Anda di halaman 1dari 36

BAB I

PENDAHULUAN

Darah memegang peranan inti dalam kehidupan manusia. Darah beredar


dalam pembuluh darah membentuk suatu sistem sirkulasi, dengan jantung sebagai
pompanya. Darah mengalir membawa oksigen untuk metabolisme sel dan
berbagai zat lain yang dibutuhkan oleh tubuh. Gangguan pada darah atau
sirkulasinya tentu membawa dampak yang sangat serius bagi tubuh. Salah satu
jenis gangguan hematologi yang diturunkan secara genetik adalah talasemia.
Thalasemia adalah penyakit kelainan darah yaitu anemia hemolitik
herediter yang diturunkan secara autosomal resesif dengan disebabkan oleh defek
genetik pada pembentukan rantai globin. Penyakit ini baru muncul pada seseorang
apabila ia memiliki dua gen talasemia yang berasal dari kedua orang tuanya yaitu
satu dari ayah dan satu dari ibu.
Thalasemia tersebar diseluruh ras di mediterania, Timur tengah, India
sampai Asia tenggara dan presentasi klinisnya bervariasi dari asimptomatik
sampai berat hingga mengancam jiwa, tetapi tidak menutup kemungkinan
penyakit ini dapat ditemukan dimana saja diseluruh dunia.
Saat ini, penyakit thalasemia merupakan penyakit genetika yang cukup
banyak di Indonesia. Frekuensinya terus meningkat per tahun. Walupun begitu,
masyarakat tidak menaruh perhatian yang cukup besar terhadap penyakit yang
sudah menjadi salah satu penyakit genetika terbanyak ini. Hal ini disebabkan
karena gejala awal dari penyakit sangat umum. Padahal gejala akhir yang
ditimbulkan akan sangat fatal jika tidak ditangani secara akurat, cepat, dan tepat.
Melihat kenyataan ini, maka sebaiknya kita harus mewaspadai dengan cara
mengetahui dengan benar informasi tentang penyakit ini, sehingga penyakit ini
dapat diidentifikasi dan penanganannya pun dapat dilakukan secara dini dengan
cara yang tepat.

1
BAB II
LAPORAN KASUS

2.1 Identitas Pasien


Nama :An. A
Umur : 8 tahun
Jenis kelamin :Laki - Laki
Nama Ayah :Tn. j
Nama Ibu :Ny. A
Bangsa :Indonesia
Agama :Islam
Alamat : Jl. Pasar Jambi RT 01
MRS tanggal :14 februari 2017
ANAMNESA
Alloanamnesa (oleh ibu kandung pasien)
Keluhan Utama : Pucat
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pucat dirasakan terjadi sejak 3 hari sebelum MRS. Selain pucat, pasien
juga mengeluh lemas tidak mengeluhkan adanya keluhan lain. Buang air besar
normal, warna kuning, padat. Buang air kecil normal, warna jernih kekuningan.
Tidak ada penurunan nafsu makan maupun aktivitas sehari-hari.
Riwayat Penyakit Dahulu :
Keluhan pucat sudah dirasakan pasien sejak berumur 4 tahun. Saat itu
pasien dibawa berobat ke rs dan dikatakan bahwa memiliki kadar Hb yang rendah
dan perlu ditransfusi untuk menghilangkan keluhannya tersebut. Setelah
ditransfusi, keluhan pucat tersebut hilang dan kembali muncul sekitar 6 bulan
setelahnya.
Sekitar 1 tahun yang lalu, keluhan pucat pasien dirasakan semakin sering
muncul. Riwayat transfusi darah 2x, transfusi pertama 4 tahun yang lalu transfusi
terakhir pada bulan november 2016, pasiean belum pernah analisa Hb.

2
Riwayat Penyakit Keluarga :
 Sepupu dari ibu pasien (+) thalasemia
 Riwayat pernikahan sedarah (+)

Riwayat imunisasi
 BCG :1x (baru lahir)
 Polio :2x (baru lahir & usia 2 bulan)
 DPT :1x (usia lupa)
 Campak :1x (usia 9 bulan)
 Hepatitis :2x (baru lahir & usia 1 bulan)
Kesimpulan : Imunisasi dasar lengkap
• Status gizi

3
KESAN:
BB/TB : Gizi cukup
BB/U :BB lebih untuk anak seusianya

PEMERIKSAAN FISIK
Dilakukan pada tanggal 15-februari-2017
Kesan umum : sakit sedang
Kesadaran : E4M6V5
Tanda Vital
 Frekuensi nadi : 104x/menit, regular, kuat angkat
 Frekuensi napas : 28x/menit, regular
 Temperatur : 36,50C

4
Kepala
Rambut : Hitam
Mata : Anemis (+/+), Ikterik (-/-), Sianosis (-/-), Refleks Cahaya
(+/+),
Pupil : Isokor (3mm/3mm).
Hidung : Sumbat (-), Sekret (-)
Telinga : Bersih, Sekret (-)
Mulut : Lidah bersih, faring Hiperemis(-), mukosa bibir basah,
pembesaran Tonsil (-/-).
Leher
Pembesaran Kelenjar : Pembesaran KGB (-)
Thoraks
Pulmo
Inspeksi : Bentuk dan pergerakan simetris, retraksi ICS (-)
Palpasi : Fremitus raba dekstra sama dengan
Perkusi : Sonor di semua lapangan paru
Auskultasi : Vesikuler, Ronki (-/-), wheezing (-/-)
Cor:
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis tidak teraba,
Perkusi : Batas jantung
Kanan : ICS III, 3 cm dari right parasternal line
Kiri : ICS V left midclavicular line
Auskultasi : S1S2 reguler, gallop (-), murmur (-)
Abdomen
Inspeksi : Tampak cembung
Palpasi : Soefel, nyeri tekan (-), hepatomegali, permukaan rata, tepi
tumpul, konsistensi kenyal, nyeri tekan (-), batas tegas,
splenomegali Shuffner 2-3, ginjal tidak teraba.
Perkusi : Timpani, redup di batas hepar dan spleen

5
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Genitalia : Dalam batas normal
Ekstremitas : Akral hangat (+), oedem (-)

PEMERIKSAAN PENUNJANG
• pemeriksaam masuk tanggal 14-februari-2107
Hemoglobin : 7.0 gr/dl
Leukosit : 15.8/mm3
Hematokrit : 21,3%
Trombosit : 175/mm3
MCV : 65,0femtoliters
MCH : 21,6 femtoliters
MCHC : 33,2 gr/dl

