Anda di halaman 1dari 10

FILSAFAT BARAT SKOLASTIK

MADLIANA,SUHARDI,S.Pd.I,MA

PENDAHULUAN
Filsafat itu muncul pertama kalinya adalah di sebuah negeri yang bernama
Yunani. Negeri yang melahirkan begitu banyak ahli filsafat hebat sejak dari era
Thales, Sokrates, Plato, dan Aristoteles. Perkembangan filsafat sejak awal
kemunculannya pada masa Yunani kuno tersebut hingga zaman kontemporer ini
memiliki coraknya sendiri sesuai dengan eranya. Masing-masing era tersebut
memiliki karakter tersendiri sesuai dengan pengaruh zamannya. Sehingga ada
kekhasan yang dimilikinya sebagai pembeda dengan zaman sebelum dan
sesudahnya. Ilmu Ushuluddin, hlm. 185-199 Vol.19, No. 2, Juni-Desember 2020
ISSN (print) 1412-5188 ISSN (online) 2549-3752 Bila kita obyektif melihat
kemunculan filsafat itu sesungguhnya tidak hanya ada pada masa Yunani kuno saja.
Tetapi jauh di belahan anak benua India sekitar abad sebelum masehi juga sudah
muncul pemikiran kefilsafatan yang tergambar dalam diri Sidharta Gautama.
Dimana pemikirannya yang mengandung nilai-nilai kebijaksanaan dan kecerdasan.
Masalahnya adalah kalau Yunani tampak pergumulan era mitos dengan era
logosnya, ditambah lagi dengan adanya tradisi kodifikasi keilmuan dalam catatan
yang dibuat oleh para filosof maupun para muridnya. Sehingga pemikiran para
penemu teori filsafat tersebut hingga saat ini tidak lekang oleh panas dan tidak lapuk
oleh hujan.
Menariknya adalah ketika filsafat itu diteruskan di era kejayaan Islam,
dimana transfer besar-besaran teori filsafat Yunani menjadikan Islam mengalami
era kejayaan yang luar biasa yang dicatat dalam tinta emas. Pemikiran-pemikiran
kefilsafatan Yunani berkembang di dunia Islam. Pemikiran Aristoteles
mendapatkan tempat terhormat dalam kajian teologi Islam. Bahkan Ibnu Rusyd dan
al-Farabi disebutsebut sebagai guru kedua filsafat di dunia Islam. Banyak pengamat
mengatakan bahwa kejayaan Islam tidak lepas dari pengaruh filsafat. Namun bila
kita melihat sejarah itu sebagai suatu siklus yang senantiasa berulang, maka saat
kejayaan Islam mulai memudar, Barat lalu mengambil alih yang dikenal dengan era
renaisan. Di Barat dikenal dengan salah satu eranya yang disebut juga dengan era
skolastik atau filsafat abad pertengahan. Era skolastik memiliki ciri saat filsafat
bersinergi dengan agama. Kajian filsafat diminati oleh biarawan yang ada di gereja.
Di gereja mereka mendalami agama sekaligus mendalami filsafat secara serius,
sehingga melahirkan teolog dan filosof sekaligus. Tidak berlebihan bila dikatakan
bahwa di era tersebut filsafat sangat kental kajian teologisnya. Pada era skolastik
muncul beberapa filosof yang terkemuka, satu di antaranya adalah Aquinas.
Aquinas sangat dikenal sebagai filosof yang memiliki corak pemikiran tersendiri
yang tentu memiliki perbedaan dengan pemikiran skolastik lainnya. Pertanyaannya
adalah bagaimana corak filsafat era skolastik dan bagaimana pemikiran kefilsafatan
Thomas Aquinas yang dipengaruhi oleh dominasi persoalan teologis tersebut? Lalu
apa menariknya konsep pemikiran Thomas Aquinas? Melalui tulisan yang
sederhana ini penulis akan mencoba mengeksporasi tema ini dengan melihatnya
dari aspek historis dan menganalisisnya secara kritis.

