Anda di halaman 1dari 10

METODE MADZHAB FIKIH IMAM MALIK

disusun oleh :
H. Abdul Qadir Abu Lc,MA.

Sejarah perkembangan Ilmu fikih dan berdirinya madzhab-madzhab dalam Islam tidak
bisa dipisahkan denga peran para ulama-ulama Mujtahid pada saat itu. Salah satu ulama yang
sangat berperan itu adalah Imam Malik. perannya dalam pengembangan ilmu fiqih sangat
penting, terutama dalam konteks implementasi hadits dalam kerangka ilmu fiqih. Kemampuan
dan penguasaan Imam Malik terhadap hadits memang diakui oleh para guru, sahabatnya dan
orang-orang setelahnya. Dalam makalah singkat ini dipaparkan secara singkat tentang profil
Imam Malik, dasar dan metode ijtihadnya, pengaruh sosial, politik dan kultur terhadap pemikiran
fikihnya dan karya-karyanya.

A. Profil Imam Malik


Imam Malik adalah Imam yang kedua dari Imam-Imam empat madzhab yang dikenal
dalam Islam karena pengikutnya yang banyak. Ia dilahirkan di kota Madinah, suatu daerah di
negeri Hijaz tahun 93 H/713 M, dan wafat pada hari ahad 10 Rabi’ul Awal 179 H/ 798 M di
Madinah. Beliau wafat pada masa pemerintahan Abbasiyah di bawah kekuasaaan Khalifah
Harun al-Rasyid.
Nama lengkap Imam Malik adalah Abu Abdillah Malik bin Anas al-Asbahi al-Arabi bin
Malik bin Abu ‘Amir bin Harits. Beliau adalah keturunan bangsa Arab dusun Dzu Ashbah,
sebuah dusun di kota Himyar, jajahan Negeri Yaman. Ibunya bernama Siti al-‘Aliyah binti
Syuraik bin Abdullah Rahman bin Suraik al Azdiyah. Ada riwayat yang mengatakan bahwa
Imam Malik berada dalam kandungan rahim selama dua tahun, ada pula yang mengatakan
sampai tiga tahun.
Pada usia belasan tahun Imam Malik mulai menuntut ilmu fiqh dan hadis. Ketika
berumur 21 tahun beliau mulai mengajar dan berfatwa.Beliau berguru pada ulama terkenal
diantaranya Nafi’, Sa’id al-Maqburi,Amir bin Abdullah bin Zubair, Ibnu al-Munkadir, az-Zuhri,
Abdullah binDinar, dan sederet ulama-ulama besar lainya.Imam Ma>lik hafal al-Qur’an dan
Hadis-hadis Rasulullah SAW.Ingatanya sangat kuat dan sudah menjadi adat kebiasaanya apabila
beliaumendengar Hadis-hadis dari para gurunya terus dikumpulkan denganbilangan Hadis-hadis
yang penah beliau pelajari. Imam Malik mempelajaribermacam-macam bidang ilmu
pengetahuan, seperti ilmu Hadis, al-Rad‘ala ahlial-ahwa fatwa-fatwa dari para sahabat-sahabat
dan ilmu fiqh Ahl al-Ra’yu (pikir). Imam Malik adalah seseorang yang sangat aktif dalam
mencari ilmu. Beliau sering mengadakan pertemuan dengan para ahli Hadis dan ulama. Imam
Malik dianggap sebagai seorang pemimpin dalam ilmu Hadis. Sandaran-sandaran yang dibawa
