Anda di halaman 1dari 6

Plato terlahir di Athena, Yunani sekitar tahun 429 SM dengan ayah yang bernama Ariston

dan ibunya bernama Perictione. Dalam catatan, Plato diketahui meninggal di usia 80 tahun,
atau tepatnya sekitar tahun 347 SM. Oleh orangtuanya, ia diberi nama sebagai Aristokles.
Nama Plato sendiri diberikan oleh gurunya karena perawakan yang tinggi, dengan wajah
rupawan dan bahu yang lebar.

Semasa kecilnya, Plato mendapatkan banyak ilmu pengetahuan diantaranya tentang pelajaran
menggambar, musik serta puisi. Sementara di masa remaja, Plato dikenal sebagai pemuda
yang ahir membuat sajak. Sebelum ia menjadi seorang filsuf terkenal, Plato sempat menerima
pendidikan dari para filsuf sebelumnya. Pelajaran filsuf pertamanya didapat dari seseorang
yang bernama Kratylos yang merupakan murid Herakleitos.

Ajaran filsuf Herakleitos yang diberikan pada Kratylos menjelaskan tentang segala sesuatu
akan berlalu ibarat seperti air. Sayangnya, ilmu tersebut sepertinya kurang begitu diminati
oleh Plato yang belakangan justru semakin penasaran tentang Sokrates. Plato pun berusaha
untuk terus mempelajari dan memahami filosofi Sokrates lebih jauh.

Kemampuan Plato dalam menyatukan unsur seni, filosofi, puisi dan ilmu, menjadikannya
sebagai sosok yang begitu istimewa karena sanggup mengikuti jejak Sokrates yang sanggup
menggabungkan berbagai unsur ini menjadi sebuah kesatuan. Dalam pemikirannya, Plato
menolak adanya hukuman. Baginya, hukuman adalah suatu bentuk kezaliman serta perilaku
yang tak bertanggungjawab yang ditunjukan kepada orang lain.

Filosofi Sokrates sendiri sepertinya banyak mendominasi diri dan pandangan yang dibuat
Plato. Inilah yang kemudian membuat Plato berpikir lebih baik menjadi korban kezaliman
ketimbang melakukan perbuatan zalim. Pasca meninggalnya Sokrates, Plato kemudian
melakukan perjalanan menuju ke Atena. Selama perjalanan 12 tahun itu, Plato tak sekedar
menjalani langkah dengan apa adanya. Ia menyempatkan diri untuk menulis dialog, buku dan
terus memperdalam ilmu matematikanya.

Salah satu pemikiran Plato yang terkenal dan terus berkembang adalah tentang idea. Ide
diawali dari logika rasional, atau bisa diterima oleh akal sehat lalu berkembang menjadi suatu
pandangan hidup. Tak hanya menjadi sebuah pandangan hidup saja, bisa saja ide tersebut
semakin berkembang menjadi dasar ilmu yang lain, seperti ilmu politik, ilmu sosial ataupun
ilmu agama.

Menurut Plato, ide bisa muncul dalam diri setiap manusia, dan tak selalu bergantung kepada
pendapat maupun pandangan orang lain. Tiap orang memiliki ide, walaupun perlu dicari
ataupun digali lebih jauh. Hal ini sepertinya sedikit banyak dipengaruhi oleh ajaran Sokrates
yang menjelaskan bahwa budi adalah pengetahuan.

Dengan kata lain, ajaran tentang pengetahuan adalah hal penting untuk membangun budi
yang berdasar pada pengetahuan. Baik Plato maupun Sokrates, keduanya sama-sama mencari
makna dibalik pengetahuan dan budi. Keduanya menjelaskan bahwa pengetahuan dan budi
tidak didapatkan dari pengalaman maupun dari pandangan.
Plato menganggap bahwa ide adalah suatu kondisi yang nyata, dan bukan hasil dari sebuah
pemikiran. Selain itu, ide juga tak hanya berhubungan dengan jenis, melainkan bentuk dari
ide itu sendiri secara nyata maupun dalam kondisi yang sebenarnya.

“Every heart sings a song, incomplete, until another heart whispers back. Those who wish to
sing always find a song. At the touch of a lover, everyone becomes a poet.”
―  Plato

Plato juga memiliki argumen tentang dunia yang tidak memiliki tubuh, yaitu dunia yang bisa
diketahui tanpa perlu pandangan atau pengalaman. Segala sesuatu tak harus berubah atau
bergerak, tetap ada ataupun abadi. Dalam kondisi seperti ini, ide bisa menghasilkan sebuah
pengetahuan yang sejati.

