iii
4. Isu strategis : Manajemen lanskap DAS menuju hutan dan masyarakat yang tangguh
terhadap perubahan iklim.
5. Topik Penelitian : Pariwisata dan Lingkungan (Unggulan : Perubahan Iklim dan
Keanekaragaman Hayati, Sub unggulan : Peningkatan fungsi ekologi dan ekonomi,
Topik Unggulan : Pengukuran Kapasitas Penyerapan Karbodioksida di Berbagai Tipe
Hutan).
6. Objek Penelitian : Karbon pada Vegetasi dan Tanah.
7. Lokasi penelitian : Desa Karang Sidemen.
8. Hasil yang ditargetkan : Data dasar (Baseline information) untuk mendukung
pengembangan model pengelolaan lanskap kawasan hutan yang menghasilkan daya
kelentingan (Resilience) Lahan dan Masyarakat yang tinggi terhadap Perubahan Iklim
dan Kebencanaan.
9. Institusi yang terlibat : Universitas Mataram.
10. Sumber Biaya Selain PNBP : Biaya Sendiri.
11. Instansi lain yang terlibat : Tahura Nuraksa, KHDTK Rarung, HKm Karang Sidemen,
Hortipark Tastura, dan Pengelola HKm Desa Karang Sidemen.
12. Temuan yang ditargetkan : Data dasar.
13. Kontribusi mendasar pada bidang ilmu : Hasil penelitian ini dapatmenyediakan dan
memperkaya data kuantitatif maupun kualitatif untuk menjelaskan kerentanan.
14. Rencana luaran wajib dan tambahan : Jurnal Ilmiahdan Policy brief/naskah akademik.
15. Keterangan lain yang dianggap perlu : Penelitian ini merupakan tahapan dari
pengembangan model desa wisata yang tangguh perubahan iklim dan bencana berbasis
pengelolaan lanskap kawasan hutan.
iv
RINGKASAN
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan total cadangan karbon
(vegetasi dan tanah) pada empat unit pengelolaan lahan dan implikasinya terhadap
manajemen landskap DAS Babak. Manfaat jangka pendek yang didapat melalui penelitan
ini adalah penyediaan informasi mengenai kondisi lahan untuk pihak pengelola menjadi
sangat penting karena dapat dijadikan dasar bagi pengembangan rencana program-program
pengelolaan lahan yang berbasis agroforestri dan peningkatan pendapatan untuk
masyarakat yang terlibat didalamnya. Sementara untuk jangka panjang, hasil analisis ini
yang dikolaborasikan dengan analisis kerentanan sosial ekonomi di tingkat masyarakat
akan mendorong terjadinya perubahan dalam skala lanskap, sehingga didapatkan model
pengelolaan lahan berbasis agroforestri yang memiliki resiliensi/ketangguhan/daya lenting
(resilience) lahan dan masyarakat menjadi semakin tangguh dalam menghadapi berbagai
bencana yang disebabkan oleh perubahan iklim. Selain itu, penelitian jangka panjang
terhadap komposisi dan struktur vegetasi, sifat tanah, dan iklim makro dan mikro dapat
memberikan gambaran bagaimana hutan tropis di Nusa Tenggara Barat merespon
perubahan atau gangguan. Informasi ini penting untuk pengelolaan hutan berkelanjutan.
Dua data utama yang akan dikumpulkan adalah (i) data karbon vegetasi dan tanah
serta (ii) data sifat tanah. Unit contoh akan ditentukan dengan metode stratified random
sampling dengan pola pengelolaan lahan sebagai strata(Tahura Nuraksa, KHDTK Rarung,
HKm Karang Sidemen, Hortipark Tastura). Data untuk kondisi acuan (reference state)
akan diambil pada hutan yang cenderung belum terganggu. Intensitas sampling yang
dipergunakan adalah 0.05% yang setara dengan 68 unit contoh untuk keseluruhan lokasi
penelitian. Sampel tanah akan diambil dengan 2 kedalaman yang berbeda yaitu kedalaman
0-10 cm dan 11-30 cm.
Sedangkan data sifat fisik tanah dan unsur hara makro dilakukan pengambilan
sampel pada 6 titik yang ditentukan berdasarkan kelas tutupan vegetasi dan aktivitas
masyarakat di dalamnya. Sampel tanah akan dianalisis di laboratorium untuk beberapa sifat
fisik dan kandungan nutrisinya. Data akan dianalisis dengan uji-uji statistik yang sesuai
antara lain: Pearson’s Correlation, Regresi, Koefisien Kontingensi, dan Uji ANOVA.
Output atau luaran penelitian yang diharapkan dari penelitian ini terdiri dari
(1) luaran wajib berupa artikel ilmiah yang dimuat pada jurnal (Accepted pada jurnal
nasional ber-ISSN/SINTA-2) dan (2). Luaran tambahan berupa peta kerentanan lahan
hutan di Desa Karang Sidemen dan/atau policy brief/rekomendasi kebijakan/naskah
akademmik. Sementara outcome yang diharapkan dari penelitian ini adalah pengelola dan
masyarakat tergerak untuk memperbaiki kebijakan dan uji coba terkait pola pengelolaan
lahan sehingga semakin banyak lahan yang memiliki ketangguhan optimal dalam
menghadapi perubahan iklim ataupun bencana.
v
DAFTAR ISI
HALAMAN PENGESAHAN ii
IDENTITAS DAN URAIAN UMUM iii
RINGKASAN iv
DAFTAR ISI v
BAB I. PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Perumusan Masalah 2
1.3 Tujuan Peneliian 3
1.4 Keutamaan 3
1.5 Output dan Outcome Penelitian 5
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 6
2.1 Hutan dan Perubahan Iklim 6
2.2 Perubahan Iklim dan Implikasinya terhadap Daerah Aliran Sungai (DAS) 6
2.3 Kerentanan dan Resiliensi Hutan terhadap Perubahan Iklim 7
2.4 Hutan dan Cadangan Karbon 8
2.5 Hasil Penelitian Terdahulu 9
2.6 Peta Jalan 10
BAB III. METODE PENELITIAN 13
3.1 Waktu dan Tempat 13
3.2 Alat dan Bahan 13
3.3 Metode Penelitian 13
3.4 Analisis Data 16
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 18
4.1 Cadangan Karbon pada Empat Tipe Pengelolaan Lahan 18
4.2 Implikasi Cadangan Karbon terhadap Manajemen Daerah Aliran Sungai (DAS) 20
BAB V. KESIMPULAN 22
REERENSI 23
1
BAB I. PENDAHULUAN
(forest resilience) akan semakin relevan dibawah tekanan meningkatnya gangguan terkait
dengan perubahan iklim (Thomson et al 2009, Anderson-Teixeira 2013). Convention on
Biological Diversity Technical Series no 43 mengenai Forest Resilience, Biodiversity and
Climate Change menekankan bahwa terkait dengan mitigasi emisi CO2 dari deforestasi dan
degradasi hutan, memelihara ekosistem hutan yang stabil untuk jangka panjang sangat
penting dilakukan dibandingkan dengan hutan yang cepat tumbuh namun rendah
biodiversitas karena hutan yang “sederhana” seperti itu memiliki usia, daya lenting dan
kapasitas adaptasi yang terbatas (Thomson et al. 2009). Pada konteks bencana terkait
perubahan iklim (climate-related disasters) misalnya, perubahan iklim menyebabkan curah
hujan yang tinggi. Tutupan hutan akan membantu menyerap air melalui proses transpirasi,
intersepsi, evapotranspirasi, infiltrasi dan perkolasi. Sebaliknya jika hutan ditebang, maka
akan terjadi banjir dan longsor. Bencana-bencana terkait dengan hutan dan perubahan iklim
sudah banyak terjadi di Indonesia termasuk di Provinsi Nusa Tenggara Barat.
