Anda di halaman 1dari 23

Global: Jurnal Politik Internasional Vol. 19 No. 2. Hlm. 98-120. DOI: 10.7454/global.v19i2.

307
© Global: Jurnal Politik Internasional 2017 E-ISSN: 2579-8251

EVOLUSI KONSEP KEAMANAN ENERGI

Arshie Ramadhanie
Departemen Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Indonesia
Email: arshie.ramadhani@gmail.com

Abstrak
Konsep keamanan energi bersifat kontekstual dan dapat memiliki makna yang berbeda dalam
konteks yang berbeda. Terkait dengan hal tersebut, tulisan ini berusaha mengkaji
perkembangan literatur mengenai konsep keamanan energi dari waktu ke waktu. Tulisan ini
kemudian akan mengelompokkan literatur-literatur tersebut dengan menggunakan metode
kronologi ke dalam tiga periode berbeda, yaitu periode 1970-1990, periode 2000-2010 dan
periode pasca 2010. Dari pengelompokkan tersebut, terlihat bahwa terjadi perluasan tema
dalam definisi konsep keamanan energi yang awalnya terkait dengan tema ketersediaan dan
harga menjadi mencakup tema infrastruktur, lingkungan, dampak sosial, efisiensi, tata kelola
dan kebijakan publik, dan sebagainya. Hal ini kemudian menimbulkan perdebatan mengenai
apakah konsep keamanan energi perlu diperluas untuk mengakomodasi munculnya tantangan-
tantangan baru atau tetap dibatasi agar keamanan tidak kehilangan maknanya. Penulis
berargumen bahwa pendefinisan keamanan energi harus tetap dilekatkan dengan definisi
keamanan, “survival in the face of existential threat”, agar konsep keamanan itu sendiri tidak
kehilangan fokusnya. Dengan menggunakan perspektif kontekstual dan variasi konseptual dari
waktu ke waktu, tulisan ini diharapkan dapat menghadirkan perdebatan teoretis mengenai
bagaimana isu energi dapat menjadi isu keamanan serta memberikan kontribusi berupa
pemetaan konsep keamanan energi sebagai referensi untuk pengambilan kebijakan energi.

Kata kunci
Keamanan energi, energi, definisi, perluasan, keamanan
Abstract
Energy security concept is contextual and understood in different ways in different context. This
paper examines the development of the literatures of energy security. Using chronological
method of organization, this paper classifies the literatures into three different periods: 1970-
1990, 2000-2010, and post-2010. From this classification, it is found that there is a
proliferation of themes in the definition of energy security concept. The concept has expanded
from what was initially limited to availability and affordable price, to include themes such as
infrastructures, environment, social impacts, efficiency, governance and public policy. This
raises a debate as to whether the energy security concept need to be broadened to accomodate
the emergence of new challenges or to remain limited in definition so that it would not lose its
meaning. This paper then further argues that the definition of energy security should be
attached to the definition of security as, “survival in the face of existential threat,” so that
security concept itself would be able to retain its focus. Taking a contextual perspective and
conceptual variation over time, this paper aims to present a theoretical debate on how energy is
understood as a security issue and to serve as a reference for energy policy making.

Keywords
Energy security, energy, definition, broadening, security

98
Arshie Ramadhanie

PENDAHULUAN
Keamanan energi adalah topik yang sering muncul dalam agenda kebijakan
pemerintah di banyak negara. Ia juga merupakan alat untuk membingkai isu (framing)
yang kuat: ia mengkonstruksi, menormalisasikan, dan menjadi justifikasi kebijakan-
kebijakan tertentu (Bridge, 2015). Memasukkan isu energi sebagai isu keamanan
sebenarnya bukanlah suatu hal yang baru. Sebagai isu kebijakan, masalah keamanan
energi sudah muncul di awal abad ke-20 terkait pasokan minyak bagi pasukan perang
(Brown et al., 2014). Sedangkan sebagai isu akademis, perdebatan mengenai isu
keamanan energi baru muncul pada tahun 1970-an, dengan adanya pemotongan pasokan
minyak oleh OPEC di mana harga minyak meningkat tajam dan memicu krisis
ekonomi, serta mengekspos kerentanan dari sistem energi yang ada (Dyer dan
Trombetta, 2013).
Upaya menjadikan isu energi menjadi keamanan dapat dilihat dalam sejumlah
laporan kebijakan di Inggris, seperti Wicks Report (2009), National Security Strategy
(2010), Energy Security Strategy of the Department of Energy dan Climate Change
(2012), yang mengangkat isu gangguan pasokan minyak dan gas sebagai ‘risiko
prioritas’ bagi pemerintah, meletakan gangguan pasokan hidrokarbon ini setara dengan
terorisme, serangan siber, dan kejahatan terorganisasi. Di Amerika Serikat, hal ini
ditunjukan dengan adanya Energy Independence and Security Act tahun 2007 yang
ditandatangani oleh Presiden Bush. Standar bahan bakar dan efisiensi energi suatu
bangunan digambarkan sebagai isu keamanan nasional di tengah ketergantungan
minyak dan gas Amerika Serikat yang terus meningkat (Bridge, 2015).
Kekhawatiran serupa juga terlihat di luar OECD, di Tiongkok misalnya,
kekhawatiran mengenai pasokan energi juga muncul seiring meningkatnya permintaan
energi dan ketergantungan impor minyak dan gas yang menjadikan keamanan energi
menjadi salah satu tujuan utama kebijakan nasionalnya. Hal ini terefleksikan dengan
pendirian National Energy Administration tahun 2008 (Bridge, 2015). Contoh lainnya
juga dapat ditemukan di India, di mana keamanan energi diidentifikasikan sebagai
masalah keamanan nasional yang disetarakan dengan terorisme dan perang siber (Singh,
2010).
Pada perkembangannya, perdebatan mengenai keamanan energi seringkali
melibatkan banyak aktor dari berbagai latar belakang, dari mulai geografer, insinyur,
politisi, ahli keamanan, ahli lingkungan dan sebagainya (Ciută, 2010). Keamanan energi
juga membutuhkan perencanaan jangka panjang sekaligus tindakan jangka pendek.

99
Global Jurnal Politik Internasional 19(2)

Akibatnya, akan terdapat berbagai perspektif dan logika berbeda mengenai keamanan
energi. Tidak mengherankan, keamanan energi dipahami sebagai sesuatu yang berbeda
di konteks yang berbeda (Dyer dan Trombetta, 2013).
Akan tetapi, berbeda dengan isu-isu lain yang dikaitkan dengan keamanan,
seperti isu lingkungan atau HIV/AIDS, konsep keamanan energi jarang dibahas secara
konseptual sebagai isu keamanan (Ciută, 2010). Isu energi sebagai isu keamanan
cenderung dianggap sebagai sesuatu yang wajar karena posisinya sebagai sumber daya
strategis dan bagian dari wacana tentang keamanan nasional (Mulligan, 2010).
Pembahasan secara teoretis mengenai apa yang dimaksud dengan keamanan energi itu
sendiri relatif jarang diperbincangkan. Padahal hal ini penting untuk dibahas karena
memasukan isu energi ke dalam keamanan akan mempengaruhi bagaimana kebijakan
energi akan dilaksanakan dan berpotensi untuk mempengaruhi secara substansial cara
berpikir dari aktor dan akademisi mengenai keamanan secara umum.
Oleh karena itu, pemetaan definisi konsep keamanan energi akan menjadi
penting mengingat maraknya upaya sekuritisasi isu energi, banyaknya perspektif dan
definisi berbeda mengenai energi dan jarangnya isu energi ini diperdebatkan sebagai isu
keamanan. (Buzan, Wæver, dan De Wilde, 1998; Klare, 2002). Berdasarkan latar belakang
tersebut, tulisan ini akan melakukan tinjauan pustaka terhadap 30 literatur dari tahun
1979 sampai 2017 dan memetakan definisi keamanan energi dalam literatur-literatur
tersebut. Melalui tinjauan pustaka tersebut, tulisan ini diharapkan dapat menunjukkan
evolusi atau perkembangan definisi keamanan energi dari waktu ke waktu, serta
implikasinya terhadap makna keamanan itu sendiri.