PEMBAHASAN
1. Problema Filsafat Abad Pertengahan
Tidak sedikit orang yang dibuat bingung tatkala berjumpa dengan
istilah Abad Pertengahan. Letak persoalannya ialah pada kurun waktunya.
Pertanyaannya, dari kapan hingga kapankah Abad Pertengahan itu
sebenarnya? Terlebih dahulu perlu kita tegaskan di sini, Abad Pertengahan
lebih merupakan bagian dari sejarah peradaban Eropa. Itulah sebabnya
orang-orang yang tidak mempelajari sejarah Eropa mudah memahaminya
dengan rancuh. Pada umumnya disepakati bahwa Abad Pertengahan
meliputi kurun waktu antara abad V hingga abad XVI; sekitar sebelas abad
lamanya. Kurun waktu tersebut ditandai dengan bersatunya kembali daerah-
daerah bekas Romawi Barat yang diprakarsai oleh raja Charlemagne sampai
dengan munculnya monarki-monarki nasional di Eropa. Pada Abad
Pertengahan terjadi kebangkitan religius di Eropa, yakni kekristenan.
Hampir seluruh sisi kehidupan umat manusia dipengaruhi secara kental oleh
religius. Bahkan, pengaruh agama sampai memasuki dunia politik. Agama
berkembang pesat dan mendapatkan tempat yang utama. Kita tidak boleh
melupakan slogan pada zaman itu, theology is queen of sciences.Slogan ini
menandaskan bahwa segala disiplin ilmu lain di luar teologia adalah
sekunder. Bukan itu saja, disiplin-disiplin ilmu lainnya mesti tunduk dan
mengabdi diri kepada teologia. Jelas sekali terlihat bahwa agama
menduduki tempat yang vital dalam kehidupan manusia pada Abad
Pertengahan. Dua contoh kasus yang umumnya menjadi sorotan ialah
Copernicus dan Galileo. Hasil penelitian mereka menyimpulkan bahwa
susunan benda-benda langit seharusnya mengikuti teori heliosentris;
matahari sebagai pusat tatasurya. Sementara pada zaman itu masyarakat
umum yang diwakili oleh pihak gereja mempercayai teori geosentris; bumi
sebagai pusat tatasurya. Gereja cenderung memegang teori geosentris
dengan konsekuensi menentang teori heliosentris. Belakangan hari kita
mengetahui yang benar ialah teori heliosentris. Situasi-kondisi yang dahulu
sedang berlangsung pada Abad Pertengahan dapat disarikan sebagai berikut.
Kebenaran agamawi mendapatkan tempat utama di dalam hati manusia.
Segala cabang ilmu lainnya mesti menyelaraskan diri kepada teologia.
Apabila terjadi pertentangan di antara keduanya maka kebenaran
agamawilah yang dijadikan patokan. Melalui satu kalimat pendek: agama
mendominasi sains. Itulah situasi-kondisi yang berkembang pada Abad
Pertengahan.(Tjiauw Thuan,2009:2-3)
Dalam disiplin ilmu sejarah, zaman pertengahan turut dikenali
sebagai zaman kegelapan (Dark Ages or Medieval period). Namun begitu,
gelaran zaman kegelapan ini jarang-jarang digunakan oleh para sejarawan
Barat oleh sebab implikasi negatif yang dibawa oleh gelaran ini ke atas
persepsi terhadap Tamadun Barat. Secara ringkasnya, gelaran zaman
kegelapan ini merujuk kepada sikap barbarisme masyarakat Barat, suka
berperang, kemunduran intelektual dan hilangnya akhlak mulia pada zaman
ini.
The term Middle Ages was invented by people during the
Renaissance, a period of cultural and literary change in the 14th,
15th, and 16th centuries. The term was not meant as a compliment.
During the Renaissance, people thought that their own age and the
time of ancient Greece and Rome were advanced and civilized.
They called the period between themselves and the ancient world
“the Middle Age.” The adjective medieval comes from the Latin
words for this term, medium (middle) and aevum (age). Historians
adopted this term even though it was originally meant to belittle the
period. Since the Middle Ages covers such a large span of time,
historians divided it into three parts: the Early Middle Ages, lasting
from about 350 to about 1050; the High Middle Ages, lasting from
about 1050 to about 1300; and the Late Middle Ages, lasting from
about 1300 to about 1450. Historians used to believe that most of
the cultural, economic, and political achievements of the Middle
Ages occurred in the second period, and because of this they called
that period “High.” Only recently, as the accomplishments of the
Early and Late Middle Ages have gained appreciation, has this term
fallen into disuse. Today, historians often use a more neutral name,
the Central Middle Ages.
Meskipun dicirikan dengan sifat barbarisme ini, zaman pertengahan
juga merupakan petunjuk awal kepada pencapaian tamadun Barat hari ini
dalam bidang kajian agama. Dalam konteks ini, contoh-contoh boleh
dirujuk kepada sumbangan Saint Augustine of Hippo (354-430), yang
merupakan salah seorang paderi Latin dan tokoh besar agama Barat dalam
Gereja Roman Katolik.Karya-karya beliau seperti Confessions dan City of
God adalah bukti kepada hujahan ini. Karya-karya Augustine telah dirujuk
dan mempengaruhi ramai pemikir Kristian termasuklah ketua-ketua
Reformasi agama Barat seperti Martin Luther (1483-1546) dan John Calvin
(1509-1564),serta para pelopor Zaman Pencerahan seperti Rene Descartes,
Leibniz dan John Stuart Mill.Namun begitu, terdapat seorang lagi tokoh
besar Kristian yang juga sangat prolifik iaitu Saint Thomas Aquinas (1225-
1274). Thomas Aquinas telah diiktiraf oleh autoriti Kristian sebagai ahli
teologi yang terhebat, pembela ajaran gereja dan juga pengasas pemikiran
skolastisisme (Scholasticism). Skolastisisme adalah pemikiran falsafah
yang paling dominan di rantau Kristian Barat daripada kurun ke-9
sehinggalah ke-17 Masihi. Falsafah skolastisisme menggabungkan dogma
keagamaan dengan tradisi mistik dan intuisi dalam falsafah patristik
(patristic), terutamanya daripada Saint Augustine dan para pengikut
Aristotelianisme.Melalui usaha Aquinas yang menggabungkan pemikiran
falsafah (terutamanya falsafah Aristotelian) dan wahyu agama (terutamanya
teologi Augustinian), ramai pemikir pada zaman-zaman berikutnya telah
mengikuti kaedah yang sama ini. Secara ringkas, idea Aquinas untuk
menggabungkan akal dan kepercayaan (reason and faith) dalam
membuktikan dan merasionalkan kebanyakan aspek-apek agama seperti
kewujudan tuhan, merupakan antara penemuan yang paling penting dalam
kajian agama pada zaman pertengahan ini.(Wan Mohd Fazrul Azdi Wan
Razali,2017:11-12)

