Anda di halaman 1dari 8

MAKALAH

PEMBERLAKUAN, PENYIMPANAN DAN PENGAKHIRAN PERJANJIAN


INTERNASIONAL

DISUSUN,

OLEH :

1. MULIANA (20.43.066)

2. MUSDALIPA (20.43.067)

KETATALAKSANAAN ANGKUTAN LAUT DAN KEPELABUHANAN

(KALK)

POLITEKNIK ILMU PELAYARAN MAKASSAR


A. Latar belakang
1. Nama konvensi

PEMBERLAKUAN PERJANJIAN INTERNASIONAL

Pasal 15

1. Selain perjanjian internasional yang perlu disahkan dengan undang-undang atau


keputusan presiden, Pemerintah Republik Indonesia dapat membuat perjanjian
internasional yang berlaku setelah penandatanganan atau pertukaran dokumen
perjanjian/nota diplomatik, atau melalui cara-cara lain sebagaimana disepakati
oleh para pihak pada perjanjian tersebut.
2. Suatu perjanjian internasional mulai berlaku dan mengikat para pihak setelah
memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam perjanjian tersebut.

Pasal16

1. Pemerintah Republik Indonesia melakukan perubahan atas ketentuan suatu


perjanjian internasional berdasarkan kesepakatan antara pihak dalam perjanjian
tersebut.
2. Perubahan perjanjian internasional mengikat para pihak melalui cara
sebagaimana ditetapkan dalam perjanjian tersebut.
3. Perubahan atas suatu perjanjian internasional yang telah disahkan oleh
Pemerintah Republik Indonesia dilakukan dengan peraturan perundangan yang
setingkat.
4. Dalam hal perubahan perjanjian internasional yang hanya bersifat teknis
administratif, pengesahan atas perubahan tersebut dilakukan melalui prosedur
sederhana.

PENYIMPANAN PERJANJIAN INTERNASIONAL

Pasal 17

1. Menteri yang bertanggungjawab menyimpan dan memelihara naskah asli


perjanjian internasional yang dibuat oleh Pemerntah Republik Indonesia serta
menyusun daftar naskah resmi dan menerbitkannya dalam himpunan perjanjian
internasional.
2. Salinan naskah resmi setiap perjanjian internasional disampaikan kepada
lembaga negara dan lembaga pemerintah, baik departemen maupun
nondepartemen pemrakarsa.
3. Menteri memberitahukan dan menyampaikan salinan naskah resmi suatu
perjanjian internasional yang telah dibuat oleh Pemerintah Republik Indonesia
kepada sekretariat organisasi internasional yang didalamnya Pemerintah
Republik Indonesia menjadi anggota.
4. Menteri memberitahukan dan menyampaikan sallinan piagam pengesahan
perjanjian internasional kepada instansi-instansi terkait.
5. Dalam hal Pemerintah Republik Indonesia ditunjuk sebagai penyimpan piagam
pengesahan perjanjian internasional, Menteri menerima dan menjadi penyimpan
piagam pengesahan perjanjian internasional yang disampaikan negara-negara
pihak.

PENGAKHIRAN PERJANJIAN INTERNASIONAL

Pasal 18
Perjanjian internasional berakhir apabila :

a. terdapat kesepakatan pada pihak melalui prosedur yang ditetapkan dalam


perjanjian;
b. tujuan perjanjian tersebut telah tercapai;
c. terdapat perubahan mendasar yang mempengaruhi pelaksanaan perjanjian;
d. salah satu pihak melaksanakan atau melanggar ketentuan perjanjian;
e. dibuat suatu perjanjian baru yang menggantikan perjanjian lama;
f. muncul norma-norma baru dalam hukum internasional;
g. objek perjanjian hilang;
h. terdapat hal-hal yang merugikan kepentingan nasional.

