi maksimum 32 C pada bulan Nopember dan suhu udara
minimum 20 C terjadi pada bulan Juni. Curah hujan tertinggi terjadi pada bulan Januari
yaitu mencapai 459 mm, sedangkan terendah pada bulan Juli/Agustus Mencapai titik nol.

Geologi dan Tanah


Keadaan geologi dan tanah pada pulau-pulau dalam kawasan TWP Gili Matra
pembentukannya sama dengan daratan Pulau Lombok bagian utara. Keadaan tanah terdiri
dari tanah coklat dengan bahan induk endapan pasir.

Hidrologi
Air tanah yang dimanfaatkan di ketiga pulau adalah air tanah yang berupa resapan air hujan.
Pada umumnya air tanah yang berkadar garam rendah berada di tengah pulau. Untuk Gili
trawangan yang luasnya cukup besar di bagian tengahnya, masih memungkinkan untuk
memperoleh air tawar dengan kadar garam rendah. Sedangkan di Gili Meno dan Gili Air
yang luasnya lebih kecil, mempunyai persediaan air dengan kadar garam rendah lebih
terbatas.
Gambar 2. Peta Rencana Zonasi Taman Wisata Alam Perairan GIli Matra
Gili Air dalam Gugus Gili Matra

Gambar 3. Sketsa Dusun GIli Air


Sumber: I-CATCH Desa Gili Matra, 2012

Kawasan ini menjadi obyek wisata bahari yang sangat digemari oleh wisatawan baik
mancanegara maupun domestik, terutama untuk snorkeling, fishing, diving, surfing, sun
bathing, shifting dan camping.

Kawasan ini memiliki potensi wisata yang cukup menarik yaitu pantai pasir putih yang indah,
berbagai jenis terumbu karang diantaranya: Karang Lunak (Heliophora sp.), Anthiphates sp,
Montiphora dan Acropora dan berbagai jenis ikan hias yang menawan. Aktifitas wisata yang
dapat dilakukan : diving, snorkeling, sun bathing, kanoing, swimming, foto hunting dan
fishing.

Tata Guna Lahan


Secara umum, pola pemanfaatan lahan di Gili Air dan kedua gili lainnya ini hampir sama. Di
bagian pinggir pulau paling banyak digunakan untuk penyediaan jasa akomodasi seperti hotel
melati, pondok wisata, bungalow, restoran, cafe dan warung. Selain itu, berbagai kegiatan
seperti perdagangan berskala kecil, dan penyediaan jasa pariwisata seperti dive shop, travel
counter, persewaan sepeda dan persewaan buku juga terpusat di sekitar pinggiran ketiga gili
tersebut. Sedangkan di bagian dalam pulau merupakan pusat pemukiman penduduk setempat,
selain juga untuk pusat-pusat pelayan penduduk seperti Puskesmas, sekolah dasar, mesjid dan
ebagainya. Untuk areal perladangan penduduk seperti perkebunan kelapa, kebun sayur-mayur
dan buah-buahan juga terletak di bagian tengah pulau. Luas wilayah daratan di kawasan Gili
Matra seluas 678 ha, yang terdiri dari lahan kering seluas 210 ha dan lahan pekarangan seluas
468 ha (Gambar 4).

Gambar 4. Peta Tata Guna Lahan Gili Matra


Sumber: Amir, 2011

Pendidikan
Dari Segi Pendidikan di GIli Air, terdapat sebuah Pendidikan Taman Kanak-kanak, Sekolah
Dasar Negeri, serta pendidikat tingkat SMP dan MTs. Sedangkan tingkat SMA hanya
terdapat di GIli Trawangan berupa SMK Pariwisata yang dikelola oleh masyarakat. Beberapa
diantara penduduk, yang mampu menyelesaikan pendidikan tingkat SMP harus meneruskan
ke sekolah lanjutan (SMA atau SMK) di Pulau Lombok, terutama di Kecamatan Pemenang.

Tabel 1. Jenis Sekolah yang terdapat di Gili Air berdasarkan Jenjang Pendidikannya
No Jenis Sekolah Tahun Jumlah Murid Jumlah
Berdiri Laki-laki Perempuan Orang
1 SD GIli Air 1999 115 106 221
2 TK GIli Air 1998 13 22 45
3 MTs GIli Air 2002 16 12 288
Sumber: Kantor Desa Gili Matra, 2010

Penduduk
Berdasarkan data di kantor desa, jumlah penduduk Desa Gili Matra sampai tahun 2010
adalah sebanyak 3.575 jiwa, yang terdiri dari 3.550 penduduk lokal dan 25 orang asing yang
menetap dan berusaha di kawasan tersebut. Dibandingkan dengan keadaan penduduk pada
tahun 2004 yang hanya berjumlah 2.897 jiwa, maka jumlah pertambahan penduduk pada
kurun waktu itu sebanyak 678 orang atau meningkat 23,4% (rata-rata tumbuh 3,9%
pertahun). Kondisi ini jauh lebih tinggi dari tingkat pertumbuhan penduduk rata-rata
penduduk kecamatan Pemenang yang hanya 2,89% pertahun (BPS Pemenang, 2010).

Tabel 2. Jumlah Pendudukdi Desa Gili Matra


Dusun Jumlah Jumlah (orang) Total
KK WNI WNA (orang)
L P L P
GIli Air 420 721 814 3 4 1542
GIli Meno 160 346 181 1 2 530
Gili 410 714 774 7 8 1503
Trawangan
Total 990 1781 1769 11 14 3.575
Sumber: Kantor Desa Gili Matra 2010

Data menunjukkan bahwa secara keseluruhan penduduk Desa Gili Matra berjumlah 1.781
jiwa laki-laki dan 1.769 jiwa perempuan dengan Kepala Keluarga sebanyak 990 KK.
Penduduk terbanyak terdapat di Dusun Gili Air, sedangkan yang paling sedikit di Dusun Gili
Meno. Data menunjukkan pula bahwa terdapat 25 orang warga negara asing (WNA) yang
menetap dan membuka usaha di ket iga gili tersebut, mereka memiliki dan mengelola hotel,
restaurant, dan sekolah selam. Dari jumah penduduk tersebut, yang termasuk usia produktif
(15-64 tahun) sebanyak 2.888 orang yang terdiri dari 1.394 laki-laki dan 1.494 perempuan.
Jika dibandingkan dengan luas daratan Gili Matra, maka tingkat kepadatan penduduknya
adalah 657 jiwa/km².

Pekerjaan masyarakat
Berdasarkan data diskusi kelompok terfokus yang telah dilakukan di kantor Desa Gili Matra
pada tahun 2013, mata pencaharian yang dominan saat ini di GIli Air adalah kegiatan yang
berkaitan dengan jasa pariwisata baik secara langsung maupun tidak langsungg. Beberapa
bekerja di bidang transportasi, restoran dan warung, penginapan, pramuwisata dan karyawan.
Jenis pekerjaan berikutnya adalah sebagai nelayan penangkap ikan, karyawan, dan pedagang
serta sebagian lainnya berusaha di perkebunan kelapa. Data pasti terkait jumlah dan jenis
pekerjaan masi bersifat skala desa, seperti yang terlihat pada tabel 3.

Usaha pariwisata di kawasan ini mulai berkembang sekitar akhir dasawarsa 1980-an yaitu
sejak ditetapkannya kawasan pariwisata Senggigi dan sekitarnya sebagai salah satu obyek
wisata andalan di NTB. Usaha budidaya rumput laut dahulunya ada, namun sekarang usaha
tersebut tidak lagi dilakukan oleh masyarakat yang salah satu alasannya karena kurang
ekonomis dibanding usaha pariwisata lainnya.