Karena hutan berkontribusi secara langsung bagi kelangsungan hidup lebih dari 1
miliar orang (World Bank, 2002) termasuk masyarakat Desa Karang Sidemen, dampak
perubahan iklim terhadap hutan akan sangat terasa bagi mereka yang menggantungkan
hidup langsung dari hutan, sehingga meningkatkan tingkat kerentanan mereka. Oleh karena
itu, penelitian terkait dengan pengaruh pengelolaan terhadap kondisi ekologi hutan dan
kondisi sosial dan ekonomi masyarakat sangat penting untuk dilakukan. Hasil penelitian
dapat memberikan gambaran dan inovasi pola pengelolaan yang paling sesuai untuk
meningkatkan ketangguhan hutan dan ketangguhan masyarakat dalam menghadapi
perubahan iklim. Selain itu, hasil penelitian ini dapat menjadi dasar dalam pengembangan
pengajaran beberapa mata kuliah khas dibidang kehutanan, seperti : Agroforestri, Ilmu
Tanah Hutan, Silvikutur dan Manajemen Hutan.
Penelitian ini merupakan kelanjutan dari penelitian tahun 2020, dimana fokus
penelitian aspek ekologi pada tahun lalu adalah komposisi dan struktur vegetasi serta sifat
tanah, sementara tahun 2021 ini adalah berfokus untuk menghitung total cadangan karbon
yang terkandung di dalam vegetasi dan tanah serta kesuburan tanah pada empat unit
pengelolaan lahan yaitu: Tahura, KHDTK, Horti Park, dan HKM di Desa Karang Sidemen,
Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat, mengingat, tidak semua ekosistem hutan memiliki
ketahanan (resielience) yang sama terhadap gangguan, termasuk perubahan iklim.
Selain itu karena keempat unit berada dalam satu hamparan padaDAS Babak, maka
sangat penting melihat bagaimana perbedaan pola pengelolaan (manajemen)
mempengaruhi atau berimplikasi terhadap fungsi-fungsi DAS, yang secara langsung dan
tidak langsung akan berkaitan erat dengan kehidupan masyarakat, utamanya di daerah
hulu.
karbon terbesar di permukaan bumi yang sangat berperan dalam siklus karbon. Vegetasi
hutan tropis merupakan penyimpan karbon yang besar dan signifikan secara globalkarena
hutan tropis mengandung lebih banyak C per satuan luas dibandingkan lahan lainnya.
Sumber karbon utama dalam ekosistem hutan tropis adalah yang hidupbiomassa pohon dan
tumbuhan bawah dan massa pohon yang mati, berkayupuing-puing dan bahan organik
tanah. Sekitar 50% biomassa tumbuhan terdiri dari C.Karbon yang disimpan dalam
biomassa pohon hidup di atas permukaan tanah biasanya adalahkolam terbesar dan paling
langsung terkena dampak deforestasi dan degradasi (Hairiah, 2011).
Sehingga Struktur vegetasi dan pola pengelolaan lahan sangat mempengaruhi nilai
karbon yang dapat dilepaskan dan ditambatkan.Selain itu, tipe dan struktur vegetasi dapat
mempengaruhi aktivitas mikrobial tanah melalui mekanisme langusng dan tidak langsung,
selanjutnya aktivitas mikrobial ini mempengaruhi siklus hara tanah dan dinamika soil
organic matter ( Trivedi et al. 2018). Oleh karena itu, penelitian mengenai cadangan
karbon dan kaitannya dengan sifat-sifat fisik serta kimia tanah sangat diperlukan untuk
memetakan kerentanan atau ketangguhan berbagai pola pengelolaan lahan yang dilakukan
oleh masyarakat. Manfaat jangka pendek yang didapat melalui penelitan ini adalah
penyediaan informasi mengenai kondisi lahan untuk pihak pengelola menjadi sangat
penting karena dapat dijadikan dasar bagi pengembangan rencana program-program
pengelolaan lahan yang berbasis agroforestry dan peningkatan pendapatan untuk
masyarakat yang terlibat didalamnya. Sementara untuk jangka panjang, hasil analisis ini
yang dikolaborasikan dengan analisis kerentanan sosial ekonomi di tingkat masyarakat
akan mendorong terjadinya perubahan dalam skala lanskap, sehingga didapatkan model
pengelolaan lahan berbasis agroforestri yang memiliki ketangguhan/daya lenting
(resilience) lahan dan masyarakat menjadi semakin tangguh dalam menghadapi berbagai
bencana yang disebabkan oleh perubahan iklim. Selain itu, penelitian jangka panjang
terhadap karbon dalam kaitannya dengan komposisi dan struktur vegetasi, sifat tanah, dan
iklim makro dan mikro dapat memberikan gambaran bagaimana hutan tropis di Nusa
Tenggara Barat merespon perubahan atau gangguan termasud didalamnya mitigasi
terhadap perubahan iklim. Informasi ini penting untuk pengelolaan hutan berkelanjutan.
Mengingat bahwa sumberdaya hutan merupakan penyimpan cadangan karbon terbesar di
muka bumi. DAS adalah salah satu unsur pembentuk ekosistem hutan, sangat penting
melihat pengaruh kondisi vegetasi dan tanah termasuk didalamnya karbon untuk
kepentingan pengelolaan.
5
Manajemen lanskap sangat penting terutama pada pulau-pulau kecil yang umumnya
rentan terhadap bahaya dan mempunyai kapasitas terbatas sebagai penyangga bahaya
lingkungan (Myers et al., 2000; Velde Et al. 2007). Beberapa studi menunjukkan bahwa
manajemen lahan berkelanjutan dan konservasi jasa lingkungan dapat berkontribusi dalam
mengurangi kerentanan terhadap perubahan iklim (Folke et al. 2010, Andersson et al.
2015).Peta jalan penelitian ini bertujuan untuk mendorong manajemen lanskap menuju
hutan dan masyarakat yang tangguh terhadap perubahan iklim. Hal ini selaras dengan
payung penelitian Universitas Mataram yaitu “Pembangunan Kawasan Pulau Kecil
Berkelanjutan”.
Hutan menyediakan beragam bahan baku dalam bentuk makanan, bahan bakar dan
material tempat berlindung bagi jutaan manusia. Dan hutan menyediakan jasa ekosistem,
seperti pengaturan air, pencegahan erosi dan penyimpanan karbon—untuk miliaran orang
lainnya. Kita memerlukan hutan sebagai penyedia bahan-bahan baku dan jasa ekosistem
tersebut di masa depan dan dalam menghadapi perubahan iklim.