2. Periode Pertama Neo-Platonisme


Periode skolastik awal (abad ke-8 - 12). Ditandai oleh pembentukan
metode yang lahir karena hubungan yang harmonis antara agama dan
filsafat. hal yang menonjol pada periode awal skolastik adalah mengenai
universal. Paham dan pandangan Agustinus dan neo-Platonisme
mempunyai pengaruh yang signifikan dalam berbagai aliran pemikiran yang
berkembang. Pada masa ini juga hangat dibicarakan mengenai pembuktian
adanya Tuhan berdasarkan rasio murni, jadi tanpa berdasarkan Kitab Suci
(Anselmus dan Canterbury). Problem yang hangat didiskusikan pada masa
ini adalah masalah universalia dengan konfrontasi antara “realisme” dan
“nominalisme” sebagai latar belakang problematisnya. Selain itu, dalam
abad ke-12, ada pemikiran teoretis mengenai filsafat alam, sejarah dan
bahasa, pengalaman mistik atas kebenaran religius pun mendapat
tempat.(M.Taufik,2020:4)
Neoplatonisme merupakan gabungan dari kata Neo, Plato,dan Isme.
Kata Neo memiliki arti baru, Plato adalah tokoh filusuf Yunani, dan Isme
adalah paham atau aliran.Jadi, Neoplatonisme dapat diartikan aliran atau
paham Plato yang baru. AliranNeoplatonisme memiliki tiga fase, yaitu: Fase
aliran Plotinus dan muridnya, Parphyry;Fase Siria, Lamblichus; dan Fase
Aliran Athena, Proclus.Pada akhir masa kuno, Neoplatonisme merupakan
aliran intelektual yang dominan di hampir seluruh wilayah Hellenistik,
sehingga seakan-akan Neoplatonisme bersaing dengan pandangan dunia
yang berdasarkan agama Kristen.Kecenderungan filsafat yang paling
mengagumkan pada periode
Helenistik akhir terutama adalah filsafat yang diilhami dari filsafat Plato, y
ang kemudian dinamakan Neo Platonisme.
Tokoh yang paling penting dalam Neoplatonisme adalah Plotinus.
Plotinus percaya bahwa dunia terentang antara dua kutub.Di ujung yang satu
adalah cahaya Ilahi yang dinamakannya Yang Esa. Ujung yang satunya
adala kegelapan mutlak, yang tidak menerima cahaya dari Yang Esa.
Menurutnya kegelapan itu sesungguhnya tidak ada, yang ada hanya Tuhan
Yang Maha Esa.Menurut Plotinus jiwa disinari oleh
cahaya dari Yang Esa, sementara materi adalah kegelepan yang tidak mem
punyai kebedaaan yang nyata.Tapi bentuk bentuk di alam ini mendapakan
sedikit cahaya dari Yang Esa.Plotinus memiliki maksud bahwa segala
sesuatu menyimpan sepercik misteri Ilahi.Tapi yang paling dekat dengan
Tuhan adalah jiwa kita. Sesungguhnya, jarang sekali kita menyadari bahwa
kita sendirilah misteri itu. Doktrin Plotinus dicirikan oleh pengalaman
tentang kesatuan. Segala sesuatu itu satu, sebab segala sesuatu itu berasal
dari Tuhan.Plotinus mengalami penyatuan antara jiwanya dan Tuhan. Kita
biasaya menyebut ini dengan pengalaman mistik. Pengalaman mistik adalah
pengalaman menyatu dengan Tuhan.Ahli mistik tidak menemukan pemisah
antara Tuahn dan ciptaannya.Ahli mistik merasakan
bahwa dia kehilangan dirinya, dan lenayap ke dalam diri Tuhan.(Abd.Mui
d N,2018:114-115)
3. Periode Kedua Aristotelianisme
Menurut Peters, Aristotelianisme adalah sebuah tradisi intelektual
yang dibangun clengan merujuk kepacla karya-karya Aristoteles. Tradisi ini
ticlak hanya melahirkan sejumlah literatur yang ditulis untuk meringkas,
menafsirkan, menginterpretasikan gagasan-gagasan Aristoteles, tetapi juga
semua literatur yang merujuk kepacla, clan dipengaruhi oleh karya-karya
yang menafsirkan clan meringkas karyakarya Aristoteles.Sebagai sebuah
tradisi intelektual, Aristotelianisme menyebar ke berbagai penjuru clunia
seiring dengan pertemuan peraclabaan Yunani clengan peraclabaan besar
lainnya. Pertemuan ini kemudian melahirkan tradisi Helenisme yang
menurut Peters memiliki clua arah: Helenisme arah Barat clan Helenisme
arah Timur. Helenisme arah Barat, menurut Peters, melahirkan sejumlah