Metode Tinjauan Pustaka


Literatur dalam tinjauan pustaka ini akan dikelompokkan dengan menggunakan
metode kronologi ke dalam tiga periode berbeda, yaitu periode 1970-1990, periode
2000-an dan periode 2010-an. Pemilihan metode pengorganisasian literatur berdasarkan
kronologi ini dilakukan karena isu keamanan energi adalah isu yang kontekstual (Dyer
dan Trombetta, 2013). Selain itu, metode kronologi juga dipilih untuk menunjukkan
perkembangan tema-tema yang muncul mengenai keamanan energi dari masa ke masa
di berbagai konteks historis yang berbeda pula.
Pemilihan periode ini didasarkan pada lini masa peristiwa penting dalam wacana
keamanan energi. Pada periode 1970-1990 terjadi peristiwa penting yang menandai
awal perdebatan isu keamanan energi, yaitu krisis minyak OPEC tahun 1973 dan krisis

100
Arshie Ramadhanie

minyak 1979. Perdebatan ini utamanya berkaitan dengan ketersediaan dan harga dari
energi.
Literatur mengenai keamanan energi sempat memudar di tahun 1990-an. Akan
tetapi, pada periode 2000-an, terjadi sejumlah peristiwa yang menandai kembali
meningkatnya literatur mengenai keamanan energi. Pertama, runtuhnya Uni Soviet
tahun 1990, membuat negara-negara di kawasan Kaspia yang sebelumnya berada di
bawah pengaruh Soviet dapat secara independen membuat kebijakan energinya. Kedua,
terdapat dinamika geopolitik baru di mana kekuatan-kekuatan ekonomi baru di Asia,
seperti Tiongkok, mulai bertransisi menjadi konsumen dan importer energi yang
mendorong mereka untuk menjadi kompetitor baru untuk memperoleh akses pada
sumber daya energi. Ketiga, terjadi peristiwa 9/11 dan sejumlah instabilitas di Timur
Tengah di mana terjadi peningkatan serangan teroris terhadap infrastruktur energi. Hal
ini kemudian memunculkan tema baru di samping ketersediaan dan harga, yaitu
infrastruktur dan dampak sosial.
Periode ketiga yang akan dibahas pada tulisan ini adalah periode pasca 2010.
Pemilihan periode ini didasarkan kepada beberapa peristiwa penting. Pertama, pada
periode ini terjadi fluktuasi harga energi yang cukup signifikan. Setelah sebelumnya
terjadi krisis finansial global dan kenaikan harga energi yang mencapai titik tertingginya
di tahun 2008, peristiwa ini kemudian diikuti dengan menurunnya harga minyak akibat
peningkatan pasokan karena adanya fenomena shale revolution. Kedua, pada periode ini
juga terdapat kekhawatiran mengenai perubahan iklim di mana sektor energi dilihat
sebagai salah satu penyumbang emisi terbesar. Beberapa peristiwa penting terkait isu
ini, yaitu Copenhagen Summit tahun 2009, bencana Oil Spill di Teluk Meksiko tahun
2010, dan sebagainya. Selain itu, harga minyak yang mencapai titik tertingginya di
tahun 2008 ditambah adanya kekhawatiran mengenai peak oil semakin mendorong
pengembangan sumber energi alternatif yang lebih ramah lingkungan. Akibatnya
periode pasca 2010 menandai semakin meluasnya tema yang muncul dalam definisi
keamanan energi, seperti lingkungan, efisiensi, kuantifikasi, tata kelola, kebijakan
publik, dan sebagainya. Berikut adalah pengelompokan literatur berdasarkan metode
kronologis tersebut.

101
Global Jurnal Politik Internasional 19(2)

Tabel 1. Pemetaan Literatur Berdasarkan Kronologi

Sumber: hasil olahan penulis.

Hasil Tinjauan Pustaka


Dari hasil tinjauan pustaka, terdapat berbagai tema yang muncul dalam literatur
keamanan energi. Tema-tema yang muncul antara lain, ketersediaan, harga,
infrastruktur, lingkungan, kuantifikasi keamanan energi, kebijakan publik, efisiensi, dan
tata kelola. Kemunculan tema-tema ini sangat dipengaruhi oleh konteks historisnya
karena terdapat tema-tema tertentu yang lebih dominan pada suatu periode waktu
dibandingkan dengan periode lainnya.
Pada tahun 1970-1990, tema yang dominan adalah mengenai ketersediaan dan
harga. Aspek ini mencakup pengadaan pasokan yang cukup dan tidak terinterupsi dalam
cara yang tidak mengancam nilai dan tujuan nasional (Deese, 1979). Fokus keamanan
energi masih kepada interupsi, disrupsi, dan manipulasi suplai yang dapat menyebabkan
adanya peningkatan tajam dalam harga dan mengakibatkan pada biaya ekonomi dan
politik yang tinggi. Harga yang terjangkau artinya harga energi tersebut tidak
menyebabkan ganggguan terhadap aktivitas sosial dan ekonomi (Yergin, 1988). Hal ini
mengingat pada periode ini telah terjadi dua kali krisis minyak, yaitu pada tahun 1973
(yang disebabkan oleh Embargo Minyak Arab) dan pada tahun 1979 (yang disebabkan
oleh pergantian rezim di Iran. Krisis ini mengganggu pasokan energi dunia dan
mengakibatkan lonjakan harga minyak yang tinggi.
Pada tahun 1980-1990-an terjadi penurunan ketertarikan mengenai keamanan
energi. Bahkan muncul sejumlah literatur yang kemudian mempertanyakan dan bahkan
menganggap konsep keamanan energi adalah suatu mispersepsi dan propaganda
102
Arshie Ramadhanie

(Wionczek, 1983). Hal ini dilatarbelakangi oleh karena pada periode ini pasokan energi
tersedia secara melimpah. Meskipun demikian, pun ketika terjadi oil glut (terdapat
pasokan minyak yang berlimpah), masih terdapat sejumlah kekhawatiran akan masalah
ketersediaan pasokan minyak dan energi dilihat sebagai back-door threat bagi AS dan
sekutu-sekutunya, khususnya Eropa (Nye, 1982). Perbedaannya adalah fokus utama
pada periode ini adalah bagaimana cara menciptakan security margin untuk mencegah
terulangnya kembali pengalaman di tahun 1970-an.
Pada tahun 2000-an, tema ketersediaan dan harga masih ada, tetapi hal ini lebih
dilatarbelakangi oleh meningkatnya kompetisi geopolitik dengan munculnya berbagai
sumber energi baru di kawasan bekas Uni Soviet dan munculnya negara-negara Asia
sebagai kompetitor baru (Bielecki, 2002; Klare, 2002; Downs, 2004; Pant, 2007; Choi,
2009). Selain itu, mulai muncul tema baru yang berfokus pada infrastruktur. Keamanan
energi tidak lagi hanya soal ketersediaan pasokan dan harga, tetapi juga mencakup
seluruh supply-chain industri energi, mulai dari pipa minyak/gas, pengilangan,
transportasi, dan sebagainya (Yergin, 2006). Hal ini dipengaruhi oleh konteks sejarah
saat itu, di mana mulai banyak terjadi serangan teror ke berbagai infrastruktur energi
(Luft dan Korin, 2004; Kokner, 2009). Selain itu, juga terdapat banyak bencana alam
yang merusak infrastruktur energi (Yergin, 2006).
Pada periode ini juga mulai muncul fokus pada dampak sosial. Di satu sisi,
keamanan energi dianggap harus menjamin tersedianya akses energi bagi seluruh
lapisan masyarakat (Lesbirel, 2004; Prasetyono, 2008). Di sisi lain, usaha memenuhi
keamanan energi melalui proyek-proyek energi besar justru berdampak negatif pada
masyarakat di sekitar proyek tersebut (Simpson, 2007). Tema mengenai dampak sosial
dipengaruhi oleh adanya proyek-proyek energi besar yang kemudian berdampak pada
masyarakat lokal di sekitar proyek tersebut, misalnya proyek pipa gas dan mega-dam di
Thailand, Myanmar dan Laos, yang banyak berdampak pada masyarakat lokal, terutama
etnis minoritas di sekitar proyek tersebut
Pada tahun 2010-an, semakin banyak tema-tema baru yang muncul dalam
literatur keamanan energi. Salah satu tema yang sering muncul adalah keterkaitan antara
isu energi dan lingkungan. Di satu sisi, keamanan energi dianggap harus memasukan
unsur keberlanjutan dan harus ramah lingkungan (Bradshaw, 2010; Vivoda,2010;
Sovacool dan Brown, 2010; Narula et al., 2017; Chung et al., 2017; serta Radovanovic
et al. 2017;). Di sisi lain, banyak pula yang menyoroti aspek lingkungan sebagai
dampak negatif dari upaya mencapai keamanan energi (Mayer dan Schouten, 2012) dan

