Anda di halaman 1dari 16

ILMU MA’ANIL HADITS DAN HEURMENETIKA HADITS

MAKALAH
Diajukan Sebagai Tugas untuk Memenuhi Syarat
Mata kuliah : Studi Kritis Analitis Hadits dan Ilmu Hadits
Dosen Pengampu : Dr. Munawwir, S.Th.I., M.S.I

Disusun oleh:
Fajrul Muharrom Ulil Albab Ati’ullah
(214120600011)

MAGISTER PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


PASCASARJANA UNIVERSITAS PROF. K.H. SAIFUDDIN ZUHRI
PURWOKERTO
2021
1

Pendahuluan

Menurut petunjuk al-Qur’an, Nabi Muhammad diutus oleh Allah untuk semua
umat manusia sebagai rahmat bagi seluruh alam. Kehadiran Nabi Muhammad
membawa kebajikan dan rahmat bagi seluruh umat manusi dalam segala waktu dan
tempat. Dalam sejarah, Nabi Muhammad berperan dalam banyak fungsi, antara lain
sebagai Rasulullah, kepada Negara, pemimpin masyarakat, panglima perang, hakim,
dan pribadi. Sehingga, hadis yang merupakan sesuatu yang berasal dari mengandung
petunjuk pemahaman dan penerapannya perlu dikaitkan juga dengan peran Nabi
tatkala hadis itu terjadi.

Disamping itu, terjadinya hadis Nabi ada yang bersifat umum dan
khusus.segi-segi yang berkaitan erat dengan diri Nabi dan suasana yang melatar
belakangi ataupun menyebabkan terjadinya hadis tersebut mempunyai kedudukan
penting dalam pemahaman suatu hadis. Mungkin saja hadis tersebut dipahani secara
tersurat maupun tersirat. Untuk pemahaman terdapat sejumlah hadis, pada kajian ini
melalui telaah terhadap bagian dari ma’ani al-hadis, yaitu berupa memahami hadis
dari segi matannya. Dan diharapkan muncul bukti-bukti yang jelas bahwa dalam
berbagai hadis Nabi tergantung ajaran Islam yang bersifat universal, temporal, atau
lokal.
2

PEMBAHASAN
A. Pengertian Ma’anil Hadis
Ma’ani dalam bentuk jamak adalah gambaran suatu daya imajinatif perasaan
seseorang serta persepsi rasional yang terealisasi melalui ungkapan kata. Sehingga
dilihat dari segi kebahasaan bahwa makna dari suatu ungkapan bersumber pada akal
manusia dan berkolerasi kuat dengan perasaan. Jika dilihat dari segi kebalaghahan
tersaji secara khusus yang membahas tentang hakikat ma’ani disajikan dalam bentuk
ta’rif ilmu al-ma’ani.

Ilmu ma’anil hadis secara istilah dapat diartikan sebagai suatu keilmuwan
yang didalamnya mengungkapkan tentang suatu prinsip metodologi dalam
memahami hadis Nabi, sehingga hadis tersebut dapat dipahami kandungannya dengan
benar. Dengan adanya metodologi seperti ini pembaca mampu memahami hadis
dengan melihat konteks zaman dahulu, sehingga pembaca bisa meninjau persamaan
dan perbedaan untuk pengamalan suatu hadis pada zaman sekarang dengan
mengedepankan aspek historis.

Menurut Mustaqim dalam bukunya memaparkan bahwa ilmu ma’anil hadis


merupakan suatu kajian matan akan suatu hadis itu sendiri dan memahaminya,
sehingga ketika menyampaikan suatu hadis harus mampu menghubungkan teks hadis
tersebut dengan konteks masa kini, hal ini agar mampu memperoleh pemahaman
yang relatif tepat, tanpa harus kehilangan relevansinya dengan konteks masa kini.1

B. Hakikat Ma’anil Hadis


Kajian ma’anil hadis pada dasarnya sudah ada sejak masa Nabi saw, terutama
ketika Nabi saw diangkat menjadi rasul, yang kemudian dijadikan sebagai panutan
oleh para sahabat dan seluruh kaum muslimin. Dengan kemahiran dan kemampuan

1
Esa Agung Gumelar, Memerangi atau Diperangi: Hadis-Hadis Peperangan Sebelum
Kiamat, (Bogor: Guespedia, 2010), 15-18.
3

yang dimilikioleh para sahabat pada masa itu, secara umum para sahabat bisa
langsung menangkap dan memahami sabda yang disampaikan oleh Nabi saw.