Tabel 3. Mata Pencaharian Penduduk di Gili Matra


No Jenis Pekerjaan Jumlah (orang)
1 Petani/Buruh Tani 105
2 Karyawan Hotel/Ressort 907
3 Pedagang 360
4 Nelayan 112
5 Jasa wisata 104
6 Transportasi 120
Total (orang) 1708
Sumber: Kantor Desa Gili Matra, 2010

Berdasarkan data diskusi, Rata-rata gaji karyawan yang bekerja di hotel dan restaurant
sebesar Rp. 1.200.000 perbulan atau Rp. 14.400.000 pertahun, penghasilan ini belum
termasuk insentif yang diberikan pada hari raya keagamaan dan kelebihan target. Penghasilan
dari transportasi laut rata-rata antara Rp. 150.000-Rp. 250.000/hari, sementara transportasi
darat (cidomo) rata-rata Rp.150.000-Rp. 200.000/hari. Adapun penghasilan pemandu wisata
(guide) sangat fluktuatif dengan kisaran rata-rata antara Rp. 100.000-Rp. 250.000/hari. Untuk
penyewaan sepeda dan alat snorkeling rata-rata Rp.75.000-Rp. 150.000/hari.

Kesehatan
Untuk menangani masalah kesehatan penduduk, di setiap gili sudah tersedia Puskesmas
Pembantu (Pustu) yang dilayani oleh seorang bidan dan satu polindes yang terletak di Gili
Air. Namun, fasilitas yang tersedia di Pustu sangat minim, sehingga belum dapat bermanfaat
untuk masayrakat secara optimal.

Selain itu, terdapat sebuah klinik swasta yang berada di Gili Air. Klinik ini dimiliki oleh
seorang pendatang asal Australia dengan fasilitas yang cukup memadai. Namun, standard
harga yag digunakan adalah US $ . Kondisi ini memaksa masayarkat tidak berminat untuk
berobat ke klinik tersebut, karena biayanya yang sangat tinggi

Agama dan adat istiadat


Menurut observasi dan wawancara dengan salah seorang tokoh masyarakat, sebagian besar
penduduk Desa Gili Matra awalnya berasal dari Sulawesi Selatan, berikutnya adalah suku
Sasak, Bali, Jawa dan Madura. Sebagian besar penduduk di ketiga gili ini adalah pemeluk
Agama Islam dan sebagian kecil beragama Hindu dan Kristen.

Secara umum, interaksi sosial masyarakat di desa ini masih cukup baik, namun demikian,
proses sosial yang bersifat potensi konflik juga masih ada. Konflik berkepanjangan antara
masyarakat lokal dengan pemerintah berkaitan dengan kepemilikan lahan terutama yang
terdapat di Gili Trawangan sampai ekarang masih berlangsung namun relatif kurang
mempengaruhi kondisi wisatawan yang berkunjung. Untuk menjaga kelestarian alam dan
keamanan di kawasan wisata bahari di Gili Matra, telah dibuat awiq-awiq (kearifan lokal)
berisi arangan-larangan yang harus dipatuhi oleh penduduk setempat, pendatang bahkan oleh
wisatawan dan jika melanggarnya akan dikenakan denda dan sanksi adat.

Selain itu, berdasarkan Keputusan Desa Gili Matra Nomor 12/Pem.1.1/06/1998 tentang
Awig-Awig Pemeliharaan Dan Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang, memberikan sanksi
yang berat terhadap warga masyarakat, pengusaha pariwisata dan wisatawan yang melanggar
aturan tersebut.

Fasilitas Usaha Pariwisata


Fasilitas pelayanan wisata seperti sarana transportasi dan akomodasi cukup tersedia di
kawasan ini. Selain itu sarana pendukung untuk kegiatan snorkling dan SCUBA diving
tersedia cukup lengkap. Pada dive shop tersebut juga terdapat sedikitnya seorang instruktur
selam, sehingga wisatawan dapat mengikuti program pelatihan yang ditawarkan.

Para wisatawan yang akan berkunjung ke kawasan pariwisata bahari Tiga Gili Matra, dapat
menggunakan perahu motor melalui pelabuhan Bangsal. Jarak terdekat dari pelabuhan
Bangsal adalah ke Gili Air dengan waktu tempuh sekitar 15 menit, selanjutnya adalah Gili
Meno dengan waktu tempuh sekitar 25 menit, dan yang terjauh adalah ke Gili Trawangan
dengan waktu tempuh sekitar 40 menit. Secara lebih detail. Aksesibilitas menuju GIli Matra
Dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Aksesibiltas Menuju GIli Matra


No R o u t e Jarak Waktu Keterangan
Tempuh Tempuh
(Km) (menit)
Padang Bai – Malaka – Fast Boat kapasitas besar
1  62  135
Gili Air dan kecil
Kendaraan
Lembar – Mataram –
2  60  70 umum/pribadi, Taxi,
Pusuk – Bangsal.
Carteran
Lembar – Mataram – Kendaraan pribadi, Taxi,
3  65  75
Senggigi - Bangsal carteran
Mataram – Senggigi - Kendaraan pribadi, Taxi,
4  36  45
Bangsal carteran
Kendaraan
Mataram – Pusuk –
5  30  40 umum/pribadi, Taxi,
Bangsal.
Carteran
Bandara Internasional
Kendaraan pribadi, Taxi,
6 Lombok - Selaparang –  27  35
carteran, Damri
Pusuk - Bangsal
Bandara Internasional
Kendaraan pribadi, Taxi,
7 Lombok - Senggigi –  34  45
carteran, Damri
Bangsal
Sumber: Pengolahan Data, 2013
Bangsal

Padang Bai
Malaka

Gambar 4. Alur Aksesibilitas Menuju Gili Matra


Sumber: www.openstreetmap.org

Fasilitas akomodasi yang ada di Kawasan Pariwisata Gili Matra sampai saat ini rata-rata
berupa hotel bertanda bunga melati, home stay, bungalow, pondok wisata dan sejenisnya. Di
kawasan ini, tidak terdapat hotel berkelas bintang karena kebijakan yang ditetapkan tidak
membolehkan membanguna usaha sarana pariwisata dan lainnya yang berpotensi
memberikan tekanan terhadap stabilitas tanah.

Tabel 5. Jumlah Akomodasi dan Konsumsi di Gili Matra


No Dusun Hotel Restaurant Bungalow Rumah makan
GIli Air 3 2 21 25
GIli Meno 2 2 17 19
Gili Trawangan 5 12 70 67
Sumber: Kantor Desa Gili Matra, 2010

Daya dukung dan luas lahannya yang sangat kecil dengan tingkat perkembangan yang pesat,
maka diperlukan pengaturan dan pengendalian terhadap pengelolaan tata ruang kawasan.
Untuk itu, melalui Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Nusa Tenggara Barat
Nomor 500 Tahun 1992, telah ditetapkan Rencana tata Ruang Resort Pariwisata Tiga Gili
Matra
Gambar 5. Peta Lokasi Wisata Gili Matra Secara Keseluruhan, 2010
Sumber: Amir, 2011

Untuk wilayah peruntukan pariwisata bahari, ditetapkan penggunaan yang diperkenankan


adalah Areal renang, Areal berperahu (boating, sailing), Areal selancar angin (wind surfing),
Areal memancing (game fishing), Areal ski air (water skiing), Areal menyelam (diving,
snorkling), dan dermaga.

Selain itu, untuk wilayah peruntukan akomodasi, masing-masing Gili ditetapkan jumlah
kamarnya masing-masing untuk Gili air sebanyak 200 kamar, Gili Meno 100 kamar dan Gili
Trawangan 200 kamar. Namun kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa sampai akhir
tahun 2010, jumlah fasilitas akomodasi berupa hotel berkelas melati yang tercatat di Dinas
Pariwisata, Seni dan Budaya Kabupaten Lombok Barat telah melebihi 500 kamar untuk
seluruh tiga gili. Fakta di lapangan menunjukkan , jumlah unit akomodasi dan jumlah
kamarnya sesungguhnya telah melebihi angka tersebut karena setiap penambahan kamar dan
pengembangan unit , tidak seluruhnya dilaporkan sesuai persyaratan yang ditentukan.

Adapun untuk memberikan pelayanan jasa penyediaan makanan dan minuman kepada
wisatawan nusantara di Kawasan Pariwisata Bahari Gili Matra, terdapat beragai jenis rumah
makan, restoran dan warung-warung dengan harga murah. Selain itu, untuk menyediakan
makan dan minum juga terdapat sejumlah café yang memiliki suasana rileks dan
menyediakan hiburan musik hidup dan audio visual. Jumlah restoran dan rumah makan di
kawasan penelitian berjumlah 111 unit dengan jumlah kursi sebanyak 3.339 kursi. Selain
itu juga terdapat sarana transportasi berupa perahu, Cidomo (dokar) dan sepeda yang
digunakan untuk di daratan gili. Sedangkan sarana untuk aktivitas wisata adalah
perlengkapan selam, perahu kaca, perahu karet, dan lain-lain.