103
Global Jurnal Politik Internasional 19(2)

literatur yang menganjurkan ditinjaunya kembali hubungan manusia dengan alam


terkait isu energi (Mulligan, 2010; Mayer dan Schouten, 2012). Tema lingkungan ini
muncul seiring dengan munculnya kekhawatiran atas perubahan iklim. Sektor energi di
sini merupakan salah satu sektor penyumbang emisi gas rumah kaca yang besar. Pada
periode ini juga terdapat sejumlah peristiwa penting terkait lingkungan, seperti
Copenhagen Summit tahun 2009, bencana Oil Spill di teluk Meksiko tahun 2010, dan
sebagainya. Selain itu, harga minyak juga sedang mencapai titik tertingginya di tahun
2008 sehingga mendorong pengembangan sumber energi alternatif yang lebih ramah
lingkungan.
Selain itu, terdapat pula tema mengenai dampak sosial. Keamanan energi
dianggap bukan hanya untuk negara, tetapi bagi setiap individu. Keamanan energi
dengan demikian harus mempertimbangkan bagaimana menyediakan akses energi yang
cukup di setiap lapisan masyarakat untuk menjamin kesejahteraan mereka (Vivoda
2010; Mulligan, 2010; Kuik et al., 2011; dan Chung et al., 2017). Perbedaan dengan
periode sebelumnya adalah, pada periode ini, banyak literatur yang menginkorporasikan
konsep human security dalam definisi konsep keamanan energi. Vivoda (2010),
misalnya, menekankan pentingnya memasukkan konsep human security mengingat
banyaknya gerakan-gerakan lokal atau not in my backyard (NIMBY), di mana
masyarakat lokal melakukan protes pada proyek-proyek pembangunan infrastruktur
energi yang dianggap merusak lingkungan mereka dan sumber mata pencaharian
mereka. Oleh karena itu, terdapat risiko sosial dan budaya yang juga harus
diperhitungkan dalam komponen keamanan energi
Selain itu, terdapat juga literatur yang turut memasukan aspek efisiensi dalam
pendefinisian konsep keamanan energi mereka, antara lain Sovacool dan Brown (2010),
Vivoda (2010), Ozturk (2013), dan Chung et al. (2017). Aspek ini terkait erat dengan
meminimalkan penggunaan sumber daya untuk mencapai hasil yang diinginkan. Hal ini
juga terkait dengan pengembangan teknologi dan upaya konservasi energi, serta pola
konsumsi energi untuk meminimalkan biaya dan menghasilkan output yang maksimal.
Aspek ini menjadi penting dalam keamanan energi karena dapat mengurangi
ketergantungan atas impor energi dan eksternalitas negatif dari upaya memenuhi
keamanan energi. Selain itu, meningkatkan efisiensi juga dapat berdampak positif bagi
lingkungan, meningkatkan daya saing, dan mendorong pembangunan ekonomi (Ozturk,
2013).

104
Arshie Ramadhanie

Pada periode ini juga mulai muncul perhatian terhadap keamanan energi dari sisi
permintaan (security of demand). Literatur-literatur yang mulai menyoroti masalah ini,
antara lain adalah Vivoda (2010) dan Fermann (2014). Mereka melihat bahwa ancaman
terhadap keamanan energi dapat muncul dari permintaan yang tiba-tiba meningkat
tajam, kelebihan suplai (excess supply), atau permintaan yang rendah akibat resesi
(Vivoda, 2010). Perspektif keamanan energi sebagai keamanan permintaan umumnya
muncul di negara pengekspor energi, seperti Arab Saudi, Norwegia, Nigeria, dan
Venezuela, yang bergantung pada permintaan akan energi yang tidak terinterupsi
dengan harga yang cukup tinggi (Ferman, 2014).
Selanjutnya, terdapat juga tema mengenai tata kelola dan kebijakan publik.
Energi dilihat sebagai komoditas dan isu keamanan energi muncul sebagai akibat dari
kegagalan pasar dalam menyediakan komoditas tersebut. Oleh karena itu, diperlukan
intervensi kebijakan publik dalam pengelolaan energi. Akan tetapi, terdapat perbedaan
perbedaan pendapat mengenai apa yang berpotensi menjadi penyebab kegagalan pasar
tersebut. Goldthau (2010) misalnya melihat bahwa kegagalan pasar dapat terjadi karena
kompetisi pasar yang tidak sempurna akibat konsentrasi kekuatan pasar di aktor tertentu
dalam bentuk monopoli/kartel; spillover eksternalitas; adanya ciri barang publik yang
menimbulkan masalah free-riding; dan karena informasi yang tidak sempurna. Di sisi
lain, Karlsson-Vinkhuyzen (2010), Florini dan Sovacool (2011), dan Kuik et al. (2011)
melihat bahwa yang menjadi masalah utama adalah kurangnya tata kelola global yang
efektif. Mereka menyoroti minimnya tata kelola normatif dan institusional dalam sektor
energ dan kalaupun ada, aturan-aturan yang ada soal isu energi cenderung tidak
koheren.
Terakhir, tema lainnya yang juga menjadi tren adalah adanya upaya kuantifikasi
keamanan energi. Dalam kajian literatur ini, setidaknya enam literatur yang membangun
indeks pengukurannya sendiri, yaitu Sovacool dan Brown (2010); dan Vivoda (2010);
Bridge (2015); Narula et al. (2017); Radovanovic, Filipović, dan Pavlović (2017); dan
Chung et al. (2017). Keenam literatur tersebut memiliki indikator yang berbeda-beda,
tetapi pada umumnya mencakup ketersediaan, aksesibilitas, keberlanjutan, dan efisiensi.
Beberapa literatur, seperti Vivoda (2010), Radovanovic, dan Chung et al. (2017) juga
memberikan penekanan pada dimensi sosial dan stabilitas politik. Kuantifikasi ini
dimaksudkan untuk memudahkan pengukuran keamanan energi dan tercipta konsep
keamanan energi yang berlaku umum sehingga memudahkan proses pengambilan
keputusan (Bridge, 2015).

