Anda di halaman 1dari 5

Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN 2011 di Jakarta:

Konfilk Internal di Thailand Selatan Dalam Dilema ASEAN

Konflik yang berpuncak berlarut-larut di Thailand Selatan murni sebagai


masalah dalam negeri dan juga menurut Abisit “Ia mengatakan kerusuhan
tersebut hanya masalah domestic”.

Pembukaan konferensi bisnis, ASEAN-Uni Eropa, di Jakarta Convention Centre,


Kamis 5 Mei 2011. Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN.

Demikian disampaikan oleh Menteri Luar Negeri


Indonesia, Marty Natalegawa usai pembukaan konferensi
bisnis, ASEAN-Uni Eropa. Namun demikian, dia belum
bisa mengatakan bagaimana bentuk pembahasan itu.
"Saya tidak bisa mendahului apa yang akan dibahas oleh
kepala negara itu," kata Marty.

Menurut Marty, konflik Thailand dan Kamboja layak


dibahas dalam forum ini, karena memang menjadi
perhatian masyarakat ASEAN.

Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN akan membahas konflik perbatasan yang
terjadi antara Thailand dengan Kamboja. Konflik kedua negara itu sendiri, masih
berlangsung hingga kini.

Marty menambahkan, dalam KTT ASEAN ini tidak hanya membicarakan masalah
bidang politik, keamanan, sosial budaya, dan ekonomi. "Jadi ini keseluruhan dan
terutama ada juga nanti interaksi antar kepala negara ASEAN," kata dia.

Konflik soal perbatasan antara Thailad-Kamboja tak kunjung usai. Perseteruan dua
negara anggota ASEAN ini terus berlangsung, meskipun langkah perundingan yang
dimediasi oleh Indonesia telah ditempuh.

Pada akhir April yang lalu, pasukan Thailand dan Kamboja terlibat baku tembak di
wilayah perbatasan. Akibatnya, tak kurang dari 13 orang tewas akibat peristiwa
tersebut.

Menurut Mantan Menteri Luar Negeri RI Nur Hassan


Wirajuda mengatakan pada Selasa (3/5) tren yang
sedang terjadi di kawasan Timur Tengah dan Afrika
Utara sebaiknya dijadikan pelajaran untuk ASEAN.

Ia mengatakan, lebih baik memiliki proses pengaturan


demokratisasi dibanding mendapati "sudden death",
sebagaimana yang terjadi di kawasan Timteng dan
Afrika Utara.
Konflik Internal Dalam Dilema | Thailand Selatan
ASEAN telah memiliki fondasi yang baik untuk menjalani proses demokrasi, karena
sudah terkandung dalam Piagam ASEAN, dan pencapaian itu tergantung pada
pemerintah dan masyarakat sipil, katanya.

Sebelumnya, Hassan memaparkan perlunya proses dan pertemuan agar lebih


melibatkan masyarakat sipil di ASEAN, guna menentukan bagaimana pemerintah
dan masyarakat sipil dapat terfokus pada pengembangan demokrasi, HAM dan good
governance di ASEAN, salah satu prinsip yang terkandung dalam Piagam ASEAN.

"Karena dengan masyarakat yang lebih terbuka dan


demokratis, ASEAN memiliki kesempatan yang
terbuka lebar untuk membangun komunitas kawasan,"
kata Hassan, menyinggung fokus dari KTT ASEAN
tahun ini mengenai pencapaian Komunitas ASEAN
pada 2015.

Hassan juga mengatakan bahwa peran masyarakat


sipil tersebut tidak serta merta bermaksud mengganggu permasalahan dalam negeri
negara anggota ASEAN, melainkan untuk mengingatkan komitmen terhadap yang
terkandung dalam piagam ASEAN.

"Anda nanti ingatkan kepada Anda pemerintah komitmen mereka dalam


mempromosikan demokrasi, HAM dan `good-governance`, dan itu bukanlah
mengintervensi masalah dalam negeri mereka, tetapi mengingatkan terhadap
komitmen mereka," katanya.

ACSC/APF 2011 diikuti oleh 1.200 partisipan dari berbagai LSM di kesepuluh negara
anggota ASEAN. LSM yang tergabung mewakili perjuangan kesetaraan gender,
keadilan ekonomi, penegakan HAM termasuk hak kaum keterbatasan fisik, hak
buruh, serta perlindungan hak waria.

