Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH

PENDIDIKAN ISLAM DI KALIMANTAN SELATAN

Mata Kuliah

SEJARAH PENDIDIKAN ISLAM

Dosen Pengampu

M. JUNAIDI, M.Pd

Disusun Oleh:

NISA KIRANI

(20010125)

PROGAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

SEKOLAH TINGGI ILMU TARBIYAH

SYEKH MUHAMMAD NAFIS

TABALONG

2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat, taufik,
hidayah serta inayahnya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini tepat
pada waktunya

Salawat serta salam semoga tetap tercurah kepada junjungan kita Nabi
Muhammad SAW yang telah menjadi guru terbaik dan suri tauladan bagi umat
Islam diseluruh dunia.

Penulisan makalah ini bertujuan untuk memenuhi tugas mata kuliah


Sejarah Pendidikan Islam dengan judul Pendidikan Islam di Kalimantan
Selatan .

Saya menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari kata
sempurna dikarenakan terbatasnya pengalaman dan pengetahuan yang saya miliki.
Oleh karena itu saya mengaharapkan segala bentuk saran serta masukan bahkan
kritik yang membangun dari berbagai pihak.

Saya mengucapkan terima kasih yang sebanyak-banyaknya kepada setiap


pihak yang telah membantu saya, terutama kepada Bapak M. Junaidi, M.Pd
selaku dosen pengampu mata kuliah ini yang telah mendukung serta memberikan
arahan kepada kami selama proses penyelesaian makalah hingga rampungnya
makalah ini. Saya juga berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat
bagi setiap pembaca.

Tanjung, 17 Desember 2021

Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...................................................................................................... 2

DAFTAR ISI ..................................................................................................................... 3

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang. ............................................................................................... 4


B. Rumusan Masalah ........................................................................................... 5
C. Tujuan Penulisan ............................................................................................ 5

BAB II PEMBAHASAN

A. Sejarah Pendidikan Islam di Kalimantan Selatan ....................................... 6

B. Sistem Pendidikan Islam di Kalimantan Selatan Pada Masa Awal ................ 8

C. Biografi Tokoh Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari ................................ 11

D. Karya Tulis Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari ...................................... 17

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan ................................................................................................... 19

B. Saran ............................................................................................................. 19

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................................... 20

3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pendidikan Islam sebagai salah satu aspek dari ajaran Islam,
dasarnya adalah Al-Qur’an dan Hadis Nabi Muhammad saw. Dari kedua
sumber tersebut, para intelektual muslim kemudian mengembangkannya
dan mengklasifikannya kedalam dua bagian yaitu: Pertama, akidah untuk
ajaran yang berkaitan dengan keimanan; kedua, adalah syariah untuk
ajaran yang berkaitan dengan amal nyata. Oleh karena pendidikan
termasuk amal nyata, maka pendidikan tercakup dalam bidang syariah.
Bila diklasifikasikan lebih lanjut, termasuk dalam sub bidang muamalah.
Hal tersebut menggariskan prinsip-prinsip dasar materi pendidikan
Islam yang terdiri atas masalah iman, ibadah, sosial, dan ilmu
pengetahuan. Sebagai bantahan pendapat yang meragukan terhadap
adanya aspek pendidikan dalam Al-Qur’an, Abdul Rahman Saleh
Abdullah mengemukakan bahwa kata Tarbiyah yang berasal dari kata
“Rabb”(mendidik dan memelihara) banyak terdapat dalam Al-Qur’an;
demikian pula kata “Ilm” yang demikian banyak dalam Al-Qur’an
menunjukkan bahwa dalam Al-Qur’an tidak mengabaikan konsep-konsep
yang menunjukkan kepada pendidikan.
Hadis juga banyak memberikan dasar-dasar bagi pendidikan
Islam. Hadis sebagai pernyataan, pengalaman, takrir dan hal ihwal Nabi
Muhammad saw., merupakan sumber ajaran Islam yang kedua sesudah Al-
Qur’an. Di samping Al-Qur’an dan hadis sebagai sumber atau dasar
pendidikan Islam, tentu saja masih memberikan penafsiran dan penjabaran
lebih lanjut terhadap Al-Qur’an dan hadis, berupa ijma’, qiyas, ijtihad,
istihsan dan sebagainya yang sering pula dianggap sebagai dasar
pendidikan Islam. Akan tetapi, kita konsekuen bahwa dasar adalah tempat
berpijak yang paling mendasar, maka dasar pendidikan Islam hanyalah Al-
Qur’an dan hadis Nabi Muhammad saw.

