Anda di halaman 1dari 30

MAKALAH DASAR KESPRO DAN KIA

“DETERMINAN KEMATIAN IBU DAN PRINSIP PENURUNAN


ANGKA KEMATIAN IBU DAN ANAK”

DISUSUN
OLEH :
KELOMPOK 1
(A REG IKM KEL. 2/SEMESTER 1)
1. Alan Naari Huda (21011057)
2. Anggita Dwi Putri (21011042)
3. Brenda Rindu Amori (21011049)
4. Citra Prastika Pakpahan (21011036)
5. Febrian Suhendra (21011044)
6. Luthfiah Aini (21011031)
7. Wulan Yolanda Safique Hardjo (21011055)

DOSEN PENGAMPU : BU ELMIA KURSANI, SST, M.KES

PROGRAM STUDI S1 KESEHATAN MASYARAKAT


STIKES HANG TUAH PEKANBARU
TA. 2021/2022
KATA PENGANTAR

Segala puji hanya milik Allah, Tuhan semesta alam. Atas berkat limpahan
dan rahmat-Nya kami mampu menyelesaikan Makalah "Determinan Kematian Ibu
dan Prinsip Penurunan Angka Kematian Ibu dan Anak" ini guna memenuhi tugas
mata kuliah Dasar Kespro dan KIA.

Makalah ini disusun agar pembaca dapat memperluas ilmu mengenai


determinan beserta prinsip masalah kematian ibu dan anak yang kami sajikan
berdasarkan pengamatan dari berbagai sumber informasi dan referensi. Makalah
ini kami susun dengan berbagai rintangan, baik itu yang datang dari diri penyusun
maupun yang datang dari luar. Namun dengan penuh kesabaran dan terutama
pertolongan dari Allah akhirnya makalah ini dapat terselesaikan.

Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang luas dan menjadi
sumbangan pemikiran kepada pembaca khususnya para mahasiswa STIKes Hang
Tuah Pekanbaru.

Kami sadar bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Untuk itu,
kepada dosen pembimbing kami meminta masukannya demi perbaikan pembuatan
makalah kami di masa yang akan datang dan kami mengharapkan kritik dan saran
dari para pembaca.

Pekanbaru, 17 Desember 2021

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.........................................................................................................ii
DAFTAR ISI......................................................................................................................iii
BAB I...................................................................................................................................1
PENDAHULUAN...............................................................................................................1
1.1 Latar Belakang......................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah.................................................................................................2
1.3 Tujuan Penulisan Makalah...................................................................................2
1.4 Manfaat Penulisan Makalah.................................................................................3
BAB II..................................................................................................................................4
PEMBAHASAN..................................................................................................................4
2.1 Determinan Kematian Ibu....................................................................................4
2.2 Prinsip Penurunan Angka Kematian Ibu dan Anak...............................................5
BAB III..............................................................................................................................21
PENUTUP..........................................................................................................................21
3.1 Kesimpulan........................................................................................................21
3.2 Saran...................................................................................................................21
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................22

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Menurut International Classification of Diseases (ICD)-10 definisi
kematian ibu (maternal death) adalah “kematian ibu selama masa kehamilan
atau dalam waktu 42 hari setelah akhir kehamilannya (pasca persalinan),
dengan berbagai macam penyebab yang berhubungan atau diperburuk oleh
kehamilan atau manajemennya, akan tetapi bukan karena kasus kecelakaan
(accidental) atau yang berhubungan atau diperburuk oleh kehamilan atau
manajemennya, akan tetapi bukan karena kasus kecelakaan (accidental) atau
yang terjadi secara insidental” (WHO, 1999).

Perhitungan atau angka yang paling sering digunakan untuk kematian


ibu dikenal sebagai maternal mortality ratio (kadang-kadang salah
kaprah digunakan “rate”), adalah jumlah kematian ibu dalam suatu populasi
yang terjadi dalam waktu satu tahun per 100.000 kelahiran hidup. Jumlah ini
merupakan representasi risiko pada kehamilan tunggal (single pregnancy)
(WHO & Unicef, 2001).

Angka Kematian Ibu (AKI) merupakan indikator penting untuk


melihat derajat kesehatan suatu bangsa dan menjadi salah satu komponen
indeks pembangunan maupun indeks kualitas hidup. AKI merupakan indikator
paling sensitif untuk menilai derajat kesehatan dan kualitas hidup suatu
bangsa. Beberapa tahun terakhir Indonesia dikejutkan dengan peningkatan
AKI yang fantastis pada tahun 2015, yang mencerminkan kegagalan dalam
pencapaian target penurunan angka kematian ibu sesuai Millenium
Development Goals (MDGs) tahun 2015.

Dari 17 tujuan dan 169 target rumusan SDGs yang telah disepakati,
target penurunan Angka Kematian Ibu (AKI) masuk dalam tujuan ketiga yakni
Ensure healthy lives and promote well-being for all at all ages. Pada
tahun
2030, target penurunan AKI secara global adalah 70 kematian per 100,000
kelahiran hidup.

1
Angka Kematian Ibu (AKI) saat ini masih jauh dari target Tujuan
Pembangunan Berkelanjutan/Sustainable Development Goals (SDGs) yakni
70 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 2030. Meskipun telah banyak
upaya yang dilakukan oleh pemerintah, AKI belum turun secara signifikan.

Saat ini Indonesia mengalami kegagalan dalam pencapaian target


penurunan angka kematian ibu. Sejak tahun 1994 telah terjadi penurunan
angka kematian ibu secara bertahap dari 390 per 100 000 kelahiran hidup
menjadi 334 per kelahiran hidup pada tahun 1997, dan semakin turun pada
tahun 2007 menjadi 228 per 100.000 kelahiran hidup (Bappenas, 2012),
namun terjadi peningkatan drastis pada tahun 2012. Berdasarkan hasil Survei
Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2012 angka kematian ibu
melonjak sangat signifikan menjadi 359 per 100.000 kelahiran hidup.

Berdasarkan data Direktorat


Kesehatan Keluarga per 14
September
2021 tercatat sebanyak 1086 ibu meninggal dengan hasil pemeriksaan swab
PCR/antigen positif. Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana
Nasional (BKKBN) Hasto Wardoyo mengatakan, saat ini angka kematian ibu
dan bayi di Indonesia masih cukup tinggi.