 Pemeriksaan Laboratorium 16-februari-2017


Hemoglobin : 11,6 gr/dl
Leukosit : 14,3 /mm3
Hematokrit : 35,4%
Trombosit : 275/mm3
MCV : 74,4femtoliters
MCH : 24,5 femtoliters
MCHC : 32,9gr/dl
Pemeriksaan MDT
Basofil : 0
Metarubrisit:14
Eosinofil :7
Netrofil batang: 0
Netrofil segmen:31
Limfosit :57
Monosit :5

6
Parameter gambaran darah tepi:
Eritrosit: jumlah menurun di jumpai polikromasi,basofilikstiplip, sel target,
fragmentosit, anisopoikilocytosis,
Leukosit: jumlah normal, bentuk norlmal
Trombosit : jumlah dan bentuk normal
Kesan :anemia hipokrom mikrositer
Analisa hb
 Hba2 :39* (1,5-3,7)
 HBF :>40 (<1)
Diagnosa Banding
 Thalasemia mayor
 Thalasemia minor
Diagnosa Kerja
Thalasemia mayor
Tatalaksana
Medikamentosa
1. Diet : makanan bisa
2. PRC 1 x 200 cc
3. Inj. Furosemid 20 mg/ post transfusi.
Prognosis
Quo ad vitam :Dubia ad bonam
Quo ad fungsionam :Dubia ad bonam

7
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

HEMOPOIESIS DAN HEMOGLOBIN


Proses pembentukkan sel darah yaitu hemopoiesis. Proses pembentukkan
darah pertama kali terjadi pada fase prenatal yaitu di yolk sac (kantung
kuning telur) pada janin usia 0-2 bulan, kemudian fase selanjutnya pada
hepar dan lien pada janin usia 2-7 bulan, dan pada fase lanjut di sumsum
tulang mulai janin usia 5-9 bulan. Pada post natal, pembentukan utama terjadi
di sumsum tulang. Pada bayi dan anak, hematopoisis yang aktif terutama pada
sumsum tulang termasuk bagian distal tulang panjang, hal ini berbeda dengan
dewasa dimana hematopoisis terbatas pada vertebra, costae, sternum, pelvis,
scapula, dan jarang berlokasi pada humerus dan femur. Pada keadaan
patologis (sumsum tulang sudah tidak berfungsi atau adanya kebutuhan yang
meningkat), pembentukan dapat terjadi di nodus limfatikus, lien, timus,
hepar.
Pembentukan darah di luar sumsum tulang ini disebut hemopoisis
ekstra meduler Proses pembentukkan darah dimulai dari sel induk pluripoten
yang berdiferensiasi menjadi sel induk limfoid dan sel progenitor myeloid
campuran yang kemudian berdiferensiasi lagi.

8
Darah terdiri dari berbagai komponen yang penting, antara lain sel darah
merah (eritosit), sel darah putih (leukosit), keping darah (trombosit) serta plasma.
Fungsi leukosit adalah untuk melindungi tubuh terhadap infeksi. Fungsi dari
trombosit adalah untuk mekanisme pembekuan darah sedangkan eritrosit
membawa satu protein yaitu hemoglobin yang berfungsi dalam mengikat O2 di
paru, membawanya ke peredaran darah dan melepaskannya ke sel dan jaringan
tubuh.

9
Hemoglobin (Hb) tersusun atas heme yang merupakan cincin porfirin
dalam ikatan dengan Fe dan globulin yang merupakan protein pendukung.
Satu molekul hemoglobin mengandung 4 sub-unit. Masing-masing sub-unit
tersusun atas satu molekul globin dan satu molekul heme

Globulin terdiri atas 2 pasang rantai polipeptida, yaitu sepasang rantai α


dan sepasang rantai non alpha (β,γ,δ). Kombinasi rantai polipeptida tersebut
akan menentukan jenis hemoglobin. Hb A1(2α2β) merupakan lebih dari 96 %
Hb total, Hb F (2α2γ) kurang dari 2% dan Hb A2 (2α2δ) kurang dari 3%.
Rantai polipeptida α tersusun atas 141 asam amino, sedangkan rantai non
α tersusun atas 146 asam amino. Sintesis rantai α disandi oleh gen α1 dan gen
α2 di kromosom 16, sedangkan gen yang mensintesis rantai β, rantai γ dan
rantai δ terletak di kromosom 11.

10
Pada orang normal sintesis rantai α sama dengan rantai non alpha.
Sejak masa embrio, janin, anak hingga dewasa, sel darah merah memiliki 6
hemoglobin, antara lain :
• Hemoglobin embrional (Hb Gower1, Hb Gower2, Hb Portland)
• Hemoglobin fetal (Hb-F)
• Hemoglobin dewasa (Hb-A1, Hb-A2)

11
Hemoglobin embrional :
Selama masa gestasi 2 minggu pertama, eritoblas primitif dalam yolc sack
membentuk rantai globin epsilon (ε) dan zeta (Z) yang membentuk Hb primitif
yaitu Hb Gower1 (Z2ε2). Selanjutnya mulailah sintesis rantai α menggantikan
rantai Z dan rantai γ menggantikan rantai ε sehingga membentuk Hb Gower2, Hb
Portland. Pada masa gestasi 4-8 minggu yang ditemukan adalah Hb Gower 1 dan
Hb Gower 2 dan menghilang pada masa gestasi 3 bulan.
Hemoglobin Fetal
Migrasi sel pruripoten stem sel dari yolc sack ke hati diikuti sintesi Hb
fetal yang merupakan awal sintesis rantai Hb β. Setelah masa gestasi 8 minggu,
muncul Hb-F yang paling dominan dan setelah janin berusia 6 bulan merupakan
90% Hb terdiri dari Hb-F dan kemudian menurun menjelang kelahiran, setelah
bayi lahir dan setelah usia 6-12 bulan, HbF tetap ada tapi hanya ditemukan
sedikit.
Hemoglobin Dewasa
Pada masa embrio, telah dideteksi HbA karena telah terjadi proses perubahan
sintesis rantai γ menjadi rantai β dan selanjutnya globin β meningkat dan pada
masa gestasi 6 bulan ditemukan HbA 5-10% dan waktu lahir 30%. Menginjak
usia 6-12 bulan Hb sudah memperlihatkan gambaran Hb dewasa yaitu HbA1 dan
HbA2 dan sedikit HbF
Lokus α β γ δ
Genotip α/α β/β γ/γ δ/δ
Polipetida
yang terbentuk

α β γ δ
Hb yang
terbentuk
α2β2 α2γ2 α2δ2
(HbA1) (HbF) (HbA2)

12
Struktur kimia hemoglobin memungkinkan molekul hemoglobin memiliki
kemampuan untuk mengikat oksigen secara reversible. Zat besi dalam molekul
heme secara langsung berfungsi sebagai pengikat oksigen. Hemoglobin memiilki
struktur kuartener empat rantai polipeptida, masing-masing dengan satu tempat
pegikatan oksigen. Sehingga satu molekul hemoglobin dapat mengikat 4 molekul
oksigen.

