Anda di halaman 1dari 8

Trend Riset Pendidikan Biologi

Oleh Dr. Yanti Herlanti, M.Pd


yantiherlanti@uinjkt.ac.id

Disampaikan pada Seminar Nasional Pembelajaran Biologi di Era Revolusi Industri 4.0,
UNIVERSITAS KUNINGAN, Jawa Barat. 22 Febuari 2020

Perkembangan ilmu dan pengetahuan tidak mungkin diperoleh tanpa


melakukan penelitian. Penelitian dalam pendidikan Biologi secara formal sudah
dimulai sejak abad 20. Hal ini ditandai dengan terbitnya jurnal Science Education
tahun 1930-an dan American Teacher Biology oleh National Assocation of Biology
tahun 1938 di Amerika. Selanjutnya pada tahun 1951 muncul AIBS Bulletin yang
kemudian menjadi jurnal Bioscience yang diterbitkan oleh American Institute
Biological1. Pada saat ini Jurnal Science Education terindeks Q1 dengan H Indeks
100, jurnal American Biology Teacher merupakan jurnal Q3 dengan H Indeks 25,
adapun Bioscience terindeks Q1 dengan H Indeks 1892.
Tahun-tahun awal terbitan jurnal yaitu tahun 1930-an penelitian lebih banyak
didorong oleh pertanyaan pembelajaran sains seperti: nilai-nilai relatif perkuliahan,
demostrasi vs pengajaran laboratorium, konseptualisasi vs memorasisasi, dan
efektifitas pembelajaran kolaboratif vs pembelajaran individual. Pada tahun 1930-an
trend riset pada tahun ini berkisar antara “kegiatan laboratorium dan percobaan
pendekatan pengajaran baru yang menggunakan mahasiwa sebagai partisipannya3.
Pada tahun 1956 terbit pemikiran terkait taksonomi Bloom. Pada taksonomi
Bloom ini pencapaian pembelajaran ranah kognitif diklasifikasikan secara gradual
dari C1 sampai C6 (Kognitif satu sampai kognitif enam). C1 meliputi aspek
mengingat, C2 memahami, C3 Menerapkan, C4 menganalisis, C5 mensintesis, C6
mengevaluasi. Klasifikasi Bloom ini membawa dampak meningkatnya trend riset
dalam pencapaian “konseptual”4.
Pada tahun 1980-an sampai 1990-an berkembang riset-riset tentang
miskonsepsi pada biologi, menilai pengaruh intervensi pengajaran seperti peningkatan
keterlibatan di kelas dan pembelajaran pemecahan masalah. Adapun trend riset tahun
1990-an sampai 2010 berkisar pada pembelajaran, kinerja, dan sikap peserta didik.
Trend riset sebelum tahun 2000-an bersifat deskriptif, misalnya melaporkan
pengembangan dari sebuah pelajaran baru atau modul laboratorium dan reaksi pelajar
terhadapnya. Walaupun tahun 1990-an bertahap lebih bersifat analitis dan kuantitatif,
misalnya efektifitas dari pengajaran. Sampai dengan tahun 2012 berasarkan riview
hasil riset yang masuk lebih dari 100 jurnal trend penelitian dalam bidang Pendidikan
Biologi adalah Identifying and improving Student’s conceptual understanding,
Problem solving, spatial thinking, and the use representations, Learning strategies,
Inquiry based laboratories, dan Metacognition.
Bagaimana dengan trend penelitian pada jurnal-jurnal di Eropa? Salah satu
jurnal pendidikan biologi yang diterbitkan negara Inggris adalah Biological Education
Journal. Jurnal ini mempunyai reputasi Q2 dengan H Indeks 33. Peta riset pada
jurnal Biological Education Journal terlihat pada tabel berikut.

1
Singer, S.R. et al, (2012) Discipline-Based Education Research: Understanding and
Improving Learning in Undergraduate Science and Engineering.
http://nap.edu/13362
2
https://www.scimagojr.com
3
Op.cit
4
Ibid
Tabel 1. Peta Riset Biological Education Journal 2013-2017
No Proses of learning Output of Media and Assesment dan
learning technology of evaluation
learning
1. Laboratory: Simple Student’s Model Multiple
laboratory class; conceptions organism assesment
laboratory exercise, open
air laboratory, PBL
Laboratory exercise
2. Directing inquiry Emotion and Biology Scientific inqiry
learning diagram use paper and
achievment pencil test
3. Programed instructions Student’s Virtual Assesing
undertanding microscopy student’s
performace in
decission making
4. Guided intructions Sosioscientific Digital learning
reasoning environment