Wisatawan
Wisatawan yang berkunjung ke Gili Indah dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu
wisatawan nusantara (Wisnu) dan wisatawan Mancanegara (Wisman). Jumlah wisatawan
yang berkunjung ke Gili Matra dari tahun ketahun memperlihatkan peningkatan. Gili
Trawangan merupakan daerah yang paling banyak dikunjungi wisatawan dibanding Gili
yang lain di Kawasan Gili Matra. Jumlah wisatawan pada tahun 2009 sebanyak 88.200
orang yang terdiri dari 69.477 orang (78,77%) wisatawan mancanegara dan 18.723 orang
(21,23%) wisatawan nusantara (Kecamatan Pemenang Dalam Angka, 2009) . Hal ini berarti
rata-rata perhari wisatawan yang datang ke Gili Matra sekitar 241 orang.

Pada tahun 2005 wisatawan yang berkunjung ke Gili Matra sekitar 32.373 orang dengan
rata-rata 90 orang/hari, jika dibandingkan dengan wisatawan pada tahun 2009 (berdasarkan
source Kecematan Pemenang Dalam Angka) terjadi peningkatan yang cukup signifikan yaitu
sekitar 172,44% pada kurun waktu lima tahun terakhir atau rata-rata meningkat 34,488%
pertahun. Namun jika melihat data statistik yang ada, sejak berkembangnya wisatawan ke
Gili Matra, tingkat pertumbuhan rata-rata wisatawan adalah 7,4% pertahun. Kondisi ini
diprediksikan akan mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, sehingga potensi terjadinya
degradasi sumberdaya alam laut dan pesisir semakin meningkat pula jika tidak dilakukan
upaya-upaya untuk memelihara kelestarian dan keberlanjutannya

Tabel 6. Jumlah dan Asal Wisatawan


No Asal Wisatawan Jumlah
1 Asia 3.850
2 Eropa 50.663
3 Amerika 7.428
4 Oceania 6.229
5 Afrika 1.307
6 Wisatawan Nusantara 18.723
Total 88.200
Sumber: Kecamatan Pemenang Dalam Angka, 2009

Diperkirakan jumlah pengeluaran Wisatawan mancanegara yang berkunjung ke Gili Matra


pada tahun 2009 adalah $ US 56 / hari dengan rata-rata lama tinggal 4 hari, sehingga total
penerimaan pertahun (69.477 wisman) sebesar $ US 15.562.848. Sedangkan pengeluaran
Wisatawan nusantara adalah Rp. 336.028 / hari dan lama tinggal 2 hari sehingga total
penerimaan setahun (18.723 wisnu) Rp. 25.165.808.976 (Amir, 2011)
Pengelolaan Pariwisata Gili Air untuk Kesejahteraan
Masyarakat

Pariwisata dan gili air merupakan sebuah idiom yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain,
karena pariwisata telah menjadi bagian kehidupan sehari-hari masyarakat GIli Air. Berbeda
dengan GIli Trawangan yang telah total mengikuti industry pariwisata, Gili Air masih
memegang teguh nilai-nilai budaya dan adat istiadat yang terbalut dalam Awiq-awiq (kearifan
lokal) yang ditetapkan, baik tertulis maupun tidak tertulis, dengan sanksi yang mengikat.

Nilai-nilai lokal yang masih berkembang ini menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan.
Maka dari itu, perkembangan pariwisata GIli Air kedepannya, selain ‘menjual’ eksotisme
alam, juga menjunjung tinggi nilai lokal untuk kesejahteraan masayrakat. Tidak ada definisi
baku terkait dengan kesejahteraan, namun dalam hal ini adalah bagaimana mengelola
pariwisata namun tetap memenuhi Kedaulatan Pangan, Kecukupan Air, Kemandirian Energi,
dan Keberlanjutan Mata Pencaharian tanpa mengorbankan nilai-nilai lokal dan hak
masyarakat GIli Air.

Akulturasi budaya dari pariwisata


BKKPN telah mnetapkan kawasan GIli Matra sebagai Taman Wisata Perairan dengan tujuan
konservasi. Pembuatan peta rencana zonasi pun telah dibuat sebagai penguatan rencana
zonasi. Namun beberapa nelayan masih menjaring dan memancing ikan di derah zonasiyang
dilarang. Beberapa diantaranya masih melakukan aktifitas yang dilarang dalam peraturan
zonasi.

Berdasrkan investigasi yang dilakukan, terjadinya pelanggaran-pelanggaran ini diakibatkan


Karena (1) banyak masyarakat yang tidak mengetahui informasi terkait dilakukannya zonasi,
maupun definisi mengenai zonasi sehingga secara otomatis tidak mengikuti larangan yang
ditetapkan. Hal ini berarti bahwa Rencana zonasi TWP belum tersosialisasikan secara
menyeluruh kepada masyarakat; (2) Ketika masyarakat (tetutama nelayan) telah mengetahui
batasan dan larangan zonasi, permasalahan utama ternyata berada pada zonasi itu sendiri.
Daerah-daerah yang dilarang untuk melakukan aktifitas pemanfaatan sumber daya alam oleh
masayarakat merupakan daerah perairan dimana masyarakat biasa memanfaatkan sumber
daya alam (memancing atau menjaring). Ketika dilakukan zonasi, belum ditetapkan juga
kawasan alternative untuk nelayan ketika harus melaut di kawasan yang dilarang dalam
zonasi. Jika diteruskan, dampak akan berlanjut tidak hanya pada masayrakat nelayan saja,
tetapi pada kondisi pariwisata di GIli Air. Menu utama di beberapa restaurant adalah Ikan-
ikan yang diperoleh oleh nelayan. Ketika jumlah ukan semakin terbatas, maka kondisi
pariwisata juga akan berkurang.

Proses keluar masuknya individu maupun kelompok melalui pariwisata akan memberikan
dampak pada akulturasi budaya. Artinya, kemampuan masyarakat untuk menerima
wisatawan yang dating juga menjadi pertimbangan dalam pariwisata. Ketika masyarakat
mampu menerima keberadaan pariwisata dalam kehidupan sehari-hari, ini akan menjadi
faktor enabler yang baik untuk pertumbuhan pariwisata secara berkelanjutan. Konsekuensi
yang diterima adalah akulturasi budaya. Misalnya, hampir seluruh masyarakat di GIli Air
mampu berbahasa inggris secara oral, karena setiap hari berinteraksi dengan wisatawan
mancanegara. Walaupun tidak dengan komposisi grammar yang baik, namun hal ini menjadi
‘entry point’ yang baik bagi pengembangan kapasitas masayrakat. Wisatawan juga membuat
masyarakat Gili Air lebih ‘melek’ Teknologi dan informasi. Namun, akulturasi juga terjadi
pada budaya ‘pesta’. Masyarakat lokal memiliki kegiatan lokal berupa upacara atau ritual
adat untuk berterimakasih kepada Tuhan karena telah diberikan kesempatan untuk mengolah
hasil laut. Di GIli Trawangan, kegiatan lokal ini hilang secara drastic, dan tergantikan oleh
‘western party’ hampir di setiap Bar pada malam hari. Tatto dan minuman keras dan sudah
bukan hal asing bagi masayarakat GIli Trawangan.

Berbeda dengan Gili Air yang senantiasa menjaga nilai-nilai lokal dan adat, upacara tetap
dilakukan, bahkan menjadi salah satu paket wisata yang menjanjikan bagi wisatawan. Tidak
jarang wisatawan sengaja berkunjung ke GIli Air hanya untuk melihat prosesi adat dan ritual
ini (bahasa lokal: Selamat Labuhan, Nyawen, dan mandi safar)

Gambar 6. Prosesi Mandi Safar di GIli Air

Nilai-nilai budaya dan nilai lokal yang tetap dijaga dan akan selalu direvitalisasi menjadikan
GIli Air sebagai pulau eksotis dengan ragam pariwisata yang unik. Artinya, masayrakat GIli
Air merupakan faktor Enabler masuknya pariwisata, namun faktor ini juga tetap dikuatkan
dengan nilai-nilai lokal yang menjadi aturan hidup masyarakat GIli Air sejak lama. Maka dari
itu, Gili Air termasuk delam kategori pengelolaan pariwisata-budaya (culture tourism). Nilai
budaya justru menjadi ‘entry point’ bagi masuknya pariwisata.