oleh beliau termasuk salah satu dari sanad yang terbaik dan benar karena beliau sangat berhati-
hati dalam mengambil hadis-hadis Rasulullah. Beliau yang dipercaya adil dan kuat ingatanya,
cermat serta halus dalam memilih pembawa hadis.
Imam Malik terdidik di kota Madinah pada masa pemerintahan Khalifah Sulaiman bin
Abdul Malik dari Bani Umayah VII. Pada waktu itu, di kota tersebut hidup beberapa golongan
pendukung Islam antara lain golongan sahabat Anshar dan Muhajirin serta para pendidik ahli
hukum Islam. Imam Malik belajar ilmu agama pada ulama Madinah yaitu Imam Abdurrahman
bin Hurmuz, dan juga belajar ilmu hadits pada Nafi Maulana bin Umar (wafat tahun 117 H) dan
Ibnu Syihab az-Zuhri dalam ilmu fikih beliau belajar pada Rabiah bin Abdirrakhman yang
terkenal dengan Rabiatur Ra’yi (wafat tahun 136 H).
Banyak murid-murid Imam Malik yang pernah belajar sama beliau , ada dari Khurasan,
Iraq,Sham, tapi paling banyak di Madinah, Mesir, Shinal Ifriqiyah, dan Negara Magrib. Di antara
mereka yang sangat terkenal adalah Ishaq bin Abdullah bin Abu Talhah, Ayyub bin Abu
Taminah as-Sakhtiyani, Ayyub bin Habibal-Juhani, Ibrahim bin ‘Uqbah, Isma’il bin Abi Hakim,
Isma’il Ibnu Muhammad bin Sa’ad, dan al-Imam al-Shafi’i.
Imam Malik adalah seorang yang berbudi mulia dengan pikiran cerdas, pemberani, dan
teguh mempertahankan kebenaran yang diyakininya. Kedalaman ilmu menjadikan beliau amat
tegas dalam menentukan hukum syar’i. Hal ini tampak pada sikapnya yang menentang sistem
pengangkatan khalifah yang tidak dipilih secara Islam. Sebagai konsekuensi dari sikapnya, hal
ini terlihat dalam beberapa peristiwa antara lain: (1) Sewaktu salah seorang pembesar khalifah
Abbasyiah meminta sumpah setia (bai’at) pada penduduk Madinah untuk taat pada khalifah,
Imam Malik memfatwakan bahwa tidak ada paksaan untuk bai’at, akibatnya Imam Malik
dihukum. Demikian juga ketika ia menyatakan bahwa kawin mut’ah hukumnya haram maka ia
dihukum oleh aparat Khalifah Abbasiyah; (2) Ketika khalifah Harun ar-Rasyid berziarah ke
Makam Nabi SAW di Madinah, Khalifah meminta Imam Malik untuk berkunjung kepadanya
dalam urusan agama, tetapi Imam Malik menolak. Imam Malik ketika itu mengatakan: “Kalau
khalifah Harun al-Rasyid memerlukan saya, maka khalifah harus datang kerumah saya”.
Akhirnya Khalifah mau datang ke rumah Imam Malik. Dalam sumber lain diceritakan ketika
Harun al-Rasyid menunaikan haji, dia meminta Imam Malik untuk membawa kitab al Muwatha’
untuk dibaca didepanya. Namun Imam Malik menolak permintaan itu.