5. Motivating active Scientific literacy


learning

Hasil refleksi 50 tahun jurnal Biological Education adalah “The journal still has
an excellent record of addressing issues of real importance to the school/college
laboratory/classroom.” Adapun tantangan penelitian di masa depan ada dua hal
yaitu5:
1. Hubungan antara biologi dan pendidikan kesehatan. Biologi di sekolah
merespon berbagai penyakit yang berkembang seperti kanker, dimensia,
termasuk pendidikan sex.
2. Biologi sekolah harus berkontribusi dalam mengatasi permasalahan
lingkungan, bukan sekedar materi-materi ekologi tapi lebih pada sisi etika
lingkungan.

Trend riset untuk tujuan praktis masih pada ranah literasi sains. Hal ini mengingat
project 2061 yang dikeluarkan oleh AAAS [American Association for the
advencement of Science], “A long-term research and development initiative focused
on improving science education so that all Americans can become literate in science,
mathematics, and technology”. Dalam literasi sains, Indonesia masih perlu banyak
perbaikan, posisi peserta didik Indonesia masih belum memuaskan6. AAAS pada
tahun 1990-an berfokus pada inkuiri dan Science Technology Society, pada tahun ini
berfokus pada STEM (Science Technology Engenering Mathematics). NSTA
[National Science Teaching Assosiation] masih merekomendasikan beberapa strategi

5
Michael J. Reiss (2016) Journal of Biological Education: A Personal Reflection on its First
50 Years, Journal of Biological Education, 50:1, 3-6, DOI:
10.1080/00219266.2016.1140984
6
https://www.kemdikbud.go.id/main/blog/2019/12/hasil-pisa-indonesia-2018-akses-makin-
meluas-saatnya-tingkatkan-kualitas
pembelajaran sains seperti inquiry discovery, argument driven inquiry, STEM, dan
Sosioscientific Issue Discussion.
Trend riset pendidikan biologi yang dipublikasikan pada jurnal pendidikan biologi
Indonesia seperti Journal of Biolog Education, Bioedu, Bioedukasi, dan Didaktika
Biologi selama tahun 2012-2017, pada 547 artikel menunjukan trend riset masih pada
strategi pengajaran dan pembelajaran biologi (35%) dan sumber belajar (29%)7. Hasil
senanga diperoleh dari analisis pada jurnal Edusains terbit secara online tahun 2014
sampai 2019. Pada Tabel 2 tampak bahwa trend riset sains di Indonesia masih pada
stategi pembelajaran dan pengajaran (61,2%) dan pada pengembangan media, bahan,
dan sumber ajar (12,1%).

Tabel 2. Trend Riset Sains pada Jurnal Edusains 2014-2019


Ranah Riset Frekuensi Presentasi
Strategi pembelajaran dan pengajaran 101 61.2
Media, Bahan Ajar, Sumber Belajar 20 12.1
Profesional Development 12 7.3
Kompetens Sainsi Siswa 10 6.1
Miskonsepsi 6 3.6
Pembelajaran Lingkungan 6 3.6
Assement dan evaluasi 5 3.0
Analisis buku 4 2.4
Lainnya 1 0.6
Jumlah 165 100.0

Pada saat ini kemajuan teknologi memasuki Revolusi 4.0. Kata ini pertama kali
dikemukan oleh German [2011] yang bermakna konsep automatisasi yang dilakukan
mesin tanpa memerlukan bantuan tenga manusia dalam pengaplikasiannya. Hal ini
untuk efesien waktu, tenaga kerja, dan biaya. Hal yang menarik pada era revolusi 4.0
adalah penggunaan teknologi Artificial Intelligent (kecerdasan buatan). Riset-riset
pada bidang ini akan sangat banyak sekali, yang menarik dilemparkan adalah sebuah
pertanyaan, “Biologi sekolah haruskah menerapkan AI?”
Jepang adalah Negara yang terlebih dahulu dan terbanyak menggunakan mesin
otomoatis tanpa banyak memerlukan tenaga kerja. Oleh sebab itu ketika Negara lain
masih dalam era Revolusi 4.0, Jepang maju dengan masyarakat 5.0. Namun
bagaimana pembelajaran di sekolah Jepang? Apakah menggunakan teknologi
informatika dan komunikasi yang canggih? Cerita di bawah ini mungkin dapat
menjadi bahan renungan untuk menjawab pertanyaan sebelumnya.