Hutan tropis rentan terhadap perubahan iklim dan adaptasi diperlukan untuk
mengurangi kerentanannya.Laporan Kajian Keempat yang disiapkan oleh Panel antar
Pemerintahmengenai Perubahan Iklim (Parry et al. 2007) menunjukkan bahwa bila suhu
global rata-rata meningkat hingga lebih dari 1,5-2,5ºC, diproyeksikan akan ada perubahan
yang besar pada iklim lokal berupa perubahan pada rata-rata dan kisaran suhu, curah hujan
dan kejadian-kejadian ekstrim. Perubahan iklim dan konsentrasi karbon dioksida akan
mempengaruhi struktur dan fungsi ekosistem, interaksi ekologi antar spesies dan sebaran
geografi spesies, dengan konsekuensi keragaman hayati (Malcolm et al.2006).
Locatelli et al. 2009 menyampaikan persoalan agenda rangkap untuk meningkatkan
peran hutan dalam adaptasi: membantu hutan bertahan terhadap datangnya badai
perubahan iklim dan mengelola hutan sedemikian rupa agar memungkinkan orang-orang
yang tergantung pada hutan dan masyarakat secara umum dapat berlindung terhadap
perubahan yang akan datang. Mereka menyebut pendekatan ini sebagai ‘adaptasi bagi
hutan’ dan ‘hutan untuk adaptasi’.
Efek perubahan iklim terhadap sistem ekologi telah diamati di berbagai tingkat
organisasi ekologi mulai dari organisme hingga ekosistem. Pengamatan-pengamatan itu
termasuk perubahan dalam struktur dan fungsi, perputaran karbon dan nitrogen, distribusi
spesies, besarnya populasi, saat reproduksi ataumigrasi, dan lamanya musim pertumbuhan
(Root et al.2003; Clark 2007). Penelitian tersebut menekankan pentingnya
mempertimbangkan perubahan iklim dalam konservasi, pengelolaan ataurestorasi hutan
tropis.
2.2. Perubahan Iklim dan Implikasinya terhadap Daerah Aliran Sungai (DAS)
Lanskap adalah panorama suatu bidang di permukaan bumi yang merupakan hasil
dari proses-proses geomorfologi. Lanskap tersusun oleh komponen berupa daratan, tanah
7
dan penutup lahan. Salah satu contoh lanskap di permukaan bumi adalah Daerah Aliran
Sungai (DAS). Berhasil atau tidaknya pengelolaan landskap suatu DAS dipengaruhi oleh
interaksi faktor-faktor : (1). Jumlah penduduk dalam interasinya dengan ternak dan
pemerintah daetah, (2) sistem penggunaan lahan atau jenis tutupan lahan, (3). Kondisi
tanah seperti tingkat kepadatan tanah, tingkat penutupan tanah oleh lapisan seresah,
organisme tanah dan perakaran tumbuhan yang berperan dalam menjaga struktur tanah dari
pemadatan, (3). kondisi tanah, topografi lahan dan geologi tanah yang berkaitan dengan
kecuraman lereng, bukti adanya pergerakan tanah, sejarah geologi, gempa bumi dan
gunung meletus, keseimbangan antara pembentukan tanah dan erosi, (4) iklim dan cuaca
yang berkaitan dengan curah hujan dan pola musim, siklus harian cahaya matahari dan
intensitas hujan pola aliran sungai, ada tidaknya 'meandering' (Rahayu,et.al., 2009). Hal
tersebut ditekankan juga oleh Hasudungan, et.al (2018) bahwa iklim dan penutupan lahan
merupakan dua faktor penting dalam menentukan respon hidrologi suatu DAS. Salah satu
bentuk respon hidrologi DAS akibat perubahan iklim serta penutupan lahan yaitu
terjadinya perubahan limpasan yang dapat dilihat melalui perubahan pola dan bentuk
hidrograf aliran.
Marshall & Randhir (2018) menduga bahwa perubahan iklim memiliki pengaruh
yang signifikan terhadap aliran sungai, muatan sedimen dan hara (N dan P), waktu dan
besaran limpasan serta hasil sedimen di suatu DAS. Dampak dan implikasi dari perubahan-
perubahan tersebut dapat mempengaruhi persediaan air, kualitas air dan ekosistem
disekitarnya.
Kerentanan merupakan salah satu konsep sentral dalam adaptasi perubahan iklim.
Beberapa penulis telah menekankan pentingnya mendefinisikan kerentanan bagi suatu
situasi tertentu, misalnya, kerentanan dari variabel-variabel tertentu terhadap bahaya
tertentu dalam horizon waktu tertentu, bukannya menilai kerentanan dari suatu tempat
dengan perubahan iklim secara umum (Füssel 2007; Luers et al. 2003).Menurut
IPCC,kerentanan adalah ‘tingkatan dimana suatu sistem mudah terpengaruhterhadap, atau
tidak mampu menghadapi, efek buruk dari perubahan iklim,termasuk variabilitas iklim dan
iklim ekstrim.”
Istilah “resiliensi” digunakan untuk mencakup 3 atribut sebuah ekosistem yaitu:
kemampuan untuk menahan tekanan (resistensi), kapasitas untuk kembali ke keadaan stabil
8
setelah adanya gangguan dan kapasitas untuk beradaptasi terhadap tekanan dan perubahan.
Membangun resiliensi pada sektor kehutanan meliputi mengatur pengelolaan hutan untuk
membangun resiliensi hutan dan pohon terhadap dampak negatif perubahan iklim,
meningkatkan resiliensi dari orang-orang yang rentan dan membantu membangun dan
memelihara lanskap yang tangguh (Bratz et al. 2012).
Lebih lanjut Bratz et al 2012 menyarankan bahwa membangun resiliensi pada
sektor kehutanan juga membutuhkan upaya untuk memastikan bahwa pengetahuan teknis
dan keahlian, kebijakan dan kerangka kerja legal, institusi dan mekanisme tata kelola yang
efektif dapat mendukung pengambilan keputusan dan aksi yang tepat waktu, sesuai dan
adil pada tingkat lokal. Mereka membagi strategi untuk meningkatkan resiliensi hutan dan
pohon menjadi tiga yaitu:
• Memelihara hutan yang sehat untuk resiliensi;
• Restorasi hutan yang terdegradasi;
• Konservasi dan penggunaan biodiversitas.
Komposisi dan struktur vegetasi merupakan salah satu parameter yang harus
diperhatikan dalam pengelolaan hutan, restorasi hutan dan konservasi hutan (Gunawan et
al. 2011, Mirsha et al. 2013). Studi-studi tentang struktur komunitas hutan dan komposisi
spesies menunjukkan pentingnya tiap-tiap spesies dan populasinya untuk menilai status
hutan (Kushwaha dan Subrata 2012). Struktur hutan terbentuk dipengaruhi oleh beberapa
faktor salah satunya adalah faktor sifat tanah (Bigelow dan Canham 2002).
Sebanyak 192 negara di dunia, dan salah satunya Indonesia, telah bergabung
dalam perjanjian internasional theUnited Nations Framework Convention on Climate
Change (UNFCCC) untukmulai mempertimbangkan apa yang bisa dilakukan untuk
mengurangi pemanasan global dan mengatasinyadengan kenaikan suhu apa pun tidak bisa
dihindari.Tujuan utama Konvensi UNFCC) dan semua instrumen hukum terkait dengan
COP dapat mengadopsi adalah untuk mencapai, sesuaidengan ketentuan yang relevan dari
Konvensi, stabilisasikonsentrasi gas rumah kaca di atmosfer pada tingkat yang
semestinyamencegah gangguan antropogenik yang berbahaya pada sistem iklim.Tingkat
seperti itu harus dicapai dalam kerangka waktu yang cukup untuk
memungkinkanekosistem untuk beradaptasi secara alami dengan perubahan iklim, untuk
memastikan makanan ituproduksi tidak terancam dan memungkinkan pembangunan
ekonomimelanjutkan secara berkelanjutan (Hairiah, 2011).