Mencermati fakta mengejutkan mengenai tingginya angka kematian


ibu di Indonesia dalam dua tahun terakhir, hal ini menjadi pertanyaan besar
bagi kita apa yang menjadi penyebabnya? Bagaimana kontribusi berbagai
program di sektor kesehatan selama ini dijalankan?

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang tersebut, maka dapat ditentukan rumusan
masalah pada makalah ini sebagai berikut :
1. Apa saja determinan kematian ibu?
2. Bagaimana prinsip penurunan angka kematian ibu dan anak?

1.3 Tujuan Penulisan Makalah


Tujuan penulisan makalah ini adalah
sebagai berikut :
1. Memenuhi tugas mata kuliah Dasar Kespro dan KIA dengan Dosen

2
Pengampu Bu Elmia Kursani, SST, M.Kes

3
1.4 Manfaat Penulisan Makalah
Manfaat dari penulisan makalah ini adalah
sebagai berikut :
1. Mengetahui mengenai determinan
kematian ibu
2. Menambah wawasan dan kemampuan berfikir mengenai prinsip penurunan
angka kematian ibu dan anak

4
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Determinan Kematian Ibu

Menurut McCarthy dan Maine (1992) ada 3 faktor yang


berpengaruh terhadap kejadian kematian ibu. Faktor risiko yang
mempengaruhi kematian ibu dibagi menjadi faktor–faktor determinan
dekat, determinan antara dan determinan jauh.

(1) Determinan dekat, yaitu kehamilan itu sendiri dan komplikasi yang
terjadi dalam kehamilan, persalinan dan masa nifas (komplikasi obstetri).
Faktor yang terjadi selama kehamilan (determinan dekat) yang meliputi
kejadian kehamilan, dimana wanita hamil memiliki risiko untuk
mengalami komplikasi pada masa kehamilan, persalinan dan nifas, seperti
komplikasi perdarahan, preeklamsia / eklamsia, infeksi, partus lama, dan
ruptura uterus akan berpengaruh terhadap
terjadinya kematian ibu (Arulita,
2007).

(2) Determinan antara, yaitu status kesehatan ibu (status gizi, riwayat
penyakit, riwayat komplikasi pada kehamilan sebelumnya, riwayat
persalinan sebelumnya), status reproduksi (usia, paritas, jarak kehamilan,
status perkawinan), akses ke pelayanan kesehatan (lokasi pelayanan
kesehatan, KB, pelayanan antenatal, pelayanan obstetri emergensi,
jangkauan pelayanan yang tersedia, kualitas pelayanan, akses informasi
tentang pelayanan kesehatan), perilaku perawatan kesehatan / penggunaan
pelayanan kesehatan (perilaku KB, pemeriksaan antenatal, penolong
persalinan, tempat persalinan, pelaksanaan aborsi yang tidak aman,
penggunaan fasilitas kesehatan ketika terjadi masalah kesehatan) dan
faktor – faktor lain yang tidak diketahui atau tidak terduga.

(3) Determinan jauh, meliputi faktor sosio-kultural dan faktor ekonomi,


seperti status wanita dalam keluarga dan masyarakat (pendidikan,
pekerjaan, pendapatan), status keluarga dalam masyarakat (pendapatan
keluarga, tempat tinggal, pendidikan anggota keluarga, pekerjaan anggota
5
keluarga) dan status masyarakat (kesejahteraan, sumber daya di masyarakat)
(Arulita, 2007).

Determinan jauh secara langsung mempengaruhi determinan antara dan


secara tidak langsung mempengaruhi determinan dekat (Arulita, 2007). Terdapat
tiga komponen dalam proses kematian ibu. Komponen yang paling dekat dengan
kematian ibu adalah kehamilan, persalinan, atau komplikasinya. Komponen
kehamilan, komplikasi, atau kematian ini secara lengkap dipengaruhi oleh faktor
risiko determinan antara. Faktor risiko determinan antara dipengaruhi oleh faktor
risiko determinan jauh.

Lima penyebab kematian ibu terbesar adalah perdarahan, hipertensi dalam


kehamilan (HDK), infeksi, partus lama/macet dan abortus. Kematian ibu di
Indonesia tetap didominasi oleh tiga penyebab utama kematian yaitu perdarahan,
HDK, dan infeksi. Proporsi ketiga penyebab kematian ibu telah berubah, dimana
perdarahan dan infeksi cenderung mengalami penurunan sedangkan HDK
proporsinya semakin meningkat. Kematian ibu di Indonesia pada tahun 2010
Lebih dari 30% disebabkan oleh HDK (Departemen Kesehatan RI, 2014).

2.2 Prinsip Penurunan Angka Kematian Ibu dan Anak

Prinsip penurunan angka kematian ibu dan anak adalah dengan melakukan
upaya-upaya untuk meningkatkan kesehatan ibu dan anak.
Berikut upaya-upaya yang dapat dilakukan.
1. Pencegahan kematian ibu dan anak
Salah satu yang menjadi penyebab tingginya angka kematian ibu tersebut
adalah Anemia Difisiensi yang diderita ibu hamil. Oleh karena itulah dibutuhkan
penyuluhan secara aktif kepada para ibu hamil agar mewaspadai bahayanya
anemia di masa kehamilan tersebut.
Ketika asupan gizi pada ibu hamil minimalis, dikarenakan faktor zat gizi
yang kurang, maka hal itu akan menyebabkan anemia. Anemia dalam kehamilan
ini adalah kondisi dimana kadar HB ibu hamil kurang dari 11 gr% pada
trisemester 1 dan 2, serta kurang dari 10,9 gr% pada trisemester ketiga.
Sebagai pencegahan dari munculnya anemia pada masa kehamilan
tersebut agar ibu hamil rajin mengonsumsi makanan yang kaya akan kandungan