Perjanjian internasional yang berakhir sebelum waktunya, berdasarkan


kesepakatan para pihak, tidak mempengaruhi penyelesaian setiap pengaturan
yang menjadi bagian perjanjian dan belum dilaksanakan secara penuh pada saat
berakhirnya perjanjian tersebut.
Perjanjian internasional tidak berakhir karena suksesi negara, tetapi berlaku
selama negara pengganti menyatakan terikat pada perjanjian tersebut.
2. Sejarah pemberlakuan, penyimpangan dan pengakhiran perjanjian
internasional
Pemberlakuan Konvensi Wina 1969 sebagai dasar di dalam melakukan hubungan
untuk membuat perjanjian internasional sangat diperlukan bagi masyarakat
internasional karena didalam konvensi wina terdapat nilai-nilai norma hukum
kebiasaan yang dapat diterima oleh masyarakat internasional. Dalam Konvensi
Wina 1969 dinyatakan bahwa “Perjanjian internasional adalah sebagai sumber
hukum internasional yang utama dan sebagai sarana untuk mengembangkan
kerjasama damai antar bangsa, apapun konstitusional dan sistem sosialnya”.6
Indonesia meskipun belum atau tidak meratifikasi Konvensi Wina 1969, Konvensi
ini akan tetap mengikat Indonesia dengan atau tanpa meratifikasinya karena
pada dasarnya konvensi-konvensi ini merupakan kodifikasi dari hukum kebiasaan
internasional yang bersifat Law Making Treaty yaitu suatu perjanjian
internasional yang memiliki sifat mengikat terhadap seluruh masyarakat
internasional dikarenakan isi dari peraturannya bersifat universal. keterikatan
Indonesia terhadap Konvensi Wina 1969 melalui mekanisme kebiasaan hukum
internasional juga telah ditegaskan oleh Mahkamah Internasional dalam kasus
pulau Sipadan dan Ligitan tahun 2002
Konvensi Wina 1969 membedakan pengakhiran perjanjian yang didasarkan
kepada kesepakatan para pihak dengan pengakhiran yang dilakukan secara
sepihak seperti pembatalan dan penghentian sementara, untuk pengakhiran
yang dilakukan sepihak, harus mengikuti prosedur yang ditetapkan oleh
perjanjian itu atau melalui prosedur Konvensi Wina 1969 tentang Invalidity,
Termination, Withdrawal from or Suspension of the Operation of Treaty. 81
Penyebutan bagian Invalidity, Termination, Withdrawal from or Suspension of
the Operation of Treaty di dalam Konvensi Wina 1969 tidak hanya sebagai judul
saja, akan tetapi terdapat perbedaan dan pengertian tersendiri dari setiap nama
diatas, baik Invalidity, Termination, Withdrawal ataupun Suspension, pengartian
secara langsung didalam Bahasa Indonesia belum dapat menjelaskan
keseluruhan tetapi bisa sebagai pengertian dasarnya saja, Invalidity berarti
ketidakabsahan atau tidak sah, Termination berarti pengakhiran atau
penghentian, Withdrawal berarti penarikan diri, dan Suspension berarti
penundaan. Walaupun terdapat disatu bagian yang sama yaitu bagian batalnya
suatu perjanjian, akan tetapi terms atau penyebutan yang berbeda-beda
tersebut juga mengindikasikan hal-hal yang berbeda.
3. Ratifikasi Oleh Indonesia

United Nations Convention on the Law of the Sea)

UNCLOS

Ditandatangani : 10 Desember 1982

Lokasi : Montego Bay, Jamaika

Berlaku : 16 November 1994[1]