13
THALASEMIA
Thalasemia adalah salah satu dari penyakit genetik yang diwariskan dari
orang tua kepada anaknya dimana terjadi kelainan sintesis hemoglobin yang
heterogen akibat pengurangan produksi satu atau lebih rantai globin yang
menyebabkan ketidak seimbangan produksi rantai globin.
II.A. SEJARAH
Sejarah thalasemia dimulai di eropa, dimana seorang peneliti bernama
Riettedan Wintrobe mendeskripsikan mengenai adanya anemia mikrositik
hipokrom yang tak terjelaskan pada anak-anak keturunan itali dan dilaporkan
adanya anemia ringan pada kedua orangtua dari anak-anak yang mengidap anemia
tersebut. Pada saat yang bersamaan, seorang dokter spesialis anak, Thomas
Cooley juga mendeskripsikan suatu tipe anemia berat pada anak-anak yang
berasal dari italia dimana beliau menemukan adanya nukleasi sel darah merah
yang masif pada sapuan apus darah tepi yang semula diduga anemia eritroblastik.
Namun tak lama, Cooley menyadari bahwa eritoblastik tidak spesifik pada temuan
ini dan temuan ini sangat mirip dengan kelainan darah yang ditemukan oleh
Riettedan. Sehingga kelainan darah ini dinyatakan sebagai bentuk homozigot dari
anemia hipokrom mikrositik yang kemudian diberi labelisasi sebagai thalassemia
mayor sedangkan bentuk ringannya dinamakan thalassemia minor. Kata
thalassemia berasal dari bahasa yunani yaitu thalassa yang berarti “laut” dan emia
yang berarti “berhubungan dengan darah”.

II.B. EPIDEMIOLOGI
WHO (2006) meneliti kira-kira 5% penduduk dunia adalah carrier dari
300-400 ribu bayi thalassemia yang baru lahir pertahunnya. Frekuensi gen
thalassemia di Indonesia berkisar 3-10%. Berdasarkan angka ini, diperkirakan
lebih 2000 penderita baru dilahirkan setiap tahunnya di Indonesia. Salah satu RS
di Jakarta, sampai dengan akhir tahun 2003 terdapat 1060 pasien thalassemia
mayor yang berobat jalan di Pusat Thalassemia Departemen Anak FKUI-RSCM
yang terdiri dari 52,5 % pasien thalassemia β homozigot, 46,2 % pasien
thalassemia HbE, serta thalassemia α 1,3%. Sekitar 70-80 pasien baru, datang tiap

14
tahunnya. Fakta ini mendukung thalasemia sebagai salah satu penyakit turunan
yang terbanyak dan menyerang hampir semua golongan etnik dan terdapat di
seluruh negara di dunia termasuk Indonesia.

II.C. PATOFISIOLOGI
Talasemia merupakan salah satu bentuk kelainan genetik hemoglobin yang
ditandai dengan kurangnya atau tidak adanya sintesis satu rantai globin atau lebih,
sehingga terjadi ketidak seimbangan jumlah rantai globin yang terbentuk. Mutasi
gen pada globin alfa akan menyebabkan penyakit alfa- thalassemia dan jika itu
terjadi pada globin beta maka akan menyebabkan penyakit beta-thalassemia
Secara genetik, gangguan pembentukan protein globin dapat disebabkan
karena kerusakan gen yang terdapat pada kromosom 11 atau 16 yang ditempati
lokus gen globin. Kerusakan pada salah satu kromosom homolog menimbulkan
terjadinya keadaan heterozigot, sedangkan kerusakan pada kedua kromosom
homolog menimbulkan keadaan homozigot (-/-).
Pada thalassemia homozigot, sintesis rantai menurun atau tidak ada
sintesis sama sekali. Ketidakseimbangan sintesis rantai alpha atau rantai non
alpha, khususnya kekurangan sintesis rantai β akan menyebabkan kurangnya
pembentukan Hb. Ketidakseimbangan dalam rantai protein globin alfa dan beta
disebabkan oleh sebuah gen cacat yang diturunkan. Untuk menderita penyakit ini,
seseorang harus memiliki 2 gen dari kedua orang tuanya. Jika hanya 1 gen yang
diturunkan, maka orang tersebut hanya menjadi pembawa/carier.
II.C.I. Thalasemia beta
Secara biokimia kelainan yang paling mendasar adalah menurunnya
biosintesis dari unit b globin pada Hb A. Pada thalasemia β heterozigot, sintesis β
globin kurang lebih separuh dari nilai normalnya. Pada thalasemia β homozigot,
sintesis β globin dapat mencapai nol. Karena adanya defisiensi yang berat pada
rantai β, sintesis Hb A total menurun dengan sangat jelas atau bahkan tidak ada,
sehingga pasien dengan thalasemia β homozigot mengalami anemia berat. Sebagai
respon kompensasi, maka sintesis rantai γ menjadi teraktifasi sehingga