Kedepannya, pelestarian dan revitalisasi nilai lokal menajdi tantangan seiring bertambahnya
jumlah wisatawan setiap tahunnya. Butuh dukungan dari banyak pihak untuk tetap
melestarikan budaya-budaya lokal. Mulai dari instansi pemerintah (DInas Kelautan dan
Perikanan, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, dan Dinas linnya), Lembaga Masyarakat /
LSM, masyarakat GIli Air, dan Perangkat Desa. Berdasrkan hasil diskusi kelompok,
masayrakat GIli Air mengatakan bahwa cukup Gili Trawangan yang mengalami akulutrasi
secara massive, GIli Air akan menyaring budaya baru yang masuk, dan tetap
mempertahankan budaya lokal.

Kebutuhan Masyarakat Gili Air dan Pariwisata


Infrastruktur menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan bagi perkembangan pariwisata
dimanapun kegiatan ini dilakukan. Sejauh ini, tidak terdapat masalah terkait infrastruktur
dalam penyelenggaraan pariwisata di GIli Air. Namun bukan berarti beberapa tahun kedepan
akan terbebas dari masalah.

1. Kebutuhan akan pasokan makanan menjadi sebuah ketergantungan bagi masyarakat GIli
Air. Sebagian bear (kecuali ikan) makanan yang berada di GIli Air di suplai dari Pulau
Lombok. Masayrakat GIli Air telah berada dalam ‘zona nyaman’ pada sistem
keterganungan distribusi barang dari luar. Belum terpikirkan ketika terjadi bencana alam
dan melumpuhkan aktifitas pelabuhan Bangsal (pelabuhan utama menuju GIli Matra)
secara total. Otomatis suplai makanan akan terhenti seketika.

Berangkat dari hal ini, perlu diupayakan kembali konsumsi makanan lokal yang jauh
sebelum pariwisata menjadi sebuah kedaulatan (pangan) masyarakt GIli Air. GIli Air
dinamakan ‘GIli Air’ adalah karena banyak terdapat air di beberapa titik, yang
menjadikan tanah menjadi subur. GIli air merupakan sumber makanan dari dua gili di
sekitarnya (Trawangan dan Meno). Namun, masuknya pariwisata mengakibatkan
kedaulatan pangan ini berubah menjadi ketergantungan bahan pangan secara perlahan.
Memang ketersediaan makanan di GIli Air menyesuaikan dengan selera para wisatawan.
Namun, tidak ada salahnya mencoba menyajikan makanan lokal dari bahan lokal yang
berada di GIli Air. Sehingga mengutangi ketergantungan dari Pulau Besar, Lombok.
Karena tidak jarang, dengan komposisi menu yang sudah disesuaikan dengan selera
wisatawan (western food), wisatawan justru memilih untuk menikmati makanan khas
Indonesia, seperti nasi goreng dan sate.

Solusi alternatif:
a. Menciptakan kembali kedaultan pangan di Gili air, dengan cara mengembangkan
tanaman lokal di lahan yang masih kosong. Menurut hasil diskusi, 70% kepemilikan
lahan di Gili air masih didominasi oleh masyarakat setempat dengan status
kepemilikan ‘turun-temurun’ (adat) dan bersertifikat. Sisanya, dimiliki oleh investor
dari luar GIli (masih didominasi oleh WNI) dan lahan pemerintah. Dengan
memanfaatkan lahan-lahan yang ada, secara bersama-sama, dan dengan ketentuan
yang disepakati bersama, penanaman sumber pangan di lahan di Gili air dapat
meminimalisir ketergantungan pasokan makanan dari luar. Dengan demikian biaya
yang dikeluarkan oleh masyarakat dan pengelolan wisata akan lebih rendah. Hal yang
perlu menjadi pertimbangan adalah, makanan pokok tidak selalu beras ataupun nasi.
Sejarah Gili air mengatakan bahwa makanan pokok masyarakat Gili Air sebelum
pengembangan pariwisata adalah ubi dan singkong, dimana ketika makanan pokok ini
diolah menjadi sesuatu yang memiliki cita rasa tinggi, dapat menjadi pilihan utama
menu di restaurant dan café.
b. Mengembangkan panganan lokal sebagai menu utama di restaurant dan café-café di
Gili air.
c. Pengembangan panganan lokal akan meminimalisir pengggunaan bahan plastic yang
merupakan masalah utama sampah di Gili Air. Estetika merupakan aspek yang
penting dalam pengembangan pariwisata, tidak lepas juga dari aspek ekologis.
Dengan menekan laju penggunaan bahan plastic melalui pengembangan pangan lokal.
d. Masa tanam dan masa panen bahan pangan lokal sejatinya dapat menjadi sebuah paket
wisata tersendiri, demikian halnya dengan pengolahan bahan pangan lokal tersebut.
Artinya, selain panorama eksotisme taman bawah laut dan budaya, harvesting season
juga dapat menjadi salah satu stimulant pengembangan pariwisata di Gili air.
e. Pengembangan pangan lokal akan membantu meningkatkan kapasitas masyarakat dan
meningkatkan pendapatan masayrakat yang bermata pencaharian bukan pengelola
pariwisata, atau enabler pengembangan pariwisata secara tidak langsung.

2. Ketergantungan menjadi masalah utama bagi kecukupan air di GIli Air. Walaupun jauh
sebelum pariwisaata maasuk ke gili air, jumlah air melimpah, namun kini untuk
memenuhi kebutuhan air, masyarakat GIli Air harus menyebrang ke Pulau Lombok, atau
meminta ‘delivery’ air setiap dua hari sampai dengan 4 hari sekali. Beberapa diantaranya
telah mencoba menampung air hujan dalam wadah sebagai upaya menyediakan
kecukupan air.

Oleh karenanya, pembangunan pariwisata GIli Air kedepannya harus memenuhi aspek
kebutuhan dasar bagi masyarakat dan keberlanjutan pariwisata. Oleh karena itu,
pembangunan yang dilakukan pun tidak hanya berperspektif pada estetika atau utilitas
akses transportasi saja, namun perencanaan pembangunan yang dilakukan harus bisa
menjaga keberlanjutan dan kecukupan dari kebutuhan-kebuthan ini.

Solusi Alternatif:
a. Masyarakat Gili Air dan GIli Matra secara umum telah memasukkan pengadaan
perpipaan bawah laut (diluar ADD dan DAK) untuk distribusi air dalam Musyawarah
Pengembangan Desa (MusrenbangDes) dan telah diakomodir dalam poin-poin
RPJMDes Gili Indah (Matra). Permasalahannya adalah tidak serta merta melakukan
pengajuan pengadaan saja, namun perlu dilakukan pengkajian lebih lanjut terkait
kondisi dasar perairan laut. Adanya aturan zonasi yang dilarang untuk melabuhkan
sampan atau perahu merupakan sisi positif untuk meminimalisir kerusakan perpipaan
(jika direalisasi) oleh jangkar sampan atau perahu. Biaya pengadaan, operasional dan
maintenance menjadi catatan tambahan untuk usulan perpipaan bawah laut. Namun
untuk investasi jangka panjang, manfaat yang akan diterima dari investasi yang besar
ini akan memberikan stimulant untuk pertumbahan pariwisata yang lebih baik dan
berkelanjutan.
b. Membuat atau mengajukan instalasi Desalinasi air laut sederhana yang tidak
berukuran besar untuk memenuhi kebutuhan kecukupan air di Gili air secara khusus,
dan Gili Matra secara umum.
c. Malekukan Rain harvesting pada saat musim hujan. Curah hujan Kabupaten Lombok
utara cukup tinggi (147,67 mm pada tahun 2008), sehingga dapat dimanfaatkan
sebagai sumber air baku untuk kebutuhan kehidupan dan pariwisata. Air hujan yang
ditampung akan di saring (filtrasi) terlebih dahulu dengan metode sederhana untuk
skala rumah tangga, dan metode yang lebih kompleks (missal: bio-sand filter) untuk
skala hotel dan penginapan lainnya sebelum digunakan sebagai air baku. Jika
digunakan untuk air bersih (bahan baku air minum), maka perlu dilakukan pemanasan
terlebih dahulu untuk meminimalisi bakteri pathogen dan unsure kimia yang
terkandung dalam air (asumsi nya adalah air hujan yang turun adalah air hujan yang
terindikasi asam). Pemanasan skala rumah tangga dapat dilakukan dengan sederhana
menggunakan tungku ataupun kompor (dimasak), kemudian untuk skala hotel atau
penginapan, dapat menggunakan metode pemanasan yang lebih panjang , seperti
menggunakan UV (penyinaran).
d. Restorasi lahan resapan air dan run off dengan meminimalisir penggunaan bahan
pendukung pariwisata yang dapat menghambat laju infiltrasi air ke dalam tanah.
Dengan demikian, kestabilan akuifer (air tanah permukaan) dalam tanah dapat terjaga
kuantitasnya. Berkurangnya kuantitas akuifer dapat mengakibatkan penurunan muka
tanah (land subsidence) seprti misalnya Jakarta. Penurunan muka tanah untuk pulau
kecil akan berakibat sangat serius, yaitu akan berkurangnya luasan pulau. Dengan
terjaganya proses infiltrasi, masayrakat dan pengelola pariwisata dapat memanfaatkan
air tanah (sumur) dengan ketentuan yang harus disepakati bersama, agar tidak terjadi
over eksploitasi air tanah.