4
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Sejarah Pendidikan Islam Di Kalimantan Selatan ?
2. Bagaimana Sistem Pendidikan Islam Di Kalimntan Selatan Pada Masa
Awal ?
3. Bagaimana Biografi Tokoh Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari Dan
Kontribusi Beliau Dalam Perkembangan Pendidikan Islam Di
Kalimantan Selatan Pada Masa Awal ?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk Mengetahui Sejarah Pendidikan Islam Di Kalimantan Selatan.
2. Untuk Mengetahui Sistem Pendidikan Islam Di Kalimantan Selatan
Pada Masa Awal.
3. Untuk Mengetahui Biografi Tokoh Syekh Muhammad Arsyad Al-
Banjari Dan Kontribusi Beliau Dalam Perkembangan Pendidikan
Islam Di Kalimantan Selatan Pada Masa Awal.

5
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah Pendidikan Islam di Kalimantan Selatan
Islam masuk ke Kalimantan pada abad ke-15 M dengan cara damai
yang dibawa oleh mubalig dari Jawa. Sunan Bonang dan Sunan Giri
mempunyai para santri di Kalimantan Sulawesi, dan Maluku. Gubahan
Sunan Giri bernama Kalam Muyang, sedangkan gubahan Sunan Bonang
bernama Sumur Serumbung.
Menurut Helius Syamsuddin dalam bukunya Islam and Resistence
in South and Centre kalimantan in The Nineteenth and Early Twentieth
Centuries menerangkan bahwa Islam masuk Kalimantan Selatan dari Jawa
pada abad ke XVI, ketika Sultan Demak membantu Pangeran Banjar,
Pangeran Samudera, untuk menghadapi Pangeran Temenggung dalam
peperangan merebut tahta kerajaan, sebagai imbalannya, Pangeran
samudera bersedia untuk memeluk Islam. Dia menjadi Sultan pertama
Kesultanan Banjarmasin dengan gelar Sultan Suriansyah. Konversinya itu
perlahan-lahan diikuti oleh diikuti oleh para pengikutnya dan orang-orang
Banjar kecuali masyarakat Dayak di daerah pedalaman.1
Diterangkannya pula bahwa setelah konversi Sultan Suriansyah
pada Abad XVI tersebut, tidak banyak lagi diketahui mengenai proses
islamisasi sesudahnya, dalam arti intensitas pengajaran Islam pada
masyarakat Banjar atan secara khusus, penyebaran Islam di kalangan
masyarakat Dayak padalaman pada abad-abad selanjutnya. Barulah pada
abad XIX ada bukti mengenai proses ini yang berasal dari ulasan-ulasan
Schwaner dan Meijer dalam bukunya Borneo. Pada awalnya islamisasi
terhadap masyarakat Daway di mulai di kalangan orang Bakumpai [sub-
kelompok Dayak Ngaju]. Bakumpai Marabahan yang tinggal 57 km dari
Banjarmasin, sering melakukan interaksi dengan masyarakat masyarakat
Banjar, terutama dalam bidang perdagangan, yang diikuti dengan

1
Banjarmasin: Pusat Studi dan Pengembangan Borneo, 2002, h. 1.

6
perkawinan antara orang Banjar dengan orang Bakumpai, yang
menyebabkan mereka masuk Islam. Setelah konversi ini, mereka
menyebut diri mereka sebagai “Orang Melayu”.
Encyclopedia Britannica yang diterbitkan pada tahun 1963
mencatatkan bahwa bahasa Melayu menjadi bahasa bagi penduduk asli di
semenanjung Tanah Melayu, di pantai timur Sumatera, di seluruh pantai
Borneo (Kalimantan), di kepulauan Riau, di Bangka, di Belitung, dan di
Natuna Besar. D.J. Prentice berpendapat bahawa daerah penutur asli
bahasa Melayu ialah di kawasan Tanah Melayu sehingga selatan Thailand
(Pattani), di sepanjang pantai timur Sumatera, di kepulauan Riau, di
sepanjang pesisir Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan
Timur, di Brunei, di pantai barat Sabah, di Sarawak, di Singapura, di
Jakarta, di Larantuka, di Kupang, di Makasar, di Menado, di Ternate, di
Banda, dan di Ambon. Selain wilayah Melayu, ternyata bahwa bahasa
Melayu pun dapat ditemukan di Sri Lanka dan di Afrika Selatan.2
Tidak banyak catatan yang memberikan deskripsi sehubungan
dengan sejarah Pendidikan Islam di Kalimantan Selatan ini. Dari sekian
literatur yang penulis temukan mengenai sejarah pendidikan di Kalimantan
Selatan, pada umumnya merujuk pada tokoh Besar Kalimantan Selatan,
Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari. Hal ini menurut penulis cukup
beralasan, karena sebagaimana diungkapkan Gubernur Kalsel Drs HM
Sjahriel Darham bahwa Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari memiliki
pemikiran-pemikiran yang sangat luar biasa pada kurun waktu 1710
sampai 1821 M, sampai mendapatkan gelar “Matahari Islam dari
Kalimantan” dari Menteri Agama Republik Indonesia periode 1962-1967.
Hal ini menyangkut karyanya yang sangat monumental pada kitab
Sabillah Muhtadin perlu terus diteladani, mengingat pemikiran Syekh
Muhammad Arsyad Al Banjari mampu mendorong fenomena religius