15
hemoglobin pasien mengandung proporsi Hb F yang meningkat. Namun sintesis
rantai γ ini tidak efektif dan secara kuantitas tidak mencukupi.
Pada thalasemia β homozigot, sintesis rantai α tidak mengalami perubahan
dan tidak mampu membentuk Hb tetramer. Ketidak-seimbangan sintesis dari
rantai polipeptida ini mengakibatkan kelebihan adanya rantai α bebas di dalam sel
darah merah yang berinti dan retikulosit. Rantai α bebas ini mudah teroksidasi.
Mereka dapat beragregasi menjadi suatu inklusi protein (haeinz bodys),
menyebabkan kerusakan membran pada sel darah merah dan destruksi dari sel
darah merah imatur dalam sumsum tulang sehingga jumlah sel darah merah matur
yang diproduksi menjadi berkurang sehingga sel darah merah yang beredar
menjadi kecil, terdistorsi, dipenuhi oleh inklusi α globin, dan mengandung
komplemen hemoglobin yang menurun dan memberikan gambaran dari Anemia
Cooley/anemia mikrositik hipokrom yaitu hipokromik, mikrosisitk dan
poikilositik.
Sel darah merah yang sudah rusak tersebut akan dihancurkan oleh limpa,
hepar, dan sumsum tulang, menggambarkan komponen hemolitik dari penyakit
ini. Sel darah merah yang mengandung jumlah Hb F yang lebih tinggi mempunyai
umur yang lebih panjang.
Anemia yang berat terjadi akibat adanya penurunan oksigen carrying
capacity dari setiap eritrosit dan tendensi dari sel darah merah matur (yang
jumlahnya sedikit) mengalami hemolisa secara prematur.
Eritropoetin meningkat sebagai respon adanya anemia, sehingga sumsum-
sumsum tulang dipacu untuk memproduksi eritroid prekusor yang lebih banyak.
Namun mekanisme kompensasi ini tidak efektif karena adanya kematian yang
prematur dari eritroblas. Hasilnya adalah suatu ekspansi sumsum tulang yang
masif yang memproduksi sel darah merah baru.
Sumsum tulang mengalami ekspansi secara masif, menginvasi bagian
kortikal dari tulang, menghabiskan sumber kalori yang sangat besar pada umur-
umur yang kritis pada pertumbuhan dan perkembangan, mengalihkan sumber-
sumber biokimia yang vital dari tempat-tempat yang membutuhkannya dan
menempatkan suatu stress yang sangat besar pada jantung. Secara klinis terlihat

16
sebagai kegalan dari pertumbuhan dan perkembangan, kegagalan jantung high
output, kerentanan terhadap infeksi, deformitas dari tulang, fraktur patologis, dan
kematian di usia muda tanpa adanya terapi transfusi.
Jika seseorang memiliki 1 gen beta globin normal, dan satu lagi gen yang sudah
termutasi, maka orang itu disebut carier/trait.

Gambar diatas menunjukkan bahwa kedua orangtua merupakan carier/trait. Maka


anaknya 25% normal, 50% carier/trait, 25% mewarisi 2 gen yang termutasi
(thalasemia mayor).

II.C.II. Thalasemia alpha


Rantai globin yang berlebihan pada thalasemia α adalah rantai γ dan yang
kurang atau hilang sintesisnya dalah rantai α. Rantai γ bersifat larut sehingga
mampu membentuk hemotetramer yang meskipun relatif tidak stabil, mampu
bertahan dan memproduksi molekul Hb yang lain seperti Hb Bart (γ4) dan Hb H
(β4). Perbedaan dasar inilah yang mempengaruhi lebih ringannya manisfestasi
klinis dan tingkat keparahan penyakitnya dibandingkan dengan thalasemia beta.
Patofisiologi thalasemia α sebanding dengan jumlah gen yang terkena.
Pada thalasemia α homozigot (-/-) tidak ada rantai α yang diproduksi. Pasiennya

17
hanya memiliki Hb Bart’s yang tinggi dengan Hb embrionik. Meskipun kadar Hb
nya tinggi tapi hampir semuanya adalah Hb Bart’s sehingga sangat hipoksik yang
menyebabkan sebagian besar pasien lahir mati dengan tanda hipoksia intrauterin.
Bentuk thalasemia α heterozigot (α0 dan -α+) menghasilkan
ketidakseimbangan jumlah rantainya tetapi pasiennya dapat mampu bertahan
dengan HbH dimana kelainan ini ditandai dengan adanya anemia hemolitik karena
HbH tidak bisa berfungsi sebagai pembawa oksigen.
Mutasi yang terjadi pada gen alpha globin disebut delesi.

II.D. KLASIFIKASI THALASEMIA DAN PRESENTASI KLINISNYA


Thalassemia α / minor
Penghapusan 4 gen- hydrops fetalis
Penghapusan 3 gen- penyakit Hb H
Penghapusan 2 gen ( trait thalasemia α° )
Penghapusan 1 gen ( trait thalasemia α+ )
Thalassemia β
Beta globin memiliki 2 gen pada kromosom 11. Adanya gen abnormal pada 1 gen

β, disebut dengan beta thalassemia trait.

Pembagian thalassemia beta

18
1 gen abnormal Thalassemia beta trait

(HETEREZIGOT)
2 gen abnormal Thalassemia intermedia (disebabkan

jenis lesi genetik)

Thalassemia beta mayor “ anemia

ccoley” (HOMOZIGOT)

II.D.I. Thalasemia α

II.D.I.1. Thalasemia homozigot (α0)


Sindrom hidrops Hb Bart’s biasanya terjadi dalam rahim. Bila hidup hanya
dalam waktu pendek. Gambaran klinisnya adalah hidrops fetalis dengan edema
permagna dan hepatosplenomegali. Kadar Hb 6-8 g/dl dengan eritrosit
hipokromik dan beberapa berinti. Kadar Hb Bart’s 80% dan sisanya Hb portland.
Biasanya keadaan ini disertai toksemia gravidarum, perdarahan post partum dan
masalah karena hipertrofi plasenta. Pada pemeriksaan otopsi memperlihatkan
adanya peningkatan kelainan bawaan. Beberapa bayi berhasil diselamatkan
dengan transfusi tukar dan berulang serta pertumbuhannya bisa mencapai normal.

Gambar Hidrops fetalis :

19
II.D.I.2. HbH disease
Ditandai anemia mikrositik hipokrom yang cukup berat (7-11 g/dL) dan
splenomegali sedang dimana Hb H (β4) dapat dideteksi dalam sel darah merah
dengan elektroforesis atau pada sediaan retikulosit. Pada kehidupan janin
ditemukan Hb Bart (γ4). HbH bisa diketahui dengan bantuan brilian cresil blue
yang akan menyebabkan pengendapan dan pembentukkan badan inklusi. Setelah
splenektomi, umumnya bentukkan ini makin banyak di eritrosit. Pada beberapa
kasus, penderita bisa tergantung transfusi sedangkan sebagian besar kasus
umumnya penderita bisa tumbuh normal tanpa transfusi.