B. Dampak Sosiologis, Politik dan Kultural Terhadap Pemikiran Fikih Imam Malik bin
Anas.

Ada tiga faktor yang mempengaruhi perkembangan hukum Islam, yaitu faktor personal
mujtahid, faktor lingkungan sosial, serta faktor politik dan kehendak penguasa. Oleh karena itu,
perlu pengkajian terhadap ketiga hal tersebut untuk mengetahui perkembangan hukum Islam di
masa Imam Malik.
Dalam lingkup lingkungan sosial, Imam Malik tumbuh dari keluarga yang ayahnya
pernah mempelajari hadits-hadits dan berprofesi sebagai pembuat panah. Kemudian menghafal
al-Quran dan hadits-hadits Rasulullah saw serta belajar fikih. Imam Malik tidak pernah keluar
dari Madinah kecuali haji. Kota Madinah merupakan kota yang mendukung perkembangannya,
karena di kota inilah Rasulullah tinggal selama beberapa tahun. Selain itu, permasalahan di
Madinah ringan dan sederhana sehingga permasalahan yang dihadapi masyarakatnya dapat
diselesaikan dengan hadits.
Imam Malik hidup di periode Tabi’in dan Tabi’-tabi’in (imam-imam mazhab) kurang
lebih abad kedua sampai pertengahan abad keempat Hijriyah. Para sejarawan menyebut periode
ini masa keemasan fikih Islam. Daerah kekuasaan Islam juga semakin meluas yang dijumpai
berbagai macam adat istiadat, cara hidup dan kepentingan masing-masing. Pada periode ini ada
tiga pembagian geografis yang besar untuk kegiatan ijtihad, yaitu Irak, Hijaz dan, Suriah. Selain
itu, pada periode ini umat Islam telah berpecah belah menjadi tiga kelompok, yaitu Khawarij,
Syi’ah, dan Jumhur. Tiga kelompok ini berpegang teguh, merasa bangga kepada pendapat
masing-masing dan berusaha mempertahankannya. Golongan jumhur sendiri dalam menetapkan
hukum terbagi menjadi dua golongan, yaitu ahlul hadits dan ahlul ra’yi.
Maka dari itu, berdasarkan catatan sejarah sosial ijtihad di atas diketahui bahwa pada
periode tersebut kondisi sosial di Hijaz berbeda dengan Irak. Perbedaan itu antara
C. Dasar dan Metode Ijtihad Imam Malik
Dasar Ijtihad atau Sistematika sumber Istinbāţh Imam Malik, pada dasarnya ia tidak
menulis secara sistematis. Akan tetapi para muridnya atau madzhabnya menyusun sistematika
Imam Malik.
Adapun metode-metode lain yang digunakan Imam Malik selain dari empat sumber (al-
Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas) adalah Atsar Ahli Madinah, Mashlahah al-Mursalah
(istishlâh), Qaul Shahâbi (Fatwa sahabat), Khabar Ahad, al-Istihsân, Sadd Al-Dzarâ`i, Istishâb,
Syar`u man Qablanâ (Syariat sebelum Islam).
Sebagaimana qadhi’ iyyad dalam kitabnya al-Mudharrak, sebagai berikut:
“sesungguhnya manhaj Imam dar al-Hijrah, pertama ia mengambil kitabullah, jika tidak
ditemukan dalam kitabullah, ia mengambil as-Sunnah (kategori as-Sunnah menurutnya hadits-
hadits nabi dan fatwa-fatwa sahabat), amal ahli al-Madinah, al-Qiyas, al-Mashlahah al-Mursalah,
Sadd adz-Dzara’i, al-‘Urf dan al-‘Adat”.
Untuk lebih jelasnya akan dijelaskan diuraikan metode-metode atau dasar-dasar yang
digunakan Imam Malik dalam berijtihad :
1. Al-qur’an: Al-Qur’an merupakan sumber utama dan pertama dalam pengambilan hukum.
Karena Al-Qur’an adalah perkataan Allah yang merupakan petunjuk kepada ummat
manusia dan diwajibkan untuk berpegangan kepada Al-Qur’an.
2. Sunnah rasul yang beliau pandang sah.
3. Ijma’ para Ulama Madinah, tetapi beliau kadang-kadang menolak hadits apabila nyata-
nyata berlawanan atau tidak diamalkan oleh para ulama madinah.
4. Qiyas, yaitu menyamakan sesuatu dengan sesuatu yang lain dalam hukum karena adanya
sebab yang antara keduanya.
Seperti halnya para Ulama mujtahid yang lain Imam Malik juga sepakat menjadikan
empat sumber dalil utama dalam hokum Islam trsebut di atas. Namun beliau berbeda dengan
ulama yang lain dalam penggunaan metode-metode berikut ini :