Namun demikian, sekali lagi ASEAN harus berhadapan


dengan ujian yang berat. Baru-baru ini telah terjadi kasus
pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di Thailand dalam
'Tragedi Tak Bai' dan 'Tragedi Kres Sik' sehingga sampai
sekarang masih berlaku 'hukum rimba'. Insiden yang
menimbulkan banyak korban tewas di kalangan warga
muslim Thailand selatan yang telah menewaskan hampir
5.000 orang disengsarakan berbagai aksi kekerasan yang
mengundang reaksi dunia internasional, yang meliputi
kecaman dari negara-negara di luar kawasan dan juga ungkapan keprihatinan dari
negara-negara anggota ASEAN atas kejadian tersebut. Serta munculnya eksodus
massa masyarakat muslim selatani yang terasanya terancam oleh pemerintahan
Thailand, sehingga 131 warga Muslim yang melarikan diri ke Malaysia yang tinggal
di bawah wewenang Komisi Tinggi PBB untuk Urusan Pengungsi atau United
Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR) yang menangani kasus ini.
Berlaku kasus penyeksaan oleh aparat tentera kerajaan terhadap tahanan di propinsi
selatan yang muslim hingga tewas.

Konflik Internal Dalam Dilema | Thailand Selatan


 

Peperangan dan serangan yang telah menjadi lebih berani dalam beberapa bulan
terakhir, termasuk bom mobil dan serangan terhadap pangkalan militer atau pos-pos
di propinsi Selatan.

Tercetus 'Obor Revolusi' oleh Pejuang Kemerdekaan Patani pada 2004 di tiga


provinsi selatan, Yala, Pattani, Narathiwat, lebih dari 4.800 orang di wilayah itu,
termasuk lebih dari 200 tentara dan 200 polis tewas, dan sekitar 7.000 lainnya
terluka di lebih dari 10.000 insiden kekerasan.

Menunjuk angka secara statistik luka-luka dan kematian konflik di di bahgian


Thailand Selatan yang lebih serius di bandingkan konflik perbatasan Thailand
dengan Kemboja. 

Masyarakat Melayu muslim di Selatan Thaialnd  memang berbeda secara budaya


dan latar belakang religiusnya dibanding etnis Thai yang umumnya beragama
Budha. Majority warga di keempat provinsi tersebut beretnis Melayu dan beragama
Islam. Kerusuhan demi kerusuhan masih terjadi. Jelas, selatan Thailand tak lagi
masuk hitungan kota yang damai. Tak salah jika sebagian warga memilih pergi.
Sementara data departemen dalam negeri menunjukkan, pada akhir 2004, sekitar
11.609 warga telah keluar dari empat provinsi paling selatan Thailand ini. Demikian
dituturkan Walikota Yala, Pongsak Yingchoncharoen. “Kami tak pernah mengalami
eksodus massal seperti ini sebelumnya,” ujarnya. (Republika, 28 Mei 2005)

Di tengah upaya diplomasi oleh negara-negara ASEAN untuk meredam kecaman


dan penolakan terhadap Myanmar atas kasus pelanggaran HAM dan prinsip-prinsip
demokrasi, insiden penganiayaan di Thailand selatan tersebut memperberat beban
ujian bagi ASEAN, terutama bagi kelangsungan dan relevansi dari pembentukan
Comunity Keamanan ASEAN (ASEAN Security Community).

Kasus yang terjadi di Thailand Selatan merupakan satu dari sekian banyak kasus
konflik internal yang menimbulkan jatuhnya korban sipil.
Fakta tersebut menunjukkan bahwa pembentukan
Comunity Keamanan ASEAN belum dapat diharapkan
untuk mengakomodasi berbagai konflik yang terjadi di
kawasan Asia Tenggara.

Keberhasilan dari berbagai penyelesaian konflik secara


damai antarnegara anggota ASEAN tidak dapat
dimungkiri menunjukkan indikasi keberhasilan arah dari
pembentukan komuniti keamanan dalam mencegah
eskalasi konflik. Namun, di sisi lain, potensi internal
konflik di kawasan Asia Tenggara masih tidak terjamah
oleh prakarsa-prakarsa kerja sama ASEAN, sedangkan
berbagai indikasi konflik yang muncul di kawasan Asia
Tenggara sebagian besar merupakan konflik yang
bersifat internal (intra-states conflict).

 
Konflik Internal Dalam Dilema | Thailand Selatan
Sudah jelas menurut Pemerintahan Bangkok, konflik yang berpuncak berlarut-larut di
Selatan Thailand murni sebagai masalah dalam negeri dan juga menurut Abisit “Ia
mengatakan kerusuhan di selatan negaranya hanya masalah domestic”.