105
Global Jurnal Politik Internasional 19(2)

Dari pemetaan literatur tersebut, terdapat setidaknya beberapa sintesis yang


dapat diambil. Pertama, terdapat tema yang selalu muncul di setiap periode, yaitu
ketersediaan dan harga. Sebagian besar literatur keamanan energi yang ada
mendefinisikan keamanan energi sebagai ketersediaan energi yang cukup dengan harga
yang terjangkau. Meskipun demikian, kekhawatiran mengenai ketersediaan dan harga
ini terjadi dalam konteks yang berbeda. Pada periode 1970-1990-an kekhawatiran
mengenai ini muncul akibat krisis minyak pada tahun 1973 dan 1979. Pada periode
2000-2010, kekhawatiran ini muncul seiring dengan kembali meningkatnya harga
minyak dan kompetisi geopolitik yang terjadi untuk memperoleh pasokan energi dari
negara-negara tersebut. Sedangkan, pada periode pasca-2010, kenaikan harga minyak di
periode ini lebih disebabkan oleh mekanisme pasar di mana terdapat peningkatan
permintaan dari negara-negara berkembang, seperti Tiongkok dan India.
Kedua, terjadi proliferasi tema dalam definisi konsep keamanan energi. Konsep
keamanan energi yang awalnya didefinisikan secara sederhana sebagai ketersediaan
energi yang cukup dengan harga yang terjangkau pada perkembangannya meluas hingga
mencakup berbagai tema lainnya. Tema-tema tersebut antara lain, perlindungan
terhadap infrastruktur, isu sosial, lingkungan, efisiensi, permintaan, tata
kelola/kebijakan publik, dan kuantifikasi. Pemetaan proliferasi tersebut dapat dilihat
dengan lebih jelas dalam tabel di bawah ini.
Ketiga, terkait proliferasi tema keamanan energi tersebut, muncul perdebatan
mengenai apakah seharusnya konsep keamanan pada umumnya, dan keamanan energi
pada khususnya, harus mengalami perluasan. Di satu sisi, perluasan makna keamanan
energi ini dianggap tidak perlu. Jika hal ini terjadi dan keamanan energi menjadi
mencakup semua hal, terdapat risiko bahwa konsep keamanan itu sendiri akan
kehilangan maknanya. Di sisi lain, perluasan ini dianggap perlu karena konsep
keamanan energi yang ada masih sangat terbatas dan harus diperluas untuk
mengakomodasi berbagai tantangan-tantangan baru lainnya.

106
Arshie Ramadhanie

Tabel 2. Perkembangan Tema Definisi Konsep Keamanan Energi

Tema
No Penulis Tahun Dampak Kebijakan
Ketersediaan Harga Infrastruktur Lingkungan Kuantifikasi Permintaan Efisiensi
sosial publik
1 Deese 1979 ■ ■
2 Nye 1982 ■ ■
3 Wionczek 1983 ■ ■
4 Yergin 1988 ■ ■
5 Klare 2002 ■ ■
6 Bielecki 2002 ■ ■
7 Lesbirels 2004 ■ ■ ■
8 Down 2005 ■ ■
9 Yergin 2006 ■ ■ ■
10 Pant 2007 ■ ■
11 Simpson 2007 ■ ■ ■
12 Prasetyono 2008 ■ ■ ■ ■
13 Koknar 2009 ■ ■ ■
14 Choi 2009 ■ ■ ■
15 Bradshaw 2010 ■ ■ ■
16 Ciută 2010
Karlsson-
17
Vikhuyzen
2010 ■ ■ ■
18 Mulligan 2010 ■ ■
Sovacool dan
19
Brown
2010 ■ ■ ■ ■ ■
20 Vivoda 2010 ■ ■ ■ ■ ■ ■ ■ ■
Florini dan
21
Sovacool
2011 ■ ■ ■ ■ ■ ■
22 Kuik et al. 2011 ■ ■ ■ ■ ■
Mayer dan
23
Schouten
2012 ■
24 Goldthau 2012 ■ ■ ■
25 Ozturk 2013 ■ ■ ■ ■
26 Fermann 2014 ■ ■ ■ ■
27 Bridge 2015 ■ ■ ■
28 Narula et al. 2016 ■ ■ ■ ■
29 Chung et al. 2017 ■ ■ ■ ■ ■
Radovanovic
30
et al.
2017 ■ ■ ■ ■ ■

Sumber: hasil olahan penulis.

107
Global Jurnal Politik Internasional 19(2)

PEMBAHASAN
Berdasarkan pemetaan literatur di bagian sebelumnya, terlihat bahwa terdapat
proliferasi tema dalam definisi konsep keamanan energi. Namun, tidak hanya sekedar
perluasan tema, terjadi pula semacam pergeseran dalam konteks yang melatarbelakangi
munculnya tema-tema tersebut.
Bila diperhatikan, sejak awal kemunculannya, sebagai suatu konsep dalam
literatur akademik, keamanan energi sudah kental dengan nuansa ekonomi politik. Akan
tetapi, pada periode awal kemunculannya (periode 1970-1990, serta awal periode 2000-
2010), masih terdapat dimensi strategis/keamanan di dalamnya. Pada periode 1970-
1990, tema ketersediaan dan harga yang muncul dilatarbelakangi oleh krisis minyak I
dan II. Sebelumnya, energi dilihat sebagai salah satu komoditas militer yang vital dalam
peperangan. Namun, krisis minyak pertama pada tahun 1973 diakibatkan oleh embargo
yang dilaksanakan oleh anggota-anggota OPEC. Peristiwa ini membawa keamanan
energi ke tingkat yang benar-benar baru. Embargo minyak yang dilakukan oleh negara
anggota OPEC menunjukkan bahwa energi bukan lagi hanya tentang komoditas militer
esensial, tetapi juga vital bagi keamanan ekonomi global. Kemudian, revolusi Iran pada
tahun 1979 menyebabkan dunia mengalami oil shock/krisis minyak untuk yang kedua
kalinya. Hal ini kemudian mendorong beberapa negara untuk mengambil langkah yang
tidak hanya bersifat defensif, tetapi juga melibatkan penggunaan kekuatan militer untuk
melindungi pasokan minyak. Sebagai contoh, pasca krisis minyak II, Presiden Carter
mendeklarasikan bahwa segala upaya yang dapat menghambat aliran pasokan minyak di
Kawasan Teluk akan digagalkan melalui cara apapun, termasuk kekuatan militer.
Dengan kata lain, pada periode ini, terdapat dimensi strategis dalam konsep keamanan
energi berupa komoditas vital yang dapat digunakan untuk melukai negara lain (Klare,
2002).
Pada periode 2000-2010, tema ketersediaan dan harga, serta infrastruktur juga
masih memiliki dimensi strategis di dalamnya. Akan tetapi, pada periode ini juga sudah
mulai terlihat bahwa terjadi transisi dari fokus keamanan energi di mana banyak
literatur yang mulai menyinggung isu-isu non-tradisional. Masih terdapat tema-tema
keamanan tradisional, seperti adanya kompetisi untuk memperoleh akses terhadap
sumber daya di Timur Tengah, Afrika, dan Asia Tengah yang dilakukan oleh kekuatan-
kekuatan ekonomi baru di Asia, seperti Tiongkok, Jepang, dan Korea Selatan (Klare,
2002; Choi, 2009).