Estimasi dan pemantauan karbon hutan untuk proyek-proyek REDD + harus sesuai
dengan perjanjian dan standar internasional, untuk menjaga konsistensi dan ketepatan
dalam pengukuran ini. UNFCCC mensyaratkan bahwa negara-negara mengikuti pedoman
IPCC mengenai penggunaan lahan dan perubahan stok karbon hutan dalam emisi GRK
(IPCC, 2003, 2006), dan merekomendasikan penggunaan pendekatan penginderaan jauh
dan inventarisasi karbon hutan berbasis darat dalam kombinasi untuk memperkirakan stok
karbon hutan untuk REDD +. IPCC (2003, 2006) menyarankan bahwa perubahan stok
karbon harus dihitung dan dilaporkan untuk sumber karbon utama dalam ekosistem hutan,
yaitu biomassa pohon hidup, massa mati serasah, serpihan kayu, dan bahan organik tanah.
Bae et.al. 2014 mengkaji bagaimana perubahan tutupan lahan diKPHL Rinjani
Barat, P. Lombok berpengaruh terhadap cadangan karbon, dimana didapatkan hasil
kandungan karbon di tutupan hutan primer dengan kondisi kerapatan vegetasi yang tinggi
mengadung cadangan karbon tertinggi, kemudian hutan sekunder dan semak belukar
terkecil. Selain itu didapatkan bahwa rata-rata cadangan karbon diatas permukaan tersebut
jauh lebih tinggi daripada cadangan karbon pada tanah.
Maxwell et al 2018 mengkaji bagaimana interaksi antara komposisi spesies dengan
sifat tanah untuk mengatur fiksasi karbon dan kehilangan air di hutan pegunungan
California. Dua kesimpulan dari kajian yang dilakukan yaitu: (i) jumlah karbon yang
difiksasi per unit air hilang melalui transpirasi sangat bervariasi, dan (ii) bahan induk tanah
10
yang berbeda-beda dan tahapan pembentukan tanah mengatur efek iklim terhadap efisiensi
penggunaaan air dan produktivitas pohon pada berbagai gradien ketinggian. Secara
bersamaan, proses biologis yang dinamis terkait dengan komposisi spesies dan sifat-sifat
fisik dan kimia yang relatif inersia dapat dikombinasikan untuk mengantisipasi perubahan
pada karbon hutan dan neraca air.
Pawitan (2004) menganalisis pengaruh perubahaan pola penggunaan lahan dengan
terhadap kondisi hidrologi DAS. Beberapa kesimpulan didapat dari hasil peneitian ini,
diantaranya (1) Perubahan pola penggunaan lahan berpengaruh terhadap neraca dan air
wilayah dan rezim hidrologi DAS dan (2). Kepekaan sistem hidrologi DAS terhadap
perubahan lahan dapat dievaluasi dengan menggunakan sistem-sistem hidrologi dan
ditentukan oleh sifat biofisik DAS.
Mirsha et al. 2014 menganalisis struktur vegetasi, keanekaragaman spesies dan
sifat tanah pada hutan hasil rehabilitasi dan hutan yang sudah terdegradasi untuk mengkaji
apakah ada perbedaan dan bagaimana hubungan antara struktur hutan dengan sifat tanah di
Indo-Gangetic bagian hulu di wilayah Uttar Pradesh, India. Analisis Komponen Utama
(Principal Component Analysis) dilakukan dan dapat disimpulkan bahwa terdapat korelasi
signifikan antara beberapa sifat tanah (bulk density, soil organic carbon SOC, pospor, pH
dan kation Na+, K+)dengan struktur hutan dan pola distribusi spesies.
Untuk kawasan hutan di sekitar Desa Karang Sidemen, belum pernah dilakukan
penelitian yang mengkaitkan antara pola pengelolaan, karbon dan implikasinya terhadap
DAS. Penelitian ini akan memberikan gambaran mengenai pengaruh pola pengelolaan
terhadap cadangan karbon serta beberapa sifat tanah. Seperti terlihat pada peta jalan
(roadmap) penelitian di bawah ini, penelitian ini merupakan bagian dari rangkaian
penelitian untuk meningkatkan ketangguhan hutan dan ketangguhan masyarakat untuk
menghadapi perubahan iklim.
2022
(vulnerability and implementing
- Agroforestry
eco-agrotourism
across 4 landuse landscape
2021 type
- Agroforestry and
management
BASELINE INFORMATION
KARAKTERISTIK BIOFISIK PADA 4 TIPE PENGELOLAAN LAHAN KAWASAN HUTAN
2020 2021
3.3 MetodePenelitian
a. Data yang dikumpulkan
Data yang akan dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data vegetasi meliputi
(1). jenis, diameter setinggi dada dan tinggi suatu vegetasi, (2) sampel serasah, (3)
tumbuhan bawah, (4) pohon mati serta data (4) sifat tanahnya. Data tanah yang akan
diambil pada tahun 2021 adalah tekstur tanah, N-organik, C-organik, Kalium, dan Pospor.
contoh pada Blok Pemanfaatan Tahura Nuraksa, 19 Unit contoh pada HKm Karang
Sidemen, 21 unit contoh pada KHDTK Rarung dan 5 unit contoh pada Hortipark sehingga
total unit contohadalah 68 unit contoh untuk analisis vegetasi. Sampel tanah akan diambil
dengan 2 kedalaman yang berbeda yaitu kedalaman 0-10 cm dan 11-30 cm.
Sedangkan data sifat fisik tanah dan unsur hara makro dilakukan pengambilan
sampel pada 6 titik yang ditentukan berdasarkan kelas tutupan vegetasi dan aktivitas
masyarakat di dalamnya sehingga diletakkan 1 titik pada Blok Pemanfaatan Tahura
Nuraksa, 1 titik pada HKm Karang Sidemen, 1 titik pada Hortipark, 1 titik pada tegakan
homogen KHDTK Rarung, 1 titik pada tutupan rapat di KHDTK rarung dan 1 titik berada
pada tutupan jarang di KHDTK Rarung.