Ini adalah pengalaman mengamati pembelajaran yang dilakukan oleh Bapak


Hashimoto seorang Super Teacher di Sekolah Dasar Toyama Jepang 8 . Jepang
merupakan Negara yang terdepan dalam teknologi, apakah pembelajaran di Jepang
menggunakan media “ONE STUDENT ONE LAPTOP? MEMBAWA ROBOT AI

7
Haviz, M & Ridho, M. (2019). Trend Biology Education Research From 2012 to 2017.
Jurnal Edusains 11 (2) 221-232.
8
Kegiatan Lesson Study, Project For Curriculum Development And Teaching Staff Re-
Education Support In Environment Education (2014-2017). Support by JICA
Pathership IEPF Toyama Japan.
KE KELAS?” Teernyata walaupun terkenal dengan kemajuan teknologinya, guru-
guru di Jepang lebih banyak mengoptimalkan papan tulis.

Di Jepang satu jam pelajaran setara 50 menit. Setiap guru mata pelajaran akan
menyampaikan materi di kelas selama 50 menit yang meliputi pembukaan sampai
penutupan. Apa saja yang disampaikan oleh guru selama 50 menit tersebut dapat
dilihat di papan tulis. Papan tulis dimanfaatkan secara optimal sebagai media
pembelajaran. Gambar 1 memperlihatkan sekitar pukul 13.50 guru menempelkan
selembar kertas berisi sebuah pertanyaan di papan tulis. “Ada peristiwa apa di
Hokaido setiap hari selasa ke-4 pada bulan oktober [4火曜日はの日]?” Beberapa
siswa menjawab dan guru menuliskan jawaban siswa menggunakan kapur tulis.
Selama kurang lebih lima menit, siswa diminta menebak jawaban pertanyaan tersebut.

Gambar 1. Guru Hasimoto dari Toyama University Affiliated Elementary School


menempelkan pertanyaan di papan tulis dan menuliskan jawaban dari siswanya

Gambar 2 memperlihatkan guru menggunakan kapur berwarna putih untuk


menuliskan jawaban siswa. Penggunaan warna kapur merah digunakan untuk
menandai kata-kata kunci yang mengarah pada jawaban. Guru menandai dengan
kapur merah bahwa jawaban yang benar terkait dengan “rusa” dan “makan”(terlihat
pada papan pertanyaan yang dipasang guru adalah 4火曜日はの日 dibaca SHI KA
YOUBI NO HI; dalam bahasa Jepang SHI artinya 4 KA YOUBI = HARI SELASA,
namun SHI KA yang dibaca langsung juga bermakna RUSA). Anak menebak bahwa
“Selasa ke-4 bulan Oktober sebagai hari dimana masyarakat Hokaido dilarang makan
rusa!” namun jawabanya salah ternyata sebaliknya yaitu “Hari bebas makan daging
rusa sepuasnya. Guru pun menuliskan dengan menggunakan kapur warna kuning
sebagai jawaban yang tepat. Lalu guru menempelkan selembar kertas lagi bergambar
kesukaan anak-anak terhadap daging rusa. Guru menggambarkan dari muka
tersenyum sampai cemberut untuk meunjukkan kesukaan sampai ketidaksukaan
terhadap daging rusa.
Gambar 3 menunjukkan guru menuliskan alasan peserta didik mengapa tidak
suka dan suka terhadap daging rusa. Alasan bermacam-macam misalnya tak tega
karena lucu, nanti rusanya habis, dan lainnya. Lalu guru membawa daging rusa yang
dibelinya di Hokaido. Peserta didik diminta mencobanya, parameter kesukaan pun
ditempelkan kembali untuk menjaring perubahan kesukaan setelah peserta didik
mencicipi daging rusa. Tampak di papan tulis terjadi perubahan, peserta didik yang
sangat menyukai daging rusa bertambah dari 7 menjadi 21.

Gambar 2. Guru Hasimoto dari Toyama University Affiliated Elementary School


menuliskan jawaban para siswa, kapur berwarna digunakan untuk menandai kata-kata
kunci yang mengarah pada jawaban dan jawaban terhadap jawaban

Gambar 3. Guru Hasimoto dari Toyama University Affiliated Elementary School


menuliskan jumlah siswa yang menyukai sampai yang tidak menyukai daging rusa
dan menuliskan alasan peserta didik mengapa menyukai dan tidak menyukai

Gambar 4 memperlihatkan guru menggali mengapa ada perubahan persepsi? Siswa


mengemukakan alasannya, dan guru menuliskan alasan di papan tulis. Alasan peserta
didik yang berubah dari tidak suka menjadi suka karena ternyata setelah dicicipi
daging rusanya enak. Ada juga yang bertahan tidak menyukainya karena alasan rusa
bisa habis padahal harusnya dilindungi. Lalu guru menempelkan grafik yang dibuat
sendiri dari kertas karton. Grafik kerusakan lahan pertanian di Hokaido dari tahun ke
tahun.