2
D.J. Prentice, Peradaban Malaka, (Serawak, Malaysia: Al-Maktabatul-Kaber, t.th.), h.
106.

7
yang memberikan arti terhadap pengisian khazanah perkembangan agama
Islam.

B. Sistem Pendidikan Islam di Kalimantan Selatan Pada Masa Awal


Kegiatan pendidikan Islam berpusat di mesjid, langgar dan rumah
dengan sistem pengajaran non klasikal. Menurut Karel A.
Steenbrink,orang pertama yang mendirikan langgar adalah Syaikh
Muhammad Arsyad al-Banjari, yang didirikan di pinggiran ibukota
kerajaan yang kemudian dikenal dengan nama Kampung Dalam Pagar.
(Steenbrink, 1986:94).
Proses pendidikan ini melahirkan para ulama generasi berikutnya
yang dengan sendirinya melanjutkan pula pengembangan pengetahuan
keagamaan di tempat masing-masing dengan sistem yang sama.
Pengajaran biasanya diberikan pada waktu petang atau malam hari. Anak-
anak di kampung atau di desa biasanya membantu orang tua mereka pada
pagi hari, baik di sawah, kebun, atau ladang, sedangkan guru mengaji juga
harus mencari nafkah sendiri baik pagi hari maupun siang hari, yaitu
dengan mengerjakan pekerjaan yang biasanya dikerjakan oleh orang-orang
kampung, termasuk di antaranya ke sawah. Disamping itu, lewat
kesempatan dalam melaksanakan ibadah haji seorang alim telah mendapat
pengalaman-pengalaman yang berharga selama dalam perjalanan. Ia
mendapat kesempatan bertukar pikiran tentang soal agama atau saling
memberikan pengalaman masing-masing dalam cara pengajaran dan
pengembangan agama, bagaimana kecilnya, jelas bahwa kontak dengan
dunia luas menambah kuatnya dorongan umtuk mengembangkan agama.
(Emroni, 2000:25).
Lingkungan pendidikan diwarnai oleh adat Banjar, seperti
diharapkan anak-anak mentaati perintah orang tuanya dan orang-orang
yang satu generasi dengan orang tuanya (dan yang lebih tua). Demikian
juga anak-anak harus taat kepada kakak-kakaknya, terutama yang sudah
dewasa. Pergaulan antar jenis kelamin, kecuali antara anggota kerabat

8
dekat yang masih satu rumah, tercela. Seorang anak hanya bermain dengan
anak yang sejenisnya dan kurang lebih sebaya dengannya. Seorang anak
laki-laki yang bermain dengan seorang anak perempuan dicela dengan
mengatakan bahwa ia seperti perempuan, atau dianggap banci. (Daud,
1997:102).
Materi pendidikan meliputi:
1. Al-Qur’an
Sejak berumur sekitar 6 atau 7 tahun anak-anak sudah mulai belajar
membaca huruf-huruf Alquran (mengaji). Umumnya kitab yang
diajarkan adalah kitab Qa’ida Bagdadiyah, dikenal sebagai Muqaddam
(pendahuluan) Alquran, sebagai buku pegangan guru dan murid
sebelum melangkah ke dalam kitab Alquran.
2. Aqidah / Tauhid
Rukun Iman, aspek kepercayaan yang pokok dari ajaran Islam,
biasanya diajarkan tidak secara sistematis. Namun demikian, sebagai
hasilnya anak-anak biasanya hapal berbagai sifat Tuhan, nama-nama
kitab yang telah diturunkan kepada para Rasul, nama-nama Nabi yang
terkemuka, meskipun tidak seluruh yang berjumlah 25 orang, tetapi
selalu masuk nabi Haidir as., namanama malaikat, dan tentang suasana
hari kiamat. Juga kepada anak ditekankan agar ”tawakkal” kepada
Allah, sebagai suatu aspek dari kepercayaan kepada takdir.
3. Syariah / Fiqh
Materi syariah tergambar dalam pemikiran fiqh yang ditulis ulama
pada abad ke-18, yaitu: Syaikh Muhammad Arsyad Al-Banjari (1710-
1812 M) menulis kitab Sabilal Muhtadin, sebuah kitab fiqh, dan Surgi
Mufti Kiyai Haji Jamaluddin (lahir 1780 M) menulis kitab Parukunan.
4. Tasawuf
Kajian tasawuf mempunyai ciri khas mistisismenya yang begitu kental.
Konsep-konsep seperti wahdatul wujud, dan martabat tujuh
terartikulasi dalam literatur seperti kitab al-Durr al-Nafis karya
Muhammad Nafis Al-Banjari, ditulis tahun 1782 M. Dari dimensi