Konflik-konflik internal tersebut ditengarai selalu diwarnai oleh penggunaan kekuatan


(force) oleh negara yang bersangkutan dalam penanganannya, yang kerap kali
berpotensi besar mengarah pada penyalahgunaan kekuatan militer atau penggunaan
kekuatan militer yang tidak proporsional. Demikian, seperti mana di Thailand dengan
kebijakan pendekatan kegunaan kekuasaan dengan melalui Emengency Power Art,
pendekatan Undang Undang Darurat yang mempunyai kewenangan bagi
Pemerintahan Pusat megarahkan kekuatan militer  menagani konflik di selatan
Thailand. Juga karena gaya kepemimpinannya yang keras dan pendekatannya yang
militeristik dalam menghadapi gelombang protes di Thailand Selatan.

Pada akhirnya, sering kali penggunaan kekuatan yang tidak proporsional tersebut
menimbulkan jatuhnya korban di kalangan warga masyarakat sebagai pihak sipil,
baik luka-luka maupun kematian yang berlanjut di Thailand Selatan.

Dengan munculnya perkembangan gejala-gejala baru tersebut sudah saatnya


ASEAN melakukan penyesuaian sesuai dengan perkembangan tersebut. Komuniti
keamanan ASEAN pada hakikatnya merupakan komuniti internasional yang
menitikberatkan pada penanganan konflik secara damai di antara sesama negara
anggota, dan hal ini merupakan karakter utama dari komuniti tersebut.

Pembentukan komuniti semacam ini pada hakikatnya tidak menghilangkan potensi


konflik di antara sesama negara anggota. Akan tetapi, di saat potensi konflik muncul,
penggunaan kekuatan dan ancaman bukan merupakan pilihan yang terpikirkan.

Sehubungan dengan hal itu, keberhasilan dalam


pencegahan eskalasi konflik antarnegara di kawasan
yang selama ini dihindari dan dicegah dalam konteks
hubungan sesama anggota ASEAN seharusnya juga
dapat berkembang pada konflik internal (suatu negara) di
kawasan Asia Tenggara. Pemikiran semacam ini, di sisi
lain terbentur pada salah satu prinsip dasar dalam
ASEAN yang merupakan tembok besar dalam menyikapi
masalah ini, yaitu prinsip nonintervensi (Non-intervensi: Kebijakan suatu negara
untuk tidak turut campur tangan dengan negara-negara yang berperang atau salah
satu negara yang terlibat perang).

Selama ini, dalam konteks hubungan antarnegara anggota ASEAN, jika


permasalahan yang terjadi sudah mulai berkaitan dengan masalah dalam negeri, hal
itu akan menjadi semacam hal yang tabu atau pantang sebagai larangan bagi
negara tetangga lainnya untuk ikut membicarakan solusi pemecahannya dan bahkan
ikut terlibat dalam penyelesaian masalah tersebut.

Sudah saatnya dilakukan penyesuaian terhadap pelaksanaan dan penerapan prinsip


nonintervensi dalam hubungan antarnegara di kawasan ini. Tidak perlu melangkah
terlalu jauh dengan melakukan pemikiran yang mengarah pada eliminasi atau

Konflik Internal Dalam Dilema | Thailand Selatan


penyingkiran prinsip nonintervensi, tetapi yang perlu dikaji adalah sampai sejauh
mana dan dalam hal apa prinsip tersebut harus diterapkan.

Tujuannya berharap pemerintah Bangkok dapat menyelesaikan konflik di Thailand


Selatan secara damai dan minta Thailand untuk lebih membuka diri kepada negara-
negara ASEAN tentang masalah tersebut.

Maka konsisten agar diselesaikan dengan baik. Perlu penjelasan lengkap kepada
negara-negara sahabat di ASEAN agar bersemangat ASEAN Security Community
bisa saling membantu. Setiap pertemuan membuahkan sesuatu yang konkrit selalu
mendorong agar masalah di Thailand Selatan dapat diatasi dengan baik, damai,
konstruktif sehingga tidak menimbulkan masalah-masalah baru.

Dengan mengambil keputusan, menyepakati rencana aksi, dan memastikan


rencana-rencana aksi kerja sesama negara ASEAN yang dijalankan dengan
konsisten.

Pada akhirnya, yang menjadi tujuan kita bersama adalah mencapai kemakmuran,
ketenteraman, dan perdamaian bersama dengan pencapaian keamanan manusia
(human security) sebagai salah satu tujuan utama. Sementara itu, di sisi lain, jangan
sampai pencapaian keamanan manusia sebagai tujuan itu terhalang semata-mata
oleh penerapan prinsip nonintervensi yang dirumuskan oleh para pendiri ASEAN
dalam situasi dan zaman yang berbeda dengan kita.

Disusun Oleh: Ben (Sekedar Pemerhati Konflik di Thailand selatan)

Konflik Internal Dalam Dilema | Thailand Selatan

Anda mungkin juga menyukai