Analisis data kabon pada vegetasi Analisis data C-Organik, N, P dan K tanah
Output:
1. Data total cadangan karbon pada empatpolapengelolaanlahanhutan
(Karbon vegetasi dan karbon tanah)
2. Data sifat tanah pada empat pola pengelolaan lahan hutan (tekstur,
kandungan hara makro)
3. Uji beda antar strata (Uji ANOVA)
4. Asosiasi antara struktur dan komposisi vegetasi dengan karbon dan
sifat tanah (Pearsons Correlation)
Tabel 4.1. Jenis Penggunaan Lahan pada Empat Tipe Pengelolaan Hutan
Berdasarkan hasil analisis Citra Klasifikasi tutupan lahan pada blok pemanfaatan
Tahura Nuraksa, terdapat 3 Jenis penggunaan lahan. Tabel 2 memperlihatkan sebaran
terluas pada Hutan Lahan Kering skunder 400.43 Ha, dengan deskripsi tutupan lahan yang
didominasi oleh tanaman hutan dengan diameter >20 cm, dan selanjutnya jenis
20
Pada HKM Karang Sidemen hasil dari tabel klasifikasi tutupan lahan terdapat 3
jenis penggunaan lahan yang didominasi oleh jenis penggunaan lahan Agroforestry dengan
luas 293.23 Ha dengan deskripsi penggunaan lahan tanaman pertanian berkayu seperti
durian, kakao, kopi. Berdasarkan hasil wawancara petani sekitar HKM Karang sidemen
dengan jenis penggunaan lahan agroforestry yang dilakukan agar dapat meningkatkan
ekonomi masyarakat sekitar HKM, dan jenis penggunaan lahan yang terdapat pada
Pertanian Lahan Kering dengan luas 55.99 Ha yang didominasi oleh tanaman semusim
seperti pisang, cabai. Terdapat pula jenis penggunaan lahan hutan lahan kering skunder
dengan luas 20.8 Ha dimana terdapat jenis penggunaan lahan ini ada beberapa masyarakat
yang masih mempertahankan jenis vegetasi untuk menjaga kualiatas mata air dan sebagian
besar dengan tujuan untuk hanya sekedar mengelola lahan dibawah tegakan.
Pada Tipe pengelolaan Hortipark terdapat 2 jenis penggunaan lahan yaitu
Agroforestry dan pertanian Lahan Kering. Berdasarkan hasil tabel klasifikasi tutupan lahan
21
yang didominasi oleh jenis penggunaan lahan Pertanian lahan kering dengan luas 82.47 Ha
dengan deskripsi jenis penggunaan terdapat beberapa jenis tanaman yang mendominasi
tipe pengelolaan hortipark yaitu terdapat tanaman semusim seperti tanaman pisang, buah-
buahan, cabai, dan jagung. Terdapat pula jenis penggunaan lahan agroforestry dengan luas
78.37 Ha deskripsi jenis penggunaan lahan pada tipe pengelolaan hortipark berbeda dengan
sistem pengelolaan yang ada pada HKM Karang Sidemen, dimana pengelolaan hortipark
didominasi oleh tanaman kopi dan kakao serta tanaman pisang dan diisi tegakan dadap dan
randu.
Pada Tipe Pengelolaan KHDTK Rarung terdapat 3 Jenis Penggunaan Lahan yang
didominasi oleh Pertanian Lahan Kering dengan luas 154.37 Ha dengan deskripsi jenis
penggunaan lahan seperti tanaman semusim tidak jauh berbeda dengan pengelolaan di
HKM Karang sidemen yang didominasi oleh tanaman semusim. Tanaman yang terdapat
pada pertanian lahan kering tipe pengelolaan KHDTK Rarung yaitu seperti ubi, pisang,
jagung, dan cabai, diikuti pula jenis penggunaan lahan di KHDTK Rarung yaitu sistem
Agroforestry dengan luas 133.31 Ha dimana luasan pertanian lahan kering dan agroforestry
di Pengelolaan KHDTK Rarung tidak jauh berbeda.
Terdapat jenis penggunaan lahan hutan lahan kering skunder yang didominasi oleh
tanaman sejenis, dimana sistem pengelolaan dalam jenis penggunaan lahan hutan lahan
kering skunder ini sangat berbeda pada Pengelolaan HKM dan Blok Pemanfaatan, hal ini
dilakukan dengan tujuan khusus dari pihak pengelola agar dapat dilakukan sumber kajian
maupun riset oleh lembaga maupun para akademisi.
500
400.43
400
293.23
Luas (Ha)
300
200 133.31
154.37
78.37 82.47
100 38.16 20.8 55.99 38.18
9.79 0
0
Blok Pemanfaatan HKM Karang Hortipark KHDTK Rarung
sidemen
Berdasarkan dari deskripsi jenis penggunaan lahan di empat tipe pengelolaan hutan
yaitu Blok Pemanfaatan Tahura Nuraksa, HKM Karang Sidemen, Hortipark, dan KHDTK
Rarung, yang memiliki jenis penggunaan yang sama ada di tiga tipe pengelolaan dan
terdapat satu tipe pengelolaan yang tidak ditemukan di hortipark yaitu jenis penggunaan
lahan hutan lahan kering skunder, dimana pada tiga tipe pengelolaan Blok Pemanfaatan
Tahura Nuraksa, HKM Karang Sidemen, dan KHDTK Rarung terdapat jenis penggunaan
lahan yang sama, tetapi terdapat deskripsi jenis penggunaannya berbeda, hal ini disebabkan
karena pada tiap-tiap pengelolaan memiliki sistem yang berbeda. Sedangkan tipe
pengelolaan hortipark lebih ditujukan pada jenis tanaman pertanian sehingga tidak
ditemukan jenis penggunaan hutan lahan kering skunder. Untuk lebih jelasnya pada
masing-masing tipe pengelolaan dengan memiliki luasan jenis penggunaan lahan dapat
dilihat pada gambar 4.6 Luasan tutupan lahan masing-masing pengelolaan.
23
4.2.Komposisi vegetasi pada empat pola pengelolaan lahan hutan (Indeks Nilai
Penting, Indeks Keanekaragaman, Indeks Keseragaman)
Berdasarkan hasil analisis vegetasi pada 4 (empat) pengelolaan lahan ditemukan 48
spesies pada Blok Pemanfaatan Tahuran Nuraksa, 41 spesies pada HKm Karang Sidemen,
55 spesies pada KHDTK rarung dan 17 spesies pada Hortipark. Analisa vegetasi meliputi
Indeks Nilai Penting (INP) dan Indeks Nilai Keanekaragaman (H'), Indeks Kekayaan
Jenis/Margalef (R), dan Indeks Kemerataan (E) dilakukan pertingkatan, tingkat pohon
dewasa, tingkat pohon muda, tingkat tiang, tingkat pancang dan tingkat semai dan
tumbuhan bawah.
Tabel 4.2. Komposisi Vegetasi Tingkat Pohon Dewasa
Pengelolaan Nama KR-I FR-I DR-I INP
Nama Ilmiah H' R E
Kawasan Daerah (%) (%) (%) (%)
Blok
Klokos Syzigium
Pemanfaatan 15.15 11.32 21.06 47.53 2.77 4.77 0.91
Udang hemsleyanum
Tahura Nuraksa
HKm Karang Erythrina
Dadap 36.78 22.50 24.93 84.21 1.92 2.69 0.75
Sidemen variegata
KHDTK Rarung Randu Ceiba pentandra 37.74 19.35 53.59 110.68 2.25 4.53 0.76
Hortipark Randu Ceiba pentandra 36.67 55.56 54.15 146.37 1.18 0.88 0.85
Hasil perhitungan analisa vegetasi pada empat pengelolaan lahan tingkat pohon
dewasa menunjukan adanya perbedaan struktur dan komposisi vegetasi. Pada kawasan
Blok Pemanfaatan terdapat 21 spesies yang didominasi oleh Klokos Udang (Syzigium
hemsleyanum) yang memiliki nilai INP sebesar 47,53%. Pada kawasan HKm Karang
Sidemen terdapat 13 spesies yang didominasi oleh Dadap (Erythrina variegata) yang
memiliki nilai INP sebesar 84,21%. Pada KHDTK Rarung terdapat 19 spesies yang
didominasi oleh Randu (Ceiba pentandra) yang memiliki nilai INP sebesar 110,68%.