intelektual seperti Ennius, Vergil, Horace, Quintillian, Cassioclorus,
Alcuin, John of Salisbury, Dante, Petrarch, Scaliger, Bentley, Jowett clan
Jebb. Sementara Helenisme arah Timur, mempengaruhi sejumlah nama:
Clement, Origen, Basil, Nemesius, John Philoponus, Sergius of Rish'ayna,
Ibn al-Bitriq, al-Kindi, Hunayn b. Ishaq, al-Farabi, Ibn Sina clan Ibn
Rushd.Penyebaran Helenisme ke clunia Islam paralel clengan
penterjemahan ticlak hanya karya-karya Aristoteles tetapi pseudepigraphs,
komentar, pengantar, antologi, karya ringkasan (epitomes) clan catatan
pinggir (glosses) terhaclap karya-karya Aristoteles tersebut ke clalam
Bahasa Arab. Pengaruh gerakan penterjemahan ini membuka jalan kepacla
munculnya, apa yang disebut Nurcholish Madjid dengan teologi skolastik
(kalam), Aristotelianisme Islam clan neo-Platonisme (jalsafa) di Dunia
Islam.Tradisi Aristotelianisme yang diterima bangsa Arab aclalah tradisi
yang sudah mengalarni 'pembentukan' selama lima abad di tangan para
intelektual Yunani generasi setelah Aristoteles clan selama clua abacl di
tangan kaum intelektual Syiria Kristen yang kemudian menjadi penterjemah
karya-karya Aristoteles untuk bangsa Arab.Ketika Aristotelianisme masuk
dunia Islam, ia memasuki era apa yang disebut Laughlin, sebagai 'Arabic
Moment of Aristotelianism,' yang merentang lebih clari 400 tahun.
Dalam masa ini, muncul sejumlah ilmuwan Muslim yang
menterjemahkan, memberikan komentar terhadap karya-karya Aristoteles.
Salah satu ilmuwan muslim yang paling gencar mempromosikan karya-
karya Aristoteles ke Dunia Islam adalah Ibn Sina. Promosi Ibn Sina
terefleksi rnisalnya dalam salah satu dari dua karya utama Ibn Sina, Kitab
Shifa' al-Nujus di samping al Qanun fi -1 -Tibb, clua karya yang
menempatkannya pacla posisi 'guru' dalam biclang kedokteran ilmu alam
clan filsafat.45 Menurut Yasin, karya ini ditulis oleh Ibn Sina karena (1)
dorongan murid-muriclnya yang memintanya untuk menulis sebuah
ensiklopedia komprehensif clalam biclang filsafat, (2) keperluannya untuk
membangun argumen yang digunakan dalam debat intelektual yang
dilakukannya terhaclap lawan-lawannya; clan (3) kecenclerungan clan
kesungguhannya terlibat clalam studi ilmu-ilmu Yunani.46 Posisi Ibn Sina
terhaclap Aristotelianisme terefleksi clalam berbagai fakta. Pertama, dalam
berbagai karyanya, Ibn Sina, rnisalnya, memberikan berbagai sebutan
penghormatan clan pengakuan akan otoritas keilmuwan kepacla Aristoteles.
Dalam beberapa karyanya Ibn Sina merujuk kepacla Aristoteles sebagai
'Guru Pertama' (al-mu'allim al-awwal) clan kepada karya-karya Aristoteles
sebagai 'Pengajaran Pertama' (al-ta'lim al-awwal). Dalam karya lainnya, Ibn
Sina menyebut Aristoteles sebagai 'Pemimpin yang bijak, Pemanclu clan
Guru para filosof.'Kedua, Ibn Sina menyebut sebagian karya-karyanya
sebagai komentar, interpretasi clan ringkasan terhaclap karya-karya
Aristoteles. Hal ini terlihat jelas clalam ungkapannya berikut ini: "Orang
yang pertama kali membangun ilmu Logika adalah Aristoteles, seorang
filosof Yunani. Kita telah menulis banyak buku untuk memberikan sharah
yang sangat mencletail clalam disiplin ilmu logika, clan kita juga telah
menulis sejumlah ringkasan clan kompilasi tulisan (jawami' wa-
mukhtasaral) . .. "Karena 'jasa-jasa'nya tersebut, tidak hanya membuatnya
dijuluki 'the most effective promoter of Greek philosopfhy and Aristotle's
work on logic,'tetapi mengantarkan kepada seperti yang diungkapkan Peters
bahwa meskipun tradisi Aristotelianisme hanyalah bagian dari beberapa
warisan Yunani, namun tak ada bagian lain dari warisan itu yang diteliti dan
dilestarikan serta
besarnya efek yang ditimbulkannya dari pada tradisi Aristotelianisme.(Mu
fti Ali,2007:10-12)