9
sosial keagamaan tersebar ajaran-ajaran tasawuf yang menjadi cikal
bakal bentuk tarekat, seperti thariqat As-Samaniyyah di Martapura,
thariqat ’Alawiyah di Barabai dan thariqat atTijaniah di Banjarmasin.
Karena kentalnya tasawuf sebagai corak keberislaman masyarakat,
pada bagian tengah stempel Kerajaan Banjar yang berbentuk segi empat
ditulis angkaangka Arab seperti kebiasaan Persia. Di samping bawah
stempel tertulis ”La ilaha illa Huwa Allah Maujud Aku”. Kalimat ini
mencerminkan ajaran wahdat alwujud.
Tawasuf berkembang menjadi kekuatan yang mendorong
munculnya aksiaksi sosial masyarakat menentang kolonialisme, seperti
gerakan baratib ba’amal (baratib:berzikir dengan membaca ratib, bacaan
rutin tertentu, ba’amal: beramal) dalam perang Banjar. Tarekat yang
mendasari gerakan tersebut kemungkinan besar tharekat
Naqsyabandiyyah, karena pada 3 Januari 1889, untuk pertama kali
Belanda menyebut nama ”thariqat”. Dalam catatan sejarah disebutkan
bahwa dua orang haji, Muhammad Arsyad (Banjarmasin) dan Ahmad
(Alabio) aktif dalam menyebaran thariqat Naqsyabandiyyah di Batang
Alai dan Labuan Amas (Kabupaten HST) dan memperoleh 500 murid.
Metode pembelajaran yang dipergunakan secara umum dengan
cara: bil hal, yakni keteladanan yang direfleksikan dalam tingkah laku,
gerak-gerik, dan tutur kata sehari-hari yang disaksikan langsung oleh
murid. Kemudian metode bil lisan, yaitu dengan mengadakan pengajaran
dengan pengajian yang bisa disaksikan dan diikuti siapa saja, baik
keluarga, kerabat, sahabat, maupun handai taulan. Selain metode bil
kitabah yaitu mengembangkan pembelajaran dalam bidang tulis menulis.
Pembelajaran Alquran dan Baca Tulis Arab Melayu dengan
metode Imla’, begitu juga Nahwu-Sharaf, yang kemudian diteruskan
dengan metode hapalan untuk tingkat mahir. (Sahriansyah, dkk., 2011:55).
Anak-anak diajari satu persatu, dan anak-anak yang sudah lebih menguasai
materi disuruh membantu temannya yang baru mulai. Dengan demikian
suatu kelompok belajar mengaji disamping muridnya bervariasi juga

10
jumlah pesertanya kecil, karena diperlukan banyak guru mengaji dalam
sebuah kampung (Daud, 1997:143).
Pembelajaran keagamaan umumnya menggunaan metode halaqah
yaitu murid duduk melingkar di sekeliling guru untuk menerima pelajaran.
Metode pengajaran model ini, yang terus berlanjut sampai masa
penjajahan masa penjajahan Belanda, sesungguhnya mencerminkan
orientasi transmisi keilmuwan pada abad ke-18 yang berpusat ke
Haramain (khususnya Mesjid Al-Haram di Mekkah) yang saat itu belum
mengenal sistem madrasah. Posisi Haramain ini, bagi umat Islam
Indonesia, sangat dominan sejak abad ke-17 hingga akhir abad ke-19.
Adapun metode pembelajaran yang dominan di Mesjid Al-Haram
cenderung menggunakan sistem halaqah.
Sedangkan metode sorogan (mengaji baduduk) yaitu murid secara
bergiliran menghadap gurunya dengan membaca kitab yang dipelajarinya
(Bruinessen, 1995:21-25). Metode sorogan (mengaji baduduk) bagian
paling sulit dari keseluruhan sistem pendidikan abad ke-18, sebab
menuntut kesabaran, kerajinan, ketaatan, dan disiplin pribadi dari murid,
karena memungkinkan seorang guru mengawasi, menilai, membimbing
secara maksimal kemampuan seorang murid dalam menguasai
pelajarannya.3

C. Biografi Tokoh Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari


Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari lahir di Lok Gabang
Kecamatan Astambul Kabupaten Banjar pada malam kamis, pukul tiga
dinihari tanggal 15 Shafar 1122 H, (bertepatan dengan malam kamis
tanggal 19 Maret 1710 M).4
Syekh Muhammad Arsyad al Banjari dilahirkan dari dua orang ibu-bapak
yang bernama Siti Aminah binti Husein dan Abdulloh bin Abu Bakar.