108
Arshie Ramadhanie

Di sisi lain, pada periode ini juga sudah mulai ada transisi di mana banyak
literatur yang berfokus pada aspek non-tradisional dari keamanan energi. Pertama,
periode ini dilatari oleh meningkatnya serangan teroris terhadap berbagai infrastruktur
energi (Luft dan Korin, 2002; Koknar, 2009). Hal ini terjadi seiring dengan terjadinya
peristiwa 9/11 dan kampanye global melawan terorisme yang digalang oleh Amerika
Serikat. Aspek non-tradisional lainnya yang juga mulai muncul dalam periode ini
adalah dimensi sosial. Keamanan energi kini juga mencakup bagaimana menjamin
ketersediaan energi bagi seluruh elemen masyarakat (Lesbirel, 2004). Selain itu, juga
muncul wacana-wacana untuk turut mempertimbangkan eksternalitas yang ditimbulkan
dari upaya memenuhi keamanan energi pada masyarakat. Hal ini dilatarbelakangi oleh
adanya pembangunan-pembangunan infrastruktur energi skala besar yang kemudian
justru memiliki dampak negatif pada masyarakat sekitar (Simpson, 2007).
Pada perkembangannya, terutama pada periode pasca 2010, tema-tema yang
muncul dalam literatur keamanan energi semakin jauh dari nuansa keamanan tradisional
dan lebih condong kepada aspek lingkungan, ekonomi dan politik, dan sosial. Di
periode ini terjadi pergeseran dari pemaknaan keamanan energi sebagai bagian dari
keamanan tradisional menjadi bagian dari ‘keamanan insani’ yang lebih fleksibel.
Pemahaman yang lebih luas ini kemudian memungkinkan adanya sekuritisasi atas
berbagai isu lingkungan, seperti perubahan iklim dan biodiversitas (Bridge, 2015).
Contoh lainnya, bila sebelumnya kenaikan harga diakibatkan oleh sebuah langkah
politik, kenaikan harga pada periode ini terjadi akibat mekanisme pasar dengan jumlah
pasokan minyak yang relatif stabil, tetapi jumlah permintaan yang meningkat. Literatur
yang muncul pun banyak mengenai efisiensi, tata kelola dan kebijakan publik. Dalam
perspektif ini, energi dilihat sebagai suatu komoditas dan ancaman terhadap keamanan
energi dalam hal ini adalah faktor-faktor yang dapat menyebabkan kegagalan pasar
dalam menyediakan komoditas tersebut (Goldthau, 2012).
Uraian di atas pada dasarnya secara singkat menunjukkan bahwa telah terjadi
pergeseran dalam pemaknaan konsep keamanan energi selama periode 1970-1990,
2000-2010, sampai pasca 2010, terlihat. Ia dipahami sebagai konsep yang lebih luas
yang bahkan tidak hanya mencakup komponen-komponen ekonomi politik, tetapi juga
keamanan insani. Hal ini penting karena multiplikasi objek keamanan dapat
menyebabkan pergeseran makna keamanan itu sendiri.
Jika ditinjau dari perspektif kajian ilmu hubungan internasional, uraian
sebelumnya mengenai perkembangan definisi konsep keamanan energi menunjukkan

109
Global Jurnal Politik Internasional 19(2)

penekanan yang lebih kuat pada aspek ekonomi politik dalam isu keamanan energi.
Gambar 3.1 menunjukkan pemetaan penulis-penulis literatur keamanan energi yang
digunakan dalam tulisan ini. Hal ini menjadi penting karena ia mempengaruhi cara
pandang para penulis tersebut dalam melihat energi dan kemudian pada pendefinisian
konsep keamanan energi itu sendiri.
Dari pemetaan tersebut, terlihat bahwa mayoritas literatur menggunakan
paradigma liberalisme yang cenderung dekat dengan perspektif ekonomi. Perspektif ini
mengidentifikasikan isu utama dalam keamanan energi sebagai upaya menghindari
kerugian ekonomi, seperti kerugian dari hilangnya peluang produksi atau konsumsi.
Berdasarkan perspektif ini, ketidakamanan energi adalah hilangnya kesejahteraan
sebagai akibat dari fluktuasi harga atau ketersediaan energi. Pertanyaan dalam
perspektif ini adalah seberapa jauh tingkat keamanan energi yang diperlukan dan
jawaban atas pertanyaan tersebut bergantung pada keseimbangan biaya dan keuntungan
dari meningkatkan keamanan energi. Hal ini kemudian berpengaruh kepada bagaimana
penulis memandang keamanan energi. Mayoritas literatur tersebut cenderung
memandang energi sebagai komoditas pasar dan bukan sumber daya strategis. Literatur-
literatur yang berasal dari studi lain pun juga sebagaian besar berasal dari bidang studi
ekonomi sehingga tidak mengherankan bahwa perspektif ekonomi cenderung lebih
dominan dalam literatur keamanan energi.

Realisme
Liberalisme
Marxisme
Studi Keamanan Kritis
Non-HI

Gambar 1. Pemetaan Paradigma Penulis Literatur Keamanan Energi


Sumber: hasil olahan penulis.

110
Arshie Ramadhanie

Melihat pergeseran tersebut, penulis berargumen bahwa isu energi dapat


dimasukan dalam isu keamanan selama ia mengandung aspek yang mengancam
eksistensi suatu aktor. Menurut Buzan, Waever, dan De Wilde (1998), keamanan adalah
tentang keberlangsungan (survival) ketika suatu isu dianggap mengancam eksistensi
suatu referent object (“survival in the face of existential threat”). Secara historis, energi,
khususnya minyak, menjadi penting untuk survival suatu negara karena ia adalah
komoditas militer esensial. Hal ini secara khusus terjadi sejak digunakannya kepal
perang dengan bahan bakar minyak pada 1912 oleh Inggris dibawah kepemimpinan
Winston Churchill.
Transisi dari penggunaan batu bara ke minyak bumi, memberikan Inggris
keunggulan dalam hal kecepatan dan ketahanan. Sejak saat itu, minyak dilihat sebagai
suatu hal yang esensial untuk kemenangan suatu negara dalam perang. Persepsi ini terus
mempengaruhi pemikiran-pemikiran strategis sampai pada Perang Dunia ke II. Bahkan
upaya untuk memperoleh kendali dan akses terhadap energi ini kemudian juga
mendorong Jepang untuk terlibat dalam perang Pasifik (Klare, 2002). Dalam konteks ini
terlihat bahwa referent object dari keamanan energi adalah negara dan sampai satu titik
tertentu, kedaulatan suatu negara. Energi dalam konteks ini dapat dibingkai sebagai isu
keamanan karena ia berpengaruh bagi keberlangsungan suatu negara.
Akan tetapi, seperti yang telah disinggung sebelumnya, krisis minyak tahun
1973 dan 1979 yang menyebabkan resesi ekonomi berkepanjangan di tingkat global,
membawa konsep keamanan energi ke level yang baru di mana ia bukan lagi hanya
sekedar soal keberlangsungan semata, tetapi juga keamanan perekonomian global
(Klare, 2002). Pasca peristiwa tersebut, apa yang digambarkan sebagai referent object
dalam keamanan energi pun berkembang menjadi lebih beragam dari mulai negara,
kondisi perekonomian, lingkungan, individu, masyarakat asli, dan sebagainya. Akan
tetapi yang paling dominan adalah kondisi perekonomian suatu negara. Energi sering
digambarkan sebagai sumber daya penting untuk menjaga berfungsinya masyarakat
industri modern. Akan tetapi, sebenarnya memburuknya kondisi perekonomian suatu
negara adalah sesuatu yang wajar dan bukan sesuatu yang tidak dapat diprediksi.
Lagipula, jarang sekali keberlangsungan suatu negara terancam atas isu di luar isu
keamanan tradisional, seperti perang. Kecuali keberlangsungan dari seluruh populasi
suatu negara terancam, memburuk atau membaiknya perekonomian negara tidak dapat
dilihat sebagai sesuatu yang existentially threatening (Buzan, Waever, dan De Wilde,
1998). Keamanan energi bukan lagi tentang “survival in the face of existential threat,”