3. Kemandirian energy di GIli Air dapat dikatakan cukup terpenuhi. Pasokan listrik melalui
kabel bawah laut dari Lombok menjadi salah satu solusi. Namun tetap perlu
mempertimbangkan ketika terjadi konsleting arus lirtrik, sehingga tidak dapat bekerja
dengan baik dalam menusplai kebutuhan listrik di GIli Air. Sekitar tahun 2012 T-File,
sebuah kelompok pemuda Institut Teknologi Bandung mensurvey perairan GIli matra
untuk kelayakan dan kecocokan pemasangan instalasi pembangkit listrik tenaga arus laut
terapung. Berdasarkan hasil kajian T-Files, arus perairan GIli matra dinyatakan kurang
kuat, sehingga belum bisa untuk mengoprasikan instalasi secara optimal.

GIli air juga memiliki generator pembangkit listrik besar di bagian tengah pulau.
Tujuannya adalah untuk mengantisipasi jika terjadi konsleting pada suplai energy listrik
melalui kabel bawah laut. Namun, karena terlalu lama tidak digunakan, ketika terjadi
konsleting, generator ini tidak dapat berfungsi dengan baik, sehingga penerangan yang
digunakan adalah menggunaka penerangan sederhana seperti lampion dan lampu
minyak. Pertimbangan lebih adalah, sebuah pulau kecil seharusnya memnimalisir
penggunaan mesin berbahan bakar fossil yang menghasilkan emisi udara.

Suplai energy penting untuk menjadi pertimbangan pengembangan pariwisata. Aktifitas


yang dilakukan wisatawan tidaklah sama antara satu dan lainnya keitika melakukan
aktifitas pariwisata. Beberapa wisatawan lebih senang menikmati ‘view’ yang indah
sambil menulis atau mengejakan laporan menggunakan gadget (missal: laptop). Tentu ini
mebutuhkan suplai energy yang baik, selain itu wifi di setiap Bar juga pasti akan
membutuhkan listrik untuk dapat diaktifkan. Kedepannya, dirasa perlu untuk melakukan
controlling dan monitoring serta maintenance peralatan yang digunakan untuk mensuplai
energy listrik, dan generator sebagi alternative pembangkit listrik.

Solusi Alternatif:
a. Rumah tangga masyarakt juga membutuhkan energy yang cukup untuk memasak
sehari-harinya. Dalam hal ini, bukan energy listrik yang digunakan, namun kayu
bakar dan LPG. Untuk kayu bakar, telah ada peraturan desa dan diperkuat dengan
awiq-awiq terkait wilayah yang boleh diambil kayu nya, berapa jumlahnya, dan
bagaimana mekanisme penanaman ulang (awiq-awiq yang berlaku: ambil 1, tanam
5). Peraturan Desa ini telah disesuaikan dengan wilayah zonasi, agar tidak terjadi
pelanggaran zonasi dan masyarakat tetap dapat memenuhi kebutuhannya.
b. Khusus untuk LPG, merupakan kasus yang sama dengan pangan di GIli air, yaitu
harus di suplai dari Lombok. Beberapa UKM di GIli air telah menyediakan LPG 3
Kg untuk memnuhi kebutuhan masyarakat dan pariwisata. Artinya, cukup hanya
beberapa UKM saja yang berangkat ke Lombok untuk mendapatkan LPG, sehingga
masyarakat dapat memnuhi kebutuhannya, serta hotel dan restaurant dapat
melanjutkan aktifitas pariwisatanya.
c. Pengembangan energy alternative untuk mencukupi kebutuhan akan energy listrik.
Misalnya adalah memanfaatkan energy matahari dengan menggunakan solar panel.
Dengan adanya solar panel, emisi bahan bakar fossil akan menjadi berkurang dan
secara perlahan akan memperbaiki carrying capacity pulau.
d. Transportasi utama di GIli Air (dan dua Gili lainnya) adalah Sepeda dan cidomo
(dokar). Awiq-awiq dan peraturan desa menyatakan bahwa setiap pemilik cidomo
harus mengelola sendiri kotoran yang dihasilkan kuda, apabila terjadi kemungkinan
terburuk misalnya adalah kotoran kuda yang tercecer dijalan, maka cidomo milik
masyarakat tidak boleh beroprasi lagi. Beberapa masayrakat juga masih memelihara
beberapa hewan ternak seperti ayam, sapi dan kambing.
Jika dilakukan pengkajian yang lebih mendalam, kotoran ternak (kuda, ayam, sapi
dan kambing) dapat dimanfaatkan sebagai biogas untuk menggantikan penggunaan
kayu bakar. Dari segi ekologis, pemanfaatan biogas lebih ramah lingkungan dari
pada pembakaran yang berasal dari kayu bakar. Sama halnya dengan masa panen
panganan lokal, pembuatan biogas dapat menjadi paket wisata berwawasan
lingkungan di Gili Air. Artinya, tidak hanya wisata panorama dan panen, namun Gili
Air berpotensi menjadi role model pengembangan pariwisata berwawasan
lingkungan dan budaya.

4. Untuk menjadikan ini sebuah siklus kehidupan berpariwisata yang kompleks,


keberlanjutan mata pencaharian sangat penting untuk kesjehateraan masyarakat.
Masyarakat GIli Air sangat bergantung padapariwisata, sehingga, ketika terjadi Bom Bali
pada tahun 2002 dan 2005, travel warning menjadi ancaman utama untuk kemajuan
pariwisata. Bagi nelayan, tidak dapat menjual di GIli Air, maka dapat menjual ke Pulau
Lombok, walupun cost lebih banyak, namun proses penjualan tetap berjalan. Bagaimana
dengan pelaku pariwisata secara langsung, tentu tidak dapat berbuat apa-apa selain
menunggu dan kembali membangun pariswisata di GIli Air melalui media-media
promosi.

Dari kasus bom bali, dirasa penting untuk membuat keberlanjutan mata pencaharian.
Artinya, bukan berarti pekerjaan yang dilakukan tidak mendapatkan kendala, namun
harus mempertimbangggkan apabila ada situasi diamana masyarakat tidaka dapat
melakukan aktifitas tersebut. Artinya, perlu untuk mempertimbangkan alternative mata
pencaharian ketika pekerjaan utama tidak dapat dilakukan.