3
Mila Hasanah, Pendidikan Islam Pada Masa Kerajaan Banjar Abad Ke-18, (Artikel), h.
8-11
4
Abu Daudi, Maulana Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari, (Martapura: Yayasan
Pendidikan Islam Dalampagar, 2003), h. 39

11
Beberapa penulis biografi Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari,
antara lain Mufti Kerajaan Indragiri Abdurrahman Siddiq. berpendapat
bahwa ia adalah keturunan Alawiyyin melalui jalur Sultan Abdurrasyid
Mindanao.
Jalur nasabnya ialah Maulana Muhammad Arsyad Al Banjari bin
Abdullah bin Tuan Penghulu Abu Bakar bin Sultan Abdurrasyid
Mindanao bin Abdullah bin Abu Bakar Al Hindi bin Ahmad Ash
Shalaibiyyah bin Husein bin Abdullah bin Syaikh bin Abdullah Al Idrus
Al Akbar (datuk seluruh keluarga Al Aidrus) bin Abu Bakar As Sakran bin
Abdurrahman As Saqaf bin Muhammad Maula Dawilah bin Ali Maula Ad
Dark bin Alwi Al Ghoyyur bin Muhammad Al Faqih Muqaddam bin Ali
Faqih Nuruddin bin Muhammad Shahib Mirbath bin Ali Khaliqul Qassam
bin Alwi bin Muhammad Maula Shama‟ah bin Alawi Abi Sadah bin
Ubaidillah bin Imam Ahmad Al Muhajir bin Imam Isa Ar Rumi bin Al
Imam Muhammad An Naqib bin Al Imam Ali Uraidhy bin Al Imam Ja‟far
As Shadiq bin Al Imam Muhammad Al Baqir bin Al Imam Ali Zainal
Abidin bin Al Imam Sayyidina Husein bin Al Imam Amirul Mu‟minin Ali
Karamallah wajhah wa Sayyidah Fatimah Az Zahra binti Rasulullah
SAW.5
Di dalam jiwa seorang insan yang akan menjadi pemimpin besar,
kadang-kadang sudah nampak tanda-tandanya sejak kecil, baik
kecerdasan, keahlian dan akhlak budi pekertinya yang jarang dimiliki oleh
teman sebayanya. Maka dimasa kecil Syekh Muhammad Arsyad
Albanjari, sudah kelihatan tandatanda demikian. Diantara keahlian yang
dimiliki Syekh Muhammad Arsyad al Banjari sejak kecil adalah dibidang
seni lukis dan tulis, sehingga siapa saja yang melihat karyanya selalu
kagum dan terpukau mata memandangnya.
Sejak dilahirkan, Muhammad Arsyad melewatkan masa kecil di
desa kelahirannya Lok Gabang, Martapura. Sebagaimana anak-anak pada

5
Abd Rahman Shiddiq (Tuan Guru Sapat, Mufti Kesultanan Indragiri) Syajaratul
Arsyadiyah Cetakan I. Tahun 1356 H

12
umumnya, Muhammad Arsyad bergaul dan bermain dengan teman-
temannya. Namun pada diri Muhammad Arsyad sudah terlihat
kecerdasannya melebihi dari temantemannya. Begitu pula akhlak budi
pekertinya yang halus dan sangat menyukai keindahan. Di antara
kepandaiannya adalah seni melukis dan seni tulis. Sehingga siapa saja
yang melihat hasil lukisannya akan kagum dan terpukau. Pada saat Sultan
Tahlilullah sedang bekunjung ke kampung Lok Gabang, sultan melihat
hasil lukisan Muhammad Arsyad yang masih berumur 7 tahun.
Keahlian Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari dibidang seni lukis
inilah yang membuat sultan pada waktu itu kagum dan terpukau, sehingga
tersirat dihati sultan untuk memelihara dan memberikan kesempatan
belajar kepada beliau. Atas izin dan restu dari kedua orang tuanya, maka
Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari menetap di istana guna belajar ilmu
agama dan ilmu lainnya dalam mengembangkan bakat dan
kecerdasannya.6
Ia mendapat pendidikan penuh di Istana sehingga usia mencapai 30
tahun. Kemudian ia dikawinkan dengan seorang perempuan bernama Tuan
Bajut.
Ketika istrinya mengandung anak yang pertama, terlintaslah di hati
Muhammad Arsyad suatu keinginan yang kuat untuk menuntut ilmu di
tanah suci Mekkah. Maka disampaikannyalah hasrat hatinya kepada sang
istri tercinta. Meskipun dengan berat hati mengingat usia pernikἇhan
mereka yang masih muda, akhirnya isterinya mengamini niat suci sang
suami dan mendukungnya dalam meraih cita-cita. Maka, setelah mendapat
restu dari sultan berangkatlah Muhammad Arsyad ke Tanah Suci
mewujudkan cita-citanya. Deraian air mata dan untaian doa mengiringi
kepergiannya. Di Tanah Suci, Muhammad Arsyad mengaji kepada
masyaikh terkemuka pada masa itu. Di antara guru dia adalah Syekh
„Athaillah bin Ahmad al-Mishry, al-Faqih Syekh Muhammad bin