111
Global Jurnal Politik Internasional 19(2)

tetapi lebih melibatkan pertanyaan-pertanyaan moral dan etis mengenai keamanan


energi yang seperti apa yang dapat diterima, misalnya melalui diinkorporasikan isu
lingkungan dan dampak sosial. Salah satu contoh kasusnya adalah kebijakan energi
Inggris yang tidak hanya berusaha untuk mengamankan pasokan energi, tetapi
menjamin ketersediaan energi yang bersih dan murah untuk melawan perubahan iklim
(Bridge, 2015).
Membingkai isu energi sebagai isu keamanan menurut penulis berpotensi
menyebabkan isu energi mengalami politisasi. Politisasi sebagai sebuah proses
dikonseptualisasikan sebagai meletakan suatu subjek ke dalam ranah kontigensi dan
deliberasi, serta dapat membuat suatu posisi politik dapat berubah melalui kontestasi
(Kuzemko, 2014). Membingkai isu energi ini sebagai isu keamanan tidak selalu dapat
dilihat sebagai suatu hal positif. Hal ini karena upaya tersebut dapat dilihat sebagai
kegagalan untuk menghadapi isu energi sebagai isu yang ‘normal’.(Buzan, Waever, dan
De Wilde, 1998). Dampak berikutnya yang juga mungkin dapat timbul adalah, isu
energi dijadikan sebagai legitimasi atas suatu kebijakan tertentu dari pemerintah. Hal ini
kemudian juga terkait dengan isu sejauh apa pemerintah dapat mengintervensi. Terdapat
banyak contoh yang dapat mengilustrasikan hal ini, mulai dari hubungan erat
pemerintahan Amerika Serikat dan kerajaan Arab Saudi sampai doktrin Carter yang
menjustifikasi keterlibatan militer Amerika Serikat di Teluk Persia dalam rangka
menjamin kestabilan pasokan minyak dari kawasan tersebut (Lombardi dan Gruenig,
2016).
Terakhir, tentunya terdapat potensi banalisasi makna keamanan itu sendiri. Salah
satu perkembangan dalam literatur keamanan energi adalah definisi konsep tersebut
menjadi dikaitkan dengan berbagai macam hal. Isu energi adalah isu di tingkat nasional,
internasional, dan bahkan di tingkat keluarga (Jones, 2007). Salah satu contohnya
adalah dalam definisi yang ditawarkan oleh Daniel Yergin. Ia mengungkapkan bahwa
keamanan energi harus diperluas hingga mencakup risiko-risiko yang mungkin muncul
pada seluruh rantai pasokan energi, mulai dari infrastruktur, terorisme, perang, bencana
alam, dan sebagainya. Secara konseptual definisi ini dapat mencakup kerentanan atas
semua hal (Yergin, 2006). Mengutip Ciută (2010), keamanan energi dapat berarti the
security of everything: sumber daya, pabrik produksi, jaringan transportasi, dan bahkan
pola konsumsi; everywhere: ladang minyak, pipa, pembangkit listrik, dan rumah
penduduk; against everything: berkurangnya sumber daya, pemanasan global,
terorisme, dan sebagainya. Hal ini berpotensi membawa isu keamanan untuk meresap

112
Arshie Ramadhanie

sampai ke aspek-aspek paling kecil, banal, dan intim dalam kehidupan kita. Sebagai
contoh, suatu keluarga mungkin tidak merasakan dampak dari keamanan energi, tetapi
di sisi lain mereka juga dapat menghasilkan kerentanan energi melalui, misalnya, pola
konsumsi (Campbell, 2005).
Oleh karena itu, terkait hal ini, menurut penulis, penting untuk melakukan
desekuritisasi pada aspek-aspek di luar definisi keamanan sebagai “survival in the face
of existential threat.” Menurut Aggestam (2015), desekuritisasi dalam hal ini dapat
diartikan sebagai mengembalikan suatu isu yang tadinya dibingkai sebagai isu
keamanan yang eksepsional menjadi ke ranah politik normal. Terdapat banyak jalan
untuk mencapai desekuritisasi tersebut, salah satu caranya adalah dengan
mengembalikan isu tersebut kepada publik/teknokrat yang memang ahli di bidangnya
(Aggestam, 2015). Misalnya, untuk aspek efisiensi, hal ini tidak perlu dimasukkan ke
dalam studi keamanan, namun tetap menjadi ranah akademisi dan praktisi yang
memiliki keahlian di bidang efesiensi energi. Dengan demikian, berbagai pihak yang
berkepentingan dengan energi—tidak harus “keamanan energi”—dapat merumuskan,
memutuskan, melaksanakan, dan meninjau-ulang kebijakan yang terkait dengan energi
tersebut agar dapat mencapai sasaran yang diharapkan.

SIMPULAN
Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa konsep keamanan energi
mengalami evolusi seiring berjalannya waktu. penulis melihat bahwa terjadi pergeseran
dalam pemaknaan konsep keamanan energi selama periode 1970-1990, 2000-2010,
sampai pasca 2010 dari energi sebagai barang strategis sampai menjadi komoditas
pasar. Ia dipahami sebagai konsep yang lebih luas yang bahkan tidak hanya mencakup
komponen-komponen keamanan atau ekonomi politik, tetapi juga keamanan insani. Hal
ini penting karena multiplikasi objek keamanan dapat menyebabkan pergeseran makna
keamanan itu sendiri.
Terkait perluasan dan pergeseran tersebut, muncul perdebatan mengenai apakah
definisi keamanan energi perlu diperluas atau tidak. Menanggapi temuan-temuan
tersebut, penulis melihat bahwa terjadi pergeseran dalam pemaknaan konsep keamanan
energi selama periode 1970-1990, 2000-2010, sampai pasca 2010 dari energi sebagai
barang strategis sampai menjadi komoditas pasar. Ia dipahami sebagai konsep yang
lebih luas yang bahkan tidak hanya mencakup komponen-komponen keamanan atau

113
Global Jurnal Politik Internasional 19(2)

ekonomi politik, tetapi juga keamanan insani. Hal ini penting karena multiplikasi objek
keamanan dapat menyebabkan pergeseran makna keamanan itu sendiri.
Terkait hal ini, penulis berargumen bahwa definisi keamanan energi harus tetap
dilekatkan dengan definisi keamanan sebagai, “survival in the face of existential
threat.” Hal ini karena perluasan definisi keamanan energi tersebut juga berpotensi
menimbulkan politisasi keamanan energi. Hal ini juga berisiko dijadikan pemerintah
untuk melegitimasi kebijakan-kebijakan tertentu. Tidak hanya itu, perluasan definisi
keamanan energi juga memiliki risiko menjadikan konsep keamanan sebagai sesuatu
yang banal karena apabila keamanan energi harus diperluas hingga mencakup seluruh
aspek yang mengancam rantai pasokan energi, pada dasarnya hal ini dapat mencakup
kerentanan terhadap semua hal. Hal ini berpotensi membawa isu keamanan sampai ke
aspek-aspek paling kecil, banal, dan intim dalam kehidupan kita.
Perdebatan ini membawa kita kembali ke dalam perdebatan mengenai
broadening dan deepening security dalam studi keamanan internasional. Di satu sisi
terdapat banyak akademisi yang menyerukan diperlukannya perluasan keamanan dan
memasukkan isu-isu seperti isu lingkungan, kesehatan, serta berbagai isu keamanan
insani. Di sisi lain, terdapat akademisi seperti Stephen Walt cenderung memiliki
preferensi untuk membatasi studi keamanan sebagai studi mengenai peperangan.
Pendapat Walt ini banyak dikritik karena dianggap tidak mampu merefleksikan
kenyataan yang ada saat ini, terutama dengan adanya fenomena terorisme dan serangan
siber. Namun, dalam pandangan penulis, Walt mempunyai poin yang valid ketika
mengatakan bahwa menambahkan berbagai area lain dalam studi keamanan memiliki
risiko memperluas studi keamanan secara berlebihan, dengan logika ini, isu-isu seperti
resesi ekonomi atau kekerasan terhadap anak dapat menjadi ancaman terhadap
keamanan (Walt, 1991). Terinspirasi dari argumen Walt tersebut, Kurniawan (2014)
bahkan dengan tegas membatasi masalah keamanan adalah masalah kekerasan dan
ancaman, penggunaan, dan pengendalian kekuatan koersif oleh negara. Dengan alasan
yang relatif sama, Keliat (2011) menyatakan bahwa berbagai benturan kepentingan
dapat muncul dari berbagai sektor. Namun, selama benturan kepentingan tersebut tidak
menjelma menjadi konflik kekerasan, maka isu tersebut tidak perlu dikategorikan
sebagai obyek atau masalah keamanan.
Walt sendiri mengakui bahwa kekuatan militer bukan satu-satunya ancaman
terhadap keamanan nasional. Ia juga mengakui bahwa “kekuatan militer tidak menjamin
kesejahteraan” seseorang dan isu semacam ini memang membutuhkan “perhatian dari