Bottom-up concept
Perencanaan pengembangan pariwisata yang dilakukan sebagikanya berangkat dari
masyarakat. Bukan berarti permintaan masyarakat harus dipenuhi, tetapi perlu dikaji lebih
lanjut untuk dapat diimplementasikan dengan memeprtimbangkan aspek ekonomi,
infrastruktur, ekoligi, sosial, budaya, dan regulasi. Penilian dan apresisasi utamanya adalah
pada proses pelibatan masyarakat dari awal. Proses partisipatif ini memberikan semangat
yang luar biasa bagi masyarakat untuk mengembangkan potensi yang mereka miliki. Proses
partisipatif dalam hal ini tidak seperti musrenbangdes ataupun fasilitasi PNPM-MP, yang
kebanyakan orientasinya mengacu pada infrastruktutr. Pelibatan masayrakat dalam hal ini
adalah menemukan solusi untuk permasalahan yang mereka hadap, seperti ketergantungan,
peningkatan pendidikan, kebutuhan air, dan pemunuhan hak nya sebagai masyarakat.

Untuk itu, pada bulan Juni 2013, para pemuda Gili Air, mencoba menginisiasi diskusi terkait
arah pengembangan wilayah pulau GIli Air dan pariwisata gili air. Diskusi ini melibatkan
banyak pihak, termasuk wisatawan(mancanegara dan domestic), baik yang mengikuti proses
diskuis di Kantor Desa Gili Matra (kantor desa berada di Dusun GIli Air) maupun yang
diwawancarai ketika bertemu dijalan. Pemerintah desa berperan sebagai narasumber utama
dan pemberi pertimbangan, serta pengawal hasil diskusi. Sedangkan beberapa LSM juga turut
menghadiri dan mengkoordinir kehadiran narasumber-narasumber yang dapat membantu
proses diskusi.
Gambar 7. Proses Diskusi Paritisipatif Perencanaan Pembangunan GIli Air

Hasil diskusi ini tidak serta merta dibiarkan begitu saja atau hanya dibawa ke tingkat
musrenbangdes. Tetapi akan coba di integrasikan dengan konsep Pengembangan Desa pesisir
Tangguh yang di inisiasi oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan, Direktorat Jenderal
Kelautan pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Integrasi ini diakukan dengan tiga tahapan: (1) Desa
Gili Matra meruapakan Desa Kajian I-CATCH (Indonesia-Coastal Adaptation Tools for
Coastal Habitat) yang merupakan kerjasama antara USAID dan KKP. Hasilnya, 10 Desa
kajian (dari total 25 Desa) di Lombok dan sekitarnya akan dikembangkan menjadi Desa
pesisir Tangguh; (2) peremuan antara perwakilan Dirjen KP3K dengan Komunitas Masyrakat
Sunda kecil-maluku di Maluku Utara menginisiasi sebuah konsep pengembangan pesisir dan
pulau kecil yang dapat di integrasikan dengan PDPT; dan (3) hasil dari masyarakat akan
docoba untuk menjadi program pemerintah daerah, sehingga pada proses implementasinya,
akan disesuaikan kembali dengan program yang sebelumnya telah direncanakan
Artinya, perencanaan pembangunan tidak dapat dilakukan oleh satu pihak saja, entah itu
pihak pemerintah daerah saja, atau masayrakat saja, atau bahkan investor saja. Perencanaan
harus melibatkan seluruh pihak yang terkait, bukan pelibatan dari segi informasi, namun dari
segi prosesnya. Kolaborasi multipihak yang dilakukan akan mengundang Investasi-investasi
lain karena melibatkan banyak pihak. Oleh karenanya, hasil yang dibuat masyarakat secara
bersama-sama dipresentasikan di Kantor Bupati bersama Bupati dan para SKPD, dan
perwakilan Dirjen KP3K KKP. Hasilnya, bebrapa menjadi catatan bagi SKPD untuk
melakasanakan program, terutama yang terkait dengan pariwisata. Namun, tidak berarti
perenecanaan pembangunan hanyan berorientasi pada pariwisata, namun kompleksitas aspek
menjadi landasannya.

Gambar 8. Presentasi Tingkat Kabupaten Untuk Kolaborasi Multipihak

Outcome nya, Bottom-up akan tidak berarti apa-apa ketika tidak ada foloow up yan
berkelanjutan. Demikian halnya dengan proses perencanaan lainnya, folloe up menjadi
validasi dan verifikasi bahwa perencanan yang dilakukan diterima berbagai pihak.

Prospek Pengembangan Pariwisata Gili Air Kedepan

Peraturan Daerah Kabupaten Lombok Utara No 11 Tahun 2011 menetapkan Kawasan Gili
Matra sebagai kawasan strategis pengembangan ekonomi sector pariwisata, bersama dengan
Kawasan Sira-Medana. Kawasan strategis ini mendapatkan prioritas utama dalam
perencanaan pembangunan daerah karena semenjak Kabupaten Lombok Utara resmi menjadi
Kabupaten Pemekaran (Definitif tahun 2010), pendapatan terbesar daerah berasal dari (sesuai
urutan) pariwisata, perikanan, perkebunan dan pertanian.

Dalam prosesnya, pengadaan dan perbaikan infrastruktur dan promosi menjadi prioritas
pengembangan pariwisata Gili Matra. Infrastruktur yang dimaksud mulai dari akses
transportasi darat dan laut di Lombok dan sekitarnya, sampai dengan angkutan penyebrangan
menuju Gili Matra secara umum, dan Gili Air secara khusus. Kemudian prasaran akomodasi
dan advertising, baik melalui media visual, eletronik, maupun cetak.
Sejalan dengan pengadaan dan perbaikan infrastrukur, beberapa komponen baik internal
maupun eksternal menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam prosesnya. Diantaranya
adalah MP3EI yang secara nasional (skala koridor dan general provinsi) mengakomodir
pertumbuhan ekonomi dari berbagai sector sesuai dengan potensi dan karakteristik yang ada
di setiap daerah. Berikutnya adalah multi-institutional atau kelembagaan multipihak yang
menjadi stakeholder dalam mengawal perkembangan pariwisata Gili Matra secara umum dan
Gili Air secara khusus sampai dengan Pariwisata berkelanjutan.

MP3EI sebagai media percepatan pertumbuhan ekonomi

MP3EI memainkan perannya dengan membagi koridor-koridor ekonomi di Indonesia. NTB


tergabung dalam Koridor 5 bersama Bali dan Nusa Tenggara Timur (Bali-Nusra).
Pengembangan Koridor Ekonomi Bali–Nusa Tenggara mempunyai tema Pintu Gerbang
Pariwisata dan Pendukung Pangan Nasional. Tema ini diharapkan dapat meningkatkan
kesejahteraan masyarakat di koridor ini yang mana 17% penduduknya berada di bawah garis
kemiskinan serta memiliki ketmpangan pendapatan yang cukup tnggi yaitu sebesar IDR 17,7
juta per kapita (antara kabupaten/kota terkaya dan termiskin di dalam koridor ini). Namun
demikian, koridor ini memiliki kondisi sosial yang cukup baik, sebagaimana terlihat dari
tngginya tngkat harapan hidup sebesar 63 tahun, tngkat melek huruf sebesar 80 persen serta
tngkat PDRB per kapita sebesar IDR 14,9 juta yang lebih tnggi dibandingkan PDB per kapita
nasional sebesar IDR 13,7 juta.

Pembangunan kepariwisataan di Koridor Ekonomi Bali – Nusa Tenggara difokuskan pada 9


Destnasi Pariwisata Nasional. Sistem industri jasa memiliki peranan strategis untuk
meningkatkan penyerapan tenaga kerja, mendorong pemerataan kesempatan kerja dan
pemerataan pembangunan nasional. Selain itu, juga memberikan kontribusi dalam perolehan
devisa negara serta berperan dalam mengentaskan kemiskinan.

Peningkatan jumlah kunjungan wisman pada tahun 2010 berdampak pada nilai kontribusi
pariwisata yaitu sebesar USD 7,6 miliar dengan kenaikan dari tahun 2008 sebesar USD 7,3
miliar. Rencana Induk Pembangunan Pariwisata Nasional (Ripparnas) 2011 – 2025
menegaskan bahwa pembangunan kepariwisataan nasional sampai dengan 2025,
menargetkan kunjungan wisman mencapai 20 juta orang per tahun (skenario positf)

Gambar 8. Kondisi Pariwisata Bali-Nusra Bagi Perekonomian Indonesia

Selain itu sebagai pusat pertumbuhan di Koridor Ekonomi Bali – Nusa Tenggara, Bali juga
memiliki tngkat pertumbuhan pariwisata yang stabil dan ditandai dengan jumlah kunjungan
wisatawan cenderung meningkat, yaitu sebesar 1.328.929 orang (2006), 1.741.925 orang
(2007), 2.081.786 orang (2008), 2.384.819 orang (2009), 2.546.023 orang (2010), dengan
rata-rata tngkat hunian hotel lebih dari 60 persen. Bali juga memiliki jalur penerbangan
nasional ke berbagai destnasi Indonesia dan penerbangan internasional dari dan ke Bali
dalam jumlah yang memadai sehingga Bali mempunyai kemampuan sebagai pintu gerbang
sekaligus pusat distribusi pariwisata di Indonesia.