5. Itsar Ahli Madinah


Ijma` ahli Madinah ini ada dua macam, yaitu ijma` ahlul Madinah yang asalnya
dari An-Naql, hasil dari mencontoh Rasulullah SAW, bukan dari hasil ijtihad ahlul
Madinah, seperti tentang ukuran kadar mudd, sho`, dan penentuan suatu tempat, seperti
tempat mimbar Nabi Muhammad, atau tempat dilakukannya amalan-amalan rutin seperti
adzan di tempat yang tinggi dan lain-lain. Ijma` semacam ini dijadikan hujjah oleh Imam
Malik. Menurut Ibnu Taimiyyah, yang dimaksud dengan ijma` ahlul madiinah tersebut
adalah ijma` ahlul madiinah pada masa lampau yang menyaksikan amalan-amalan yang
berasal dari Nabi Muhammad SAW. Sedangkan amalan-amalan ahli Madinah di
kemudian hari, sama sekali tidak dijadikan hujjah oleh Imam Malik. Di kalangan mazhab
Maliki sendiri, ijma` ahlil Madiinah lebih diutamakan dari pada khabar Ahad, sebab
ijma` ahlil Madiinahmerupakan pemberitaan oleh jama`ah, sedang khabar ahad hanya
merupakan pemberitaan perorangan.
Ijma` Ahlil Madiinah ini ada beberapa tingkatan, yaitu
a. Kesepakatan ahli Madinah yang sumbernya dari naql.
b. b.Amalan ahli Madinah sebelum terbunuhnya Utsman bin Affan. Sebelum terjadinya
peristiwa pembunuhan Saidina Utsman tersebut, amalan ahli Madinah menjadi hujjah
bagi Imam Maliki.
c. Amalan ahli Madinah itu dijadikan pendukung atau pentarjih atas dua dalil yang saling
bertentangan. Artinya apabila ada dua dalil yang satu sama lain bertentangan, sedang
untuk mentarjih salah satu dari dua dalil tersebut ada yang merupakan amalan ahli
Madinah, maka tarjih itulah yang dimenangkan menurut Imam Maliki. Hal ini pula
yang dilakukan Imam As-Syafi`i, muridnya.
d. Amalan ahli Madinah sesudah masa keutamaan yang menyaksikan amalan Nabi SAW.
Ijma` ahlil Madinah seperti ini bukan hujjah, baik menurut as-Syafi`i, Ahmad bin
Hambal, Abu Hanifah, maupun menurut para ulama di kalangan mazhab Malik

6. Mashalahah Al-Mursalah (Istishlaah)


Abdul Wahab Khalaf mendefiniskan maslahah mursalahadalah “Sesuatu yang di
anggap maslahah umum namun tidak ada ketegasan hukum untuk merealisasikannya dan
tidak pula ada dalil tertentu baik yang mendukung maupun yang menolaknya”. Dari dua
defenisi diatas dapat dipahami bahwa: a. Mashlahah mursalah adalah sesuatu yang tidak ada
nash hukumnya dalam al-Qur’an maupun hadist. b. Mashlahah mursalah adalah sesuatu
yang baik menurut akal. Dengan pertimbangan dapat mewujudkan kebaikan dan meghindari
keburukan. Sesuatu yang baik menurut akal sehat pada hakikatnya tidak bertentangan
dengan tujuan syara’ secara umum.
Kehujaan Maslahah Mursalah Jumhur ulama sepakat bahwa maslahah mursalahah
adalah bukan dalil yang berdiri sendiri. Maslahah mursalah tidak terlepas dari petunjuk
syara’. Ulama tidak akan menggunakan maslahah mursalah dalam menghukumi sesuatu itu
mendatangkan manfaat menurut tinjauan akal dan sejalan dengan tujuan syara’
(mendatangkan keselamatan ), tetapi hal itu bertentangan dengan prinsip nash, maka ketika
itu nash harus didahulukan. Dan ketika itu ada maslahah mursalah tidak dapat digunakan .
Imam Malik dan pengikutnya adalah kelompok yang secara jelas menggunakan
maslahah mursalah sebagai salah satu metode ijtihadnya. Tetapi Imam Abu Hanifah dan
Imam Syafi’I tidak memakainya sebagai metode ijtihad. Kelompok yang menggunakan
maslahah mursalah sebagai metode ijtihad tidak begitu menerimanya kecuali maslahah itu
memenuhi syarat yang cukup ketat. Syarat yang besifat umum adalah ketika sesuatu itu tidak
ditemukan hukumnya dalam nash yang sharih. Selain itu, ada syarat-syarat yang bersifat
Khusus yang harus di penuhi yaitu: - Maslahah mursalah itu bersifat hakiky dan bukan
maslahah yang bersifat perorangan dan bersifat zhan, dapat diterima oleh akal sehat bahwa
hal itu benar-benar mendatangkan manfaat bagi manusia dan menghindarkan dari madharat
secara utuh dan menyeluruh sejalan dengan tujuan syara’ tidak berbenturan dengan prinsip
dalil syara’ yang telah ada baik dalam al-Qur’an maupun hadist. Contohnya, menjatuhkan
talak itu bagi hakim saja dalam segala keadaan. - Sesuatu yang dianggap maslahah itu
hedaknya bersifat kepentingan umum bukan kepentingan pribadi. - Sesuatu yang dianggap
maslahah itu tidak bertentangan dengan nash al-Qur’an, hadist dan ijma.