Berkaitan dengan pemahaman hadis ketika Rasul wafat, disinilah awal mula
permasalahannya dalam memahami hadis, sebab para sahabat dan generasi
berikutnya ketika ada permasalahan atau kesulitan dalam memahami hadis mereka
sudah tidak bisa bertanya secara langsung lagi kepada Rasul. Sehingga para sahabat
harus memahami hadis itu sendiri sesuai dengan apa yang tertulis, kesulitan dalam
memahami hadis semakin kompleks, terutama ketika Islam sudah menyebar luas
keberbagai belahan penjuru dunia.

Hal ini disebabkan karena para sahabat tidak mengetahui dan memahami
dengan baik tentang gaya bahasa yang digunakan Rasul dalam menyampaikan hadis.
Karena terkadang Rasul menggunakan ungkapan yag bersifat majazi, qiyas, dan
bahkan menggunakan sebuah kata yang gharib (asing), seiring dengan berjalannya
waktu terkadang kata yang dahulu sangat jelas maknanya lambat laun akan tenggelam
karena sudah tidak dipakai lagi dan dianggap asing sehingga sulit untuk dipahami.2

C. Sejarah Perkembangan Ilmu Ma’anil Hadis


Pada masa Nabi SAW, sahabat dan tabiin belum ada istilah ma’anil al-hadis.
Dalam kitab klasik hadis, syarat hadis, Maupun ulumul hadis tidak pernah disinggung
perihal istilah ma’anil al-hadis yang mengacu pada suatu disiplin keilmuan khusus.
Istilah tersebut kemudian muncul baru-baru ini dalam studi hadia konteporer.
Sebenarnya ilmu ma’anil al-hadis telah diaplikasikan sejak zaman Nabi SAW, akan
tetapi sangatlah sederhana. Pada awal munculnya ilmu hadis, kajian ma’anil al-hadis
berkembang pada generasi mutaqaddimin. Kemudian para ulama selanjutnya
berusaha untuk memberikan penjelasan tentang maksud dan tujuan daei suatu hadis
dengan cara memunculkan berbagai kitab syarah hadis, seperti kitab Tanwir al-

2
Esa Agung Gumelar, Memerangi atau Diperangi: Hadis-Hadis Peperangan Sebelum
Kiamat,18-20.
4

Hawalik syarat Al-Muwatha karya Imam Malik yang disyarahi oleh Jalaluddin
Abdurohman al-Suyuthi, kitab Fathul Barri syarat kitab Shahih Bukhari yang
disyarahi oleh Ibnu Hajar al-Asqalani, Kitab Ikmal al-Mu’lim syarah kitab Shahih
Muslim yang disyarahi oleh al-Qadhi Iyadh, Kitab Aunul Ma’bud syarah dari kitab
Sunan Abi Daud yang disyarahi oleh Abu Thayib Muhammad Syams Al-Haqq Al-
Azhim, dan lain sebagainya.

Sebelum muncul kitab syarah, para ulama sudah meletakan dasar ilmu
ma’anil al-hadis salah satunya adalah ilmu gharib hadis, yaitu ilmu yang membahas
tentang hadis-hadis yang memiliki matan yang asing dan sulit dipahami,terutama
pada generasi pasca sahabat, di mana pada masa itu islam sudah berkembang luas
keseluruh penjuru dunia. Munculnya istilah ilmu ma’anil al-hadis dimaksudkan agar
mampu meringkas displin ilmu-ilmu hadis yang terkait dengan objek kajian matan
suatu hadis, yang mana sudah digunakan para ulama dalam ilmu gharib hadis, nasik
mansukh, mukhtaliful hadis, tarikhul mutun, asbab al-wurud dan sebagainya.3