6
zat besi, mengonsumsi suplemen zat besi, atau tablet penambah darah selama 90
hari masa kehamilan.
Anemia ini harus dihindari oleh para ibu hamil karena dampak dari
anemia pada ibu hamil itu sendiri yakni keguguran, pendarahan selama
kehamilan, persalinan premature, gangguan janin, gangguang persalinan dan
masa nifas. Pemantauan kadar HB pada ibu hamil dalam masa kehamilan itu
sangat penting salah satunya pemantauan HB minimal 2x selama kehamilan di
bulan ke 1-3 dan bulan ke 7-9.
Anemia sering dialami oleh perempuan terutama wanita usia subur,
remaja putri, dan ibu hamil. Anemia pada ibu hamil sering disebabkan dengan
meningkatnya kebutuhan zat besi yang tidak diimbangi dengan asupan zat besi
yang cukup. Padahal anemia pada ibu hamil dapat memberikan dampak yang
serius seperti risiko kelahiran prematur, kematian ibu dan anak, serta penyakit
infeksi. Hasil Riskesdas 2018 menyatakan bahwa cakupan anemia pada ibu hamil
di Indonesia mencapai 48,9%. Sebanyak 84,6% anemia pada ibu hamil terjadi di
kelompok umur 15-24 tahun. Tahun 2019 di Banyuwangi, anemia pada ibu hamil
mencapai 7,8% (target <5%) masih tergolong cukup tinggi, sehingga untuk
mencegah anemia diharapkan setiap ibu hamil mendapatkan tablet tambah darah
(TTD) minimal 90 tablet selama kehamilan.
2. Program Pelayanan KIA
Pengelolaan program KIA bertujuan memantapkan dan meningkatkan
jangkauan serta mutu pelayanan KIA secara efektif dan efisien. Pemantapan
pelayanan KIA dewasa ini diutamakan pada kegiatan pokok sebagai berikut :
1) Peningkatan pelayanan antenatal sesuai standar bagi seluruh ibu hamil
di semua fasilitas kesehatan.
2) Peningkatan pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan kompeten
diarahkan ke fasilitas kesehatan.
3) Peningkatan pelayanan bagi seluruh ibu nifas sesuai standar di semua
fasilitas kesehatan.
4) Peningkatan pelayanan bagi seluruh neonatus sesuai standar di semua
fasilitas kesehatan ataupun melalui kunjungan rumah.
5) Peningkatan deteksi dini faktor risiko dan komplikasi kebidanan dan
neonatus oleh tenaga kesehatan maupun masyarakat.

7
6) Peningkatan penanganan komplikasi kebidanan dan neonatus secara
adekuat dan pengamatan secara terus-menerus oleh tenaga kesehatan di
fasilitas kesehatan.
7) Peningkatan pelayanan kesehatan bagi seluruh bayi sesuai standar di
semua fasilitas kesehatan.
8) Peningkatan pelayanan kesehatan bagi seluruh anak balita sesuai
standar di semua fasilitas kesehatan.
9) Peningkatan pelayanan KB sesuai standar.
3. Pemeriksaan kehamilan 10T
Pelayanan atau asuhan standar minimal 10 T adalah sebagai berikut
(Depkes RI, 2009) :
1) Timbang berat badan
Proses antenatal care pertama dari 10 T adalah timbang berat
badan sekaligus ukur tinggi badan ibu hamil. Ini biasanya dilakukan
pada pertemuan pertama untuk mengetahui adakah risiko kehamilan
yang mungkin terjadi. Setiap bulannya, pertambahan berat badan terus
dicatat untuk mengetahui apakah masih masuk dalam level normal
atau tidak.
2) Tekanan darah diperiksa
Saat sesi konsultasi dengan dokter spesialis kandungan,
tekanan darah ibu hamil akan diperiksa terlebih dahulu. Normalnya,
tekanan darah berada di angka 110/80 hingga 140/90 mmHg. Dokter
akan membahas lebih detil risiko apabila tekanan darah diketahui
terlalu rendah atau tinggi.
3) Tinggi puncak rahim diperiksa
Puncak rahim atau fundus uteri juga perlu diperiksa sebagai
salah satu indikator usia kehamilan. Idealnya, tinggi puncak rahim ini
sama dengan usia kehamilan. Jika ada perbedaan, toleransinya pun
hanya 1-2 cm. Dokter akan memberi perhatian lebih jika
perbedaannya lebih dari 2 cm.
4) Tetanus Toksoid (TT)/Vaksinasi tetanus
Perlu juga diberikan vaksinasi tetanus untuk ibu hamil. Namun
sebelumnya, dokter juga perlu mengetahui status imunisasi

8
sebelumnya sekaligus seberapa dosis yang harus diberikan (skirining
status imunisasi).
5) Tablet zat besi
Rangkaian antenatal care berikutnya adalah pemberian tablet
atau suplemen zat besi untuk ibu hamil. Biasanya, dokter juga akan
meresepkan beberapa suplemen lain seperti asam folat, kalsium, dan
lainnya sesuai kebutuhan dan kondisi ibu. Pemberian tablet zat besi
minimal 90 tablet selama kehamilan.
6) Tetapkan status gizi
Penting untuk mengetahui status gizi ibu hamil dalam
rangkaian pemeriksaan ANC. Apabila gizi ibu hamil kurang tercukupi,
maka risiko bayi mengalami berat badan lahir rendah meningkat.
Penetapan status gizi ini dilakukan dengan mengukur lingkar antara
lengan atas dan jarak pangkal bahu ke ujung siku.
7) Tes laboratorium
Pada awal dan akhir usia kehamilan, dokter juga akan meminta
ibu hamil menjalani tes laboratorium. Tujuannya untuk mengetahui
kondisi yang umum seperti golongan darah, rhesus, hemoglobin, HIV,
dan lainnya. Namun pada beberapa kondisi, ibu hamil perlu menjalani
tes laboratorium yang lebih spesifik untuk mengetahui adakah risiko
selama kehamilan.
8) Tentukan denyut jantung janin
Ketika memasuki usia kehamilan 16 minggu, denyut jantung
bayi sudah bisa diperiksa. Ini sangat krusial untuk mendeteksi adakah
faktor risiko kematian karena cacat bawaan, infeksi, atau gangguan
pertumbuhan. Deteksi denyut jantung dan keberadaan janin ini bisa
diketahui lewat pemeriksaan USG.
9) Tatalaksana kasus
Bagi ibu hamil dengan risiko tinggi, maka akan ada tatalaksana
kasus yang memastikan calon ibu mendapat perawatan dan fasilitas
kesehatan memadai. Pihak rumah sakit atau dokter akan
mendiskusikan opsi-opsinya dengan ibu.
10) Temu wicara (konseling)