7. Fatwa Sahabat
Yang dimaksud dengan sahabat di sini adalah sahabat besar, yang pengetahuan
mereka terhadap suatu masalah itu didasarkan pada an-naql. Ini berarti, yang dimaksudkan
dengan fatwa sahabat itu adalah berwujud hadis-hadis yang wajib diamalkan. Menurut Imam
Malik, para sahabat besar tersebut tidak akan memberi fatwa, kecuali atas dasar apa yang
dipahami dari Rasulullah SAW. Namun demikian, beliau mensyaratkan fatwa sahabat
tersebut tidak boleh bertentangan dengan hadis marfu` yang dapat diamalkan dan fatwa
sahabat yang demikian ini lebih didahulukan dari pada qiyas. Juga adakalanya Imam Malik
menggunakan fatwa tabi`in besar sebagaimana peganngan dalam menentukan hukum. Fatwa
sahabat yang bukan hasil dari ijtihad sahabat, tidak diperselisihkan oleh para ulama untuk
dijadikan hujjah, begitu pula ijma` sahabat yang masih diperselisihkan di antara para ulama
adalah fatwa sahabat yang semata-mata hasil ijtihad mereka. Di kalangan mutaakkhirin
mazhab Maliki, fatwa sahabat yang semata-mata hasil ijtihad mereka dijadikan sebagai
hujjah.

8. Khabar Ahad dan Qiyas


Imam Malik tidak mengakui khabar ahad sebagai sesuatu yang datang dari Rasulullah,
jika kahabar ahad itu bertentangan dengan sesuatu yang sudah dikenal oleh masyarakat
madinah, sekali pun hanya dari hasil istimbat, kecuali khabar ahad itu dikuatkan oleh dalil-
dalil lain yang sifatnya qoth`i. dalam menggunakan khabar ahad ini, Imam Malik terkadang
inkonsisten. Kadang-kadang ia mendahulukan qiyas dari padakhabar ahad. Kalau khabar
ahad itu tidak dikenal atau tidak populer di kalangan masyarakat Madinah, maka hal ini
dianggap sebagai petunjuk bahwa khabar ahad tersebut tidak benar berasal dari Rasulullah
SAW.

9. Istihsaan
Dengan digunakannya istihsan dalam mazhab Maliki, maka di antara imam empat
mazhab yang memegang istihsan sebagai sumber hukum adalah Imam Abu Hanifah dan
Imam Malik. Adapun As-Syafi`i dan Ahmad tidak menggunakan istihsan sebagai sumber
hukum. Bahkan as-Syafi`i mendebat keras siapapun yang menggunakan istihsan sebagai
sumber hukum.