D. Tujuan dan Kegunaan Ilmu Manil hadis


Muatan terhadap berbagai kaidah mayor dan kaidah minor dalam tinjauan
ilmu ma’anil al-hadis berfungsi sebagai media pembantu dalam usaha memaknai atau
memahami ungkapan hadis. Kegunaan seperti ini bermaksud agar pengkaji
mengetahui maksud dari ungkapan suatu hadis dengan pemaknaan yang tepat dan
pemahaman yang memandai. Dengan adanya pemaknaan kita berharap agar semakain
banyak yang mengetahui inti dari ajaran syariat yang diambil dari pemahaman
terhadap hadis Nabi SAW. Sehingga dengan adanya hal tersebut membuka secara
lebar peluang untuk mampu mengambil nilai keteladanan dari perikehidupan Nabi
SAW dan tuntunan yang sempurna melekat pada diri Nabi SAW melalui pemahaman
hadis tersebut. dalam mengkaji suatu hadis Nabi saw, seorang pengkaji harus
memiliki bekal wawasan yang terjamin valid. Hal ini dimaksudkan agar pengkaji

3
Esa Agung Gumelar, Memerangi atau Diperangi: Hadis-Hadis Peperangan Sebelum
Kiamat,22-23.
5

mampu mengungkap kata-kata yang gharib dalam ungkapan hadis. Hal ini pernah
diingatkan oleh Imam Ahmad bin Hambal ketika beliau ditanya perihal kata-kata
yang gharib di dalam ungkapan suatu hadis Nabi SAW. “bertanyalah kalian kepada
seorang di antara mereka yang memiliki keahlian dalam dalam kata-kata yang gharib
karna sesungguhnya aku tidak menyukai bila (dipaksa) untuk membicarakan
mengenai suatu hadis Rasulullah SAW hanya sebatas persangkaan saja”. Berkat
adanya ilmu ma’anil al-hadis akan mampu menafsirkan dan menjelaskan atas
ungkapan-ungkapan yang ada dalam sebuah hadis.4

E. Indikasi (Qarinah) Hadis


Pemahaman hadis secara tekstual dan kontekstual ditentukan oleh faktor-
faktor yang disebut qarinah atau indikasi yang dibawa oleh teks itu sendiri. 5 Hal-hal
yang menjadi indikasi tersebut adalah :
1. Bentuk matan hadits Nabi dan cakupan petunjuknya, berupa :
a. Jamawi’ Al Kalim, yaitu ungkapan yang singkat namun padat makna. Contoh:

)‫ب خ ْد َعةٌ (رواه اُلبخارى و ُمسلم وغريمها ُعن جابر بن عبداهلل‬


ُ ‫احلَْر‬

“Perang adalah siasat.” (H.R. Bukhari dan Muslim dan lain-lain, dari Jabir
bin ‘Abdullah)
Pemahaman terhadap hadis tersebut adalah sejalan dengan bunyi
teksnya, yakni bahwa setiap peperangan pastilah memakai siasat. Ketentuan
yang demikian itu berlaku secara universal sebab tidak terikat oleh tempat dan
waktu tertentu.6 Perang, secara pasti, memerlukan siasat dan jika tanpa siasat,
maka sama halnya menyerah kepada musuh.
b. Tamsil, yaitu perumpamaan. Contoh:
6

4
Esa Agung Gumelar, Memerangi atau Diperangi: Hadis-Hadis Peperangan
Sebelum Kiamat,23-24.
5
Muhammad Yusuf, Metode dan Aplikasi Pemaknaan Hadis, (Yogyakarta: Teras, 2009), 21.
6

hid
upn
“Orang yang beriman terhadap orang ya,
beriman lainnya ibarat bangunan, ber
bagian satu memperkokoh terhadap bed
bagian yang lainnya.” (HR. Bukhari, a
Muslim, dan Turmudzi, dari Abu Musa den
Al Asy’ari)7 gan
Hadis tersebut mengungkapkan ora
perumpamaan bagi orang-orang ng
beriman layaknya bangunan yang kaf
saling menguatkan. Orang-orang ir
beriman tersebut hendaknya saling yan
memperkuat ukhuwah islamiyyah g
dengan yang lainnya dan bukan untuk me
saling menjatuhkan sesamanya. nja
c. Ramzi, yaitu ungkapan simbolik. Contoh: dik
Orang yang beriman itu makan dengan satu usus “ an
(perut), sedang orang kafir makan dengan tujuh
usus.” (H.R. Bukhari, Turmudzi dan Ahmad, dari Ibn ma
‘Umar)8 kan
seb
Perbedaan usus dalam matan
aga
hadis tersebut menunjukkan perbedaan
i
sikap orang beriman dengan orang
tuj
kafir dalam menghadapi nikmat Allah,
uan
termasuk dalam makan. Orang beriman
hid
tidak menjadikan makan sebagai tujuan
7
M. Syuhudi Ismail, Hadits Nabi yang Tekstual dan Kontekstual: Telaah Ma’ani al-Hadits
tentang Ajaran Islam yang Universal, Temporal dan Lokal, 14.
8
M. Syuhudi Ismail, Hadits Nabi yang Tekstual dan Kontekstual: Telaah Ma’ani al-Hadits
tentang Ajaran Islam yang Universal, Temporal dan Lokal, 21.
7

d. Bahasa percakapan atau dialog, yaitu hadis yang berisi percakapan Nabi dan
masyarakat sekitar. Contoh:

‫ أ ي اإل َ سَل م امل سلِ ِم ن ِل َوَي ِدهِ (متفق عليه عن‬,‫ اي رسوَل هلال‬: ‫قالو‬
ْ ْ ََ
‫أىب‬ ‫َسانِه‬ ‫ْم و َن‬ ‫ْ َس م‬
‫ ْن‬: ‫ِلم أْف َض ل؟ قال‬

)‫موسى األشعرى‬

“Mereka (para sahabat) bertanya: ‘Ya Rasulullaah, amalan islam yang


manakah yang lebih utama?’ Beliau menjawab: ‘(Yaitu) orang yang kaum
muslimin selamat dari (gangguan) mulutnya dan tangannya.’” (Muttafaq
‘alayh, dari Abu Musa Al Asy’ari)9
e. Ungkapan analogi atau qiyas, yaitu ungkapan yang didalamnya mempunyai
hubungan yang sangat logis. Contoh:
Sahabat bertanya pada Nabi: “Apakah menyalurkan hasrat seksual
kami (kepada istri-istri) kami mendapat pahala?” Nabi menjawab:

‫َع َْل ِي ه فِْي َها ِْوٌزر؟ َف َك َذالِ َك إذَا َو َض َع َها ِف‬ ‫أ َرأْيت ْ م َْل و َو َض َع َها ِف َ َحراٍم أ‬
َ‫احَل‬ ‫َك ا َن‬
)‫أىب ذر‬
‫لِ ل َكا َن لَه أ ْ ٌجر (رواه مسلم عن‬

“Bagaimanakah pendapatmu sekiranya hasrat seksual (seseorang)


disalurkannya di jalan haram, apakah (dia) menaggung dosa? Maka
demikianlah,bila hasrat seksual disalurkan ke jalan yang halal, dia mendapat
pahala.” (H.R Muslim, dari Abu Dzarr).10
Hadis ini menyatakan bahwa jika penyaluran hasrat di jalan haram
(zina) merupakan perbuatan dosa, maka jika disalurkan secara halal
(hubungan suami istri dalam pernikahan yang sah) adalah merupakan
9
M. Syuhudi Ismail, Hadits Nabi yang Tekstual dan Kontekstual: Telaah Ma’ani al-Hadits
tentang Ajaran Islam yang Universal, Temporal dan Lokal, 23.
10
M. Syuhudi Ismail, Hadits Nabi yang Tekstual dan Kontekstual: Telaah Ma’ani al-Hadits
tentang Ajaran Islam yang Universal, Temporal dan Lokal, 31.
8

perbuatan yang diberi pahala.


2. Kandungan hadis dihubungkan dengan fungsi Nabi Muhammad, yaitu bahwa
Nabi bukan hanya seorang rasul, tetapi juga sebagai kepala negara, panglima

9
M. Syuhudi Ismail, Hadits Nabi yang Tekstual dan Kontekstual: Telaah Ma’ani al-Hadits
tentang Ajaran Islam yang Universal, Temporal dan Lokal, 23.
10
M. Syuhudi Ismail, Hadits Nabi yang Tekstual dan Kontekstual: Telaah Ma’ani al-Hadits
tentang Ajaran Islam yang Universal, Temporal dan Lokal, 31.
8

perang, hakim, tokoh masyarakat, suami dan pribadi. Berikut contoh hadis
Nabi yang dihubungkan dengan fungsi-fungsi Nabi tersebut.