Hakikat Alam Semesta Menurut Plato


Bagi Plato, realitas alam yang kita hadapi sehari-hari bukanlah merupakan realitas yang
sesungguhnya. Ia merupakan sebuah realitas tiruan. Jika kita melihat seekor kambing, maka
seekor kambing itu adalah sebuah realitas tiruan dari idea seekor kambing yang sudah ada
sebelumnya di Alam Idea (Note: Alam Idea bukan alam pikiran). Idea selalu bersifat
sempurna, sedangkan tiruannya selalu memiliki kekurangan. Ketika kita melihat sekelompok
burung yang sejenis datang, maka sekelompok burung yang sejenis yang kita lihat tidaklah
lain merupakan hanya sebatas tiruan dari sebuah Idea mengenai seekor burung jenis tersebut.
Masing-masing dari burung tersebut telah mengambil bagian dari Idea-mengenai-burung
dengan realisasi yang tidak sempurna. Begitu pula ketika kita melihat fenomena masyarakat,
pasar, negara dan seterusnya.

Di Alam Idea, terdapat berbagai Idea-Idea yang meliputi segala perwujudan-yang-ada-di-


alam, yang biasa dan bisa kita jumpai sehari-hari. Namun, meskipun Idea-Idea itu dikatakan
sebagai sebuah kebenaran, bagi Plato, berbagai Idea-Idea tersebut juga belum merupakan satu
realitas kebenaran yang tertinggi. Sebab, Plato memberikan pandangan selanjutnya bahwa
Idea-Idea sifatnya bertingkat. Idea-Idea itu, jika direnungkan lebih jauh, maka ia adalah
hanya merupakan satu turunan dari prinsip-prinsip yang lebih abstrak: adanya keseimbangan,
keteraturan, keindahan, keadilan dan seterusnya-dan seterusnya. Dengan keabstrakan hal-hal
tersebut, maka Alam Idea pada dasarnya diisi oleh hal-hal yang sifatnya lebih dari sekedar
imej-imej yang masih ada kaitannya dengan hal-hal indrawi, melainkan dengan hal-hal yang
sifatnya intelektual. Bukti bahwa hal-hal tersebut bersifat intelektual dan tidak sekedar
indrawi adalah, bahwa kita tidak akan dapat memahami apa yang disebut keseimbangan,
keteraturan dan sebagainya tanpa kita masuk ke dalam permenungan intelektual itu sendiri.
Pada titik ini, kemudian Plato meletakkan Matematika sebagai bukti dari adanya “jembatan”
antara Alam Idea dan Intelektualitas manusia. Sebagaimana Pitagoras–dan kemudian metode
ini pada akhirnya dikembangkan dalam berbagai ilmu alam (ex. aritmatika, geometri,
kalkulus, fisika, psikometri dst.), Plato–sekali lagi–percaya bahwa alam semesta hanya bisa
diketahui dengan tepat melalui angka-angka.

Namun, dari prinsip-prinsip itu semua, Plato masih berpendapat bahwa hanya ada beberapa
saja prinsip tertinggi yang itu meliputi keseluruhan dari prinsip-prinsip tersebut, yaitu: Ke-
ADA-an yang paling Hakiki (biasa dipakai kata “Kebenaran” saja), Kebaikan, Keadilan dan
Keindahan. Dan keempat prinsip itu ada dalam satu Realitas Tertinggi yang membentuk satu
kesempurnaan dan keutamaan yang tidak bisa dipecah-pecah; Kebenaran Hakiki, itu
sekaligus Kebaikan itu sendiri, ia juga pasti sesuatu Yang Adil, dan juga Yang Indah. Plato
menyebutnya Agathon.

Dengan pandangan di atas, Plato dikatakan sebagai seseorang yang menganut sekaligus
pemberi dasar filosofis atas prinsip Dualisme (alam yang terbagi dua). Dua alam itu juga
sering diterjemahkan dengan istilah “Kosmos Neotos” (Alam intelektual) dan “Kosmos
Aisthetos” (Alam indrawi) yang punya hukum-hukum dan prinsip-prinsipnya tersendiri, atau
oleh sebagian kecil peneliti digunakan istilah akarnya, Horatos Topos  dan Neotos
Topos, yang sementara oleh Romo Setyo W. diterjemahkan dengan: Alam Visibel dan Alam
Inteligebel.

Bagaimana Kita Dapat Menggapai Kebenaran Hakiki Tersebut?