9
Apapun yang ditanyakan selama proses kehamilan bisa
disampaikan saat temu wicara dengan dokter. Ini termasuk bagian dari
proses pemeriksaan ANC. Tanyakan segala hal terkait kehamilan agar
mendapat informasi sejelas-jelasnya saat sedang konsultasi, termasuk
Perencanaan Persalinan dan Pencegahan Komplikasi (P4K) serta KB
pasca persalinan.
4. Penetapan daerah lokus
Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor
HK.01.07/MENKES/319/2020 dalam kegiatan penurunan angka kematian ibu
dan angka kematian bayi tahun 2021, untuk mempercepat pencapaian target
penurunan angka kematian ibu dan bayi, maka diperlukannya dukungan dan kerja
sama lintas program, lintas sektor, organisasi profesi, dan pemangku kepentingan
lainnya yang terfokus pada lokus kegiatan AKI dan AKB.
Sehingga pemerintah menetapkan 200 Kabupaten/Kota pada 34 provinsi
sebagai lokus kegiatan penurunan AKI dan AKB di Indonesia. Dan dalam upaya
tersebut Bupati/Walikota bertugas:
1. Meningkatkan akses pelayanan kesehatan ibu dan bayi
2. Meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan
3. Meningkatkan peran serta masyarakat dalam upaya penurunan
AKI dan AKB
4. Memperkuat tata kelola kesehatan ibu dan bayi, meliputi tata
kelola kesehatan ibu dan bayi, meliputi tata kelola manajemen,
tata kelola program, dan tata kelola klinis
5. Perlunya kolaborasi bidan dengan para tenaga kesehatan dalam
penurunan angka kematian ibu dan anak
Data sistem informasi SDM Kesehatan per 7 April 2021, bidan menjadi
salah satu tenaga kesehatan paling banyak dengan jumlah 202.309 dari 10.279
dan 61.749 bidan dari 2.955 rumah sakit. Atas dasar itu, bidan menjadi tulang
punggung sistem kesehatan dalam memberikan pelayanan kesehatan pada ibu dan
anak, termasuk untuk menurunkan angka kematian ibu dan bayi. Maka
pemerintah dan masyarakat patut untuk memberikan dukungan yang dibutuhkan
untuk meningkatkan kompetensi dan profesionalisme para bidan. Sehingga, bidan
bisa memberikan layanan yang paripurna bagi yang membutuhkan.

10
Selain itu juga diperlukan kolaborasi dan upaya bersama dalam
mengurangi kematian dan penyakit ibu dan bayi di Indonesia. Peran bidan sangat
besar dalam menekan angka kematian ibu dan bayi di Indonesia. Bidan bisa
berkontribusi lebih besar lagi agar bisa menurunkan kematian ibu dan bayi hingga
5,5% per tahunnya. Karena bidan sangat memahami penyebab kematian ibu dan
bayi. Namun perlu meningkatkan kerja sama dengan tenaga kesehatan lain
sehingga punya kesempatan lebih besar untuk memberikan pelayanan dan
informasi kepada masyarakat.
Seperti kerja sama antara bidan dan tenaga kesehatan masyarakat. Tenaga
kesmas dapat memberikan informasi edukatif kepada masyarakat dan tentunya
hal tersebut membantu dan memudahkan bidan dalam memberikan pelayanan
kepada masyarakat.
6. Pencegahan Pernikahan Dini Sebagai Upaya Menurunkan Angka
Kematian Ibu dan anak
Remaja adalah penduduk dalam rentang usia 10-18 tahun. Sebanyak 18%
penduduk dunia adalah remaja, sekitar 1,2 milyar jiwa. Rentang usia ini
merupakan periode terjadinya pertumbuhan dan perkembangan yang pesat baik
secara fisik, psiklogis, maupun intelektual. Rasa ingin tahu yang tinggi dan
keinginan untuk mencoba hal-hal baru merupakan ciri khas remaja. Hal tersebut
tak jarang disertai dengan pengambilan keputusan yang ceroboh atau tidak
berpikir panjang, seperti menikah muda/ pernikahan dini misalnya.
Pernikahan dini masih banyak ditemui di seluruh dunia (termasuk
Indonesia). Setiap tahunnya sebanyak 10 juta perempuan di dunia menikah pada
usia <18 tahun. Hal ini menyebabkan angka kematian ibu dan anak, penularan
infeksi menular seksual, dan kekerasan semakin meningkat bila dibandingkan
dengan perempuan yang menikah pada usia >21 tahun.
Kehamilan maupun proses persalinan pada usia muda tentunya memiliki
risiko atau komplikasi yang berbahaya, antara lain:
1) Perempuan yang melahirkan sebelum usia 15 tahun
memiliki risiko kematian 5 kali lebih besar daripada perempuan yang
melahirkan pada usia >20 tahun
2) Kematian pada ibu hamil usia 15-19 tahun lebih sering
dijumpai di negara dengan pendapatan yang menengah ke bawah