‫إ ْن أ َش د الن ا ِس َع َذاً ب ْعِن َد ه ِلال َي ْ َوم الِ قَي َا مِ ة امل َص ِو ْرو َن (رواه البخارى و مسلم و غريمها عن عبد هلال‬
)‫بن مسعود‬

“Sesungguhnya orang-orang yang menerima siksaan paling dahsyat di


hadirat Allah pada hari kiamat kelak ialah para pelukis.” (H.R bukhari,
Muslim dan lainnya, dari ‘Abdullah bin Mas’ud)11

Banyak hadis yang melarang perbuatan melukis makhluk yang


bernyawa. Dikatakan bahwa pelukis, pada hari kiamat kelak, dituntut untuk
memberikan nyawanya kepada apa yang dilukisnya. Dan dikatakan juga
bahwa malaikat tidak akan masuk ke dalam rumah yang terdapat lukisan di
dalamnya. Hadis yang disampaikan Nabi ini merupakan salah satu bukti dari
kapasitas beliau sebagai rasulullah, sebab dalam hadits itu menyatakan
mengenai nasib para pelukis di hari kiamat.

3. Petunjuk hadis Nabi yang dihubungkan dengan latar belakang terjadinya,


yaitu hadis yang memiliki sebab tertentu berupa sebuah peristiwa secara
khusus dan dapat berupa suasana atau keadaan yang bersifat umum yang
menjadi latar belakangnya. Hadis ini digolongkan menjadi: (1) Hadis yang
tidak mempunyai sebab secara khusus, seperti hadis tentang kewajiban
menunaikan zakat fithri; (2) Hadis yang mempunyai sebab khusus, seperti
hadis mengenai urusan dunia; dan (3) Hadis yang berkaitan dengan keadaan
yang sedang terjadi, seperti hadis yang berbicara mengenai dibelenggunya
setan pada bulan Ramadhan.
4. Petunjuk hadis Nabi yang tampak saling bertentangan, yaitu hadis yang sama-
sama memiliki kualitas sahih namun kandungannya tampak bertentangan.

11
M. Syuhudi Ismail, Hadits Nabi yang Tekstual dan Kontekstual: Telaah Ma’ani al-Hadits
tentang Ajaran Islam yang Universal, Temporal dan Lokal, 36.
9

Untuk menyelesaikan masalah ini, cara yang ditempuh ulama berbeda-beda.

11
M. Syuhudi Ismail, Hadits Nabi yang Tekstual dan Kontekstual: Telaah Ma’ani al-Hadits
tentang Ajaran Islam yang Universal, Temporal dan Lokal, 36.
9

Ada yang menempuh satu cara dan ada yang menempuh lebih dari satu cara
dengan urutan yang berbeda-beda. Istilah-istilah yang banyak dijumpai dalam
hal ini antara lain:
a. Al-tarjih, yaitu meneliti dan menentukan petunjuk hadis yang memiliki
argumen yang lebih kuat.
b. Al-jam’u, al-taufiq atau al-talfiq, yaitu kedua hadis yang tampak
bertentangan dikompromikan, atau sama-sama diamalkan sesuai
konteksnya.
c. Al-naskh wa al mansukh, yaitu petunjuk hadis yang satu dinyatakan
sebagai penghapus, sedang yang lain sebagai yang dihapus.
d. Al-tawaqquf, yaitu menunggu sampai ada petunjuk atau dalil lain yang
dapat menjerihkan dan menyelesaikan pertentangan.12
F. Metode Kajian Ilmu Ma’anil Hadis
Dalam memahami sebuah hadis, terdapat dua unsur penting yang tidak
bisa dipisahkan, yaitu sanad dan matan. Dalam permasalahan yang timbul
mengenai sanad hadis, maka muncullah diskusi yang panjang tentang otentisitas.
Sedangkan dalam permasalahan mengenai matan hadis melahirkan beberapa
pendekatan dan metode untuk memecahkan permasalahan tersebut. Beberapa
metode yang dimaksud antara lain:
1. Takhrij Hadis

Langkah awal yang dilakukan adalah melacak redaksional hadits tentang


ayat Al-Qur’an yang berkaitan dengan hadits tersebut, dengan menggunakan
metode takhrij yang telah banyak digunakan para ulama. Adapun metode takhrij
yang digunakan para ulama hadis menurut Mahmud Ath-Thahhan ada 5 metode
antara lain :

a. Dengan Melihat Indeks Nama Sahabat

12
Abdul Mufid, Moderasi Beragama Perspektif Yusuf Qardhawi: Kajian Interdispliner
tentang Wacana Penyatuan Hari Raya, (Banyumas: CV Pena Persada, 2019), 30.
10

b. Dengan Awal Kata Pada Matan


c. Menggunakan Kata-kata dalam Matan Hadis
d. Menggunakan Tema Hadis
2. Pendekatan Historis, Sosiologis, dan Antropologis

Pendekatan historis adalah pendekatan yang dilakukan dengan cara


mengkaitkan antara ide atau gagasan yang terdadapat dalam hadis dengan
determunasi-determinasi social dan situasi historis kultural yang mengitarinya.