20
II.D.I.3. Karier thalasemia α
Bisa berasal dari thalasemia α0 (-/αα) atau thalasemia (-α/-α). Biasanya
asimptomatis, didapatkan anemia mikrositik hipokrom ringan dengan penurunan
MCH dan MCV yang bermakna. Hb elektroforesisn normal dan pasien hanya bisa
didiagnosis dengan analisa DNA. Pada masa neonatus, Hb Bart’s 5-10 % tapi
tidak didapatkan HbH pada masa dewasa dan kadang bisa didapatkan inklusi pada
eritrosit karier thalasemia α.
II.D.I.4. Karier thalasemia α silent
Bentuk heterozigot karier thalasemia α+ (–α/αα). Memiliki gambaran
darah yang abnormal tetapi dengan elektroforesis normal. Saat lahir 50% kasus
memiliki Hb Bart’s 1-3% tapi tidak adanya Hb Bart’s tidak menyingkirkan
diagnosa kasus ini.

II.D.II. Thalasemia β
Hampir semua anak dengan thalasemia β homozigot dan heterozigot
memperlihatkan gejala klinis sejal lahir yaitu gagal tumbuh, infeksi berulang,
kesulitan makan, kelemahan umum. Bayi tampak pucat dan terdapat
splenomegali. Bila menerima transfusi berulang, pertumbuhannya bisa normal
hingga pubertas.
Pada anak yang mendapat transfusi dan terapi chelasi (pengikat besi), anak
bisa mencapai pubertas dan terus mencapai usia dewasa dengan normal. Bila
terapi chelasi tidak adekuat, secara bertahap akan terjadi penumpukkan besi yang
efeknya mulai nampak pada dekade pertama. Adolscent growth spurt tidak akan
tercapai, komplikasi ke hati, endokrin, dan jantung.
Gambaran klinis pada pasien yang tidak mendapat terapi adekuat yaitu :
• Facies cooley
Terjadi keaktifan sumsum tulang yang luar biasa pada tulang muka dan
tulang tengkorak hingga nengakibatkan perubahan perkembangan tulang tersebut
dan umumnya terjadi pada anak usia lebih dari 2 tahun

21
• Pucat yang berlangsung lama
Merupakan gejala umum pada penderita thalassemia, yang berkaitan
dengan anemia berat. Penyebab anemia pada thalassemia bersifat primer dan
sekunder. Primer adalah berkurangnya sintesis Hb A dan eritropoesis yang tidak
efektif disertai penghancuran sel-sel eritrosit intramedular. Sedangkan yang
sekunder mengakibatkan hemodilusi, dan destruksi eritrosit oleh sistem
retikuloendotelial dalam limpa dan hati.

• Perut membuncit
Pada anak yang besar tampak perut yang membuncit akibat pembesaran
hati dan limpa. Hati dan limpa membesar akibat dari hemopoisis ekstrameduler
dan hemosiderosis. Dan akibat dari penghancuran eritrosit yang berlebihan itu
dapat menyebabkan terjadinya peningkatan biliribin indirek, sehingga
menimbulkan kuning pada penderita thalassemia dan kadang ditemui
trombositopenia.

22
• Gagal tumbuh dan mudah terkena infeksi
• Karena pendeknya umur eritrosit menyebabkan hiperurikemi dan gout sekunder
sering timbul
• Sering terjadi gangguan perdarahan akibat trombositopenia maupun kegagalan
hati akibat penimbunan besi, infeksi dan hemapoiesis ekstramedular.
• Bila pasien ini mencapai pubertas, akan timbul komplikasi akibat penimbunan
besi yaitu Keterlambatan menarke (pada anak perempuan) dan gangguan
perkembangan sifat seks sekunder akibat dari hemosiderosis yang terjadi pada
kelenjar endokrin. Selain pada kelenjar endokrin, hemosiderosis pada pankreas
dapat menyebabkan diabetes mellitus. Siderosis miokardium menyebabkan
komplikasi ke jantung.

Temuan Laboratorium
• Kelainan morfologi eritrosit pada penderita thalassemia-β° yang tidak ditransfusi
adalah ekstrem. Disamping hipokromia dan mikrositosis berat, banyak ditemukan
poikilositosit yang terfragmentasi, aneh (bizarre) dan sel target. Sejumlah besar
eritrosit yang berinti ada di darah tepi, terutama setelah splenektomi. Inklusi
intraeritrosit, yang merupakan presipitasi dari kelebihan rantai α, juga terlihat
pasca splenectomi. Kadar Hb turun secara cepat menjadi kurang dari 5 g/dL
kecuali jika transfusi diberikan. Kadar bilirubin serum tidak terkonjugasi
meningkat. Kadar serum besi tinggi, dengan saturasi kapasitas pengikat besi.
Gambaran biokimiawi yang nyata adalah adanya kadar Hb F yang sangat tinggi
dalam eritrosit. Senyawa dipiridol menyebabkan urin berwarna coklat gelap,
terutama pasca splenektomi.
Laboratorium
 Kadar hemoglobin berkisar antara 3-9 gr/dl.
 Apusan darah tepi : mikrositik, hipokrom, anisositosis, poikilositosis,
polikromasi, sel target, normoblast, fragmentosit,basophilic stipling.
 Retikulositosis.
 Indeks eritrosit : MCV, MCH, dan MCHC menurun.
 Sumsum tulang : hyperplasia eritroid dan cadangan besi meningkat.

23
 Red cell survival memendek.
 Tes fragilitas osmotic : eritrosit lebih tahan terhadap larutan salin
hipotonik.
 Elektroforesis hemoglobin : Hb F meningkat 10-98 %. Hb A bisa ada
(pada β+) , bisa tidak ada (pada β0). HbA2 sangat bervariasi kadang
normal, meningkat atau rendah.
 Bilirubin indirek meningkat
 Ferritin serum meningkat
 Saturasi transferin meningkat.

II.D.II. Karier thalasemia β


Hampir tanpa gejala, umumnya dengan anemia ringan dan jarang
didapatkan splenomegali. Adanya penurunan ringan kadar Hb dengan penurunan
MCV dan MCH yang bermakna.
II.D.III. Intermedia thalasemia
Sindroma klinik yang disebabkan oleh sejenis lesi genetik. Anemia
hipokrom mikrositik ( Hb 7-10 gr/dl ), hepatomegali dan splenomegali, deformitas
menurun, kelebihan beban besi ( iron over load ).

II.E. PEMERIKSAAN PENUNJANG


Pemeriksaan laboratorium yang perlu untuk menegakkan diagnosis thalasemia
ialah:
1. Darah
Pemeriksaan darah yang dilakukan pada pasien yang dicurigai menderita
thalasemia adalah
 Darah rutin
Kadar hemoglobin menurun. Dapat ditemukan peningkatan jumlah lekosit,
ditemukan pula peningkatan dari sel PMN. Bila terjadi hipersplenisme akan
terjadi penurunan dari jumlah trombosit.