Sedangkan pada kawasan Hortipark terdapat 4 spesies yang didominasi oleh Randu (Ceiba
pentandra) yang memiliki nilai INP sebesar 146,37%. (Nurjaman, Kusmoro, & Santoso,
2017) menyatakan bahwa spesies yang mendominasi pada lokasi penelitian memiliki
kemampuan dan kesempatan hidup lebih tinggi dibanding dengan jenis lainnya pada lokasi
penelitian. Untuk indeks Keanekaragaman spesies Shannon-Wiener (H’) pada 4 (empat)
tipe pengelolaan lahan tergolong keanekaragaman jenis sedang karena nilai indeks
keanekragaman dari keempat tipe pengelolaan lahan berada di antara 1-3. Kemudian untuk
indeks kekayaan jenis Margalef (R) kawasan blok pemanfataan Tahura Nuraksa dan
24
KHDTK Rarung tergolong sedang, sementara pada kawasan HKm Karang Sidemen dan
Hortipark tergolong rendah. Sedangkan untuk indeks kemerataan jenis (E) keempat tipe
pengelolaan lahan tergolong tinggi.
Hasil perhitungan analisa vegetasi untuk tingkat pohon muda pada kawasan Blok
Pemanfaatan terdapat 25 spesies yang didominasi oleh Jelateng Elak Kao yang memiliki
nilai INP sebesar 46,48%. Pada kawasan HKm Karang Sidemen terdapat 9 spesies yang
didominasi oleh Nangka (Artocarpus heterophyllus) yang memiliki nilai INP sebesar
47,24%. Pada KHDTK Rarung terdapat 14 spesies yang didominasi oleh Nangka
(Artocarpus heterophyllus) yang memiliki nilai INP sebesar 49,87%. Sedangkan pada
kawasan Hortipark terdapat 3 spesies yang didominasi oleh Kemiri yang memiliki nilai
INP sebesar 120,09%. Untuk indeks Keanekaragaman spesies Shannon-Wiener (H’) pada
4 (empat) tipe pengelolaan lahan tergolong keanekaragaman jenis sedang karena nilai
indeks keanekragaman dari keempat tipe pengelolaan lahan berada di antara 1-3.
Kemudian untuk indeks kekayaan jenis Margalef (R) kawasan blok pemanfataan Tahura
Nuraksa tergolong sedang, sementara pada kawasan HKm Karang Sidemen, KHDTK
Rarung dan Hortipark tergolong rendah. Sedangkan untuk indeks kemerataan jenis (E)
keempat tipe pengelolaan lahan tergolong tinggi.
Hortipark Kopi Coffea robusta 66.67 66.67 74.03 207.36 0.64 0.91 0.92
Hasil analisa vegetasi untuk tingkat tiang pada kawasan Blok Pemanfaatan terdapat
18 spesies yang didominasi oleh Jelateng Elak Kao yang memiliki nilai INP sebesar
37,04%. Pada kawasan HKm Karang Sidemen terdapat 8 spesies yang didominasi oleh
Durian (Durio zibetinus) yang memiliki nilai INP sebesar 138,59%. Pada KHDTK Rarung
terdapat 11 spesies yang didominasi oleh Alpukat (Persea americana) yang memiliki nilai
INP sebesar 69,9768%. Sedangkan pada kawasan Hortipark terdapat 2 spesies yang
didominasi oleh Kopi (Coffea robusta) yang memiliki nilai INP sebesar 207,36%. Untuk
indeks Keanekaragaman spesies Shannon-Wiener (H’), kawasan blok Pemanfaatan Tahura
Nuraksa, HKm Karang sidemen dan KHDTK Rarung tergolong keanekaragaman jenis
sedang karena nilai indeks keanekragaman dari keempat tipe pengelolaan lahan berada di
antara 1-3, sementara kawasan Hortipark tergolong jenis rendah. Kemudian untuk indeks
kekayaan jenis Margalef (R) kawasan blok pemanfataan Tahura Nuraksa tergolong sedang,
sementara pada kawasan HKm Karang Sidemen, KHDTK Rarung dan Hortipark tergolong
rendah. Sedangkan untuk indeks kemerataan jenis (E) keempat tipe pengelolaan lahan
tergolong tinggi.
Hasil vegetasi tingkat pancang pada kawasan Blok Pemanfaatan terdapat 14 spesies
yang didominasi oleh Banitan Kayu Keras yang memiliki nilai INP sebesar 93,53%. Pada
kawasan HKm Karang Sidemen terdapat 6 spesies yang didominasi oleh Kopi (Coffea
robusta) yang memiliki nilai INP sebesar 206,79%. Pada KHDTK Rarung terdapat 8
spesies yang didominasi oleh Kopi (Coffea robusta)) yang memiliki nilai INP sebesar
130,46%. Sedangkan pada kawasan Hortipark terdapat 2 spesies yang didominasi oleh
Gamal yang memiliki nilai INP sebesar 62,50%. Untuk indeks Keanekaragaman spesies
Shannon-Wiener (H’), kawasan blok Pemanfaatan Tahura Nuraksa dan KHDTK Rarung
tergolong keanekaragaman jenis sedang karena nilai indeks keanekragaman dari keempat
26
tipe pengelolaan lahan berada di antara 1-3, sementara kawasan HKm Karang Sidemen dan
Hortipark tergolong jenis rendah. Kemudian untuk indeks kekayaan jenis Margalef (R),
keempat tipe pengelolaan lahan tergolong rendah. Sedangkan untuk indeks kemerataan
jenis (E), kawasan blok pemanfaatan, KHDTK Rarung dan Hortipark tergolong tinggi,
sementara HKm Karang Sidemen tergolong sedang.
Hasil analisa vegetasi untuk tingkat semai pada kawasan Blok Pemanfaatan terdapat
15 spesies yang didominasi oleh Banitan Kayu Lembut yang memiliki nilai INP sebesar
75,87%. Pada kawasan HKm Karang Sidemen terdapat 5 spesies yang didominasi oleh
Kopi (Coffea robusta) yang memiliki nilai INP sebesar 142,28%. Pada KHDTK Rarung
terdapat 7 spesies yang didominasi oleh Kelicung yang memiliki nilai INP sebesar
40,388%. Sedangkan pada kawasan Hortipark terdapat 3 spesies yang didominasi oleh
Kopi (Coffea robusta) yang memiliki nilai INP sebesar 79,41%. Untuk indeks
Keanekaragaman spesies Shannon-Wiener (H’), kawasan blok Pemanfaatan Tahura
Nuraksa dan KHDTK Rarung tergolong keanekaragaman jenis sedang karena nilai indeks
keanekragaman dari keempat tipe pengelolaan lahan berada di antara 1-3, sementara
kawasan HKm Karang Sidemen dan Hortipark tergolong jenis rendah. Kemudian untuk
indeks kekayaan jenis Margalef (R), keempat tipe pengelolaan lahan tergolong rendah.
Sedangkan untuk indeks kemerataan jenis (E), kawasan blok pemanfaatan, KHDTK
Rarung dan Hortipark tergolong tinggi, sementara HKm Karang Sidemen tergolong
sedang.