Gambar 5 menunjukkan guru menempelkan satu grafik lagi yaitu pertumbuhan rusa di
Hokaido dari tahun ke tahun. Siswa memikirkan hubungan antara grafik kerusakan
lahan pertanian dari tahun ke tahun dan pertumbuhan rusa pada tahun yang sama di
Hokaido. Dari dua grafik ini guru meminta para siswa memikirkan alasan mengapa
Hokaido masyarakat beramai-ramai memakan daging rusa tiap selasa keempat bulan
Oktober.

Gambar 4. Guru Hasimoto dari Toyama University Affiliated Elementary School


menuliskan alasan perubahan pendapat siswa dan menempelkan grafik kerusakan
lahan pertanian di Hokaido

Gambar 5. Guru Hasimoto dari Toyama University Affiliated Elementary School


menempelkan grafik kedua yaitu pertumbuhan rusa di Hokaido

Gambar 6 menunjukkan kegiatan inti berlangsung selama 40 menit. Kita bisa melihat
rangkaian kegiatan selama 40 menit di papan tulis dari kanan ke kiri. Apa yang
dibelajarkan guru dan bagaimana proses argumentasi yang terjadi di kelas terlihat di
papan tulis.

Gambar 6. Guru Hasimoto dari Toyama University Affiliated Elementary School


menempelkan kesimpulan dan pada pukul 14.30 kegiatan inti pembelajaran berakhir.
Seluruh pembelajaran yang dilakukan terlihat di papan tulis

Begitulah, guru Jepang memanfaatkan papan tulis sebagai media pembelajaran secara
optimal. Selepas pembelajaran papan tulis dapat dipotret, dijadikan sebagai bahan
refleksi juga laporan pada para orang tua pembelajaran apa yang telah diberikan pada
anak-anak mereka hari itu. Hampir semua guru Toyama menggunakan gaya
pembelajaran yang sama dengan Bapak Hashimoto.

Gambar 7 menunjukkan pembelajaran lainnya yang dilakukan di SD Jinzumidori


Jepang. Di SD ini pun sama, pembelajaran diawali dengan menempelkan kertas
pertanyaan, lalu menggali pendapat para siswa. Bebeda dengan Bapak Hashimoto, di
SD ini guru menempelkan kertas kuning yang menandai nama siswa yang
berpendapat.

Gambar 7. Pembelajaran di SD Jinzu Midori Toyama Jepang

Hampir rata di semua jenjang pendidikan di Jepang sistem manual lebih banyak
digunakan daripada digitalisasi dan robotisasi. Mengapa seperti ini? Teknologi
perkembangannya cepat, dan penyediaannya memerlukan sumber dana yang besar,
jika sekolah mengikuti perkembangan ini maka beban biaya sekolah menjadi sangat
besar. Teknologi terbaru yang hadir pada zaman kekinian keterampilan
menguasainya akan lebih mudah diadopsi peserta didik, Hal ini kareana lingkungan
sekitar telah mengajarkan dengan sendirinya teknologi digitalisasi. Namun
keterampilan manual, jika tidak diajarkan sekolah akan diajarkan siapa lagi? Sistem
pendidikan Jepang dengan mengoptimalisasikan lingkungan sekitar dan media
manual telah terbukti menghasilkan manusia-manusia yang memiliki keterampilan
berpikir kreatif inovatif, kritis memecahkan masalah, dan mampu berkolaborasi
dengan baik, Mengapa harus beralih dengan media-media berbahan mahal. Lebih
baik memodern dan memperbaiki media-media manual yang telah terbukti
kehandalannya9.

Berdasarkan paparan artikel ini, “Biologi sekolah haruskah menerapkan AI?”


9
Prof. Higashi Negishi, Toyama University, 2020 年1月24日. The Project for
Establishing the Subject ‘Environment in Junior High Schools and Disseminating
Environmentasl Education in Activities of Environmental Education Textbook.
Support by JICA Pathership with IEPF Toyama Japan.

Anda mungkin juga menyukai