Plato mengenalkan istilah Anamnesis kepada kita. Anamnesis artinya “mengingat-ingat
kembali.” Ana = Membuka, Mnesis = Memori. Maksudnya adalah, jika kita hendak mencapai
pengetahuan mengenai yang hakiki, maka kita harus meninggalkan segala pengetahuan yang
indrawi dan segera mengerahkan kapasitas intelektual kita untuk menangkap ulang segala
yang berasal dari Alam Idea.

Apakah itu mungkin? Hal itu sangat mungkin, disebabkan dalam diri manusia terdapat
fakultas intelektual yang memungkinkan manusia bisa berjarak dengan alam indrawi dan
masuk ke dalam Alam Idea, sebagaimana manusia bisa memahami prinsip absolut dari
jumlah drajat sisi segitiga (hukum Pitagoras) yang dimiliki oleh seluruh jenis bentuk dan
perwujudan segitiga (segitiga sama sisi, segitiga sama kaki, potongan Pizza berbentuk
segitiga, sandwich, ujung mata panah, asbak segitiga dst.). Pencapaian terhadap Kebenaran
Hakiki tersebut juga dimungkinkan sebab apa yang disebut dengan Alam Idea bukanlah alam
yang ada di masa depan atau di atas langit berisi makhluk-makhluk mitologis dan Dewa-
dewa. Sesungguhnya, justru Alam Idea ada bersamaan dengan kehidupan kita saat ini, tetapi
ia tertutup oleh Alam Indrawi.

Dalam perbincangan sehari-hari, kata Anamnesis ini bisa kita kait-bandingkan dengan
fenomena “kedapatan inspirasi.” Meskipun, fenomena “kedapatan inspirasi,” lebih kepada
merujuk peristiwa tak sengaja, sedangkan Anamnesis berarti sebuah usaha aktif. Pula ruang
lingkup kata “terinspirasi” bisa mencakup berbagai objek-hal dari apapun, yang juga
terkadang bersifat perkara partikular, sedangkan kata Anamnesis ini dikhususkan arah
permenungannya kepada pengalaman bersentuhan dengan apa-apa yang terdapat di Alam
Idea, yang sifat hal-halnya universal. Pula, di sini hendak ditekankan bahwa sifat dari
Anamnesis bukanlah, merupakan sebuah kerja-pembuatan dan teknikal, melainkan lebih
kepada semacam disiplin permenungan yang sifatnya pra-teknikal; it’s personal
philosophical, not personal poetical.

Lantas dalam konteks pembicaraan kita saat ini, pertanyaannya, bagaimana kita dapat
mencapai Keindahan yang Hakiki?

Menggapai Keindahan
Dari pandangan mengenai Hakikat Kebenaran di atas, kita sebenarnya sudah bisa menangkap
bahwa Plato membedakan, antara apa yang orang-orang di masanya sebut sebagai sesuatu
yang indah sebab hal-hal yang dapat dinikmati oleh panca indra–apakah itu berupa realitas
objektif ataupun wujud dari sebuah produk berkesenian, dengan apa yang disebut sebagai
Keindahan Sejati yang itu merupakan sifat dari Kebenaran Sejati atau segala prinsip-
prinsipnya. Lebih jauh, Plato bahkan mengecam berbagai karya seni yang dibuat dengan
tujuan hanya untuk menimbulkan pemenuhan hasrat-hasrat indrawi dan duniawi
penikmatnya. Karya sastra yang demikian, hanya akan membuat manusia tidak segera
mengenai Hakikat Kesejatian hidup, alih-alih justru makin membuat mereka tersesat dan
makin tersesat tak berkesudahan dalam berbagai rangkaian kepalsuan dunia. Pada titik ini,
Plato kerap terlihat dan sekaligus dianggap sebagai seorang filsuf yang menyerang dengan
keras berbagai perkerjaan yang dilakukan oleh para seniman, di saat, justru capaian-capaian
hasil berkesenian di Yunani tengah mengalami masa puncaknya. Namun, bagi sebagian
kalangan, Plato juga dianggap sebagai wakil dari “gerakan asketis” yang mendahulukan
keugaharian (keruhanian) ketimbang keduniawian sebagaimana dua orang yang begitu
mempengaruhinya: Socrates yang rajin pergi ke kuil dan menyepi, serta Pitagoras yang
membentuk kelompok “tarekat” semasa hidupnya.