11
3) Bayi yang lahir dari perempuan usia <18 memiliki risiko mortilitas
dan mobbiditas 50% lebih besar daripada bayi yang lahir dari ibu usia
>18 tahun
4) Bayi lahir prematur, BBLR, dan perdarahan persalinan
Untuk mengurangi angka kematian ibu dan anak di seluruh dunia,
berbagai usaha dilakukan antara lain:
a. Mencegah terjadinya pernikahan dini
WHO telah mengeluarkan peraturan untuk melarang terjadinya
pernikahan pada usia <18 tahun
b. Meningkatkan edukasi dan pemberdayaan perempuan
Jika edukasi perempuan tinggi, harapannya akan lebih melek
tentang kesehatan.
Upaya mencegah terjadinya perkawinan anak turut mendukung percepatan
penurunan angka stunting, dan peningkatan setinggi mungkin derajat kesehatan
anak Indonesia, sesuai dengan amanat Konvensi Hak Anak dan peraturan
perundang-undangan di Indonesia.
Perkawinan anak merupakan bentuk pelanggaran hak anak yang memiliki
banyak dampak negatif dan sangat berbahaya tidak hanya bagi anak, keluarga,
tapi juga negara, di antaranya yaitu stunting, tingginya angka kematian ibu dan
bayi, tingginya angka putus sekolah, tingginya angka pekerja anak yang rentan
diberi upah rendah sehingga turut meningkatkan angka kemiskinan, serta dampak
lainnya. Untuk itu, semua pihak perlu bersinergi mencegah perkawinan anak
demi kepentingan terbaik 80 juta anak Indonesia.
Program ini memang fokus pada upaya pencegahan, tapi tidak boleh
meninggalkan mereka yang sudah terlanjur menikah di usia anak. Kita harus
pastikan bisa tetap memberikan layanan-layanan kesehatan yang optimal bagi
mereka. Misalnya menyediakan layanan kesehatan reproduksi untuk memantau
kesiapan baik dari sisi psikologis maupun biologis anak agar bisa melahirkan
anak yang sehat. Untuk itu, perlunya penguatan peran seluruh masyarakat dalam
mengawal perkawinan anak, serta pentingnya data yang jelas untuk memastikan
layanan yang diberikan dapat berjalan dengan baik dan optimal,
Perkawinan anak memberikan dampak negatif tidak hanya pada kesehatan
fisik ibu yang masih remaja tapi juga kesehatan mental seperti baby blues,
depresi, ansietas, sulit bonding dengan bayinya, hingga berpikir bunuh diri atau
12
menyakiti bayinya. Selain itu dampak jangka panjang kesehatan bayi yang
dilahirkan, seperti berat lahir rendah, prematuritas, malnutrisi, stunting, gangguan
perkembangan, pencapaian akademis rendah, serta berisiko mengalami kekerasan
dan penelantaran.
Masalah perkawinan anak bukanlah masalah di satu fase kehidupan tapi
dapat berlanjut pada generasi selanjutnya. Hal ini tentunya menjadi tanggung
jawab bersama untuk mencegahnya. Diperlukan kerjasama multisektor dan bila
perkawinan anak terjadi, maka perlu intervensi dini yang komprehensif pada
remaja hamil.
Informasi kesehatan reproduksi remaja hanya diketahui oleh 35,3%
remaja perempuan dan 31,2% remaja laki-laki. Pendidikan dan pemberdayaan
pada remaja sangatlah penting untuk menghindari terjadinya pernikahan dini.
Selain pemerintah dan tenaga kesehatan, peran orang tua terutama ibu sangatlah
penting dalam menyampaikan hal-hal mendasar terkait norma dan informasi
kesehatan reproduksi remaja. Jika upaya untuk mengurangi pernikahan dini bisa
tercapai, maka angka kematian ibu maupun bayipun akan menurun. Tiap 10%
penurunan kejadian pernikahan usia <18 tahun akan menyebabkan angka
kematian ibu juga menurun hingga 70%.

Prinsip penurunan angka kematian ibu dan anak merupakan kumpulan


konsep (arah usaha dan strategi kebijakan) dalam upaya meningkatkan kesehatan
ibu dan anak guna menekan angka kematian ibu dan anak.

Menurunkan angka kematian ibu melahirkan merupakan tantangan besar


bagi kita semua karena masalah ini tidak hanya disebabkan oleh faktor tunggal.
Berbagai faktor dapat menjadi akar masalah yang mungkin belum atau sulit
disentuh melalui program kesehatan saja. Oleh karena itu upaya penurunan angka
kematian ibu harus dilakukan dengan berbagai pendekatan dan mengaplikasikan
konsep yang bersifat komprehensif.
Menurunkan angka kematian ibu dan bayi
menjadi prioritas pembangunan nasional sesuai
dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Nasional (RJPMN) 2020-2024. Sementara tingkat
kematian ibu dan bayi di Indonesia masih cukup

13
tinggi. Mengacu data Survei Sosial Ekonomi
Nasional (Susenas) 2015, angka kematian ibu
mencapai 305 per 100.000 penduduk dan angka
kematian bayi pada 2017 sebesar 24 per 1.000
kelahiran hidup.
Berikut beberapa prinsip dalam penurunan
angka kematian ibu dan anak:

1) Prinsip Model Sosio Ekologi Perilaku


Kesehatan

Model sosio ekologi (MSE) dikembangkan berdasarkan teori atau


pendekatan yang telah ada di beberapa disiplin keilmuan, seperti ilmu
politik, sosiologi, psikologi dan komunikasi. Dengan demikian MSE
merupakan suatu pendekatan komprehensif di bidang kesehatan
masyarakat, yang tidak hanya ditujukan untuk melihat faktor risiko pada
individu, tetapi juga aspek norma, kepercayaan dan sistem sosial ekonomi
(CDC, 2002).

Ada dua konsep kunci dalam


pendekatan ini:
a. perilaku memengaruhi dan dipengaruhi oleh kondisi yang bersifat multi
level (bertingkat);
b. membentuk perilaku dan perilaku yang dibentuk oleh lingkungan sosial
yang menunjukkan hubungan kausal bersifat timbal balik (reciprocal
causation).
MSE menekankan interaksi antara dan saling ketergantungan dari
berbagai faktor di dalam dan antar level perilaku, dan memperhatikan
bahwa sebagian besar tantangan di bidang kesehatan masyarakat terlalu
kompleks untuk dipahami dengan single-level analysis (Stokols, 1996).
Dalam analisis ini kebutuhan bahwa individu tidak dipandang
sebagai bagian yang terpisah dari suatu unit sosial yang lebih besar di
mana mereka tinggal, mencerminkan kebutuhan untuk menciptakan
kondisi lingkungan yang mendukung dan meningkatkan perubahan
perilaku yang berkelanjutan (Townsend & Foster,2002).

14
Model sosio ekologi berfokus pada
hubungan antara individu dan
lingkungannya. Asumsi dasarnya adalah
bahwa suatu pendekatan komprehensif
lebih efektif dari pada pendekatan satu
level. Lima level dalam model sosio
ekologi yang memengaruhi perilaku
kesehatan adalah faktor individu
(intrapersonal), proses interpersonal, faktor
institusi, faktor komunitas dan kebijakan
publik. Model sosio ekologi secara
skematis diperlihatkan pada gambar di
bawah.