6
Abu Daudi, Maulana Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari, (Martapura: Yayasan
Pendidikan Islam Dalampagar, 2003), h. 41-42

13
Sulaiman al-Kurdi dan al-„Arif Billah Syekh Muhammad bin Abdul
Karim alSamman al-Hasani al-Madani. Syekh yang disebutkan terakhir
adalah guru Muhammad Arsyad di bidang tasawuf, dimana di bawah
bimbingannyalah Muhammad Arsyad melakukan suluk dan khalwat,
sehingga mendapat ijazah darinya dengan kedudukan sebagai khalifah.
Selama menuntut ilmu di sana, Syekh Muhammad Arsyad
menjalin persahabatan dengan sesama penuntut ilmu seperti Syekh
Abdussamad alFalimbani, Syekh Abdurrahman Misri al-Jawi, dan Syekh
Abdul Wahab Bugis sehingga mereka dikenal sebagai Empat Serangkai
dari Tanah Jawi (Melayu). Setelah lebih kurang 35 tahun menuntut ilmu di
Maekkah dan Madinah, timbulah niat untuk menuntut ilmu ke Mesir.
Ketika niat ini disampaikan dengan guru mereka, Syekh menyarankan agar
keempat muridnya ini untuk pulang ke Jawi (Indonesia) untuk berdakwah
di negerinya masing-masing. Sebelum pulang, keempat sahabat sepakat
untuk berhaji kembali di Tanah Suci Mekkah. Pada saat itu tanpa
disangka-sangka Syekh Muhammad Arsyad bertemu dengan adik kandung
dia yaitu Zainal Abidin bin Abdullah yang sedang menunaikan ibadah
haji. Sang adik membawa kabar berita bahwa anak dia yaitu Fatimah
sudah beranjak dewasa dan sang anak menitipkan cincin kepada dia.
Melihat hal demikian, tiga sahabat Syekh Muhammad Arsyad masing-
masing mengajukan lamaran untuk memperisteri anak dia. Setelah berpikir
lama, Syekh Muhammad Arsyad memeutuskan untuk mengundi, lamaran
yang akan diterima. Hasil pengundian ternyata lamaran Syekh Abdul
Wahab Bugis yang diterima. Untuk itu diadakahnlah ijab kabul
pernikἇhan antara Syekh Abdul Wahab Bugis dengan Fatimah binti Syekh
Muhammad Arsyad, yang dinikἇhkan langsung oleh Syekh Muhammad
Arsyad sambil disaksikan dua sahabat lainnya. Maka bertolaklah keempat
putra Nusantara ini menuju kampung halaman. Memasuki wilayah
Nusantara, mula-mula mereka singgah di Sumatera yaitu di Palembang,
kampung halaman Syekh Abdussamad Al Falimbani. Kemudian
perjalanan dilanjutkan menuju Betawi, yaitu kampung halaman Syekh