Syarat : 60 negara telah meratifikasi

Negara anggota : 160

UNCLOS 1982 telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia melalui Undang-


undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United Nations Convention
on The Law of The Sea (Konvensi Perserikatan Bangsa-bangsa tentang Hukum
Laut) pada tanggal 31 Desember 1985. Berlakunya UNCLOS 1982 menjadikan
penetapan batas maritim dengan negara tetangga menjadi prioritas utama bagi
Indonesia dalam rangka mengimplementasikan konvensi. Indonesia
mempunyai perbatasan maritim dengan 10 (sepuluh) negara tetangga yaitu
India, Thailand, Malaysia, Singapura, Vietnam, Filipina, Palau, Papua New
Guinea (PNG), Australia, dan Timor Leste. Penetapan batas maritim dilakukan
untuk penegakkan kedaulatan dan hukum di wilayah yurisdiksi Indonesia di
laut, pengelolaan sumber daya alam, dan pengembangan ekonomi kelautan.

Selama 48 tahun terakhir sudah 18 perjanjian yang berhasil diselesaikan


dengan negara tetangga.Namun dari jumlah tersebut 13 perjanjian dihasilkan
saat Indonesia belum menyepakati Konvensi Perserikatan Bangsa-bangsa
tentang Hukum Laut (UNCLOS) pada 1982. Artinya, ada 5 (lima) perjanjian
antara Indonesia dengan negara tetangga setelah berlakunya UNCLOS
1982,Dari kelima perjanjian yang telah disepakati itu ada yang telah diratifikasi,
sedang dalam proses ratifikasi, bahkan belum diratifikasi sama sekali, salah
satunya adalah Treaty Between the Government Australia and the Government
of the Republic of Indonesia Estabilishing an Exclusive Economic Zone
Boundary and Certain Seabed Boundaries, yang dikenal dengan Perth Treaty
1997.
Dalam perumusan konvensi ini, Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-
Bangsa menerima instrumen ratifikasi dan aksesi, sedangkan Perserikatan Bangsa-
Bangsa menyediakan dukungan untuk pertemuan negara-negara peserta
konvensi.PBB tidak memiliki peran operasional langsung dalam pelaksanaan
konvensi.Peran PBB hanyalah melalui organisasi-organisasi dunia yang menangani
masalah-masalah maritim dan kelautan seperti Organisasi Maritim Internasional.

Sebagai tindak lanjut atas ratifikasi UNCLOS tersebut, kini Indonesia sejak
tahun 2014 telah memiliki payung hukum yang menekankan kewilayahan laut
Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 tentang
Kelautan, yang disahkan pada tanggal 17 Oktober 2014, dan dicantumkan dalam
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 294, dan Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5603

B. ASPEK – ASPEK KONVENSI

Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (bahasa Inggris:


United Nations Convention on the Law of the Sea, UNCLOS) juga disebut
Konvensi Hukum Laut Internasional atau Hukum Perjanjian Laut, adalah
perjanjian internasional yang dihasilkan dari Konferensi Perserikatan Bangsa-
Bangsa tentang Hukum Laut yang ketiga (UNCLOS III) yang berlangsung dari
tahun 1973 sampai dengan tahun 1982. Konvensi Hukum Laut ini mendefinisikan
hak dan tanggung jawab negara dalam penggunaan lautan di dunia serta
menetapkan pedoman untuk bisnis, lingkungan, dan pengelolaan sumber daya
alam laut.Konvensi disimpulkan pada tahun 1982, menggantikan perjanjian
internasional mengenai laut tahun 1958. UNCLOS diberlakukan pada tahun 1994,
setahun setelah Guyana menjadi negara ke 60 untuk menandatangani perjanjian
saat ini telah ada 158 negara, termasuk Uni Eropa, telah bergabung dalam
konvensi.