Dalam aplikasinya MSE dapat digunakan untuk pendekatan di


berbagai bidang dalam lingkup kesehatan masyarakat, untuk menganalisis
perilaku kesehatan, seperti dalam menganalisis faktor obesitas pada anak
(Kumanyika et al., 2002), aktivitas fisik (Mehtala et al., 2014) ataupun
promosi perilaku makan sehat (Townsend & Foster, 2011). Model ini
menyediakan kerangka berpikir yang sangat bermanfaat untuk
memperoleh pemahaman yang lebih baik tentang berbagai faktor dan
hambatan yang berdampak pada perilaku sehat.
2) Prinsip Pendekatan Continuum of Care dari
Hulu ke Hilir
Prinsip pendekatan continuum of care merupakan konsep lintas
tahapan dalam siklus hidup, serta lintas dari rumah tangga sampai rumah
15
sakit. Lintas tahap siklus hidup, terutama dari masa prakonsepsi, konsepsi
hingga pasca persalinan. Konsep ini sangat penting diterapkan untuk
mengatasi masalah kesehatan pada masa reproduksi, masa kehamilan,
persalinan dan masa nifas (pasca persalinan). Konsep continuum of care
diharapkan dapat memenuhi tantangan dalam meningkatkan kesehatan
dan survival dari ibu, bayi baru lahir dan anak (Sines et al., 2006).
Ada dua dimensi dari continuum of care yaitu dimensi waktu dan
dimensi tempat. Dimensi waktu dari continum of care adalah dengan
memperhatikan kesehatan maternal, bayi baru lahir, dan anak (MNCH).
Sedangkan dimensi tempat dari continuum of care adalah dari rumah
tangga hingga rumah sakit (HHCC).
Tujuan dari pendekatan HHCC adalah untuk meyakinkan
ketersediaan akses pelayanan kesehatan yang berkualitas untuk ibu hamil
dan bayi baru lahir yang tersedia mulai dari rumah, masyarakat, pusat
pelayanan kesehatan dasar, hingga ke rumah sakit. Alur atau link dalam
suatu sistem pelayanan kesehatan (primary health-care system) yang
terintegrasi dari rumah, komunitas, jangkauan dan pelayanan berbasis
fasilitas (facility- based care). Tentunya alur kontinum ini difokuskan
untuk MNCH.
Konsep continuum of care MNCH berdasarkan asumsi bahwa
kesehatan dan kesejahteraan ibu, bayi baru lahir dan anak- anak, saling
terkait satu sama lain dan harus ditangani dalam kesatuan. Model ini
akan melibatkan ketersediaan dan akses pelayanan kesehatan dasar dan
pelayanan reproduksi untuk:
(a) wanita dari remaja hingga hamil, melahirkan dan
pascamelahirkan;
(b) untuk bayi baru lahir hingga masa kanak-kanak, hingga masa dewasa
muda (Sines et al., 2006; Unicef, 2014).
Konsep pelayanan kesehatan dari hulu ke hilir adalah
mengacu pada konsep dan pendekatan continuum of care ditinjau
dari dimensi tempat. Pelayanan atau Intervensi di hulu merupakan
semua bentuk pelayanan di level rumah tangga dan masyarakat
seperti program KB, perbaikan gizi, wanita, dan social ekonomii.

16
Intervensi di hilir adalah bagaimana meningkatkan mutu
pelayanan klinik untuk ibu dan anak di rumah sakit. Konsep
pelayanan kesehatan dari hulu ke hilir secara sederhana dapat
digambarkan secara skematis seperti pada gambar.

Menurut Trisnantoro (2011) strategi intervensi untuk


menurunkan angka kematian ibu harus berdasarkan analisis kebijakan,
dilakukan kegiatan untuk mencari kebijakan di masa mendatang
(analysis for policy). Prinsip yang dipergunakan adalah:
a. Menggunakan pendekatan dari Hulu ke
Hilir
Kebijakan dan program KIA dapat dibayangkan sebagai sebuah
model hulu yang berisikan program-program preventif dan promotif yang
banyak menggunakan pendekatan lintas sector (One Health) dan
determinan social. Hilirnya adalah kegiatan-kegiatan klinis.
b. Menggunakan jumlah kematian absolut sebagai indikator kinerja
program KIA
Angka Rates akan dipergunakan sebagai cross-check dan
dilakukan dalam dua pendekatan:
(1) berdasarkan data dari angka absolut;
dan
(2) berdasarkan data survey
c. Menggunakan filosofi utama dalam kebijakan KIA yaitu
mengembalikan “sense of urgency” dan adanya “peningkatan
adrenalin” dalam program.
Untuk itu diperlukan penggunaan surveilans-respon kematian ibu
dan anak. Kematian ibu dan anak yang tidak perlu (avoidable) harus
17
dapat dicegah. Memperbaiki perencanaan dan monitoring dan evaluasi
dengan menggunakan pendekatan Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence
Based Policy)
3) Prinsip Preconception Care dan Antenatal
Care
Pemeriksaan Antenatal Care (ANC) adalah pemeriksaan
kehamilan untuk mengoptimalkan kesehatan mental dan fisik ibu hamil,
hingga mampu menghadapi persalinan, kala nifas, persiapan pemberian
ASI dan kembalinya kesehatan reproduksi secara wajar. Pemeriksaan
kehamilan merupakan pemeriksaan ibu hamil baik fisik dan mental serta
menyelamatkan ibu dan anak dalam kehamilan, persalinan dan masa
nifas, sehingga keadaan mereka post partum sehat dan normal, tidak
hanya fisik tetapi juga mental. Kunjungan ANC adalah kunjungan ibu
hamil ke bidan atau dokter sedini mungkin semenjak ia merasa dirinya
hamil untuk mendapatkan pelayanan/asuhan antenatal. Pada setiap
kunjungan ANC, petugas mengumpulkan dan menganalisis data
mengenai kondisi ibu melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik untuk
mendapatkan diagnosis kehamilan intrauterine serta ada tidaknya
masalah atau komplikasi.
Konsep tentang preconception care baru didiskusikan sejak Juni
tahun 2005, ketika US Center for Disease Control (CDC) membentuk the
Select Panel on Preconception Care yang bertugas untuk mengembangkan
konsep dan strategi perawatan kesehatan prakonsepsi. Area kerja dari
panel ini meliputi aspek klinis, kesehatan masyarakat, kebijakan dan
financial, konsumen, dan surveilance dan riset (Curtis, 2008; Jack et al.,
2008; Coonrod et al., 2008; Moos et al., 2008).
Mengacu definisi dari preconceptiom care sebagai “a series of
intervention that aim to identify and modify biomedical, behavioral, and
social risk to women’s health and couple before conception” (WHO, 2013;
Curtis, 2008), maka dengan menekankan pemeriksaan kesehatan
prakonsepsi diharapkan seorang wanita yang menginginkan atau
merencanakan kehamilan akan mencapai derajat kesehatan yang baik
sejak sebelum hamil, sehingga akan mendapatkan hasil kehamilan
(pregnancy outcomes) yang berkualitas.