14
Abdurrahman Misri. Selama di Betawi, Syekh Muhammad Arsyad diminta
menetap sebentar untuk mengajarkan ilmu agama dengan masyarakat
Betawi. Salah satu peristiwa penting selama di Betawi adalah ketika Syekh
Muhammad Arsyad membetulkan arah kiblat Masjid Jembatan Lima,
Masjid Luar Batang dan Masjid Pekojan. Untuk mengenang peristiwa
tersebut, masyarakat sekitar Masjid Jembatan Lima menuliskan di atas
batu dalam aksara arab melayu (tulisan jawi) yang bertuliskan bahwa
kiblat masjid ini telah diputar ke kanan sekitar 25 derajat oleh Muhammad
Arsyad AlBanjari pada tanggal 4 Safar 1186 H. Setelah dirasa cukup,
maka Syekh Muhammad Arsyad dan Syekh Abdul Wahab Bugis berlayar
menuju kampung halaman ke Martapura, Banjar. Pada Bulan Ramadhan
1186 H bertepatan 1772 M, sampailah Muhammad Arsyad di kampung
halamannya, Martapura, pusat Kesultanan Banjar pada masa itu. Akan
tetapi, Sultan Tahlilullah, seorang yang telah banyak membantunya telah
wafat dan digantikan kemudian oleh Sultan Tahmidullah II bin Sultan
Tamjidullah I, yaitu cucu Sultan Tahlilullah. Sultan Tahmidullah yang
pada ketika itu memerintah Kesultanan Banjar, sangat menaruh perhatian
terhadap perkembangan serta kemajuan agama Islam di kerajaannya.
Sultan Tahmidullah II menyambut kedatangan dia dengan upacara adat
kebesaran. Segenap rakyatpun mengelu-elukannya sebagai seorang ulama
"Matahari Agama" yang cahayanya diharapkan menyinari seluruh
Kesultanan Banjar. Aktivitas dia sepulangnya dari Tanah Suci dicurahkan
untuk menyebarluaskan ilmu pengetahuan yang diperolehnya. Baik kepada
keluarga, kerabat ataupun masyarakat pada umumnya. Bahkan, sultan pun
termasuk salah seorang muridnya sehingga jadilah dia raja yang alim lagi
wara. Selama hidupnya ia memiliki 29 anak dari tujuh isterinya.
Setelah beberapa lama menetap di istana untuk belajar ilmu agama
dan ilmu lainnya, Syekh Muhammad Arsyad al Banjari menganggap
perjuangan belum selesai, banyak lagi yang harus dituntut, jauh lagi negeri

15
yang harus ditempuh, Syekh Muhammad Arsyad al Banjari harus berjuang
dan berkorban demi cintanya kepada ilmu pengetahuan.7
Didasari dengan semangat dan Himmah yang tinggi dan biaya dari
sultan, maka Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari berangkat ke Mekkah
guna belajar dan memperdalam ilmu pengetahuan. Di Mekkah Syekh
Muhammad Arsyad al Banjari tinggal di sebuah rumah di Kampung
Syamiah yang dibelikan oleh sultan untuknya. Setibanya di Mekkah,
Syekh Muhammad Arsyad al Banjari belajar dengan tekun dalam berbagai
bidang ilmu kepada ulama-ulama yang terkenal pada masanya.8
Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari meninggal dunia pada
malam selasa antara waktu isya‟ dan magrib, tanggal 6 Syawal 1227 H (13
Oktober 1812 M) dan dimakamkan di Kalampaian Kecamatan Astambul
Kabupaten Banjar.9
Salah satu karomah yang besar dari Syekh Muhammad Arsyad
Albanjari, yaitu karyanya yang agung Sabilal Muhtadin Littafaqquh Fi
Amriddin. Karomah yang besar dari seorang ulama adalah karyanya yang
besar yang dari dulu sampai seterusnya masih dipelajari. Kitab ini telah
berumur ratusan tahun, namun sampai sekarang masih dipelajari, bukan
saja di daerah Banjar, namun sampai ke pelosok daerah di Indonesia.
Ketenaran kitab ini juga ke Malaysia, Fathani, Thailand, Kamboja dan
Brunei. Bahkan menjadi khazanah kepustakaan bagi perpustakaan-
perpustakaan besar di dunia Islam, seperti Mekkah, Mesir, Turki dan
Beirut.10

7
Ibid, h. 45
8
Ibid, h. 47
9
Abu Daudi, Maulana Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari, (Martapura: Yayasan
Pendidikan Islam Dalampagar, 2003), h. 444
10
Ibid, h. 83

16
D. Karya Tulis Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari
Di dalam menyampaikan da‟wahnya, Syekh Muhammad Arsyad
Al Banjari menggunakan berbagai metode dan sarana, masing-masing
metode saling menunjang, agar sasaran yang dituju dapat tersentuh secara
tepat. Di antara metode yang Syekh Muhammad Arsyad al Banjari
gunakan yakni 1) Metode Da‟wah Bilhal, 2) Metode Da‟wah Billisan, dan
3) Metode Da‟wah Bilkitabah.
Di dalam hal metode da‟wah bilkitabah, sengaja Syekh
Muhammad Arsyad al Banjari terapkan agar dapat diterima misi
da‟wahnya ke segenap pelosok dan merupakan pegangan dikalangan
masyarakat. Tahun kedua setelah kedatangan Syekh Muhammad Arsyad al
Banjari dari Mekkah, yakni tahun 1188 H atau 1774 M. Syekh
Muhammad Arsyad al Banjari mulai aktif menulis kitabkitab yang
mencakup semua ajaran Islam dalam bahasa Melayu.11
Menurut H. Irsyad Zein dalam bukunya Maulana Syekh
Muhammad Arsyad Al Banjari, karya-karya Syekh Muhammad Arsyad Al
Banjari ada 11 macam, yaitu :
1. Sabilal Muhtadin
2. Kitab Faraidh
3. Kitab Falak
4. Kitab Nikἇh
5. Luqthotul „Ajlan
6. Fatawa Sulaiman Kurdi
7. Kitab Ushuluddin
8. Tuhfaturrogibin
9. Alqaulul Mukhtasor Fi „Alamatil Mahdi Almuntazor
10. Kanzul Ma‟rifah
11. Mushaf Alqur‟an Alkarim