114
Arshie Ramadhanie

akademisi dan pembuat kebijakan.” Akan tetapi, Walt percaya bahwa isu-isu tersebut
harus mendapatkan perhatian terbesar dari bidang studi mereka masing-masing dan
bukan melalui pendefinisian ulang sub-bidang ilmu yang sudah ada. Menurutnya,
mendefinisikan studi keamanan seperti ini dapat mengganggu koherensi intelektual dan
membuat perumusan solusi untuk isu-isu tersebut menjadi lebih sulit (Walt, 1991).
Lebih lanjut lagi, Daniel Deudney (1990) dalam tulisannya juga menyatakan bahwa jika
semua hal yang menyebabkan penurunan kesejahteraan diberi label sebagai ‘ancaman
keamanan,’ istilah tersebut akan kehilangan kegunaan analitisnya dengan menyamakan
ancaman keamanan sebagai semua hal yang membawa dampak buruk.
Pernyataan Walt dan Deudney tersebut pada dasarnya mengingatkan kembali
bahwa studi keamanan harus tetap memiliki fokus utama. Bila ditarik kembali ke isu
keamanan energi, memasukkan segala macam aspek ke dalam definisi konsep ini dapat
membuat konsep ini kehilangan fokusnya. Hal ini bukan berarti pendefinisian konsep
keamanan atau keamanan energi itu sendiri tidak dapat diperluas. Ancaman terhadap
eksistensi suatu aktor memang tidak harus bersifat militeristik. Oleh karena itu untuk
tetap dapat mengakomodasi perkembangan ancaman dan tetap menjaga fokus dalam
studi keamanan, pendefinisian konsep keamanan energi harus tetap dilekatkan pada,
“survival in the face of existential threat.”

Refleksi Untuk Indonesia


Meskipun Indonesia termasuk ke dalam kategori negara net eksporter energi,
impor minyak dan produk olahan minyak bumi lainnya sedang mengalami peningkatan
dalam beberapa tahun terakhir (IEA, 2015a). Saat ini, Indonesia tengah
mereorientasikan produksi energinya dari yang awalnya berfokus untuk memenuhi
pasar ekspor menjadi memunuhi konsumsi domestik yang semakin meningkat tiap
tahunnya. (IEA, 2015b). Pendefinisian keamanan energi menjadi penting dalam
perumusan kebijakan energi seperti apa yang harus diambil oleh Indonesia. Dalam
merumuskan kebijakan tersebut, terdapat dua paradigma yang dapat diambil (Keliat,
2012). Pertama, pemerintah Indonesia dapat memberlakukan energi sebagai komoditas
pasar. Kedua, pemerintah Indonesia dapat memandang energi sebagai komoditas
strategis.
Berkaca dari kajian literatur ini, penulis tidak merekomendasikan paradigma
kedua karena dengan memandang energi sebagai komoditas strategis, karena hal ini
dapat mendorong terjadinya politisasi atas isu energi serta dapat menjadi dasar

115
Global Jurnal Politik Internasional 19(2)

legitimasi bagi pemerintah untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan tertentu. Intervensi


pemerintah, baik dalam produksi maupun penentuan harga energi, tidak selalu
merupakan hal yang baik. Hal ini diyakini dapat menghasilkan inefisiensi, korupsi, dan
pemborosan anggaran negara (Keliat, 2012). Sebaliknya, penulis lebih
merekomendasikan paradigma pertama. Dalam pendekatan pertama, energi dilihat
sebagai komoditas pasar. Dengan demikian, alih-alih dibingkai sebagai isu keamanan
dan mendapatkan banyak intervensi dari negara, isu energi dalam konteks ekonomi
tersebut dapat diselesaikan melalui mekanisme pasar dan dapat ditangani oleh orang-
orang yang memang ahli di bidangnya.
Namun, hal ini bukan berarti bahwa pemerintah harus seutuhnya mengabaikan
paradigma energi sebagai komoditas strategis. Biar bagaimana pun kita tidak dapat
menafikan adanya pengaruh politik dan dinamika keamanan internasional pada isu
energi. Krisis minyak I (1973), misalnya, terjadi karena sebuah keputusan politik, yaitu
embargo yang dilakukan oleh negara-negara anggota OPEC. Oleh karena itu, kembali
lagi pada argumen penulis, pendefinisian keamanan energi harus dilekatkan kembali
pada definisi keamanan sebagai, “survival in the face of existential threat.” Aspek-
aspek di luar definisi tersebut dapat dikembalikan kepada publik/teknokrat yang
memang ahli di bidangnya sehingga pihak-pihak yang memiliki kepentingan dalam isu
energi—tidak harus “keamanan energi”—dapat merumuskan, memutuskan,
melaksanakan, dan meninjau-ulang kebijakan yang terkait dengan isu energi tersebut
agar dapat mencapai sasaran yang diharapkan.

Rekomendasi
Kemudian, berdasarkan kajian literatur yang telah dilakukan, penulis
menemukan bahwa terdapat aspek-aspek yang perlu diperdalam lebih lanjut di
penelitian-penelitian berikutnya mengenai keamanan energi. Pertama, meskipun isu
energi adalah isu yang kerap dikaitkan dengan isu keamanan, dari literatur-literatur yang
dikumpulkan hanya sedikit literatur yang membahas keamanan energi secara konseptual
atau teoretis. Oleh karena itu, penelitian selanjutnya dapat mengkaji perluasan definisi
keamanan energi secara konseptual atau meninjau kembali hubungan antara isu energi
dan keamanan secara teoretis, serta implikasi dari dimasukkannya isu energi sebagai isu
keamanan.
Di tataran yang lebih empirik, penelitian selanjutnya dapat mengkaji tentang
negara mana yang menjadikan energi sebagai komoditas pasar dan energi sebagai

116
Arshie Ramadhanie

komoditas strategis. Hal ini menjadi penting karena jika suatu negara memandang isu
energi sebagai isu strategis, negara tersebut akan cenderung memperjuangkan
ketersediaan energi karena ia menjadi penting untuk keberlangsungan negara tersebut.
Akan tetapi, jika memperlakukan energi sebagai komoditas pasar, negara tersebut akan
cenderung mengejar profit. Hal ini juga dapat ditarik ke perdebatan klasik mengenai
negara maju dan negara berkembang. Kepentingan dari negara-negara maju yang pada
umumnya adalah importir energi adalah bagaimana mendapatkan akses energi secara
mudah dan murah. Sementara bagai negara berkembang, khususnya negara produsen
atau eksportir energi, tindakan negara maju tersebut sering dilihat sebagai perampasan
sumber daya mereka. Bila ditarik kembali ke literatur, 24 dari 30 literatur yang
digunakan dalam tulisan ini ditulis oleh penulis dari negara-negara maju dan hanya 6
yang ditulis oleh penulis dari negara-negara berkembang. Oleh karena itu, penelitian
selanjutnya juga dapat membandingkan kebijakan energi dari negara maju dan
berkembang atau negara konsumen dan produsen serta bagaimana hal tersebut
mempengaruhi definisi mereka mengenai keamanan energi.