Pendekatan model ini sebenarnya sudah dirintis oleh para ulama hadis
sejak dulu, yaitu dengan munculnya ilmu Asbabul al-Wurut yaitu suatu ilmu yang
menerangkan sebab-sebab mengapa Nabi menuturkan sabdanya dan masa-masa
Nabi menuturkan sabdanya dan masa-masa Nabi menuturkannya. Atau ilmu yang
berbicara mengenai peristiwa-peristiwa atau pertnyaan-pertanyaan yang terjadi
pada hadis disampaikan oleh Nabi.

Pendekatan historis menekankan pada pertanyaan mengapa Nabi SAW


bersabda demikian? Dan bagaimana kondisi historis sosio-kultural masyarakat
dan bahkan politik pada saat itu?, serta mengamati proses terjadinya. Adapun
pendekatan sosiologi menyoroti dari sudut posisi manusia yang membawanya
kepada perilaku itu. Sedangkan antropologi memperhatikan terbentuknya pola-
pola perilaku itu pada tatanan nilai yang dianut dalam kehiduan masyarakat
manusia. Kontribuksi pendekatan antropologis adalah ingin membuat uraian yang
meyakinkan tentang apa sesungguhnya yang terjadi dengan manusia dalam
berbagai situasi hidup dalam kaitan waktu dan ruang.13

13
Said Agil Husin Munawwa dan Abdul Mustaqim, Studi Kritis Hadis Nabi Pendekatan
Sosio-Historis-Kontekstual Asbabul Wurud, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), 26-27.
11

PENUTUP

Ilmu ma’anil hadis merupakan suatu kajian matan akan suatu hadis itu sendiri
dan memahaminya, sehingga ketika menyampaikan suatu hadis harus mampu
menghubungkan teks hadis tersebut dengan konteks masa kini, hal ini agar mampu
memperoleh pemahaman yang relatif tepat, tanpa harus kehilangan relevansinya
dengan konteks masa kini. Sejarah perkembangan ilmu ma’anil hadis ini karena para
sahabat tidak mengetahui dan memahami dengan baik tentang gaya bahasa yang
digunakan Rasul dalam menyampaikan hadis. Karena terkadang Rasul menggunakan
ungkapan yag bersifat majazi, qiyas, dan bahkan menggunakan sebuah kata yang
gharib (asing).

Ma’anil al-hadis berfungsi sebagai media pembantu dalam usaha memaknai


atau memahami ungkapan hadis. Kegunaan seperti ini bermaksud agar pengkaji
mengetahui maksud dari ungkapan suatu hadis dengan pemaknaan yang tepat dan
pemahaman yang memandai. Dengan adanya pemaknaan kita berharap agar semakain
banyak yang mengetahui inti dari ajaran syariat yang diambil dari pemahaman
terhadap hadis Nabi SAW.
12

DAFTAR PUSTAKA

Agil Husin Munawwar, Said dan Mustaqim, Abdul, Studi Kritis Hadis Nabi Pendekatan
Sosio-Historis-Kontekstual Asbabul Wurud, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001.

Gumelar, Esa Agung, Memerangi atau Diperangi: Hadis-Hadis Peperangan


Sebelum Kiamat, Bogor: Guespedia, 2010.

Ismail, M. Syuhudi, Hadits Nabi yang Tekstual dan Kontekstual: Telaah Ma’ani
al Hadits tentang Ajaran Islam yang Universal, Temporal dan Lokal,
Jakarta: Bulan Bintang, 1994.

Mufid, Abdul, Moderasi Beragama Perspektif Yusuf Qardhawi: Kajian


Interdispliner tentangWacana Penyatuan Hari Raya, Banyumas: CV Pena
Persada, 2019.

Yusuf, Muhammad, Metode dan Aplikasi Pemaknaan Hadis, Yogyakarta: Teras,


2009.

Anda mungkin juga menyukai