Hasil analisa vegetasi untuk tumbuhan bawah tegakan pada kawasan Blok
Pemanfaatan terdapat 17 spesies yang didominasi oleh Jengku Manuk yang memiliki nilai
INP sebesar 83,81%. Pada kawasan HKm Karang Sidemen terdapat 20 spesies yang
didominasi oleh Sembung Rambut (Mikania micranta) yang memiliki nilai INP sebesar
27
41,94%. Pada KHDTK Rarung terdapat 22 spesies yang didominasi oleh Pupak Gerengge
yang memiliki nilai INP sebesar 27,78%.
60.00
50.00
40.00
30.00
20.00
10.00
0.00
Pohon Tua Pohon Tiang Pancang TBT Serasah Total C
Muda (ton/ha)
Blok Pmanfaatn HKm Karsid Rarung Hortipark
Berdasarkan tabel 4.9. cadangan karbon pada empat tipe pengelolaan lahan tersebut
berbeda yaitu pada Blok Pemanfaatan Tahura Nuraksa sebesar 142.78 ton/Ha. Sementara
pada Hutan Kemasyarakatan (HKM) Karang Sidemen diperoleh sebesar 113.96 ton/Ha,
pada Hortipark terserap sebesar 105.71 ton/Ha, dan Kawasan Hutan Dengan Tujuan
Khusus (KHDTK) Rarung memiliki cadangan karbon lebih rendah dari 3 (tiga) tipe
pengelolaan lahan lainnya yaitu sebesar 72.58 ton/Ha.
Tabel 4.9. Hasil Perhitungan Cadangan Karbon pada Empat Tipe Pengelolaan Lahan
Cadangan Karbon Atas Permukaan (ton/ha)
C Tanah C Total
Tipe Pengelolaan Pohon Pohon
Tiang Pancang TBT Serasah (ton/ha) (ton/ha)
Dewasa Muda
Blok Pemanfaatan
58.70 20.02 7.05 5.56 1.18 3.56 46.71 142.78
Tahuran Nuraksa
HKm Karang Sidemen 52.22 8.51 1.81 3.51 0.77 3.64 43.50 113.96
Carbon Paling tinggi di Blok Pemanfaatan terdapat pada tingkat pohon dewasa sebesar
58.70 ton/Ha dan diikuti oleh karbon tanah sebesar 46.71 ton/Ha, untuk lebih lengkapnya
dapat dilihat pada tabel 4.1.1. Pada kawasan HKM Karang Sidemen yang memiliki
cadangan karbon paling tinggi terdapat pada pohon dewasa sebesar 52.22 ton/Ha dan
diikuti oleh karbon tanah sebesar 43.50 ton/Ha. Pada kawasan Hortipark terdapat cadangan
karbon yang paling tinggi pada tingkat pohon dewasa sebesar 46.23 ton/Ha, diikuti pula
oleh cadangan karbon tanah sebesar 44.10 ton/Ha. Nilai cadangan karbon yang berbeda
disebabkan oleh jumlah vegetasi pada masing-masing tipe pengelolaan lahan.
Cadangan Karbon
ton/ha
Blok Pemanfaatan Tahuran Nuraksa HKm Karang Sidemen Hortipark KHDTK Rarung
Pada Kawasan KHDTK Rarung cadangan karbon tertinggi terdapat pada komponen
pohon dewasa sebesar 17.76 ton/Ha, dan diikuti oleh karbon tanah sebesar 37.98 ton/Ha.
Dari hasil analisa pada masing-masing pengelolaan dilihat dari blok pemanfaatan, HKM
Karang Sidemen dan Hortipark, nilai cadangan karon yang paling rendah terdapat pada
KHDTK Rarung, hal ini disebabkan oleh jumlah vegetasi yang masuk dalam kategori
pohon dewasa lebih sedikit dibandingkan dengan tipe pengelolaan lainnya, yaitu blok
pemanfaatan Tahura Nuraksa, Hkm Karang Sidemen, dan Hortipark. Berikut adalah grafik
total cadangan karbon pada masing-masing tipe penggunaan lahan :
31
Cadangan Karbon
100 di Blok Pemanfaatan Tahura
80
ton/ha
60
40
20
0
Pohon Pohon
Tiang Pancang TBT Serasah C Tanah C Total
Dewasa Muda
C 58.70 20.02 7.05 5.56 1.18 3.56 46.71 142.78
Cadangan Karbon
100 di HKm Karang Sidemen
80
60
40
ton/ha
20
0
Pohon Pohon
Tiang Pancang TBT Serasah C Tanah C Total
Dewasa Muda
C 52.22 8.51 1.81 3.51 0.77 3.64 43.50 113.96
Cadangan Karbon
100
di KHDTK Rarung
80
60
ton/ha
40
20
0
Pohon Pohon
Tiang Pancang TBT Serasah C Tanah C Total
Dewasa Muda
C 17.76 9.27 1.57 1.66 1.18 3.17 37.98 72.58
Cadangan Karbon
100
80
di Hortipark
60
ton/ha
40
20
0
Pohon Pohon
Tiang Pancang TBT Serasah C Tanah C Total
Dewasa Muda
C 46.23 0.32 0.54 10.20 1.29 3.02 44.10 105.71
32
BAB V. KESIMPULAN
REFERENSI
Anderson-Teixeira KJ, Miller AD, Mohan JE, Hudiburg TW, Duval BD, DeLucia EH.
2013. Altered dynamics of forest recovery under a changing climate. Global
Change Biology. 2013;19:2001–21. pmid:23529980
Bae JS, Kim C, Kim Y-S, Latifah S, Afifi M, Fisher LA, Lee SM, Kim I-A, Kang J, Kim R
and Kim JS. 2014. Opportunities for implementing REDD+ to enhance
sustainable forest management and improve livelihoods in Lombok, NTB,
Indonesia. Working Paper 151. Bogor, Indonesia: CIFOR.
Braatz, S., Meybeck, A., Lankoski, J., Redfern, S., Azzu, N., & Gitz, V. 2012. Building
resilience for adaptation to climate change through sustainable forest
management. http://www.fao.org/3/i3084e/i3084e09.pdf. Diakses pada 24
Februari 2020.
CIFOR, Trust Fund for Environmentally and Socially Sustainable Development and
Profor. 2017. How Forest Enhance Resilience to Climate Change.
https://www.profor.info/knowledge/how-forests-enhance-resilience-climate-
change. Diakses pada 24 Februari 2020.
Clark, D.A. 2007. Detecting tropical forests’ responses to global climatic and atmospheric
change: current challenges and a way forward. Biotropica 39(1): 4–19.
Demarchi, L. O., Scudeller, V., Moura L., Dias-Terceiro, R., Lopes, A., Wittmann, F.K.,
Piedade, M. T. 2018. Floristic composition, structure and soil-vegetation relations
in three white-sand soil patches in central Amazonia. Acta Amaz. [online]. 2018,
vol.48, n.1, pp.46-56. ISSN 0044-5967. https://doi.org/10.1590/1809-
4392201603523.
Folke, C., S. R. Carpenter, B. Walker, M. Scheffer, T. Chapin, and J. Rockström. 2010.
Resiliencethinking: Integrating resilience, adaptability and transformability.
Ecology and Society15(4):62–68.