18
Dalam kaitannya dengan preconception care, Moos et al (2008),
tidak hanya menekankan aspek kesehatan (maternal preconception
health), tetapi lebih jauh lagi menerapkan konsep kesejahteraan
sebelum hamil (preconception wellness).
Aspek klinis dalam pemeriksaan prakonsepsi meliputi pemberian
suplementasi, terutama suplemen mikronutrient (Jack et al., 2008), dan
pelayanan imunisasi (Coonrod et al., 2008). Bahkan WHO
merekomendasikan suatu pemeriksaan yang holistik mencakup
pemeriksaan fertilitas, pemeriksaan kelainan genetik bahkan penggunaan
alkohol dan rokok (WHO, 2013). Konsep meriksakan prakonsepsi seperti
yang direkomendasikan oleh US- CDC maupun WHO tentu saja tidak
dapat seluruhnya dilaksanakan di negara sedang berkembang, terutama
deteksi kelainan genetik kaitannya dengan risiko penyakit, karena di
negara sedang berkembang masih sangat terbatas sumber daya alat dan
sumber daya manusia).
4) Prinsip Equity Akses Pelayanan Kesehatan
untuk Kaum Ibu
Prinsip tentang equity dalam bidang kesehatan pertama kali
diperkenalkan oleh Whitehead (1992) dengan paper berjudul The
concepts and principles of equity in health. Whitehead mendefinisikan
health inequities sebagai perbedaan yang tidak perlu terjadi, dapat
dihindari, tidak adil di dalam kesehatan. Menurut Braveman dan
Gruskin (2003) equity dapat pula berarti ada unsur keadilan social
justice atau fairness dan merupakan konsep dan nilai moral dan secara
normatif bersifat inheren. Bagaimanapun juga keadilan sosial dapat
diinterpretasikan yang berbeda-beda di dalam suatu masyarakat atau
penduduk.
Inequity dan inequality merupakan terminologi yang sering kali
saling tertukar. Inequity lebih mengarah pada keadaan ketidakadilan yang
dapat dihindari yang biasanya muncul sebagai akibat pemerintahan yang
buruk, korupsi atau secara kultural dipisahkan atau dibedakan (cultural
exclusion). Sementara inequality secara sederhana mengacu pada
distribusi atau pembagian yang tidak merata dari upaya kesehatan atau
sumber daya di bidang kesehatan sebagai akibat dari faktor kekurangan

19
sumber daya. Atau kondisi kesehatan yang tidak sama karena faktor
genetik (Bravemen & Gruskin, 2003).
Inequity dan inequality juga merupakan dimensi konsep yang
mengacu pada kuantitas, namun di sisi lain juga mengandung konsep
politik yang diterjemahkan dalam komitmen moral berkaitan dengan
keadilan sosial. Health inequality merupakan terminologi generik yang
digunakan untuk menggambarkan perbedaan, variasi dan disparitas dalam
mencapai derajat kesehatan pada level individu maupun kelompok. Health
inequity mengacu pada ketidaksamaan (inequalities) derajat kesehatan
yang menandakan adanya ketidakadilan (Kawachi et al., 2002; Global
Health Europe, 2009).
Equity dalam kesehatan menunjukkan bahwa idealnya setiap
orang memiliki kesempatan yang adil untuk memperoleh kesehatan
yang sebaik-baiknya dan tidak dirugikan dalam memperoleh pelayanan
kesehatan. Masyarakat dengan status social ekonomi yang berbeda
seharusnya memperoleh pelayanan kesehatan yang sama sesuai dengan
kebutuhannya, termasuk akses yang sama dalam pemanfaatan pelayanan
kesehatan. Equity dalam pelayanan kesehatan ditentukan memerlukan
alokasi sumber daya dan akses ke pelayanan kesehatan yang oleh
kebutuhan kesehatann.
Equity dapat dibagi menjadi dua yaitu equity horizontal dan equity
vertikal. Horizontal equity orang dengan kebutuhan yang sama
mempunyai kesempatan yang sama untuk mendapatkan pelayanan
kesehatan. Equity vertikal merupakan alokasi dari sumber daya yang
berbeda untuk level kebutuhan yang berbeda pula. Aristotelian
menyatakan bahwa persamaan dan kesamaan harus diperlakukan sama dan
ketidaksamaan harus diperlakukan secara proporsional pada
ketidaksetaraan mereka. Pada equity dalam pemberian pelayanan
kesehatan, kebutuhan sering dinyatakan sebagai nilai yang harus relevan,
ini berarti bahwa seseorang dengan kebutuhan yang sama harus
mendapatkan perlakuan yang sama (equity horizontal). Equity vertikal
berarti seseorang dengan kebutuhan yang lebih tinggi seharusnya
mendapatkan pelayanan kesehatan yang lebih tinggi, proporsional dengan
kebutuhan mereka (Bravemen & Gruskin, 2003).
20
Akses adalah kemudahan penggunaan fasilitas pelayanan
kesehatan oleh individu dengan kebutuhan akan pelayanan kesehatan.
Kemudahan akses ke sarana pelayanan kesehatan berhubungan dengan
beberapa faktor penentu, antara lain jarak tempat tinggal dan waktu
tempuh ke sarana kesehatan, serta status sosial-ekonomi dan budaya
(Riskesdas, 2007). Ketidakadilan dalam akses dan pemanfaatan
pelayanan kesehatan akan menyebabkan kesenjangan kesehatan.
Pemerintah menerapkan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang
sama di seluruh Indonesia, tapi fasilitas pelayanan kesehatan tidak merata
dan tidak adil adalah pelanggaran konstitusi. Inequity timbul karena
jaminan kesehatan (JKN) dilaksanakan secara sentralistik tapi fasilitas
pelayanan kesehatan dibangun secara desentralistik sesuai kebijakan
otonomi daerah. Pemerintah pusat memperbaiki sistem jaminan kesehatan,
tapi fasilitas pelayanan kesehatan diatur oleh pemerintah daerah. Kebijakan
perbantuan di Indonesia juga Individu (Intrapersonal).
(US, Bumil, Bunifas) : Pengetahuan,Sikap Perilaku ttg reproduksi
sehat & perawatan kehamilan. Riwayat kehamilan, Relationship
Interpersonal: Komunikasi yang baik di dalam keluarga, Dukungan
/perhatian suami & keluarga pada bumil masih belum adil. Padahal hak
setiap orang memperoleh pelayanan kesehatan sesuai Pasal 28H UUD
1945, harus memperoleh akses yang sama atas sumber daya kesehatan dan
hak setiap orang memperoleh yankes sesuai Pasal 28H UUD 1945, harus
adil, aman, bermutu, dan terjangkau (Pasal 5 UU No.36/2009). Salah satu
pelayanan kesehatan yang diperuntukkan kaum ibu terutama ibu hamil dan
nifas adalah program Jaminan Persalinan (Jampersal) oleh Kemeterian
Kesehatan.
5) Prinsip Conceptual Framework Penerapan Model Sosio Ekologi Perilaku
Kesehatan dan Pendekatan Continuum of Care dalam Menurunkan AKI
Prinsip sosio ekologi perilaku sehat dan continuum of care telah
diuraikan pada sub bab sebelumnya. Penerapan kedua konsep tersebut
dipadukan untuk sebagai satu kesatuan pendekatan yang bersifat
komprehensif dalam mengatasi masalah tingginya angka kematian ibu di
Indonesia. Pada tingkat individu (intrapersonal level) dan tingkat hubungan
antar individu (interpersonal relationship) berada di pelayanan di hulu.
21
Sementara pada tingkat masyarakat di suatu daerah tertentu (community
level) serta masyarakat luas (society level) merupakan pelayanan di hilir.
Perpaduan kedua konsep tersebut diterapkan sebagai kerangka kerja
(conceptual framework) dalam upaya pengembangan program yang
bertujuan untuk menurunkan angka kematian ibu.