Isi Konvensi PBB 1982:

1) Negara pesisir (negara yang memiliki pantai) menjalankan dan menetapkan


kedaulatan laut teritorialnya tidak boleh melebihi lebar 12 mil.
2) Kapal laut dan pesawat udara diperbolehkan melintas di selat yang
digunakan untuk navigasi internasional.
3) Negara kepulauan memiliki kedaulatan sendiri atas wilayah laut, ditentukan
oleh garis lurus yang ditarik di titik terluar pulau. Negara dapat menentukan
jalur laut dan rute udara yang bisa dilintasi oleh negara asing.
4) Negara yang memiliki perbatasan langsung dengan laut, bisa menetapkan
ZEE atau Zona Ekonomi Eksklusif sejauh 200 mil.
5) Negara asing memiliki kebebasan navigasi dan penerbangan di wilayah ZEE,
termasuk pemasangan kabel dan pipa bawah laut.
6) Negara yang tidak memiliki pantai, mendapat hak untuk mengakses laut dan
melakukan transit melalui negara transit.
7) Seluruh negara harus turut serta dalam mencegah dan mengendalikan
pencemaran laut, termasuk bertanggung jawab atas kerusakan yang
diakibatkan oleh pelanggaran negara terhadap konvensi.
8) Penelitian ilmiah di kelautan ZEE dan landas kontinen haruslah tunduk pada
negara pesisir. Jika penelitian ini dilakukan untuk tujuan perdamaian atau
lainnya, maka harus meminta persetujuan dari negara lainnya yang
tergabung dalam UNCLOS 1982.
9) Permasalahan yang ada hendaknya diselesaikan dengan cara damai.
10)Untuk sengketa bisa diajukan ke pengadilan internasional atau ke pihak
lainnya yang terkait dengan konvensi ini.

UNCLOS 1982 Terjemahan

Link :https://id.scribd.com/doc/71306120/UNCLOS-1982-Terjemahan

C. Tanggapan terhadap konvensi


Mengacu pada UNCLOS 1982 sangat jelas dinyatakan bahwa negara
kepulauan memiliki kedaulatan atas seluruh wilayah perairannya termasuk
ruang udara di atasnya, dasar laut dan tanah di bawahnya serta sumber
kekayaan yang terkandung di bawahnya.(REF: United Nations Convention
on the Law of the Sea (UNCLOS) 1982, pasal 2 ayat (2), pasal 49 ayat (2).)

Dengan penetapan UNCLOS 1982 yang berdampak kepada fasilitasi ALKI


maka bertambahlah tugas tugas Angkatan Laut dalam menyelenggarakan
komando pengendalian keamanan laut. Tidak hanya tertuju kepada tugas
tugas keamanan laut sepanjang garis pantai yang kritikal akan tetapi
menjadi bertambah pada jalur sepanjang ALKI yang harus selalu dimonitor
dengan ketat.Seperti diketahui sampai sekarang masih belum tercapai
sebuah kesepakatan pada hukum laut dengan hukum udara internasional
dalam menyikapi penggunaan jalur ALKI sebagai airways jalur “bebas” lintas
penerbangan.

D.kesimpulan
Sejarah pemberlakuan, penyimpangan dan pengakhiran perjanjian
internasional
Pemberlakuan Konvensi Wina 1969 sebagai dasar di dalam melakukan
hubungan untuk membuat perjanjian internasional sangat diperlukan bagi
masyarakat internasional karena didalam konvensi wina terdapat nilai-nilai
norma hukum kebiasaan yang dapat diterima oleh masyarakat internasional.
Dalam Konvensi Wina 1969 dinyatakan bahwa “Perjanjian internasional
adalah sebagai sumber hukum internasional yang utama dan sebagai sarana
untuk mengembangkan kerjasama damai antar bangsa, apapun konstitusional
dan sistem sosialnya”.6 Indonesia meskipun belum atau tidak meratifikasi
Konvensi Wina 1969, Konvensi ini akan tetap mengikat Indonesia dengan
atau tanpa meratifikasinya karena pada dasarnya konvensi-konvensi ini
merupakan kodifikasi dari hukum kebiasaan internasional yang bersifat Law
Making Treaty yaitu suatu perjanjian internasional yang memiliki sifat
mengikat terhadap seluruh masyarakat internasional dikarenakan isi dari
peraturannya bersifat universal.

Anda mungkin juga menyukai