Füssel, H.M. 2007. Vulnerability: a generally applicable conceptual framework for climate
change research. Global Environmental Change 17(2): 155–167
35
Gunawan, W., Basuni, S., Indrawan, A., Prasetyo, L.B., Soedjito, H. 2011. Analisis
Komposisi dan Struktur Vegetasi terhadap Upaya Restorasi Kawasan Hutan
Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. JPSL Vol. (1) 2 : 93- 105 Desember
2011
Hidayat, Syamsul. 2014. Kondisi vegetasi di hutan lindung Sesaot, Kabupaten Lombok
Barat, sebagai informasi dasar pengelolaan Kawasan. Jurnal Penelitian
Kehutanan Wallacea.Vol.3 No.2,Juni 2014: 97 –10. DOI:
10.18330/jwallacea.2014.vol3iss2pp97-105
Ibáñez I, Acharya K, Juno E, Karounos C, Lee BR, McCollum C. 2019. Forest resilience
under global environmental change: Do we have the information we need? A
systematic review. PLoS ONE 14(9): e0222207.
https://doi.org/10.1371/journal.pone.0222207
IPCC. 2003. Good Practice Guidance for Landuse Change and Forestry. Institute for
Globar Environmental Strategies (IGES) for the IPCC. ISBN 4-88788-003-0.
IPCC 2006, 2006 IPCC Guidelines for National Greenhouse Gas Inventories, Prepared by
the National Greenhouse Gas Inventories Programme, Eggleston H.S., Buendia
L., Miwa K., Ngara T. and Tanabe K. (eds). Published: IGES, Japan.
IPCC. 2018. Summary for Policymakers. In: Global warming of 1.5°C. An IPCC Special
Report on the impacts of global warming of 1.5°C above pre-industrial levels and
related global greenhouse gas emission pathways, in the context of strengthening
the global response to the threat of climate change, sustainable development, and
efforts to eradicate poverty. V. Masson-Delmotte PZ, Pörtner H. O., Roberts D.,
Skea J., Shukla P.R., Pirani A., Moufouma-Okia W., Péan C., Pidcock R.,
Connors S., Matthews J. B. R., Chen Y., Zhou X., Gomis M. I., Lonnoy E.,
Maycock T., Tignor M., Waterfield T. (eds.), editor: World Meteorological
Organization, Geneva, Switzerland, 32 pp.
IUCN. 2017. International Union for Conservation of Nature. Issues Brief. Forest and
Climate Change.
https://www.iucn.org/sites/dev/files/forests_and_climate_change_issues_brief.pdf.
Diakses pada 24 Februari 2020.
Locatelli, B., Kanninen, M., Brockhaus, M., Colfer, C.J.P., Murdiyarso, D. dan Santoso, H.
2008. Facing an uncertain future: How forests and people can adapt to climate
change. Forest Perspectives no. 5. CIFOR, Bogor, Indonesia.
Luers, A.L., Lobell, D., Sklar, L.S., Addams, C.L. dan Matson, P.M. 2003 A method for
quantifying vulnerability, applied to the Yaqui Valley, Mexico. Global
Environmental Change 13: 255–267.
Malcolm, J.R., Liu, C., Neilson, R.P., Hansen, L. dan Hannah, L. 2006. Global warming
and extinctions of endemic species from biodiversity hotspots. Conservation
Biology 20(2): 538–548.
Masripatin, N et al. 2010. Cadangan Karbon Pada Berbagai Tipe Hutan dan Jenis
Tanaman Di Indonesia. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan
Kebijakan. Bogor.
Maxwell, T. M., Silva, L. C., and Horwarth, W. R. 2018. Integrating effects of species
composition and soil properties to predict shifts in montane forest carbon-water
relations. PNAS 115 (18) E4219-
E4226; 8 https://doi.org/10.1073/pnas.1718864115
Mishra, Ashish & Behera, Soumit & Singh, Kripal & Sahu, Nayan & Bajpai, Omesh &
Srivastava, Anoop & Mishra, R. & Chaudhary, Lal & Singh, and. (2014). Relation
of forest structure and soil properties in natural rehabilitated and degraded forest.
Journal of Biodiversity Management & Forestry.
2.https://www.researchgate.net/publication/260705677_Relation_of_forest_struct
ure_and_soil_properties_in_natural_rehabilitated_and_degraded_forest
Myers, N, Mittermeier RA, Mittermeier CG, Fonseca GAB da, Kent J. 2000. Biodiversity
Hotspots for Concervation Priorities. Nature 403:853-858.
NASA, 2014. NASA Finds Good News on Forests and Carbon Dioxide.
https://www.nasa.gov/jpl/nasa-finds-good-news-on-forests-and-carbon-dioxide.
Diakses pada 24 Februari 2020.
Parry, M.L., Canziani, O.F. dan Palutikof, J.P. 2007. Technical summary. Dalam: Parry,
M.L., Canziani, O.F., Palutikof, J.P., van der Linden, P.J. dan Hanson, C.E. (eds.)
Climate change 2007: impacts, adaptation and vulnerability. Contribution of
Working Group II to the fourth assessment report of the Intergovernmental Panel
on Climate Change, 23–78. Cambridge University Press, Cambridge, UK
Rahayu S, Widodo RH, van Noordwijk M, Suryadi I dan Verbist B. 2009. Monitoring air
di daerah aliran sungai. Bogor, Indonesia. World Agroforestry Centre - Southeast
Asia Regional Office. 104 p.
Russell, A., Locatelli, B., and Pramova, E.. 2012.Using forests to enhance resilience to
climate change: What do we know about how forests can contribute to
adaptation?. https://www.cifor.org/library/5121/. Diakses pada 24 Februari 2020.
Root, T.L., Price, J.T., Hall, K.R., Schneider, S.H., Rosenzweig, C. dan Pounds, J.A. 2003.
Fingerprints of global warming on wild animals and plants. Nature 421: 57–60.
Stone, S & Mario, C.L. 2010. Perubahan Iklim dan Peran Hutan Manual Komunitas.
Indigenous and Traditional Peoples Program Conservation International.
Thompson, I., Mackey, B., McNulty, S., Mosseler, A. 2009. Forest Resilience,
Biodiversity, and Climate Change. A synthesis of the
biodiversity/resilience/stability relationship in forest ecosystems. Secretariat of the
Convention on Biological Diversity, Montreal. Technical Series no. 43, 67 pages.
https://www.cbd.int/doc/publications/cbd-ts-43-en.pdf
Threlfall Caragh G., Ossola Alessandro, Hahs Amy K., Williams Nicholas S. G.,
WilsonLee, Livesley Stephen J. 2016. Variation in Vegetation Structure and
Composition acrossUrban Green Space Types. Frontiers in Ecology and
Evolution. Vol 4, pp 66.DOI=10.3389/fevo.2016.00066
Velde M Van der, Green SR, Vanclooster M, Clotheir BE. 2007. Sustainable Development
in Small Island Developing State: Agriculture Intensification, Economic
Development, and Freshwater Resources Management on the Coral Atoll of
Tongatapu. J Ecological Economics.
Weida Yin, Mingfang Yin, Lin Zhao, Lin Yang, "Research on the Measurement of Carbon
Storage in Plantation Tree Trunks Based on the Carbon Storage Dynamic
Analysis Method", International Journal of Forestry Research, vol. 2012, Article
ID 626149, 10 pages, 2012. https://doi.org/10.1155/2012/626149
38
LAMPIRAN