10. Sad al-Dzarâ`i


Imam Malik menggunakan Sadd Ad-Dzara`i sebagai landasan dalam menetapkan
hukum. Menurutnya, semua jalan atau sebab yang menuju kepada yang haram atau
terlarang, hukumnya haram atau terlarang. Dan semua jalan atau sebab yang menuju kepada
halal, maka hukumnya halal.
11. Istishâb
Imam Malik menjadikan istishaab sebagai landasan dalam menetapkan hukum.
Istishab adalah tetapnya suatu ketentuan hukum untuk masa sekarang atau yang akan datang,
berdasarkan atas ketentuan hukum yang sudah ada di masa lampau. Jadi sesuatu yang telah
diyakini adanya, kemudian datang keraguan atas hilangnya sesuatu yang telah diyakini
sebelumnya, maka keraguan tersebut tidak dapat merubah status hukum yang lampau.
Artinya ia masih tetap berhukum seperti hukum yang lama. Contohnya seseorang yang
sudah dalam posisi berwudhu, ia dalam keadaan suci. Bahkan diyakini baru saja usai
mendirikan shalat. Kemudian ia ragu apakah terjadi hal-hal yang membatalkan atau tidak.
Dalam kasus ini, berlakukan hukum istishaab yang berarti mengembalikan kepada asal
hukum; yaitu adanya wudhu. Jika asalnya memang tidak berwudhu, kemudian ia ragu
apakah detik ini ia memiliki wudhu atau tidak, maka hukumnya pun kembali pada yang asal,
yaitu tidak ada wudhu. Inilah yang disebut dengan istishaab.

12. Syar`u Man Qablanâ


Menurut Abdul Wahab Khallaf, bahwa Imam Malik menggunakan kaidah syar`u
man qoblanaa syar`un lanaasebagai dasar hukum. Tetap menurut Sayyid Muhammad
Musa, tidak kita temukan secara jelas pernyataan Imam Malik yang mengatakan demikian.
Lebih lanjut menurut Abdul Wahab Khallaf, bahwa apabila al-Qur’an dan al-Sunnah
mengisahkan tentang suatu hukum buat ummat sebelum ummat nabi Muhammad, maka
hukum-hukum tersebut berlaku pula buat kita. contoh yang paling sering kita dengar adalah
ayat tentang puasa di surat al-Baqarah ayat 183 yang menjelaskan bahwa puasa ternyata
telah diwajibkan pula kepada para ummat terdahulu, sebelum datangnya syariat nabi
Muhammad SAW. Kemudian bila di dalam al-Quran ada penjelasan bahwa hukum tersebut
telah dinasakh, maka hukum syar`u man qoblanaa tersebut tidaklah berlaku lagi.
Demikianlah pemaparan singkat dari metode-metode ijtihad yang digunakan oleh Imam
Malik.

D. Karya-karya Imam Malik

1.Al-Muwatta'.
2 Kitab 'Aqdiyah;
3 Kitab Nujum, Hisâb Madâr al-Zaman, Manâzil al-Qamar;
4 Kitab Manâsik;
5 Kitab Tafsîr li Garîb al-Qur'ân;
6 Ahkâm al-Qur'ân;
7 Al-Mudawanah al-Kubrâ;
8 Tafsîr al-Qur'ân;
9 Kitâb Masa' Islam;
10 Risâlah ibn Matruf Gassan;
11 Risâlah ila al-Lais,
12 Risâlah ila ibn Wahb.