Tabel 7. Data Pariwisata Koridor Bali-Nusra terhadap Perekonomian Indonesia

Keterangan: Data sementara tahun 2010 kunjungan wisman direct ke Bali – Nusa Tenggara
melalui Bandara Ngurah Rai, Pelabuhan Padang Bai, Benoa, Bandara Selaparang dan
Pelabuhan Benete, Bandara El Tari, lintas batas Atambua, Pelabuhan Maumere dan Kupang.
Sumber: P2DSJ Kemenbudpar dan BPS
Beberapa strategi umum dalam MP3EI untuk dapat meningkatkan jumlah kunjungan dan
lama tnggal wisatawan selama berkunjung ke Bali – Nusa Tenggara, antara lain:
 Meningkatkan keamanan di dalam Koridor Bali – Nusa Tenggara, antara lain melalui
penerapan sistem keamanan yang ketat;
 Melakukan pemasaran dan promosi yang lebih fokus dengan target pasar yang lebih
jelas. Strategi pemasaran untuk setap negara asal wisatawan perlu disesuaikan dengan
menerapkan tema ”Wonderful Indonesia, Wonderful Nature, Wonderful Culture,
Wonderful People, Wonderful Culliner,dan Wonderful Price”. Kegiatan pemasaran
dan promosi ini diharapkan dapat membuat Bali menjadi etalase pariwisata dan
meningkatkan citra Bali sebagai tujuan utama pariwisata dunia;
 Memberdayakan Bali Tourism Board untuk mengkoordinasikan usaha pemasaran dan
promosi Bali;
 Meningkatkan pengembangan destnasi pariwisata di wilayah Bali Utara dalam rangka
meningkatkan kualitas daya dukung lingkungan dan lama tnggal wisatawan;
 Meningkatkan destnasi pariwisata di luar Bali (Bali and Beyond) dengan menjadikan
Bali sebagai pintu gerbang utama pariwisata Indonesia sepert wisata pantai (Bali,
Lombok, NTT), wisata budaya (Bali), wisata pegunungan (Jatm, Bali, Lombok), dan
wisata satwa langka (Pulau Komodo). Kunci sukses dari strategi ini adalah dengan
pengadaan akses sepert peningkatan rute penerbangan ke daerah-daerah pariwisata di
sekitar Bali, yang disertai pemasaran yang kuat dan terarah;
 Meningkatkan kualitas dan kenyamanan tnggal para wisatawan dengan meningkatkan
sarana dan prasarana sepert ketersediaan air bersih, listrik dan transportasi serta
komunikasi;
 Meningkatkan pemberdayaan masyarakat lokal terutama SDM pariwisata di NTB dan
NTT, serta mengembangkan gerakan sadar wisata khususnya di wilayah Nusa
Tenggara

Selain meningkatkan jumlah wisatawan yang berkunjung ke Koridor Ekonomi Bali – Nusa
Tenggara, faktor lain untuk meningkatkan pendapatan kegiatan ekonomi utama ini adalah
meningkatkan jumlah pembelanjaan wisatawan. Perubahan pola ekonomi dunia juga
mempunyai dampak pada pariwisata daerah. Oleh karena itu, pemerintah dan industri
pariwisata harus secara proaktf mengidentfkasi dan mengeksplorasi pasar-pasar baru yang
bisa mendorong laju pertumbuhan pariwisata di masa mendatang

Regulasi dan Kebijakan Dalam rangka melaksanakan strategi umum tersebut, diperlukan
dukungan regulasi dan kebijakan berikut:
 Kemudahan perluasan pemberian Visa Entry, Visa On Arrival dan Visa On Board
bagi wisatawan mancanegara serta perpanjangan visa bagi pengguna kapal layar
yacht asing;
 Pengembangan standar pembangunan terminal cruise dan marina sekaligus sebagai
port of entry;
 Mempermudah pemberlakuan CAIT (Clearance Approval for Indonesian Territory)
bagi wisatawan asing pengguna kapal layar yacht;
 Mengurangi/menghilangkan biaya impor sementara bagi pelaku asing wisata bahari
(kapal layar yacht) yang masuk ke dalam wilayah perairan Indonesia;
 Meninjau kembali RTRW Bali, NTB dan NTT untuk mendukung rencana
pengembangan pariwisata di Bali;
 Penyusunan Standard Operatng Procedure (SOP) percepatan perizinan dan
penyediaan Pelayanan Terpadu Satu Atap untuk semua perizinan untuk
pengembangan kawasan wisata.

Konektvitas (infrastruktur) Selain hal di atas, pemenuhan kebutuhan infrastruktur dalam


rangka peningkatan konektvitas untuk mendukung pengembangan kegiatan ekonomi utama
pariwisata, dilakukan melalui:
 Peningkatan kapasitas dan pelayanan bandar udara, sepert pengembangan bandar
udara di Lombok yang dapat diberdayakan sebagai “matahari kembar” selain Bandara
Ngurah Rai (untuk membagi beban lalu lintas penumpang yang ada di koridor
ekonomi ini, karena jumlah pengunjung yang akan masuk ke koridor ini
diproyeksikan akan melebihi kapasitas Bandar Udara Ngurah Rai pada tahun 2020);
 Peningkatan kapasitas dan pembangunan infrastruktur jalan, sepert rencana
pembangunan Jalan Tol Nusa Dua – Benoa;
 Peningkatan akses jalan perlu ditngkatkan untuk menghubungkan daerah-daerah
pariwisata di luar Bali bagian selatan dan di dalam wilayah NTB dan NTT;
 Pembangunan Kereta Api Wisata Lingkar Bali (dalam rencana jangka panjang);
 Peningkatan pelabuhan dan marina yang telah ada agar memenuhi standar (sepert
kapal cruise dan kapal layar yacht);
 Pembangunan pembangkit listrik baru yang dapat meningkatkan ketersediaan listrik
bagi Bali dan Nusa Tenggara.

Terkait dengan Pembangunan Koridor Ekonomi Bali – Nusa Tenggara teridentfkasi rencana
investasi baru untuk kegiatan ekonomi utama Pariwisata, Perikanan, Peternakan serta
infrastruktur pendukung sebesar sekitar IDR 133 Triliun. Berikut ini adalah gambaran umum
investasi yang ada di Koridor Ekonomi Bali – Nusa Tenggara:

Tabel 8. Aglomerasi Indikasi Ivestasi


Kelembagaan (institusional) multipihak

Lembaga dalam artian institusi adalah segala sesuatu yang sifatnya berkelompok, memiliki
visi, misi dan tujuan dengan status berbadan hukum. Institusi pemerintahan, NGO, dan
lembaga ekonomi (UKM) merupakan beberapa institusi yang berstatus badan hukum.
Namun, kelembagaan yang dimaksudkan adalah lembaga yang dapt mengawal mulai dari
perencanaan, pengkajian, perancangan, implementasi, monitoring, dan evaluasi demi
menciptakan kepariwisataan yang berkelanjutan dan comprehensive.

Kelembagaan (institusi) ditekankan pada proses kolaborasinya, bukan pada objek


‘kelembagaannya’. Keterlibatan lembaga yang dibentuk secara swadaya oleh masyarakat
untuk meningkatkan kapabilitasnya menjadi scope terkecil dari kelembagaan, sampai pada
tingkatan tertinggi adalah pemerintah pusat (institusi pemerintahan).

Analisa kebutuhan pariwisata untuk kepentingan pertumbuhan ekonomi daeraha harus sejalan
dengan analisa kebutuhan masayrakat, sehingga tidak terjadi ketimpangan antara
pertumbuhan ekonomi pariwisata dan pertumbuhan ekonomi masayrakat. Pelibatan
masyarakat dalam kegiatan pariwisata harus menjadi program yang jelas.