PENUTUP
Problema Filsafat Abad Pertengahan
Pada umumnya disepakati bahwa Abad Pertengahan meliputi kurun
waktu antara abad V hingga abad XVI; sekitar sebelas abad lamanya. Kurun
waktu tersebut ditandai dengan bersatunya kembali daerah-daerah bekas
Romawi Barat yang diprakarsai oleh raja Charlemagne sampai dengan
munculnya monarki-monarki nasional di Eropa. Pada Abad Pertengahan
terjadi kebangkitan religius di Eropa, yakni kekristenan. Hampir seluruh sisi
kehidupan umat manusia dipengaruhi secara kental oleh religius. Bahkan,
pengaruh agama sampai memasuki dunia politik. Agama berkembang pesat
dan mendapatkan tempat yang utama. Kita tidak boleh melupakan slogan
pada zaman itu, theology is queen of sciences.

Periode Kedua Neo-Platonisme


Neoplatonisme merupakan gabungan dari kata Neo, Plato,dan Isme.
Kata Neo memiliki arti baru, Plato adalah tokoh filusuf Yunani, dan Isme
adalah paham atau aliran.Jadi, Neoplatonisme dapat diartikan aliran atau
paham Plato yang baru. AliranNeoplatonisme memiliki tiga fase, yaitu: Fase
aliran Plotinus dan muridnya, Parphyry;Fase Siria, Lamblichus; dan Fase
Aliran Athena, Proclus.Pada akhir masa kuno, Neoplatonisme merupakan
aliran intelektual yang dominan di hampir
seluruh wilayah Hellenistik,sehingga seakan-akan Neoplatonisme bersaing
dengan pandangan dunia yang berdasarkan agama Kristen.Kecenderungan
filsafat yang paling mengagumkan pada periode Helenistik akhir terutama
adalah filsafat yang diilhami dari filsafat Plato, yang kemudian dinamakan
Neo Platonisme.

Periode Ketiga Aristotelianisme


Menurut Peters, Aristotelianisme adalah sebuah tradisi intelektual
yang dibangun clengan merujuk kepacla karya-karya Aristoteles. Tradisi ini
ticlak hanya melahirkan sejumlah literatur yang ditulis untuk
meringkas,menafsirkan, menginterpretasikan gagasan-gagasan Aristoteles,
tetapi juga semua literatur yang merujuk kepacla, clan dipengaruhi oleh
karya-karya yang menafsirkan clan meringkas karyakarya
Aristoteles.Sebagai sebuah tradisi intelektual, Aristotelianisme menyebar ke
berbagai penjuru clunia seiring dengan pertemuan peraclabaan Yunani
clengan peraclabaan besar lainnya.

Anda mungkin juga menyukai