11
Ibid, h. 78

17
Menurut H. M. Shogir Abdulloh, bahwa Syekh Muhammad
Arsyad Al Banjari mempunyai 16 karya tulis, Beliau beranggapan bahwa
Hasyiah Fathul Wahhab, Fathurrahman, Arkaanu Ta‟limis Sibyan,
Bulughol Marom, Fi bayani Qodho wal Qodar wal Waba, Tuhfatul Ahbab
dan Bidayatul Mubtadi wa „Umdatul Auladi, adalah karya dari Syekh
Muhammad Arsyad Albanjari.12

12
Muhammad Shogir Abdulloh, Syekh Muhammad Arsyad Al BanjariPengarang Sabilal
Muhtadin, (Kuala Lumpur: Khazanah Fathiniah, 1990) Cet. Ke-satu h. 57

18
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Pendidikan Islam di Kalimantan dalam lintasan sejarah mempunyai
kebanggan tersendiri, dengan terbitnya seorang yang mendapat gelar
“Matahari Islam dari Kalimantan”. Akankah cahaya matahari pendidikan
itu akan tetap menerangi jejak langkah pendidikan Islam sekarang?
Mendidik masyarakat akan sangat efektif jika dimulai dengan berintegrasi
dengan kekuasaan, Syekh Arsyad sebagai ulama yang telah berhasil
menyatukan sultan sebagai elit penguasa dengan rakyatnya atas dasar
ikatan ajaran Islam, sehingga tidak adanya jarak memisah, baik antara
sultan dengan rakyat maupun antara umara dengan ulama. Hal ini bisa
dicapai karena sistem pendekatan yang beliau lakukan beranjak dari
bawah, baru setelah itu kepada penguasa atau sultan.
Materi yang diajarkan Alquran, tauhid, fiqh, tasawuf, membaca,
menghapal dan melagukan Alquran, bahasa Arab terutama nahwu-sharaf,
baca tulis Arab Melayu tafsir, tajwid dan kaligrafi. Menggunakan
pendekatan Aktual dan Kontekstual dan metode pembelajaran yang
dipergunakan:metode bil hal, bil lisan, bil kitabah, imla’, hapalan, praktek,
halaqah dan sorogan (mengaji baduduk). Sarana pendidikan Islam
berpusat di mesjid, langgar dan rumah. Evaluasi di ukur dari selesai dan
menguasai satu kitab, pemberian ijazah berupa pengakuan guru secara
lisan yang menyatakan bahwa ia telah dapat dipercaya untuk mengajarkan
ilmu.
B. Saran
Pada penyusunan makalah ini saya sangat menyadari masih banyak
terdapat kekurangan-kekurangan didalamnya, baik berupa bahasa maupun
cara penyusunannya. Kami sangat mengharapkan kritik dan saran dari
semua pihak yang sifatnya membangun demi kesempurnaan makalah ini.

19
DAFTAR PUSTAKA

Banjarmasin: Pusat Studi dan Pengembangan Borneo, 2002

D.J. Prentice, Peradaban Malaka, (Serawak, Malaysia: Al-Maktabatul-Kaber,


t.th.)

Mila Hasanah, Pendidikan Islam Pada Masa Kerajaan Banjar Abad Ke-18,
(Artikel)

Abu Daudi, Maulana Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari, (Martapura: Yayasan


Pendidikan Islam Dalampagar, 2003)

Abd Rahman Shiddiq (Tuan Guru Sapat, Mufti Kesultanan Indragiri) Syajaratul
Arsyadiyah Cetakan I. Tahun 1356 H

Muhammad Shogir Abdulloh, Syekh Muhammad Arsyad Al BanjariPengarang


Sabilal Muhtadin, (Kuala Lumpur: Khazanah Fathiniah, 1990)

20

Anda mungkin juga menyukai