Jika dilihat dari sisi penerimaan pariwisata terhadap kehidupan sosial dan ekonomi
masyarakat, faktor enabler menjadi prioritas utama. artinya masyarakat yang buka
merupakan enabler harus diperkuat kapasitasnya, baik oleh masayrakat yang enabler maupun
lembaga-lembaga yang memang bertujuan dalam peningkatan kapasitas. Karena ketika
masyarakat yang bukan merupakan enabler diabaikan, dikhawatirkan justru akan
mengganggu keberlanjutan pariwisata, sehingga ketimpangan pertumbuhan ekonomi justru
semakin terjadi. Dengan hal ini, tujuan dari MP3EI dan sustainable development belum bisa
diwujudkan.

Perencanaan konsep pun tidak dapat hanya melibatkan satu pihak saja, missal: salah satu
perusahaan BUMN saja, namun harus melibatkan banyak pihak ( lembaga). Seperti misalnya
Dinas perhubungan yang mengakomodir alur transportasi laut harus bersimbiosis dengan
Dinas Pariwisata yang memilki kewenangan atas pengelolaan pariwisata, kemudian kembali
bersimbiosis dengan Dinas ketenagakerjaan yang membuka pekerjaan bagi masyarakat di
Pelabuhan (lokal maupun regional). Dengan ini, masayrakat harus dilibatkan, misalnya
dengan meberi penyuluhan dan sosialisasi berantai kepada masyarakat lainnya terkait
pengelolaan pariwisata. Masayrakat yang bermata pencaharian sebagai pedagang secara
otomatis akan mempersiapkan dagangannya untuk mencukupi kebutuhan pariwisata.
Demikian dengan masayarakat petani dan nelayan, ataupun lainnya. Artinya, masyarakat-
masayrakat ini termasuk masayrakat yang enabler. Berdasarkan analisis ini, masyarakat yang
terkategorikan ‘tidak’ enabler harus diberdayakan dan ditingkatkan peran serta kapasitasnya
agar menjadi enabler, sehingga memberikan dampak positif bagi jalannya pariwisata dan
member manfaat terhadap masayarakat itu sendiri.
Pada intinya, kolaborasi multipihak (multi-stakeholder) antar institusi/kelembagaan harus
dipupuk dari hulu hingga hilir untuk mewujudkan pertumbuhan ekonomi yang seimbang dan
sustainability tourism. Tidak hanya pariwisatanya yang harus berkelanjutan, tetapi hubungan
kelembagaan juga tetap harus diperhatikan keberlanjutannya. Mulai dari kelembagaan
(institusi) lokal, institusi non pemerintah, akademik, dan Institusi pemerintah.
Lampiran

Awiq-awiq merupakan pranata atau aturan lokal yang dibuat, dilaksanakan dan diataati
bersama dilakukan oleh masyarakat setempat secara bersama, untuk mengatur hubungan
antar manusia, masyarakat dengan masyarkat, masyarakat dengan alam dan masyarakat
dengan pencipta. Awiq-awiq lahir atas kesepakatan bersama maka awiq-awiq pada
hakekatnya adalah aturan lokal yang merupakan hak untuk mengatur lingkungannya sendiri
dan merupakan aturan/kesepakatan yang dibuat dan dijalankan bersama.

Di Desa Gili Matra telah membuat sebuah Keputusan Nomor 12/Pem.1.1./06/1998 tentang
Awiq-awiq Pemeliharaan dan Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang. Pembuatan Awiq-
awiq ini dilaksanakan oleh Pengurus Kelompok Pelestarian Lingkungan Terumbu Karang
(KPLTK), dimana sekarang ini terdapat 3 KPLTK yang mewakili tiga dusun. Keputusan
awiq-awiq ini berbentuk formal seperti bentuk-bentuk surat keputusan yang biasa dipakai
oleh pemerintah. Bagian menimbang yang berisi keadaan potensi pesisir dan laut serta
kepedulian akan kondisinya yang terancam kerusakan. Bagian mengingat berisi berbagai
undang-undang dan peraturan tentang pengarutan pemanfaatan dan pelestarian SDA. Bagian
memutuskan berisi penetapan untuk mengeluarkan awiq-awiq desa yang terdiri dari 19 bab
dan 33 pasal, yaitu Ketentuan Umum, Zonasi Dusun Gili Air, Zonasi Dusun Gili Meno,
Zonasi dusun Gili Trawangan, Koleksi Biota Laut, Budidaya Mutiara, Kelembagaan dan
Sumber Dana Pengelolaan, Sangsi, Ketentuan Peralihan, dan Penutup. Dokumen ini
dilengkapi dengan sketsa yang bersifat makro yang menggambarkan letak zona-zona dengan
landmarks serta petunjuk mengenai kegiatan-kegiatan apa yang boleh, boleh dengan izin dan
tidak boleh di zona-zona tersebut.

Namun aturan tersebut dianggap gagal dalam penerapannya, sehingga muncul aturan lokal
yang baru yang dibuat oleh Lembaga Musyawarah Nelayan Lombok Utara (LMNLU),
tepatnya tanggal 19 Maret 2000 dan kemudian direvisi/disempurnakan pada tanggal 30-31
Agustus 2004 oleh berbagai komponen baik nelayan, tokoh masyarakat/tokoh agama,
Pemerintah Desa/Kecamatan dan LSM. Aturan ini lahir karena adanya persoalan-persoalan
yang berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan. Aturan formal yang
dibuat oleh pemerintah dianggap tidak mampu mengatasi persoalan-persoalan tersebut akibat
dari lemahnya penegakan hukum.

Dalam awiq-awiq ini memuat tentang pemeliharaan dan pengelolaan terumbu karang
kaitannya dengan pemanfaatan sektor perikanan dan sektor pariwisata. Dalam awiq-awiq
dijelaskan mengenai zonasi untuk beberapa jenis pengelolaan kawasan pesisir, yakni zona
konservasi, zona pemanfaatan untuk wisata serta zona pemanfaatan bagi perikanan (Awiq-
awiq Desa Gili Matra, 2001). Diberlakukannya awiq-awiq rusaknya beberapa kawasan
terumbu karang yang karena beberapa hal yaitu (Satria et al, 2002): (1) Penangkapan ikan
dengan menggunakan teknologi yang dapat merusak lingkungan seperti bom, potasium
sianida atau penangkapan ikan secara destruktif lainnya yang dapar mengancam kelestarian
laut; (2) Pengrusakan laut dengan menggunakan muroami, miniayem dan sejenisnya; (3)
Pengambilan karang untuk bahan kapur dan bangunan yang dilakukan penduduk setempat
maupun pengusaha lainnya yang dapat berpengaruh negatif bagi ekologi pesisir dan laut; (4)
Aktivitas transportasi wisata pantai dan kegiatan penyelaman (diving).

Degradasi sumberdaya terumbu karang di kawasan Gili Trawangan sejak elnino 1998 lebih
disebabkan karena faktor manusia. Degradasi yang disebabkan oleh faktor manusia hanya
bisa dikendalikan oleh ketegasan dalam menjalankan aturan dan sanksi yang diberlakukan.
Berbagai aturan telah dibuat dan disepakati untuk menjaga sumberdaya terutama terumbu
karang, seperti awig-awig, aturan zonasi pemerintah, aturan yang dibuat eco trust dan lain-
lain. Tapi masih ada pelanggaran terhadap aturan yang ada dan umumnya dilakukan oleh
masyarakat dan pelaku wisata. pelanggaran tersebut menyebabkan atau mengancam
keberlanjutan sumberdaya terutama terumbu karang.

Pemberian sanksi terhadap pelanggaran lebih bertujuan untuk meningkatkan kesadaran atau
mendidik dan tidak membuat jera terutama bagi para wisatawan untuk berkunjung atau
menyelam di Gili Trawangan. Sanksi yang bisa diterapkan adalah sanksi materi atau denda,
misalnya bagi setiap satu kali penyelam memegang karang dikenakan sanksi denda Rp. 25
000. Dana tersebut digunakan untuk perbaikan atau rehabilitasi eksositem dan kegiatan
konservasi yang lainnya.

Anda mungkin juga menyukai