24
 Hitung retikulosit
Hitung retikulosit meningkat antara 2-8 %.
 Gambaran darah tepi
Anemia pada thalassemia mayor mempunyai sifat mikrositik hipokrom.
Pada gambaran sediaan darah tepi akan ditemukan retikulosit, poikilositosis, tear
drops sel dan target sel.

 Serum Iron & Total Iron Binding Capacity


Kedua pemeriksaan ini dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan
anemia terjadi karena defisiensi besi. Pada anemia defisiensi besi SI akan
menurun, sedangkan TIBC akan meningkat.
 LFT
Kadar unconjugated bilirubin akan meningkat sampai 2-4 mg%. bila angka
tersebut sudah terlampaui maka harus dipikir adanya kemungkinan hepatitis,
obstruksi batu empedu dan cholangitis. Serum SGOT dan SGPT akan meningkat
dan menandakan adanya kerusakan hepar. Akibat dari kerusakan ini akan
berakibat juga terjadi kelainan dalam faktor pembekuan darah.

2. Elektroforesis Hb
Diagnosis definitif ditegakkan dengan pemeriksaan eleltroforesis
hemoglobin. Pemeriksaan ini tidak hanya ditujukan pada penderita thalassemia
saja, namun juga pada orang tua, dan saudara sekandung jika ada. Pemeriksaan ini

25
untuk melihat jenis hemoglobin dan kadar Hb A2. petunjuk adanya thalassemia α
adalah ditemukannya Hb Barts dan Hb H. Pada thalassemia β kadar Hb F
bervariasi antara 10-90%, sedangkan dalam keadaan normal kadarnya tidak
melebihi 1%.

3. Pemeriksaan sumsum tulang


Pada sumsum tulang akan tampak suatu proses eritropoesis yang sangat
aktif sekali. Ratio rata-rata antara myeloid dan eritroid adalah 0,8. pada keadaan
normal biasanya nilai perbandingannya 10 : 3.
4. Pemeriksaan roentgen
Ada hubungan erat antara metabolisme tulang dan eritropoesis. Bila tidak
mendapat tranfusi dijumpai osteopeni, resorbsi tulang meningkat, mineralisasi
berkurang, dan dapat diperbaiki dengan pemberian tranfusi darah secara berkala.
Apabila tranfusi tidak optimal terjadi ekspansi rongga sumsum dan penipisan dari
korteknya. Trabekulasi memberi gambaran mozaik pada tulang. Tulang
terngkorak memberikan gambaran yang khas, disebut dengan “hair on end” yaitu
menyerupai rambut berdiri potongan pendek pada anak besar.

26
II.F. DIAGNOSIS BANDING
Thalassemia sering kali didiagnosis salah sebagai anemia defisiensi Fe, hal
ini disebabkan oleh karena kemiripan gejala yang ditimbulkan, dan gambaran
eritrosit mikrositik hipokrom. Namun kedua penyakit ini dapat dibedakan, karena
pada anemia defisiensi Fe didapatkan :
• Pucat tanpa organomegali
• Tidak tedapat besi dalam sumsum tulang
• Bereaksi baik dengan pengobatan dengan preparat besi

II.G. PENGOBATAN
Prinsip pengobatan pada pasien talasemia adalah :
 terapi tranfusi darah untuk mencegah komplikasi dari anemia kronis
 pencegahan dari resiko kelebihan besi akibat terapi transfusi
 penatalaksanaan splenomegali
Pada anak dengan thalassemia mayor beta membutuhkan pelayanan kesehatan
yang terus menerus seumur hidupnya.

A. Tranfusi darah
Pemberian tranfusi darah ditujukan untuk mempertahankan dan
memperpanjang umur atau masa hidup pasien dengan cara mengatasi komplikasi
anemia, memberi kesempatan pada anak untuk proses tumbuh kembang,
memperpanjang umur pasien. Terapi tranfusi darah dimulai pada usia dini ketika
ia mulai menunjukkan gejala simtomatik. Transfusi darah dilakukan melalui
pembuluh vena dan memberikan sel darah merah dengan hemoglobin normal.
Untuk mempertahankan keadaan tersebut, transfusi darah harus dilakukan secara
rutin karena dalam waktu 120 hari sel darah merah akan mati. Khusus untuk
penderita beta thalassemia intermedia, transfuse darah hanya dilakukan sesekali
saja, tidak secara rutin. Sedangkan untuk beta thalssemia mayor (Cooley’s
Anemia) harus dilakukan secara teratur

27
Tranfusi darah diberikan bila Hb anak < 7 gr/dl yang diperiksa 2x berturut
dengan jarak 2 minggu dan bila kadar Hb > 7 gr/dl tetapi disertai gejala klinis
seperti Facies Cooley, gangguan tumbuh kembang, fraktur tulang curiga adanya
hemopoisis ekstrameduler. Pada penanganan selanjutnya, transfusi darah
diberikan Hb ≤8 gr/dl sampai kadar Hb 11-12 gr/dl. Darah diberikan dalam
bentuk PRC, 3 ml/kgBB untuk setiap kenaikan Hb 1 g/dL.

B. Kelasi Besi
Pasien thalasemia dengan terapi tranfusi biasanya meninggal bukan karena
penyakitnya tapi karena komplikasi dari tranfusi darah tersebut. Komplikasi
tersebut adalah penumpukan besi diberbagai organ.
Desferoxamine diberikan setelah kadar feritin serum sudah mencapai 1000
mg/L atau saturasi transferin sudah mencapai 50 %, atau sekitar setelah 10 -20
kali transfusi. Pemberian dilakukan secara subkutan melalui pompa infus dalam
waktu 8-12 jam dengan dosis 25-35 mg/kg BB/hari, minimal selama 5 hari
berturut-turut setiap selesai transfusi darah. Dosis desferoxamine tidak boleh
melebihi 50 mg/kg/hari. Evaluasi teratur terhadap toksisitas desferoxamin
direkomendasikan pada semua pasien yang mendapat terapi ini.
Terapi thalassemia terdiri atas terapi medikamentosa, terapi pembedahan,
dan terapi suportif.11 Terapi medikamentosa adalah pemberian iron chelating
agent (desferoxamine), vitamin C, asam folat, dan vitamin E. Desferoxamine
diberikan setelah kadar feritin serum sudah mencapai 1000 mg/L atau kadar
transferin lebih dari 50% atau sekitar 10-20 kali transfusi. Desferoxamin (DFO)
adalah agent chelation yang digunakan pada chelation terapi, merupakan
kompleks hidroksilamin dengan afinitas tinggi terhadap zat besi. Pemberian DFO
akan mencapai hasil paling optimal adalah secara parenteral, terbaik melalui
subkutan karena DFO tidak diserap di dalam GIT. Dosis DFO yang diberikan
adalah 30-40 mg/kgBB dalam 8-12 jam saat anak sedang tidur selama 5 -6 hari
seminggu.