Salah satu bentuk “serangan” atau kritik yang dilakukan oleh Plato di antaranya diarahkan
kepada metode berkesenian (teknik) yang pada saat itu menjadi teknik mainstreem di
masanya, yaitu teknik Mimesis (Menirukan Kenyataan). Perlu diketahui, salah satu
kejeniusan berkesenian seniman-seniman Yunani adalah kepandaian mereka dalam
menciptakan berbagai karya seni: Patung, Naskah Cerita, Pementasan, Lukisan, dan
sebagainya yang mengambil berbagai hal yang tersedia secara indrawi di alam semesta, dan
menyuguhkannya dengan begitu akurat untuk kepentingan hiburan (persuasif-ilusif) dan
katarsis. Bahkan ada satu kisah, seorang pelukis Yunani mampu melukis buah anggur dengan
begitu akurat dan dengan lukisannya itu membuat burung-burung datang untuk mematukinya.
Plato mengatakan, manusia sudah tertipu oleh kenyataan alam indrawi, dan dengan karya seni
yang sifatnya persuasif-ilusif itu, hal-hal yang demikian jelas sudah membuat banyak
manusia pun akhirnya tersesat lebih jauh lagi dalam keduniawian.

Pertanyaannya, apakah dengan itu berarti Plato benar-benar memusuhi praktik berkesenian?

Jawabannya, sesungguhnya tidak. Sebagaimana Plato begitu kecewa dan membenci sistem
demokrasi yang telah membuat Socrates gurunnya dijatuhi hukuman mati sebab berbagai
hasutan dan kebenaran yang dipermainkan kalangan cerdik pandai, namun tetap ia tidak
berpikiran bahwa negara mesti dibubarkan hanya perlu dilakukan penggantian tata cara dan
orientasi, begitu juga dalam berkesenian, Plato menginginkan adanya pengalihan orientasi
berkesenian pada masyarakatnya yang semula hanya untuk digunakan sebagai adu
ketangkasan dalam “meniru objek” juga orientasi berkesenian untuk menciptakan hiburan
yang persuasif-ilusif untuk menimbulkan perasaan “wah” saat menontonnya, atau sekadar
katarsis sesaat agar dikaryakan untuk mengarahkan penikmatnya kepada permenungan atas
Hakikat Kebenaran atau Keindahan Sejati. “Jari telunjuk yang menunjuk ke arah bulan,
bukanlah bulan itu sendiri.” Ungkapan yang pernah dikeluarkan oleh Jalaluddin Rumi
tersebut mungkin dapat mewakili apa yang sebenarnya ingin diungkapkan oleh Plato
mengenai bagaimana baiknya fungsi sebuah karya seni terhadap Keindahan Sejati dan
bagaimana seharusnya seorang pekerja seni mengarahkan penikmatnya terhadap keindahan
sebenarnya, bukan malah menjebaknya ke dalam perwujudan karya tersebut.

Sebuah karya seni yang baik menurut Plato, adalah sebuah karya seni yang ketika selesai,
mampu dijadikan sebagai alat pembangkit kerinduan kepada Keindahan yang Tinggi.

Hubungan Cinta dan Keindahan

Apa yang perlu juga disampaikan pada kesempatan ini salah satunya adalah, mengenai
hubungan antara Cinta dan Keindahan. Sebagaimana digambarkan oleh Plato melalui dialog
Socrates dalam Symposium: The Nature of Eros, Cinta adalah merupakan sebuah dorongan
(energi) yangmana selalu memiliki apa yang ditujunya. Cinta tidak pernah tidak memiliki
objek tujuannya, dan energi cinta tersebut tentu tidaklah sama dengan apa yang ditujunya.
Bukankah begitu? Nah, pertanyaannya, lantas apa yang dituju dari cinta itu sendiri?

Jika sejumlah orang ditanya, apa yang dituju dari cintanya? Mungkin orang-orang itu pasti
akan menjawab dengan jawabannya masing-masing. Seorang yang sedang mencintai lawan
jenisnya, maka ia akan mengatakan bahwa yang dituju oleh cintanya adalah lawan jenisnya.
Seseorang yang sedang mencintai sebuah aktivitas berolahraga, maka ia akan mengatakan
yang dituju oleh cintanya adalah berolahraga. Seseorang yang mencintai sebuah karya maka
ia akan mengatakan yang ia cintai adalah karya yang dimaksud, dan seterusnya dan
seterusnya. Namun, bagi Socrates, semua itu adalah kekeliruan. Mengapa? Sebab, dengan
demikian orang-orang tersebut telah tersesat pada benda-benda dan pengetahuan yang salah.