Tidak banyak karya beliau yang sampai kepada kita, setidaknya hanya ada dua karya
tersebut yang sampai kepada kita yakni, al-Muwatta' dan al-Mudawwanah al- Kubra. Kitab ini
sudah disyarahi oleh Muhammad Zakaria al-Kandahlawi dengan judul Audhaz al-Masalik ila
Muwatta' Malik, dan Muhammad ibn 'Abd al-Baqi al-Zarqanidengan judul Syarh al-Zarqani 'al-
Muwatta' al- Imam Malik, dan Jalal al-Din'Abd al-Rahman al-Suyuthi al-Syafi'i yang berjudul
Tanwir al-Hawalik Syarh'al-Muwatta' Malik.
Al-Muwatta’ adalah kitab fikih berdasarkan himpunan hadits-hadits pilihan. Karya Imam
Malik yang ini merupakan kitab hadis dan fikih sekaligus yang di dalamnya terkumpul hadis-
hadis dalam tema-tema fikih yang dibahas Imam Malik, seperti praktek atau amalan penduduk
Madinah, pendapat tabi'in yangia temui, dan pendapat sahabat serta tabi'in yang tidak sempat
ditemuinya

Menurut beberapa riwayat, sesungguhnya al-Muwatta’ tak akan lahir bila Imam Malik
tidak ‘dipaksa’ Khalifah Mansur. Setelah penolakan untuk ke Baghdad, Khalifah al-Mansur
meminta Imam Malik mengumpulkan hadits dan membukukannya. Awalnya, Imam Malik
enggan melakukan itu. Namun, karena dipandang tak ada salahnya melakukan hal tersebut,
akhirnya lahirlah Al Muwatta’. Ditulis di masa Al Mansur (754-775 M) dan baru selesai di masa
al-Mahdi (775-785 M). Imam Malik memang sangat menekankan para perawi harus teruji. Pada
mulanya, kitab ini memuat 10 ribu hadits. Namun, lewat penelitian ulang, Imam Malik hanya
memasukkan 1.720 hadits. Kitab ini telah diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa dengan 16
edisi yang berlainan. Selain al- Muwatta’, Imam Malik juga menyusun kitab al-Mudawwanah al
Kubra, yang berisi fatwa-fatwa dan jawaban Imam Malik atas berbagai persoalan.
Imam Malik tak hanya meninggalkan warisan buku. Ia juga mewariskan mazhab fikih di
kalangan Islam Sunni, yang disebut sebagai Mazhab Maliki. Selain fatwa-fatwa Imam Malik dan
Al Muwatta’, kitab-kitab seperti Al Mudawwanah al Kubra, Bidayatul Mujtahid wa Nihaayatul
Muqtashid (karya Ibnu Rusyd), Matan ar Risalah fi al Fiqh al Maliki (karya Abu Muhammad
Abdullah bin Zaid), Asl al Madarik Syarh Irsyad al Masalik fi Fiqh al Imam Malik (karya
Shihabuddin al Baghdadi), dan Bulgah as Salik li Aqrab al Masalik (karya Syeikh Ahmad as
Sawi), menjadi rujukan utama mazhab Maliki.

Daftar Pustaka

Abdul Wahab Khallâf. Tt. Ilmu Ushul Fiqih. Mesir. Maktabah al-Da`wah al-Islâmiyyah
Ahmad al-Syurbasi, Sejarah dan Biografi Empat Imam Mazhab, terj. Sabil Huda dan Ahmadi,
Jakarta: Amzah, 2011
Ali Fikri, Kisah-Kisah Imam Mazhab, Terj. Abd Aziz, Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2003

Al-Shirbashi, Ahmad, al-A’Immah al-Arba’ah, Beirut: Dar al-Hilal, tt.

Dedi Ismatullah, Sejarah Sosial Hukum Islam, Bandung: Pustaka Setia, 2011
Huzaenah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab, Jakarta: Gaung Persada (GP)
Press, 2011
Samsul Munir, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Amzah, 2010,
Zuhaili, Zuhaili, Ushul Fiqh Al-Islaami. Damaskus. Dârul Fikri. 1986.
Zein, Muhammad Ma’shum, Arus Pemikiran Empat Madzhab: Studi Analisis Istinbhath Para
fuqoha, Jombang: Darul Hikmah, 2008.
https://minanews.net/imam-malik-penyusun-al-muwatta-yang-terkenal/ Selasa, 28 Sya`ban 1441
H / 21 April 2020 M pukul 13.12 WIB

Anda mungkin juga menyukai