28
C. Suplemen Asam Folat
Asam folat adalah vitamin B yang dapat membantu pembangunan sel-sel darah
merah yang sehat. Suplemen ini harus tetap diminum di samping melakukan
transfusi darah ataupun terapi khelasi besi.. Asam Folat à 2x1 mg/hari untuk
memenuhi kebutuhan yang meningkat.

D. Splenektomi
Indikasi :
 limpa yang terlalu besar sehingga membatasi gerak pasien, menimbulkan
peningkatan tekanan intra-abdominal dan bahaya terjadinya ruptur
 meningkatnya kebutuhan tranfusi yang melebihi 250ml/kgBB dalam 1
tahun terakhir

D. Transplantasi sumsum tulang


Transplantasi sumsum tulang untuk talasemia pertama kali dilakukan tahun 1982.
Transplantasi sumsum tulang merupakan satu-satunya terapi definitive untuk
talasemia. Jarang dilakukan karena mahal dan sulit.

29
II.H. SKRINING DAN PENCEGAHAN
II.H.1 SKRINING
Bila populasi tersebut hendak memiliki pasangan, dilakukan skrining
premarital. Penting sekali menyediakan program konselin verbal dan tertulis
mengenai hasil skring.
Alternatif lain, memeriksakan setiap wanita hamil muda berdasarkan ras.
Skrining yang efektif adalah melalui eritrosit. Bila MCV dan MCH sesuai
gambaran thalasemia, perkiraan kadar HbA harus diukur. Bila kadarnya normal,
pasien dikirim ke pusat yang menganalisis gen. Penting untuk memeriksa Hb
elektroforesa pada kasus-kasus ini untuk mencari kemungkinan variasi struktural
Hb.

II.H.2 PENCEGAHAN
Ada 2 pendekatan untuk menghindari thalasemia, yaitu :
• Karena karier thalasemia β bisa diketahui dengan mudah, skrining populasi dan
konseling tentang pasangan bisa dilakukan. Bila heterozigot menikah, 1 dari 4
anak mereka bisa menjadi homozigot atau gabungan heterozigot
• Bila ibu heterozigot sudah diketahui sebelum lahir, pasangan bisa diperiksa dan
bila termasuk karier, pasangan tersebut ditawari diagnosis prenatal dan terminasi
kehamilan pada fetus dengan thalasemia β berat

30
BAB IV
ANALISA KASUS
Diagnosis thalassemia ditegakkan berdasarkan dari anamnesa,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yang di lakukan.Secara klinis,
thalassemia dibagi menjadi dua kelompok besar, yakni thalassemia alpha dan
thalassemia beta. Thalassemia alpha disebabkan oleh penghilangan (delesi) dari
gen yang ada pada globin alpha, dimana secara normal terdapat 4 buah gen globin
alpha. Berat ringannya thalassemia alpha secara klinis ditentukan oleh jumlah gen
yang tidak ada atau tidak aktif. Thalassemia alpha digolongkan menjadi 4 jenis,
yakni silent carrier state, thalassemia alpha trait, hemoglobin H disease, dan
thalassemia alpha major. Thalassemia beta merupakan kelainan yang disebabkan
oleh kurangnya produksi protein beta, yang kemudian digolongkan menjadi 3
jenis, yakni thalassemia beta trait (minor), thalassemia intermedia, dan
thalassemia major (Cooley’s anemia).
Pada silent carrier state, gejala yang timbul tidak terlalu berat karena
hanya gen alpha yang tidak aktif, yang akan menunjukkan hasil Hb elektroforesis
normal pada semua trait alpha thalassemia sehingga harus dikonfirmasi dengan
adanya abnormalitas hematologik pada kedua orang tua. Karakteristik thalassemia
alpha trait antara lain derajat anemia sedang dengan jumlah sel darah merah yang
rendah, yang disebabkan oleh delesi pada 2 gen alpha. Pada hemoglobin H
disease, dimana terdapat delesi pada 3 gen alpha, gejala anemia yang muncul
adalah anemia berat disertai dengan ikterus, splenomegali dan jumlah sel darah
merah yang abnormal. Pemeriksaan darah tepi pada hemoglobin H disease akan
menunjukkan adanya gambaran Heinz bodies. Thalassemia alpha major
disebabkan oleh delesi lengkap pada keseluruhan gen alpha globin dan akan
bermanifestasi sebagai hydrops fetalis. 8,9
Thalassemia beta dikaitkan dengan gen beta globin dengan kondisi
signifikan pada kelompok ini adalah Hb E/beta thalassemia dengan manifestasi
klinis sedang hingga berat yakni thalassemia intermedia dan thalassemia beta
major. Pada thalassemia beta trait (minor), ditemukan sel darah merah abnormal
yang abnormal dan hasil Hb elektroforesis abnormal yakni peningkatan level Hb