Mengacu konsep di atas, maka rencana program strategis


dapat diusulkan sebagai upaya inovasi dalam menurunkan angka
kematian ibu di berbagai wilayah di Indonesia dengan mengacu
pada berbagai program yang telah ada. Dengan pendekatan sosio
ekologi diharapkan dapat menjangkau setiap level, mulai dari level
individu, interpersonal dalam suatu keluarga, level masyarakat
maupun di level societal dari aspek kebijakan.
Pendekatan continuum of care program diupayakan untuk
menangani masalah kesehatan ibu dan anak dari saat pra-konsepsi
sampai dengan masa kehamilan dan masa pascapersalinan sebagai
suatu kesatuan, antara ibu dan anak. Dari dimensi tempat, maka
program pelayanan kesehatan dimulai dari rumah tangga,
masyarakat lingkungan terdekat, hingga pelayanan di rumah sakit.

22
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Angka kematian Ibu (maternal mortality ratio) adalah jumlah kematian ibu
dalam suatu populasi yang terjadi dalam waktu satu tahun per 100.000 kelahiran hidup.
Faktor risiko yang mempengaruhi kematian ibu dibagi menjadi faktor–faktor determinan
dekat, determinan antara dan determinan jauh. Ada beberapa prinsip dalam penurunan
angka kematian ibu dan anak yakni; prinsip model sosio ekologi perilaku kesehatan,
prinsip pendekatan continuum of care dari hulu ke hilir, prinsip preconception care dan
antenatal care, prinsip equity akses pelayanan kesehatan untuk kaum ibu, prinsip
conceptual framework penerapan model sosio ekologi perilaku kesehatan dan
pendekatan continuum of care. Dan dalam aplikasinya, prinsip-prinsip tersebut mampu
menurunkan angka kematian ibu dan anak.

3.2 Saran

Pemerintah tidak dapat bekerja sendiri dalam mengatasi berbagai permasalahan


penyebab tingginya angka kematian ibu dan anak. Oleh karena itu kemitraan dan
partisipasi masyarakat dan organisasi masyarakat khususnya kita sebagai tenaga
kesehatan sangatlah penting dalam upaya percepatan penurunan AKI tersebut. Maka dari
itu, mari sama-sama kita berjuang dalam menekan angka kematian ibu dan anak ini.

23
DAFTAR PUSTAKA

Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas).


Badan Pusat Statistik (BPS). 2013. Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia.
Jakarta. BPS.
Direktorat Gizi Masyarakat. Program Penanggulangan Anemia Gizi Pada Wanita
Usia Subur (WUS) (Safe Mother Project: A Partnership and Family
Approach Kesehatan Ibu: Kemitraan dan Pendekatan Keluarga). Jakarta:
Direktorat Jendral Bina Gizi Masyarakat Departemen Kesehatan, 2008. P:
1-9
Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan Vol. 14, No. 4 Desember 2011: 175-
176.
Kementerian Kesehatan RI. 2012. Pedoman Pelayanan Antenatal Terpadu, Edisi
Kedua. Ditjen Bina GIKIA.
Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2011. Jakarta.
Bappenas.
Notoadmojo, S. 2010. Pendidikan dan Prilaku Kesehatan. Jakarta : Rhineka cipta.
Trisnantoro, L. 2011. Strategi Luar Biasa Untuk Penurunan Kematian Ibu
dan Bayi.
Rizqi, 2017. Evaluasi Pelaksanaan Standar 10t Dalam Pelayanan Antenatal
Terpadu di Kabupaten Pekalongan
The Indonesian Journal of Public Health, Vol. 12 No. 1, Juli 2017: 129–141

24
25
26
27

Anda mungkin juga menyukai