Bagi Socrates, setiap cinta yang ada pada setiap manusia pastilah mengarah pada keindahan.
Atau dengan bahasa yang lebih mudah, objek dari setiap dorongan cinta adalah keindahan.
Manusia, cenderung mencintai keindahan, meskipun pada akhirnya hanya sedikit manusia
yang mampu sampai pada pengertian keindahan yang sesungguhnya, dan sebagian besar dari
mereka lainnya hanya mampu sampai pada objek-objek perwujudannya. Sebaliknya, orang
yang mampu memahami dorongan cintanya dengan benar, maka ia akan sampai pada kondisi
intelektual atas perasaan cinta yang ia alami, bukan hanya sebatas kondisi kebertubuhan.

Dengan itu, kita juga bisa mengatakan bahwa sebab cinta adalah sebuah dorongan kepada
objeknya, maka cinta tidaklah mungkin sebuah ketidakpedulian terhadap objeknya. Sebab
jika demikian, ia merupakan sesuatu yang berlawanan dari sifat alamiah dari cinta itu sendiri.
Dengan kata lain pula, bahwa tidak satu pun manusia di dunia ini yang pernah merasakan
perasan cinta tanpa pernah mengalami antusiasme (enthusias: perasaan takjub) dan percobaan
untuk senantiasa mendekat dan menggapai kepada keindahan. Begitupun sebaliknya, tidak
akan ada satu pun manusia yang mampu merasakan cinta, jika sebelumnya di luar dirinya itu
tidak ada keindahan–yang sejati.

Penutup

Banyak orang pada saat ini masih menganggap bahwa berkeindahan hanyalah berkaitan
dengan perkara indrawi, perkara kebertubuhan: dari mulai memoles produk kesenian,
memoles produk kebudayaan atau benda-benda kreasi lainnya, hingga memoles tubuh
manusia itu sendiri dengan berbagai produk kecantikan tubuh atau melalui body painting.
Memang tidak sepenuhnya salah, sebab perkara mencintai keindahan akan selalu berkaitan
dengan keinginan untuk pula meng”komunikasikan”nya atau meng”abadikan”nya dalam
berbagai bentuk-bentuk kebertubuhannya yang konkrit. Tetapi apa jadinya jika itu hanya
berhenti pada sebuah mode?

Tidak kalah banyak pula orang yang beretorika mengedepankan perhatian pada prinsip-
prinsip intelektual yang lebih abstrak dari apa yang hendak dikembangkannya ketimbang
pada aspek wujud konkrit karyanya seperti pada prinsip: keseimbangan antar unsur-unsurnya,
presisi, koherensi, dan seterusnya-dan seterusnya, tetapi di sisi lain, mereka masih hanya
menempatkan prinsip-prinsip tersebut dalam posisi “rasionalitas pengkaryaan,” sebagai
sekadar tumpukan “teori penciptaan,” bukan sebagai usaha untuk melakukan interkoneksi
atas “yang intelaktual” itu. Bahkan, tak jarang tujuan dari penciptaannya justru lagi-lagi
untuk mengejar hal-hal yang bersifat begitu duniawi dan anti-intelektual: ketenaran,
pemujaan, keangkuhan diri, menghilangkan penghargaan terhadap kehidupan manusia lain,
atau hal-hal yang sebenarnya tidak mengarah kepada Keindahan Sejati yang juga sekaligus
adalah Kebijaksanaan Sejati.

Tentu, kedua hal tersebut adalah contoh masalah serius jika kita hendak merenungkannya
lebih dalam dari prinsip-prinsip yang telah diwariskan oleh Plato, daripada hanya sekedar …
gemar bermain dengan hayalan-hayalan berkesenian yang palsu, tak tentu arah, mubadzir,
hingga berloma-lomba berdelusi-diri satu sama lain, yang tak memberikan pertolongan
apapun bahkan untuk sekadar satu tahap proses pemurnian jiwa kita sendiri. Sekali lagi, itu
jika kita hendak merenungkannya lebih dalam dari prinsip-prinsip filosofis yang telah
diwariskan oleh dan melalui Plato, yang sesungguhnya bisa menuntun kita kepada hal yang
lebih tinggi. Sebab, berkesenian, sebagaimana juga berkecintaan, itu adalah perkara yang
tidak hanya melulu perkara kebertubuhan, tetapi juga sekaligus perkara berkemanusiaan yang
ilahiah dan agung. Ya, berkesenian adalah perkara berkemanusiaan yang ilahiah dan agung!

Anda mungkin juga menyukai