31
A2, Hb F atau keduanya, gambaran hipokrom mikrositer, sel target dan sel
basofilik stippling pada pemeriksaan darah tepi. Thalassemia intermedia akan
menunjukkan derajat anemia sedang dan pada pasien dengan thalassemia media
tidak membutuhkan transfusi darah secara rutin. Pada thalassemia beta major
(Cooley’s anemia), gejala klinis yang muncul adalah anemia berat yang sangat
bergantung pada transfusi darah, splenomegali masif, deformitas tulang, retardasi
pertumbuhan, dan wajah khas thalassemia. Pemeriksaan darah tepi pada pasien ini
akan menunjukkan gambaran hipokrom mikrositer yang berat, anisositosis, sel
darah merah berfragmen, polikromasia, sel darah merah berinti dan leukosit
immatur
Pada kasus telah dilaporkan anak laki- laki usia 8 tahun, dengan berat
badan 20 kg dan tinggi badan 110 cm, dari anamnesis /alloanamnesis 2 hari
SMRS anak mengalami lemas, letih dan lesu dan wajah os terlihat pucat. Sejak ±3
hari SMRS os tidak nafsu makan,. sesak (-), pilek (-), mual (-), muntah (-) ,nyeri
tenggorok(-) BAK dan BAB biasa tidak ada keluhan. Dari klinis saat datnag ke
RS. Abdul Manap os terlihat pucat dan pada pemeriksaan fisisik terdapat
pembesaran organ (hepatomegali (+), dan splenomegali (+)).hasil laboratorium
didapatkan Hb: 7 gr/dl.pada pemeriksaan MDT juga didapatkan anemia
hipokromikrositer dan analisa Hb ditemukan penigkatan kadar Hba2 dan HbF
Berdasarkan klasifikasi thalassemia di atas, pasien memiliki gejala lemas
dan klinis organomegali ditemukan hepatomegali dan lien yang membesar, hasil
laboatorium didapatkan Hb: 7 gr/dl.pada pemeriksaan MDT juga didapatkan
anemia hipokromikrositer anisositosis, sel darah merah berfragmen, polikromasia,
sel darah merah berinti dan pada kasus ini sesuai teori Pada thalassemia beta
major (Cooley’s anemia), gejala klinis yang muncul adalah anemia berat yang
sangat bergantung pada transfusi darah, splenomegali masif, deformitas tulang,
retardasi pertumbuhan, dan wajah khas thalassemia. Pemeriksaan darah tepi pada
pasien ini akan menunjukkan gambaran hipokrom mikrositer yang berat,
anisositosis, sel darah merah berfragmen, Maka dapat di simpulkan pasien
mengalami thalasemia mayor disini thalasemia minor dapat disingkirkan karena
Pasien dengan thalassemia minor jarang menunjukkan kelainan fisik, misalnya

32
pucat dan splenomegali karena anemia yang terjadi tidak pernah berat, dan pada
sebagian besar kasus Hb berkisar antara 9-10 gram/dL.
Tatalaksana yang akan diberikan pada os yaitu transfusi darah PRC 1 x
200 cc, Furosemid 10mg/transfusi Terapi yang biasa digunakan pada pasien
dengan thalassemia adalah terapi suportif, yakni transfusi sel darah merah (PRC).
Transfusi bertujuan untuk menyediakan suplai sel darah merah yang sehat bagi
penderita untuk sementara waktu. Transfuse darah yang teratur perlu dilakukan
untuk mempertahankan kadar hemoglobin penderita di atas 10 gr/dL setiap saat.
Hal ini membutuhkan 2-3 unit PRC tiap 4-6 minggu. Hemoglobin dalam kadar ini
akan memberikan supresi sumsum tulang yang adekuat, menurunkan tingkat
akumulasi besi, dan dapat mempertahankan pertumbuhan dan perkembangan
penderita. Pemberian darah dalam bentuk PRC, 3ml/kgBB untuk setiap kenaikan
hemoglobin 1 gr/dL. 11
Terapi yang digunakan pada pasien ini adalah terapi transfusi. Jenis
transfusi yang diberikan adalah PRC. Pasien dengan thalassemia membutuhkan
terapi medis, dan transfusi darah merupakan terapi utama yang efektif untuk
memperpanjang masa hidup. Transfusi darah mencegah komplikasi akibat
anemia, eliminasi eritropoesis yang inefektif, pencapaian pertumbuhan dan
perkembangan yang normal, serta memperpanjang masa hidup pasien. Transfusi
darah sebaiknya diberikan sejak anak-anak, yakni saat gejala masih simptomatik
dan sebagai penilaian kemampuan anak mempertahankan kadar Hb sebelum
mendapat transfusi. 9
Komplikasi akibat anemia berat dapat bermanifestasi menjadi intoleransi
terhadap aktivitas fisik, murmur jantung, bahkan tanda-tanda gagal jantung.
Retardasi pertumbuhan adalah hal yang umum ditemukan, bahkan pada pasien
dengan terapi chelation terkontrol. Pasien dengan overload zat besi dapat
menunjukkan gejala endokrinopati akibat deposit zat besi. Diabetes dan penyakit
tiroid atau gangguan kelenjar adrenal pernah dilaporkan terjadi pada pasien-pasien
tersebut. Pasien dengan anemia berat yang tidak mendapat transfusi, dapat terjadi
neuropatiataupun paralisis akibat kompresi pada spinal atau nervus perifer akibat
massa hematopoetik ekstrameduler. 10

33
Pada pasien ini tidak ditemukan komplikasi berupa intoleransi fisik
maupun retardasi pertumbuhan. Hal ini disebabkan oleh terapi transfusi yang
adekuat sehingga pasien tidak menimbulkan komplikasi pada pasien ini.prognosis
pada penyakit ini baik, bila ditangani dengan baik.

34
DAFTAR PUSTAKA

1. Ganie, A. 2005. Thalassemia : Permasalahan dan Penanganannya.


Universitas Sumatera Utara : Medan.
2. TIF. 2008. Guidelines for the Clinical Management of Thalassemia.
(online). (www.thallasemia.org.cy , diakses 20-Februari-2017)
3. Weatherall. D. 2001. Inherited haemoglobin disorders : an increasing
global health problem dalam Bulletin World Heatlh Organization. Vol ;
79, No. 8
4. TIF. 2005. Prevention of Thalassemias and Other Haemoglobin Disorder.
(online). (www.thalassemia.org.cy, diakses 20-februari-2017)
5. DepKes RI. 2007. Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2007. Depkes :
Jakarta.
6. Wikipedia. 2007. Thalassemia. (online). (www.wikipedia.org, diakses 20-
februari-2017)
7. Yayasan Thalassemia Indonesia. 2008. Tentang Thalassemia. (online).
(www.thalassemia-yti.or.id, diakses 20-februari2017)
8. Quirolo, Keith. Vichinsky, Elliott. 2004. Hemoglobin Disorders dalam
Behrman : Nelson Textbook of Pediatrics, 17th Edition. USA : Saunders
& Elsevier.
9. Yaish, Hassan M. 2009. Thalassemia. (online). (www.emedicine.com,
diakses 20-februari2017)
10. Permono, B. 2006. Thalassemia. (online). (www.pediatrik.com, diakses 18
februaril 2017)
11. Suyono S., 2001. Thalassemia dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid
II. Jakarta : FKUI.
12. Lanzkowsky, Philip. 2005. Manual Pediatric Hematology and Oncology
Fourth Edition. USA : Elsevier.
13. Sediaoetama, Achmad Djaeni. 2006. Ilmu Gizi untuk Mahasiswa dan
Profesi Jilid I. Jakarta : Dian Rakyat

35
36

Anda mungkin juga menyukai