DAFTAR PUSTAKA
Aggestam, K. (2015). Desecuritisation of Water and the Technocratic Turn in
Peacebuilding. International Environmental Agreement, 1-14.
Bielecki, J. (2002). Energy Security: Is The Wolf at The Door? The Quarterly Review of
Economics and Finance, 42(2), 235-250.
Bradshaw, M. J. (2010). Global Energy Dilemmas: A Geographical Perspective. The
Geographical Journal, 176(4), 275-290.
Bridge, G. (2015). Energy (in)security: world-making in an age of scarcity. The
Geographical Journal, 176(4).
Buzan, B. (1991). People, States & Fear: An Agenda for International Security Studies
In The Post-Cold War Era. London: Harvester Wheatshaf.
Buzan, B., Wæver, O., & De Wilde, J. (1998). Security: A New Framework For
Analysis. Colorado: Lynne Rienner Publishers.
Campbell, D. (2005). The Biopolitics of Security: Oil, Empire, and the Sports Utility
Vehicle. American Quarterly, 57(3), 943-972.

117
Global Jurnal Politik Internasional 19(2)

Cherp, A., & Jewell, J. (2012). The Three Perspectives on Energy Security: Intellectual
History, Disciplinary Roots and the Potential for Integration. Current Opinion in
Environmental Sustainability, 3(4), 202-212.
Choi, H. J. (2009). Fueling crisis or cooperation? The geopolitics of energy security in
Northeast Asia. Asian Affairs: An American Review, 36(1), 3-28.
Chung, W.-S., Kim, S.-S., & Moon, K.-H. (2017). A Conceptual Framework for Energy
Security Evaluation of Power Sources in South Korea. Energy.
Ciuta, F. (2010). Conceptual Notes on Energy Security: Total or Banal Security?
Security Dialogue, 41(2).
Deese, D. A. (1979). Energy: Economics, Politics, and Security. International Security,
4(3), 140-153.
Deudney, D. (1990). The Case Against Linking Environmental Degradation and
National Security. Millennium, 19(3), 461-476.
Downs, E. S. (2004). The Chinese Energy Security Debate. The China Quarterly, 21-
41.
Dyer, H., & Trombetta, M. J. (2013). The Concept of Energy Security: Broadening,
Deepening, Transforming. In International Handbook of Energy Security.
Cheltenham: Edward Elgar Publishing.
Fermann, G. (2014). What is Strategic about Energy? De-simplifying Energy Security.
In Political Economy of Renewable Energy and Energy Security. London:
Palgrave Macmillan UK.
Florini, A., & Sovacool, B. K. (2011). Bridging the Gaps in Global Energy Governance.
Global Governance: A Review of Multilateralism and International
Organizations, 17(1), 57-74.
Goldthau, A. (2012). A Public Policy Perspective on Global Energy Security.
International Studies Perspectives, 13, 65-84.
International Energy Agency. (2015). Indonesia – Association Country. Diakses Mei
20, 2017, dari International Energy Agency: https://www.iea.org/countries/non-
membercountries/indonesia/
Jones, J. L. (2007). Energy as Security Imperative. 24th International Workshop on
Global Security. Paris.
Karlsson-Vinkhuyzen, S. I. (2010). The United Nations and global energy governance:
past challenges, future choices. Global Change, Peace & Security, 22(2), 175-
195.
Kasim, Y. K. (2014). Securitization-Desecuritization Dynamics in the Democratizing
State: Indonesia’s Experience Since 1998. Ph.D Dissertation. Freiburg: Albert-
Ludwigs-University of Freiburg.
Keliat, M. (2011). Security and Democracy in Indonesia: The Need to Strike a Balance.
The Indonesian Quarterly, 39(2), 197-216.

118
Arshie Ramadhanie

Keliat, M. (2012, May 10). Keamanan Energi Indonesia. Kompas.


Klare, M. (2002). Resource Wars: the New Landscape of Global Conflict. New York:
Henry Holt and Company.
Koknar, A. M. (2009). The Epidemic of Energy Terrorism. In G. Luft, & A. Korin,
Energy Security Challenges for the 21st Century. Santa Barbara: Praeger
Security International.
Kuik, O. J., Lima, M. B., & Gupta, J. (2011). Energy Security in the Developing World.
iley Interdisciplinary Reviews: Climate Change, 627-635.
Kuzemko, C. (2014). Politicising UK Energy: What'speaking Energy Security'can Do.
Policy & Politics, 42(2), 259-274.
Lesbirel, S. H. (2004). Diversification and Energy Security Risks: the Japanese Case.
Japanese Journal of Political Science, 1-22.
Lombardi, P., & Gruenig, M. (2016). Low-carbon Energy Security from a European
Perspective. London: Academic Press.
Luft, G., & Korin, A. (2004). Terrorism Goes to Sea. Foreign Affairs.
Makarenko, T. (2003). Terrorist Threat to Energy Infrastructure Increases. Jane’s
Intelligence Review.
Mayer, M., & Schouten, P. (2012). Energy Security and Climate Security under
Conditions of the Anthropocene. In L. Anceschi, & J. Symons, Energy Security
in the Era of Climate Change: The Asia-Pacific Experience (pp. 13-35).
London: Palgrave Macmillan.
Mulligan, S. (2013). Energy Dependency and Energy Security: the Role of Energy
Efficiency and Renewable Energy Sources. The Pakistan Development Review,
309-330.
Narula, K. B., Reddy, S., Pachauri, S., & Dev, S. M. (2017). Sustainable Energy
Security for India: An Assessment of the Energy Supply Sub-system. Energy
Policy, 127-144.
Ozturk, I. (2013). Energy Dependency and Energy Security: the Role of Energy
Efficiency and Renewable Energy Sources. The Pakistan Development Review,
309-330.
Pant, G. (2007). Energy Security in Asia: the Necessity of Interdependence. Strategic
Analysis, 31(3), 523-542.
Prasetyono, E. (2008). Energy Security: an Indonesian Perspective. In A. Marquina,
Energy Security: Visions From Europe and Asia (pp. 214-217). New York:
Palgrave Macmillan UK.
Radovanovic, M., Filipovic, S., & Pavlovic, D. (2017). Energy Security Measurement–
A Sustainable Approach. Renewable and Sustainable Energy Reviews, 1020-
1032.

119
Global Jurnal Politik Internasional 19(2)

Rosenberg, E. (2014). Energy Rush: Shale Production and US National Security.


Simpson, A. (2007). The Environment – Energy Security Nexus: Critical Analysis of an
Energy 'Love Triangle' in Southeast Asia. Third World Quarterly, 28(3), 539-
554.
Singh, M. (2010, October 22). PM’s Valedictory Address at the Seminar on the
Occasion of Golden Jubilee of National Defence College. Retrieved March 8,
2017, from Prime Minister’s Office, Press Information Bureau, Government of
India: http://www.pib.nic.in/newsite/erelease.aspx?relid=66514
Sovacool, B. K., & Brown, M. A. (2010). Competing Dimensions of Energy Security:
An International Perspective. Annual Review of Environment and Resources 35,
77-108.
Vlado, V. (2010). Evaluating Energy Security in the Asia-Pacific Region: A Novel
Methodological Approach. Energy Policy, 38(9).
Walt, S. (1991). The Renaissance of Security Studies. International Studies Quarterly,
35(2), 211-239.
Wionczek, M. S. (1983). Energy and International Security in the 1980s: Realities or
Misperceptions? Third World Quarterly, 5(4), 839-847.

120

Anda mungkin juga menyukai